21 Juli 2008

Yudikatif dan Korupsi

BAB I
PENDAHULUAN

Proses persidangan Artalyta Suryani dalam kaitannya dengan kasus penyuapan terhadap Jaksa Urip telah menghadirkan kejutan-kejutan besar yang mengguncang dunia peradilan di tanah air. Terungkapnya percakapan antara sejumlah petinggi Kejaksaan Agung dengan seorang terdakwa kasus penyuapan terhadap Jaksa Urip sangatlah menghebohkan dan membangkitkan pertanyaan publik akan integritas dan akuntabilitas institusi kejaksaan sebagai bagian dari institusi yudikatif.
Reformasi dalam sistem dan institusi pemerintahan yang didorong untuk melahirkan mekanisme pembagian kekuasaan dalam mengelola negara dan membangun kelembagaan checks and balances sebagai bentuk nyata instrumentasi sistem demokratis kembali terancam kemandegan dan bahkan kemunduran. Mengingatkan kembali, salah satu amanat dari reformasi dalam politik dan pembangunan hukum di negeri ini adalah lahirnya institusi-institusi penegak hukum sebagai pemegang kekuasaan yudikatif yang bersifat independen.
Independensi lembaga-lembaga yudikatif adalah syarat mutlak bagi sebuah sistem politik dan pemerintahan demokratis, karena kehadirannya sebagai penjaga agar spirit of law yang dibutuhkan oleh sistem demokrasi bisa dijalankan secara adil bagi semua warga negara. Namun demikian, independensi bisa melahirkan dilema, ketika secara praksis ternyata ia cenderung dimaknai sebagai kemewahan kekuasaan yang bersifat otonom. Akibatnya sangat serius, karena kemudian lembaga tersebut seolah terbebas dari semua bentuk kontrol politik dan apapun langkah-langkah politik yang diambil terkait dengan eksistensi dan aktifitasnya akan dengan sangat mudah dibelokkan menjadi isu intervensi yang berarti menciderai independensi lembaga yudikatif.
Kelembagaan demokrasi memang mensyaratkan adanya pembagian kekuasaan negara, yang rumusnya didasarkan pada pembagian berbasis fungsi-fungsi kepemerintahan; eksekutif, yudikatif dan legislatif. Adanya pembagian tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan di lembaga tertentu, karena penumpukan kekuasaan sangat rawan melahirkan penyimpangan kekuasaan. Monopoli, tegasnya, atas kekuasaan akan memunculkan sistem pemerintahan tanpa checks and balances. Sejarah politik dan pemerintahan Indonesia selama era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru telah mengajarkan kepada kita. Ketika kekuasaan eksekutif tanpa kontrol, lembaga perwakilan tanpa daya, dan lembaga yudikatif dikooptasi, maka yang lahir kemudian adalah bentuk-bentuk pembusukan politik yang berakhir dengan kekacauan sistem politik dan pemerintahan.

BAB II
YUDIKATIF DAN KORUPSI

A. Pengertian Lembaga Yudikatif
Lembaga Yudikatif berwenang untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Kongres dan diselenggarakan oleh lembaga eksekutif. Kekuasaan Yudikatif dinegara ini merupakan pelindung dalam suatu sistem dan hirarki pengadilan -- Pengadilan Tertinggi dan tingkat pengadilan yang lebih rendah lainnya.
B. Korupsi Take & Give
Di hampir semua sudut, sisi, bi-dang, sektor, departemen, biro, seksi, organisasi, lembaga, forum, perkumpulan, dan kelompok, se-kali lagi di mana-mana dan kapan saja, leviathan itu selalu ada se-bab, korupsi di Indonesia yang di-perkirakan mentradisi sejak za-man majapahit melalui praktik-praktik serakah seperti pemberian upeti dari rakyat kepada raja, telah menjadi embrio dari generasi ke generasi.
Pada akhirnya kebiasaan itu me-wabah dan membabi-buta. Apa-bila dahulu masih terbiasa korupsi teri, sekarang setelah mendapat kekuasaan, kebiasaan korupsi teri itu otomatis berubah. Perubahan dari korupsi teri ke korupsi kakap, tentu punya me-kanismenya sendiri. Hukum pidana mengenal hammurabi code yang dalam satu hukumnya ber-kata, “oog om oog, tand oom tand” artinya, mata ganti mata, gigi ganti gigi; tidak jauh berbeda dengan mekanis perubahan mengorupsi. Di mana konsekuensi logis dari kekuasaan itu bersifat timbal-ba-lik para pihak yang berkepen-tingan.
Mekanismenya yaitu, ada uang, ada barang. Ada uang, ada jaba-tan. Ada uang, ada kesempatan. Tak ada uang, barang-jabatan-kesempatan ikut melayang. Oleh karena itu, kasus-kasus korupsi para leviathan akhir-akhir ini me-ngikhtiarkan bahwa korupsi itu terjadi berdasarkan prinsip tim-bal-balik tersebut.
Labilitas korupsi take & give ter-sebut artinya memiliki tata cara-nya sendiri. Namun, tata cara gra-nd strategy korupsi begitu tertu-tup, tersembunyi, bahkan tidak dapat tersentuh oleh publik se-lain para pengamat dan penegak hukum. Tidak sedikit pejabat mempraktikkan korupsi take & gi-ve meskipun resiko-resiko selan-jutnya yang diketahuinya adalah fatal dan memalukan. Di lain pi-hak kebiasaan korupsi take & give sejatinya, membentuk pribadi-pri-badi korup tak bermoral, dan tak berprikemanusiaan.
Dalam kaca mata korupsi take & give, memberi hadiah, sedekah, bonus, pelicin, dan jaminan ke-pada, bawahan, atasan, peran-tara, sahabat, dan saudara, se-sungguhnya di dasari motivasi in-toleransi, demoralisasi, dehuma-nisasi, dan kooptasi akan kekaya-an, jabatan, dan posisi
C. Lembaga Yudikatif dan Korupsi
Sistem peradilan di Indonesia adalah salah satu lembaga yang terkorup yang dikenal dengan mafia peradilannya. Jadi lembaga negara ini tidak bisa diharapkan untuk memerangi korupsi. Jual beli perkara terhadap putusan telah terjadi di berbagai tingkat seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan bahkan terhadap benteng utama dan terakhir penjaga keadilan yaitu Mahkamah Agung (MA). Memahami kebusukan yang terjadi di peradilan, maka pada tanggal 20 Desember Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan reformasi peradilan di MA. Acara ini dihadiri oleh seluruh unsur pimpinan MA, hakim agung, seluruh ketua pengadilan tingkat pertama, banding, pejabat tinggi lainnya dan wakil dari negara sahabat. Belum lagi hilang dari ingatan gong reformasi peradilan dicanangkan, terjadi pemerasan yang dilakukan oleh Mathius B Situru, Panitia Pengganti di PN Jakarta Pusat dengan cara memperlambat pemberian salinan putusan dan meminta uang agar salinan baru bisa diberikan. Kemudian, Jammes Darsan Tony dan komplotannya (Peneliti di Litbang dan staf di MA) sedangkan panitera pengganti dan hakim PN Jakarta Selatan memeras saksi dalam kasus korupsi P.T. Jamsostek. Kasus ini menyebabkan ditetapkan tersangka dan ditahannya panitera pengganti, Andrian Jimmy Lumanauw dan Hakim Herman Alossitandi, Ketua Majelis Hakim perkar P.T. Jamsostek. Sebelumnya, penangkapan advokat Syafiudin Popon, Ramdhan Rizal dan M. Sholeh, dua panitera PT Jakarta. Kasus Probo Sutedjo yang melibatkan uang milyaran rupiah dengan tersangka pengacara Harini Wijoso, pagawai MA, jaksa, hakim bahkan melibatkan Hakim Agung . Belum lagi banyaknya kasus illegal logging dan hutang terhadap negara yang dikalahkan oleh pengadilan. Nampaknya transaksi uang dalam dunia peradilan menunjukkan bahwa mafia peradilan memperdagangkan hukum dan kewenangan adalah realitas yang tak perlu dibantah lagi. Hal tersebut membuat masyarakat curiga dan tidak menghormati lembaga peradilan. Sulit untuk membuat masyarakat percaya bahwa peradilan adalah tempat untuk mencari keadilan dan tidak memihak. Kalau kita lihat fakta-fakta dan khususnya terhadap korupsi yang dilakukan oleh mantan presiden Suharto, keluarga, para pejabat seperti mantan Jaksa Agung M Rachman, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seperti Syamsul Nursalim, Samadikun Hartono, Agus Anwar, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Eko Adi putranto, Sherny Konjongiang, David Nusa Wijaya, Sudjiono Timan dan Prayogo Pangestu.
Disadari bahwa gaji para hakim pada umumnya rendah dibanding dengan kekuasaan yang mereka miliki. Sebagai contoh seorang yang baru diterima sebagai hakim hanya menerima gaji lebih kurang dua juta rupiah. Namun, dari awal yang bersangkutan memulai karir sebagai hakim, mereka didorong untuk melakukan praktek korupsi karena harus bermodal dulu untuk menjadi hakim. Bukan rahasia umum bahwa untuk diterima menjadi hakim, mereka harus memberikan uang sogokan yang besar. Bahkan dalam seleksi hakim agung pun telah beredar kabar isu suap dikalangan DPR. Begitu juga halnya dengan Kejaksaan, merupakan lembaga yang sering mendapat tudingan yang sama.  Disamping itu dalam hal penganan beberapa kasus Kejaksaan Agung cenderung bertindak diskriminatif, seperti Kasus Dana Abadi Umat (DAU) hanya difokuskan kepada Said Agil Husin Al Munawar (mantan Menteri Agama) diputus 5 tahun oleh pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) [40], Taufik Kami (Direktur Jenderal di Departeman Agama) dan empat auditor Badan Pemeriklasaan Keuangan (BPK) [27]. Sedangkan dalam sidang dan surat dakwaan terungkap aliran dana kepada Sekretaris Jenderal BPK, membiayai anggota Komisi VI DPR untuk memantau penyelenggaraan haji, dan pendidikan hakim agama ke Mesir tidak diusut sama sekali.
Berbagai reformasi telah dilakukan untuk memperbaiki sistem peradilan. Telah beberapa hal yang dilakukan untuk mereformasi MA dan pengadilan di Jakarta dengan berbagai mutasi. Bahkan mantan Presiden Gus Dur (1999-2001), walaupun ditentang oleh DPR pada saat itu atas calon yang diusulkan untuk Ketua dan Wakil ketua MA. Reformasi di MA dengan menggantikan separuh hakim karir dengan profesional yang bersih dari korupsi.
Untuk mengatasi masalah tersebut diatas dalam rangka mengawasi perilaku para hakim telah dibentuk Komisi Yudisial (KY) pada tanggal 8 Juni 2005 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang KY. Para hakim mulai diawasi oleh KY semenjak Presiden melantik tujuh anggotanya pada tanggal 2 Agustus 2005. Menurut KY bahwa kinerja para hakim masih berada pada level yang rendah. Hal ini berdasarkan jumlah laporan masyarakat yang telah mencapai 400 laporan semenjak Komisi Judisial bekerja lebih kuran 3 hingga 4 bulan. Dari jumlah tersebut 37 laporan telah selesai diperiksa dan sebagaian besar telah menghasilkan rekomendasi tentang adanya pelanggaran kode etik oleh para hakim. Namun, laporan dari KY belum diperhatikan oleh MA. Komisi Yudisial juga mengusulkan untuk melakukan seleksi ulang terhadap 49 hakim agung yang ada di MA. Karena Menurut Busyro Muqodas, Ketua Mahkamah Yudisial bahwa MA merupakan puncak dari peradilan di Indonesia, sementara kasus-kasus suap yang terjadi di MA merupakan representasi dari lemahnya manajemen serta kepemimpinan di MA.
Kondisi peradilan di Indonesia betul-betul hancur dan pada titik yang paling rendah dan tidak bisa diharapkan oleh masyarakat yang ingin mencari keadilan. Ini berarti negara hukum di Indonesia hanyalah ilusi belaka, bilamana lembaga peradilan tidak dibenahi. Praktik korupsi dan mafia peradilan di Indonesia sudah dalam kondidsi yang darurat. Untuk membersihkan peradilan harus dilakukan dengan cara yang luar bisa seperti dengan PERPU untuk menyeleksi ulang hakim agung di MA. Pemberantasan teroris yang hanya menimbulkan korban 180 dilakukan dengan PERPU, maka koruptor juga perlu diatasi dengan PERPU, karena koruptor di peradilan telah meluluh lantakan citra negara hukum, memiskinkan rakyat dan menghancurkan perekonomian bangsa.
D. Peranan Komisi Pemberantas Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yudikatif negara yang dalam melaksakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3). Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan. Karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Begitu parahnya maka korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime). Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK yang mempunya wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super body).
Awal pembentukan KPK dengan semangat yang tinggi untuk memberantas korupsi, namun beberapa bulan terbentuk nampaknya KPK dibiarkan untuk mati suri. Hal tersebut terjadi karena kesalahan pemerintah dan DPR pada waktu itu yang tidak serius memfasillitasi KPK untuk membangun infra struktur yang kuat. Hal ini terbukti dengan KPK tidak punya penyidik sendiri, tidak punya pegawai, tidak punya gedung yang representatif dan tidak punya peralatan serta infra struktur untuk bergerak cepat.
Dalam tahun pertama menjalankan peranannya sebagai ujung tombak memerangi korupsi, KPK menghadapi beberapa kendala yang klasik antara lain keterlambatan pencairan dana dari pemerintah. Hal ini mengundang kritik miring dari berbagai pihak seperti Munarman, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahwa KPK hanya mencari-cari alasan apabila ditagih tentang kinerja pimpinan KPK. Dia juga menambahkan bahwa sulitnya memberantas korupsi karena pemerintah khususnya pejabat-pejabat yang berwenang dalam memberantas korupsi sama sekali tidak memiliki kemauan politik (political will). Selanjutnya Satya Arinanto, dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia mengatakan tidak ada upaya KPK dalam menjalankan peranannya memberantas korupsi bukan karena faktor keterlambatan dana, karena KPK juga dapat dana dari luar negeri maupun bantuan asistensi dari partnership. Tidak ada kinerja KPK karena semata-mata pemimpin KPK bukan orang yang terbaik. Faktor lain yang menghambat adalah kosongnya posisi Sekretaris Jendera KPK hampir delapan bulan setelah dibentuk, sehingga mengganggu jalannya roda administrasi. Sebenarnya hal ini bisa ditanggulangi dengan mengangkat Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal.
Karena hampir setengah setahun tidak menunjukkan kinerjanya maka KPK menuai keritik tajam dari pakar hukum Prof Dr. Achmad Ali, yang juga anggota Komisi Nasional HAM dan praktisi hukum Bambang Widjayanto mengatakan bahwa KPK lebih menempatkan diri seperti akademisi, dan menjadi institusi wacana yang terlalu mengada-ada. Prof Dr. Andi Hamzah menekankan bahwa dalam enam bulan pertama KPK baru mau mencari apa yang harus dikerjakan.
Sebenarnya untuk melakukan peranannya KPK diberikan kewenangan yang luar biasa seperti yang diatur dalam Pasal 6 butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa lembaga ini dapat bertindak mulai dari:
1. mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi;
2. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
3. melakukan tindakan pencegahan korupsi
4. memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam menangani kasus KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi dan proses dalam penuntutan. Jadi KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu tugas Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam memerangi korupsi. Disamping itu KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik (Pasal 8 Ayat (1) [41]). Selanjutnya KPK mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan apabila:
1. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditinjaklanjuti
2. proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarut-larut/ tetunda tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan;
3. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya;
4. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5. Adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; atau
6. keadaan lain yang menurut pertimbangnan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggung jawabkan.

KPK juga diberi kerwenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (Pasal 11):
1. melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
pengak hukum dan penyelengara negara;
2. mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau
3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luara biasa (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan kewenangan yang tidak dimiliki instititusi lain yaitu:
1. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
2. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian keluar negeri;
3. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
4. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
5. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait;
6. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
7. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri;
8. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Melihat kewenangan KPK, maka tidak heran kalau kalangan hukum menyebutnya sebagai lembaga super (superbody). Disamping itu, peranan KPK melebihi dari Kepolisian dan Kejaksaan dimana Kepolisian dan Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SPPP) dalam perkara tindak pidana korupsi, sebaliknya berdasarkan Pasal 40 UU No 30/2002, KPK tidak berwenang mengeluarkan SPP untuk menghindari adanya main mata antara tersangka dan aparat KPK. Dengan kewenangan yang super tersebut KPK mampu mengeliminasi korupsi secara konseptual dan sistematis. Masyarakat tidak mau tahu akan keluh kesah KPK bekait dengan kurangya personil maupun kesendirian KPK dalam menangani tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantas Korupsi mulai memainkan perannya dengan membawa mantan Abdullah Puteh, mantan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam menjadi tersangka korupsi pengadaan helikopter. Tahun 2005 merupakan kejutan dari pelaksanaan peran KPK dalam memerangi korupsi yaitu berhasil menangkap Mulyana Wira Kusuma, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mencoba menyuap salah seorang auditor BPK. Kasus ini sekaligus mengungkap praktik korupsi di tubuh KPU yang menyeret Nazarudin Syamsudin, Ketua, Rusadi Kantaprawira anggota KPU dan Pejabat Sekreris Jenderal KPU serta stafnya.
Dalam waktu tidak beberapa lama KPK menangkap pengacara Abdulah Puteh dan panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dilanjutkan dengan tindakan KPK menangkap pengacara Probosutejo dan lima pegawai MA yang terlibat transaksi penerimaan uang suap sebanyak 6 miliar. Hal ini menyebabkan KPK menggeledah dan memeriksa tiga hakim agung, termasuk ketuanya Bagir Manan. Kemudian Suratno, direktur Administrasi dan Keuangan RRI dibawa kepengadilan begitu juga dengan rekanan RRI, Fahrani Husaini.
Lagi-lagi masyarakat dikejutkan dengan perlakuan diskriminasi KPK sewaktu memeriksa Bagir Manan karena tidak memanggil Bagir Manan di kantor KPK tapi malah datang kekantor dan diruangan Bagir Manan di MA. Hingga kini kasusnya tidak jelas dan terkesan menguap ditelan awan. Ketua KPK mengakui dalam kata sambutannya memperingati dua tahun berdirinya lembaga tersebut bahwa perang terhadap korupsi yang dilakukannya bagaikan ??esunyian dan kesendirian??karena tidak ada kemauan yang serius ditingkat kekuasaan, kecuali kepura-puraan belaka. Bahkan beberapa kasus di atas tanpa rasa malu tak jarang koruptor dilindungi dengan kekuasaan dan cara-cara invisible hand. Dia menegaskan bahwa ditengah upaya semu perang terhadap korupsi yang dilakukan KPK, semua jadi penonton baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tetap diam terpaku mesti satu persatu fakta dipertontonkan. Tidak ada satupun instansi yang mencoba memperbaiki sistemnya.
KPK tidak akan bisa melaksanakan perannya secara optimal bilamana tidak didukung oleh keinginan dan tindakan nyata pemerintah dalam penegakan hukum, terutama perang terhadap korupsi. Hal ini terlihat bahwa perombakan kabinet yang baru-baru ini dilakukan oleh presiden sama sekali tidak menyentuh sekali bidang penegakan hukum. Bukankah untuk sudah disindir oleh Prof Dr. Azyumardi Azra bahwa ikan membusuk dari kepala, jadi untuk memerangi korupsi mulailah dari pimpinan tertinggi di lembaga atau departemen tersebut. Selama itu tidak dilakukan maka perang terhadap korupsi tak ubahnya dengan berperang melawan angin dan hanya retorika semata-mata.

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sistem peradilan pidana Indonesia dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan gagal total memerangi korupsi dan tidak dapat diharapkan untuk memerangi korupsi. Karena mereka justru terlibat dan terbuai oleh korupsi. Korupsi sudah merupakan penyakit yang kronis hampir di setiap institusi pemerintah hingga disebut dengan extra ordinary crime. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang super body memerangi korupsi di Indonesia. Namun, sayangnya lembaga super body yang ada seperti KPK tidak didukung oleh eksekutif, l maupun legislatif sehinga kesendirian dan kesepian. Instansi yang seharusnya memerangi korupsi hanya jadi penonton belaka dan tidak berusaha memperbaiki diri. Sedangka lembaga negara lainnya masih terus terbuai dengan korupsi.
Dalam melaksanakan perannya memerangi korupsi, KPK masih diskriminatif karena tidak adanya kemauan di tingkat kekuasaan, kecuali kepura-puraan. Bahkan tanpa rasa malu tak jarang koruptor dilindungi dengan kekuasaan dengan cara-cara invisible hand. Di samping, tidak adanya keinginan untuk memanfaatkan momen untuk memperbaiki sistem masing-masing instansi walaupun sudah dipertontonkan fakta demi fakta oleh KPK. Hal ini terbukti tidak dilakukannya pergantian pimpinan institusi di bidang penegakan hukum. Bukankah kita dapat melihat pergantian pucuk pimpinan Kepolisian berhasil memperbaiki kinerja, citra, pengayoman, perlindungan dan pelayanan masyarakat. Dari beberapa fakta sejarah kejatuhan beberapa presiden terdahulu karena masyarakat melihat bahwa perang melawan korupsi yang dicanangkan hanya retorika belaka/angin surga sehingga hilangnya simpati masyarakat yang mengimpikan negara yang bersih, pelayan umum yang baik dan terbebas dari praktek korupsi. Hal ini mengakibatkan pil pahit dan terasa sakit bagi presiden terdahulu. Akan kah pisang berbuah dua kali?, akan kah keledai akan terperosok pada lobang yang sama untuk kedua kali ? Jawabannya dapat kita lihat langkah nyata yang akan dilakukan oleh pucuk pimpinan negara tercinta ini

DAFTAR PUSTAKA

Harian Kompas 11 Oktober, 2005
Hajono. 2003. Kedudukan dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Kekuasaan Kehakiman dan Ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jimly, Asshiddiqie. 2003. Mahkamah Konstitusi: Penomena Hukum Tata Negara. Mahkamah Konstitusi.
Maruarar, Siahaan. 2003. Prosedur Berperkara di Mahkamah Konstitusi dan Perbandingan dengan Hukum Acara di Pengadilan Umum dan TUN. Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar: