28 Mei 2009

Haram Merusak Sarana Umum

Ledakan bom yang terjadi di gedung DPR/MPR 14 Juli 2003, semakin menambah daftar tindakan perusakan sarana umum yang terjadi di tengah masyarakat yang banyak menimbulkan korban. Sebelumnya, tindakan teror ini terjadi di Plasa Atrium Senin, Bandara, dan di dekat gedung PBB di Jakarta. Sarana transportasi juga menjadi target, saat ditemukan bom di rel kereta api dekat daerah Bekasi. Teror yang tidak pilih-pilih korbannya ini, terjadi juga di Makasar saat sebuah bom meledak di restoran McDonald. Aceh juga mengalami teror yang sama. Pemboman di Pasar, pembakaran sekolah, menjadi hal yang sering terjadi kawasan itu. Tindakan teror ini, bukan hanya merusak sarana umum seperti pasar, restoran, bandara, kereta api, tapi juga telah menimbulkan banyak korban jiwa. Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini.

Hukum melakukan pembunuhan masyarakat umum
Adalah perkara yang jelas berdasarkan syariat Islam bahwa tindakan pembunuhan dan melukai masyarakat umum adalah diharamkan. Di dalam Al Qur’an Allah SWT telah mengharamkan pembunuhan terhadap manusia tanpa hak, sebagaimana firman-Nya: Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).(QS al-An’âm [6]: 151)
Ayat tersebut secara jelas menggambarkan bahwa pembunuhan tanpa hak merupakan hal yang haram menurut Allah pencipta manusia. Yang dimaksud dengan pembunuhan secara hak adalah pembunuhan yang dibenarkan berdasarkan syara’ yaitu membunuh pelaku pembunuhan, pezina muhson (sudah pernah menikah), dan orang-orang murtad. Allah menjelaskan hal ini Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS al-Baqarah [2]: 178)
Demikian juga pezina yang muhson hukumannya dibunuh. Hal ini didasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw yang merajam seorang perempuan bernama Ghamidiyah yang telah berzina. Beliau pun pernah merajam seorang pria bernama Maiz yang melakukan zina.
Terhadap orang murtad (keluarnya seorang muslim dari Islam dan beralih kepada kekufuran) setelah dia dimintai untuk bertobat selama tiga hari dan selama priode tersebut diajak berdiskusi agar kembali tapi gagal, diberlakukan sanksi bunuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw: Barangsiapa yang menukar agamanya maka bunuhlah. (HR. Muslim)
Satu hal yang harus diingat bahwa penerapan ketiga sanksi hukum tersebut harus dilakukan melalui proses pengadilan Islam, tidak boleh dilakukan secara individual atau kelompok.
Berdasarkan hal tersebut, tindakan teror dengan cara membunuh masyarakat umum seperti orang yang sedang berbelanja di pasar, makan direstoran, naik pesawat, penumpang kereta api, bis, bekerja di DPR dan sebagainya jelas-jelas diharamkan oleh Islam. Demikian pentingnya menjaga nyawa manusia dalam pandangan Islam, membunuh satu orang sama artinya dengan membunuh semua manusia. Allah SWT berfirman: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan -keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS al-Mâidah [5]: 32)

Hukum melakukan perusakan sarana umum
Keharaman tindakan teror tersebut juga didasarkan atas haramnya melakukan perusakan sarana umum. Hal ini didasarkan atas hukum kepemilikan dalam Islam. Dalam konsep pemilikan Islam, pemilikan merupakan tatacara yang ditempuh manusia untuk memperoleh kegunaan atau manfaat dari jasa maupun barang secara syar’i pemilikan merupakan izin dari Allah SWT untuk memanfaatkan benda tersebut sesuai dengan syariat Islam. Yang dapat memanfaatkan sesuatu untuk digunakan, diberikan, dijual atau dibuang hanyalah pemilik sesuatu itu sendiri. Siapapun yang bukan pemiliknya tidak dibenarkan untuk melakukan hal tersebut. Hal ini tegas dari adanya hukuman bagi para pencuri yang merampas hak milik orang lain. Merusak, menghancurkan atau merampas yang bukan miliknya merupakan pelanggaran hak milik orang lain. Firman Allah SWT: Laki-laki yang mencuri serta perempuan yang mencuri maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan terhadap apa yang mereka lakukan dan siksa dari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS al-Mâidah [5]: 38)
Hal ini dipertegas tentang adanya hukuman bagi para pembegal (quththa’ ath- thuruq) yang melakukan perampasan harta manusia dijalan-jalan umum dengan kekuatan senjata dan penyerangan, baik harta itu untuk digunakan atau dihancurkan. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan dimuka bumi, bahwa mereka dibunuh atau disalib , atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berselang seling atau dibuang dari bumi ini(diusir dari negerinya). (QS al-Mâidah [5]: 33)
Berdasarkan hukum ini dilarang bagi siapapun untuk memanfaatkan apalagi menghancurkan hak milik orang lain baik merupakan pemilikan individu (seperti rumah pribadi, kendaraan, toko, restoran dsb), negara (gedung sekolah, kereta api milik negara, bandara, gedung perkantoran pemerintah dll), atau umum (seperti sarana listrik, air, telepon umum, jalan, pasar dsb). Apalagi kemudian penghancuran terhadap sarana umum akan mengakibatkan terhentinya aktivitas vital di masyarakat seperti pendidikan terhenti, transportasi terlantar, jual beli terganggu, dsb.

Tindakan Syaithan
Rasulullah SAW memberikan aturan yang melarang merusak lingkungan masyarakat, beliau bersabda: Siapa saja yang memotong pohon bidara yang ada diatas tanah lapang yang sering digunakan sebagai tempat bernaung bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan ataupun binatang-binatang secara sia-sia dan penuh kezaliman tanpa ada alasan yang benar, maka Allah akan menaruh api neraka diatas kepalanya. (HR Bukhori).
Rasulullah juga memerintah untuk menyingkirkan hal-hal yang menganggu atau membahayakan dari tempat-tempat umum seperti jalan dan tanah lapang. Beliau bersabda: Ketika seseorang berjalan di sebuah jalan, lantas ia menjumpai ranting pohon berduri kemudian ia mengambilnya, niscaya Allah akan memujinya dan mengampuninya.
Sabdanya pula: Singkirkanlah gangguan dari jalanan.
Begitulah titah Nabi saw. Sikap setiap muslim yang mencontoh beliau tentu akan mengikuti tindakannya. Kaum muslim akan menjaga ketentraman kehidupan masyarakat umum, tidak sebaliknya berbuat teror terhadap masyarakat. Kelompok umat Islam yang berjuang untuk menyelamatkan Islam selalu berpegang pada contoh Rosul. Sebab itu, manakala terdapat tindak kekerasan lalu dihubungkan dengan kelompok muslim maka tuduhan tersebut harus diwaspadai sebagai rekayasa musuh-musuh Islam baik dari kalangan kafir maupun munafik. Rekayasa ini bisa jadi memanfaatkan orang-orang muslim yang ikhlas, baik sadar ataukah tidak, masuk dalam skenario tersebut. Sejarah banyak menunjukan hal ini. Misalnya, kasus Hizbullah di Turki yang dituduh melakukan pemboman padahal terbukti kelompok itu bentukan intelijen Turki; FIS di Al Jazair yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap masyarakat umum ternyata fakta-fakta menunjukan bahwa pembantainya tidak dikhitan, pembantaian justru terjadi di daerah yang dikenal merupakan basis pendukung FIS, dan markas militer berjarak dekat dengan tempat pembantaian tetapi militer baru datang setelah terjadinya pembantaian tersebut. Hal ini menunjukan bahwa pelakunya bukanlah FIS, tetapi intelijen Al Jazair. Begitu juga, Komando Jihad di Indonesia yang melakukan pemboman di masa orde baru ternyata terkontaminasi oleh intelijen. Semua realitas ini mengisyaratkan bahwa kejadian teror yang dinisbatkan kepada kaum muslim tidak dapat dilepaskan dari perekayasaan kaum kafir dan munafik yang membenci Islam.

Wahai kaum muslim,
Waspadalah terhadap intrik-intrik kaum kufar dan munafikin yang selalu berupaya menjauhkan saudara sekalian dari Islam dan para pengembannya yang sejati. Waspadalah terhadap skenario yang dapat memanfaatkan kalangan kaum muslim sendiri untuk merusak Islam dan perjuangannya. Wahai saudara muslim, berpegang teguhlah pada tali Islam. Bersatulah dengan ikatan Islam, dan janganlah saudara sekalian terpecah-belah karena memegang yang lain. Allah Pelindung kaum muslimin dunia akhirat. Allahu Akbar!

Bunga Bank Haram

Seperti yang telah luas diberitakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, pada hari Selasa 16 Desember 2003 minggu lalu telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).
Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath‘î itu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.
Akan tetapi, alih-alih mendapat dukungan, fatwa itu justru mendapat kecaman dari para "tokoh Islam" sendiri. Ada yang menyatakan bahwa jika bunga bank masih setara angka inflasi, tidak bisa disebut riba karena ia menjadi kompensasi adanya inflasi. Ada pula yang menyatakan bahwa fatwa itu kontraproduktif dan ditetapkan pada saat yang tidak tepat, karena perbankan syariah belum ada di seluruh pelosok negeri. Bahkan ada yang menuduh bahwa fatwa itu penuh dengan konflik kepentingan mengingat para pelaku fatwa sebagiannya adalah anggota dewan syariah dari bank-bank syariah yang ada.

Menata Kebijakan Perbankan Nasional
Fatwa ini semestinya bisa menjadi pangkal dari penataan menyeluruh dari kebijakan perbankan dan lembaga keuangan lain di Indonesia yang selama ini dalam dunia perbankan dikenal dengan istilah dual banking. Maksudnya, di samping bank konvensional, setelah terbit UU Nomer 10 tahun 1998, juga dikembangkan bank syariah yang dilakukan tidak dengan cara mematikan atau menghentikan bank konvensional.
Kebijakan yang melahirkan koeksistensi antara bank konvensional dan bank syariah tentu saja menimbulkan masalah. Secara idealistik, kebijakan itu jelas bukan pilihan yang terbaik. Persoalannya bukan terletak pada sisi teknis administratif, melainkan pada problema paradigmatik. Secara substansial, pengakuan terhadap keberadaan bank syariah yang anti bunga sebenarnya merupakan penegasian terhadap keberadaan bank konvensional yang berintikan bunga. Apa yang dicari oleh bank konvensional adalah apa yang paling dibenci oleh bank syariah. Nah, bagaimana mungkin dua lembaga yang sama sekali berbeda sifatnya bisa hidup berdampingan dalam sebuah sistem? Pasti harus salah satu yang dipilih.
Di sisi lain, mempertahankan keberadaan bank konvensional sebenarnya juga merupakan kebijakan yang sangat patut dipertanyakan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional. Akibat krisis itu, 16 bank dilikuidasi pemerintah, 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997, dan 13 bank diambil alih (BTO). Langkah ini menciutkan secara drastis jumlah bank dari 237 pada akhir Juni 1997 menjadi 151 bank pada akhir Desember 2000. Jumlah bank swasta menciut dari 160 bank menjadi hanya 81 bank. Bank pemerintah dari 7 menjadi 5. Kondisi perbankan nasional saat ini, ibarat pasien, memang belum jadi mayat, tetapi sudah terbaring koma di Unit Gawat Darurat, dan sewaktu-waktu bisa kritis lagi.
Jika bank diidealkan sebagai lokomotif penarik laju kegiatan usaha masyarakat, kini lokomotif itu justru harus didorong dan ditarik untuk bisa melaju dengan energi yang sangat besar. Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi ‘sumber darah’ bagi perputaran roda perekonomian nasional, hingga Desember 2000 pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 triliun. (Kompas, 29/7/2001).
Untuk membiayai itu semua, pemerintah terpaksa harus mengeluarkan obligasi senilai Rp 659 triliun. Akibatnya, utang pemerintah yang sebelum krisis hanya 55 miliar dolar AS, kini membengkak menjadi 77 miliar dolar AS (utang luar negeri) ditambah Rp 695 triliun (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi rekapitalisasi) dalam waktu tidak sampai 4 tahun terakhir. Utang sebesar itu membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas 100 persen pada akhir 2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia pada 10-25 tahun ke depan akan terus mengalami proses destabilisasi. Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja pemerintah harus mengeluarkan sekitar 4 persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001. Kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12,9 triliun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73,98 triliun pada tahun 2007 dan Rp 138 triliun pada 2018. Biaya ini dibebankan pada APBN, yang berarti rakyat juga yang menanggungnya. Beban bunga obligasi akan semakin menjadi-jadi dengan terus naiknya suku bunga. Untuk diketahui, alokasi dana APBN tahun 2003 untuk membayar bunga saja sudah sebesar Rp 68,5 triliun, lebih besar daripada dana untuk pembangunan yang hanya Rp 68,1 triliun.
Sampai kapan pemerintah akan terus menerus mem-back-up bank-bank konvensional yang nyata-nyata memang telah demikian terpuruk, yang ibarat lokomotif tadi, jangankan untuk menghela gerbong panjang perekonomian nasional, untuk menarik tubuhnya sendiri saja rasanya berat sekali? Berapa banyak lagi uang yang harus digelontorkan untuk itu semua, sementara untuk sekadar menghemat dana subsidi BBM yang paling banyak berjumlah Rp 15 triliun, pemerintah tega menaikkan 30% harga BBM beberapa waktu lalu yang dampaknya sangat memukul perekonomian masyarakat secara keseluruhan?
Argumen yang diajukan biasanya adalah bahwa itu semua merupakan program penyehatan perbankan yang sangat diperlukan sebagai salah satu unsur penting dalam perbaikan ekonomi nasional. Memang, dalam paradigma sistem ekonomi kapitalis, perbankan ribawi itu dianggap sebagai lembaga yang sangat penting dalam menggerakkan sektor usaha. Jika perbankan macet, dunia usaha juga akan macet. Akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi tersendat, pengangguran meningkat karena tidak ada pembukaan lapangan pekerjaan baru, pendapatan masyarakat menurun, dan daya beli menurun. Secara keseluruhan, itu semua akan membuat ekonomi masyarakat juga akan menurun dengan segala dampak buruk ikutannya.
Memang, dalam perekonomian modern seperti saat ini diperlukan lembaga intermediari yang menghubungkan antara unit ecsess of fund dan unit lack of fund untuk berbagai kepentingan transaksi ekonomi. Masalahnya, lembaga intermediari seperti apa? Logikanya, sebagai intermediari, lembaga itu semestinya haruslah cukup kuat, stabil, dan yang paling penting tidak malah menimbulkan atau menambah problem, karena ia hadir justru untuk membantu menyelesaikan problem. Apakah harus berupa bank dengan pola konvensional yang berbasis bunga seperti saat ini? Fakta emprik yang dialami oleh dunia perbankan mutakhir menunjukkan bahwa perbankan konvensional tidak memiliki karakter-karakter seperti yang disebut. Ia ternyata sangat labil dan mudah sekali terserang problem. Negatif-spread yang dialami oleh perbankan nasional hingga membuat sejumlah bank ‘berdarah-darah’ beberapa waktu lalu jelas bukan karena faktor moral hazard semata, tetapi yang utama adalah karena ia bertumpu pada sistem ribawi yang memang bersifat self-destructive. Tegasnya, sistem ribawi itulah yang membuat dunia perbankan terus terpuruk dan tidak pernah stabil. Bagaimana ekonomi akan berjalan baik jika bertumpu pada lembaga intermediari yang tidak stabil?
Ketidakstabilan ini sering disebut dengan random walk, satu istilah statistik yang mengambarkan langkah-langkah yang tidak berpola, persis seperti langkah orang yang sedang mabuk berat. Fenomena seperti ini disebut dalam al-Quran: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. (QS al-Baqarah [2]: 275).
Bukankah orang yang kemasukan setan dan orang yang gila berjalan seperti orang yang mabuk? Artinya, al-Quran ingin mengabarkan bahwa sesungguhnya riba adalah sumber labilitas ekonomi; tidak menolong, tetapi justru memperpuruk perekonomian.
Oleh karena itu, demi tercapainya kondisi perekonomian pada umumnya dan dunia perbankan pada khususnya secara lebih baik, pengelolaan lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah semestinya bukan merupakan salah satu pilihan, melainkan satu-satunya pilihan. Dengan demikian, dalam setiap regulasi, kebijakan pemerintah dan struktur bank sentral hanya tersedia satu pilihan: bank syariah. Artinya, bank syariahlah anak tunggal dunia perbankan Indonesia, menggantikan bank konvensional yang secara normatif jelas terlarang dan secara empirik telah terbukti mempurukkan kita semua.

Khatimah
Walhasil, fatwa MUI tentang haramnya bunga sudah tepat. Sekali lagi, semestinya fatwa MUI ini dijadikan sebagai momentum untuk menata secara mendasar kebijakan perbankan dan lembaga keuangan lainnya di Indonesia. Kalau mau disebut ada yang tidak tepat dari fatwa itu adalah justru masih ditoleransinya keberadaan perbankan konvensional. Dengan melarang semua transaksi ribawi di semua bentuk lembaga keuangan, berarti telah menghilangkan faktor utama penyebab labilitas moneter. Sebaliknya, tetap membiarkan bank-bank konvensional berjalan (sekalipun pada saat yang sama juga beroperasi bank-bank syariah) sama saja memelihara penyakit yang sewaktu-waktu akan memporak-porandakan kembali bangunan tubuh ekonomi Indonesia.
Dengan demikian, tuduhan bahwa fatwa MUI itu kontraproduktif tidaklah tepat. Yang kontraproduktif justru kebijakan yang tetap membolehkan beroperasinya perbankan dan lembaga keuangan konvensional berbasis riba. Tuduhan bahwa fatwa itu dikeluarkan pada saat yang tidak tepat juga tidak benar, karena ini hanya bersifat penegasan dari apa yang diharamkan secara gamblang dalam al-Quran. Bahkan sebenarnya fatwa ini terlambat. Mestinya sejak dulu. Mestinya juga sejak dulu dikembangkan perbankan syariah saja untuk menggantikan bank konvensional sehingga kita tidak perlu mengalami krisis perbankan yang hampir saja menenggelamkan ekonomi negeri ini. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Bahaya Sekularisme

(Pelajaran dari Prancis)

Parlemen Prancis telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) tentang larangan jilbab. Setelah dilakukan voting yang dilakukan pada Selasa (11/02/2004) malam (Rabu dinihari WIB), 494 anggota majelis rendah menyetujui RUU tersebut, sedangkan 36 anggota menolak. Dukungan tersebut berasal dari partai berkuasa pimpinan Presiden Jacques Chirac dan partai oposisi, Partai Sosialis. Selanjutnya, RUU ini akan diserahkan kepada majelis tinggi parlemen (Senat) yang dikuasai oleh Partai UMP pimpinan Chirac, pengusul RUU itu. Meskipun tidak merinci benda-benda yang dilarang, menurut para pakar, hal tersebut bukan hanya dimaknai sebagai jilbab dan janggut, tetapi juga dapat dimaknai tutup kepala Yahudi, salib besar, dan sorban kaum Sikh.

Islam Sasaran Utama
RUU ini sebenarnya lebih ditujukan pada Islam dan umatnya. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal. Pertama, penyebab disusunnya RUU ini merupakan respon atas meningkatnya penggunaan jilbab di kalangan umat Islam negeri tersebut yang jumlahnya mencapai lima juta orang, bukan respon terhadap pemakaian tutup kepala Yahudi atau salib. Jelas sekali, yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir adalah pelarangan jilbab di sekolah. Barulah pada tanggal 11 Desember 2003, Presiden Prancis Jacques Chirac menunjuk tim beranggotakan 20 orang untuk menyusun RUU dan pada tanggal 17 Desember 2003 menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap RUU yang akhirnya disetujui oleh 93,2% anggota parlemen tersebut. Supaya tidak tampak sebagai pengebirian atas keyakinan kaum Muslim, dalam RUU tersebut dipakai kalimat umum: penggunaan pakaian atau simbol-simbol yang menunjukkan pada suatu agama adalah illegal, termasuk jilbab. Pelarangannya bukan hanya di sekolah melainkan di institusi-institusi publik dan tempat umum.
Kedua, dalam al-Quran dan as-Sunnah, jilbab bukanlah sekadar simbol, melainkan kewajiban. Jilbab dan khimar (penutup kepala hingga dada) merupakan pakaian yang diperintahan Allah SWT. Allah SWT berfirman: Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak padanya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-dada mereka. (QS an-Nur [24]: 31).
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzab [33]: 59).
Sejak ayat ini turun, yang biasa tampak pada diri wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Berdasarkan hal ini, pelarangan jilbab merupakan penentangan terhadap kewajiban dari Allah SWT sekaligus merupakan pemerkosaan terhadap hak kaum Muslim untuk menaati Penciptanya.

Bahaya Sekularisme
Dasar dari keluarnya RUU pelarangan jilbab adalah sekularisme. Pada tanggal 17 Desember 2003, Presiden Prancis Jacques Chirac menegaskan bahwa pelarangan tersebut didasarkan pada prinsip sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan bermasyarakat dan negara) yang menjamin kemerdekaan (liberty), persamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity). Hal ini memberikan penegasan bahwa RUU itu lahir dari sekularisme, sekaligus menjelaskan hakikat dari sekularisme tersebut.
Di antara hakikat sekularisme yang tampak nyata dalam kasus RUU tersebut antara lain:
Pertama, kebebasan yang dimaksud dalam sekularisme adalah kebebasan yang dasarnya bukan agama, sedangkan dalam penampakkan keyakinan agama, kebebasan tidak ada. Menutup aurat di sekolah dan tempat-tempat publik dilarang, sebaliknya membuka aurat di tempat-tempat tersebut bebas. Mengapa? Sebab, memamerkan atau menjajakan aurat tidak lahir dari keyakinan agama, sementara menutup aurat lahir dari keyakinan agama. Mengapa pula janggut termasuk yang dilarang, sementara kumis atau bentuk rambut tidak? Alasannya sama, janggut itu lahir dari kepercayaan bahwa itu diajarkan oleh Islam (sekalipun ulama berbeda pendapat tentang hukumnya; ada yang menyatakan mubah, ada pula yang menyatakan sunnah), sementara kumis dan rambut tidak. Jelaslah, kebebasan yang ada dalam sekularisme adalah kebebasan yang antiagama.
Kedua, sekularisme tidak konsisten. Secara rasional, jika membuka aurat bebas semestinya menutupnya pun boleh. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian; membuka aurat bebas sedangkan menutupnya dilarang. Ini menunjukkan ketidakkonsistenan sekularisme. Berbeda dengan Islam. Islam mengajarkan bahwa menutup aurat adalah wajib dan mempertontonkannya adalah haram.
Sekularisme juga menempatkan agama hanya sebagai urusan pribadi dalam masalah spirit, etika, dan moral. Negara, kata mereka, tidak boleh mencampuri urusan agama. Akan tetapi, ketika keyakinan agama itu dimunculkan oleh umat Islam dalam sikapnya, justru negara turut campur; bahkan melalui perundang-undangan. Lagi-lagi, ketidakkonsistenan terjadi. Ketika agama itu sebatas ritual, ia dibiarkan. Sebaliknya, jika agama yang dimaksud adalah Islam sebagai keyakinan hidup, maka prinsip sekularisme pun dilanggar. Bukankah ini menunjukkan bahwa jargon ‘negara tidak mencampuri agama’ tidak berlaku untuk menghadapi keimanan kaum Muslim?
Ketiga, hak asasi manusia (HAM) juga tidak berlaku untuk Islam. Salah satu yang digembar-gemborkan tentang HAM dalam sekularisme adalah kebebasan beragama. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa penampakkan yang didasarkan pada keyakinan agama, khususnya Islam, justru dilarang. Apalagi jika dihubungkan dengan sikap standar ganda negara-negara yang menyebut dirinya sebagai pengusung HAM terhadap Dunia Islam seperti dalam kasus Palestina, Bosnia, Chechnya, Afganistan, Irak, Timika, kasus Timor Timur, dan sebagainya.
Dari sini teranglah bahwa kebebasan beragama dalam sekularisme sebatas pada bebas menganut agama atau tidak menganut agama, tetapi tidak bebas mengimplementasikan keyakinannya itu. Padahal, Islam mengajarkan bahwa iman dan amal harus menyatu; keyakinan harus dibuktikan dalam perbuatan. Dengan demikian, sekularisme sesungguhnya tidak akan pernah memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menjalankan keyakinannya, kecuali hanya sebatas dalam masalah ritual semata.
Keempat, pengambilan keputusan dalam sekularisme dengan sistem politik demokratisnya terbukti sering menjungkirbalikkan hukum Islam. Dalam kasus pelarangan jilbab, hal ini tegas sekali. Dalam keyakinan Mukmin, jilbab adalah perintah yang diwajibkan Allah SWT. Akan tetapi, dalam aturan demokrasi, penetapan hukum tersebut diambil dengan voting. Hasilnya, karena lebih banyak anggota parlemen (93,2%) yang menyetujui pelarangan, hijab/jilbab yang sejatinya wajib menjadi terlarang. Inilah penetapan hukum demokrasi, yang telah menjadikan manusia sebagai penetap halal-haram. Padahal, Allah SWT menegaskan: Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (QS Yusuf [12]: 40).
Itulah sekularisme. Siapapun yang menelaah akidah sekularisme tersebut akan melihat bahwa hal tersebut bersifat umum, bukan hanya khas Prancis.
Berdasarkan kenyataan ini, kaum Muslim seyogyanya semakin memahami bahaya sekularisme terhadap akidah umat dan kehidupannya; juga memahami ketidaklayakan sekularisme sebagai dasar kehidupan. Sekularisme terbukti telah menghalangi kaum Muslim menaati Allah SWT dan menjegal setiap upaya penerapan syariat Islam secara total. Dalam sistem sekularisme umat Islam tidak akan pernah dapat menerapkan Islam secara kaffâh. Bukankan ikan hanya akan dapat hidup dengan bebas, tenang, tenteram dan semestinya di dalam air? Begitu pula kaum Muslim; mereka hanya akan hidup dengan bebas, tenang, dan tenteram dalam ketaatan kepada Allah SWT secara total jika lingkungan dan sistem hidupnya adalah Islam. Sebaliknya, jika keadaannya tetap sekular seperti sekarang, kebebasan, ketenangan, dan ketenteraman dalam menjalankan ketaatan secara total kepada Allah SWT hanyalah angan-angan yang sulit diwujudkan. Karena itu, sudah saatnya sistem kehidupan sekular diganti dengan sistem kehidupan Islam yang menerapkan syariat Islam.

Wahai kaum Muslim,
Ingatlah, Allah Yang Mahagagah telah berfirman: Mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka dapat mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekufuran)—seandainya mereka sanggup. (QS. Al-Baqarah [2]: 217).
Ayat tersebut menginformasikan kepada kita untuk memiliki kepekaan terhadap upaya yang hendak menggiring kita dan anak cucu kita pada kekufuran. Kelalaian terhadap masalah ini menyebabkan kita berdosa di sisi Allah SWT. Karena itu, Rasulullah saw. mengajarkan agar kita menjadi penjaga setiap celah Islam pada posisi masing-masing.

Wahai kaum Muslim,
Hanya dengan Islamlah hidup akan bahagia di dunia dan di akhirat. Hanya dengan Islamlah manusia, baik Muslim maupun non-Muslim dihargai kedudukannya, termasuk terjamin pelaksanaan agamanya. Kita, kaum Muslim, diperintahkan oleh Allah SWT untuk membangun kehidupan ini atas dasar Islam dan ketakwaan. Sebaliknya, kita dilarang membangun kehidupan ini di atas selainnya. Allah SWT mengisyaratkan hal ini: Apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (QS at-Taubah [9]: 109).
Kini jelaslah bahaya sekulerisme, masihkah umat ini diam?

'Islam Berhak Diperlakukan Adil'. (Republika Online , 24/2/2004).
Musuh-musuh Islam tak mungkin bersikap adil pada Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 120 dan 217 ).

21 Mei 2009

Qorodhowi dan Demokrasi


DR.
YUSUF AL-QARDHAWI DAN DEMOKRASI



 


Dr.
Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat bahwa
demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan
pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf
al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar terhadapnya.


 


Dr.
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:


 


"Sesungguhnya
sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi
politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di
dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan
kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua
majelis.


Pemilihan
ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum,
dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak
dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.


"Kekuasaan
yang terpilih" inilah yang akan memiliki otoritas legislatif
untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi
kekuasaan eksekutif atau "pemerintah", menilai, mengkritik,
atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian,
kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan.


Dengan
kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di
tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan.


Bentuk
ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata
Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan
tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif
yang terdapat padanya.


Saya
katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam
memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari
bentuk di atas.


Kekuasaan
terpilih itu tidak memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak
diizinkan oleh Allah Ta'ala. Kekuasaan ini juga tidak boleh
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau
menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mem­punyai kekuasaan
menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah jalla Sya'nuhu.


Manusia
hanya boleh membuat hukum untuk diri mereka sendiri dalam hal yang
diizinkan Allah Ta'ala saja. Artinya, hukum yang mengatur kepentingan
dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu nash tertentu, atau
nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih salah
satu makna dan meng­gunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah
syari'at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi
para pembuat undang-undang.


Oleh
karena itu, harus dikatakan: "Sesungguhnya rakyat merupakan
sumber kekuasaan dalam batas-batas syari'at Islam." Sebagaimana
dalam Majelis Tasyri' (Badan Legislatif) harus ada komisi
khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil
kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai ber­bagai
ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya
dan penyimpangannya dari syar'iat, walaupun sistem demokrasi sendiri
tidak mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan
bahwa agama negara yang dianut adalah Islam.


Kemudian,
para calon wakil rakyat juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki
bekal yang kuat dalam agama dan akhlak serta beberapa ketentuan
lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang kepentingan umum dan lain
sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari seorang
penjahat atau pemabuk atau suka mening­galkan shalat atau orang
yang menganggap enteng agama.


Di
sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang
akan mengemban suatu pekerjaan.


Pertama,
mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di
bidangnya.


Kedua,
amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan
terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta'ala. Itulah yang
diungkapkan oleh al-Qur'an melalui lisan Yusuf as , di mana dia
mengatakan:


قَالَ
اجْعَلْنِي
عَلَى خَزَائِنِ
الْأَرْضِ
إِنِّي حَفِيظٌ
عَلِيمٌ
(55)


"Berkata
Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi ber­pengetahuan. "'
(QS. Yusuf: 55).


 


Juga
dalam kisah Musa as, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua
renta:


 


قَالَتْ
إِحْدَاهُمَا
يَاأَبَتِ
اسْتَأْجِرْهُ
إِنَّ خَيْرَ
مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ
الْأَمِينُ
(26).


"Karena
sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja
(pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. "
(QS.
Al-Qashash: 26).


 


Dengan
demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan
profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan
menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang
dituntut pula untuk keberhasilan­nya.”
[1]


 


Dr.
Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan: "Anehnya,
se­bagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang jelas-jelas
merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata, sedang
mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada
substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan cirinya.


Di
antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa
keputusan (hukum) terhadap sesuatu merupakan bagian dari
pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa meng­hukumi sesuatu
yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara
kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang
tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa
seorang hakim yang memberi ke­putusan dengan didasarkan pada
ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana orang yang
mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi dengan
yang lain.


Lalu
apakah demokrasi yang didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di
dunia, dan diperjuangkan oleh banyak orang, baik di dunia belahan
barat maupun timur, di mana ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya
setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan penguasa tirani,
yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban
manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya,
dan yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana
yang bisa diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta
memotong kuku­kuku politik campur tangan, yang telah banyak
menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi ini mungkar atau kafir,
sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang tidak memahami
sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!"


Sesungguhnya
substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan
mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak
dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh
sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak
menilai dan mengkritik


jika
penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan
penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau
sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka
kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka
menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan
penyiksaan dan pembunuhan."
[2]


 


Sesungguhnya
Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa
kaidah yang menjadi pijakan substansi­nya, tetapi Islam
menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai
dengan pokok-pokok agama mereka, ke­pentingan dunia mereka, serta
perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan
juga pembaharuan keadaan manusia.


 


Kelebihan
demokrasi adalah, bahwa ia mengarahkan di sela­-sela
perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan kaum tirani serta
para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai sekarang
dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari
penindasan kaum tirani.


 


Tidak
ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka
untuk memikirkan bentuk dan cara lain, barang­kali cara baru itu
akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk
mempermudah kepada hal tersebut dan me­realisasikannya ke dalam
realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa
hal dari cara-cara demokrasi guna me­wujudkan keadilan,
permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri
melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi ini.


 


Di
antara kaidah syari'at yang ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang
menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia
itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuan­tujuan syari'at yang
diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mem­punyai sarana
pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai
tujuan tersebut.


 



Tidak
ada satu syari'at pun yang melarang penyerapan pe­mikiran teori
atau praktek empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi saw
sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran "penggalian
parit", padahal strategi tersebut berasal dari strategi bangsa
Parsi.



 



Selain
itu, Rasulullah saw pernah juga mengambil manfaat dari tawanan
musyrikin dalam perang Badar "dari orang-orang yang mampu
membaca dan menulis" untuk mengajarkan baca tulis anak-anak kaum
muslim.in, meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu
adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya,
maka dia yang paling berhak atasnya.



 



Dalam
beberapa buku, saya telah mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita
untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa
memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash
muhkam (yang jelas) dan tidak juga kaidah syari'at yang sudah
baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk
selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita
serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat
dan menghilangkan identitas pertamanya."3
[3]



Ungkapan
seseorang yang mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat
oleh rakyat dan karenanya, harus ditolak prinsip yang menyatakan,
bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah semata, maka ungkapan semacam
itu sama sekali tidak dapat di­terima.



 



Bagi
para penyeru demokrasi tidak perlu harus menolak kekuasaan Allah atas
manusia. Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati
mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka
adalah menolak kediktatoran yang sewenang-­wenang, serta menolak
pemerintahan otoriter terhadap rakyat.



 



Benar,
setiap yang dimaksudkan dengan demokrasi oleh me­reka adalah
memilih pemerintah oleh rakyat sesuai dengan hati nurani mereka,
serta memantau tindakan dan kebijakan mereka,


serta
menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang
undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam: "Jika mereka
memerintahkan untuk berbuat maksiat," dan mereka juga mem­punyai
hak untuk menurtmkan penguasa jika melakukan penyim­pangan dan
berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau p eringatan.
"
[4]



 



Sesungguhnya
undang-undang menetapkan, di samping ber­pegang pada demokrasi,
bahwa agama negara adalah Islam dan bahwasanya syari'at Islam adalah
sumber hukum dan undang­undang, dan yang demikian itu merupakan
penegasan akan ke­kuasaan Allah atau kekuasaan syari'at-Nya, dan
kekuasaan itulah yang memiliki kalimat tertinggi.



 



Dimungkinkan
juga untuk menambahkan pada undang-g­undang materi yang secara
tegas dan lantang menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem
yang bertentangan dengan syari'at yang baku dan permanen, maka
undang-undang itu adalah bathil."
[5]



 


Tidak
ada ruang untuk pemberian suara dalam berbagai hukum pasti dari
syari'at dan juga pokok-pokok agama serta hal­-hal yang wajib
dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada
masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat.
Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal
tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati
suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga
pengeluaran undang-undang untuk me­ngatur lalu lintas jalan raya
atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau
rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut
sebagai "mashalihul mursalah." Atau seperti juga
pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak,
mengharuskan pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan
keadaan darurat atau tidak, atau mem­batasi jabatan Presiden, dan
pembolehan membatasi masa pemilihan atau tidak, demikian seterusnya.


 



Jika
banyak pendapat yang berbeda dalam masalah ini, maka apakah pendapat
itu akan ditinggal menggantung begitu saja, apa­kah ada tarjih
tanpa murajjah (yang diunggulkan)? Ataukah harus ada murajjah?



Sesungguhnya
logika akal, syari'at dan realitas menyatakan harus ada murajjah
(yang diunggulkan), dan yang diunggulkan pada saat terjadi
perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak. Sebab, pendapat dua orang
itu lebih mendekati kebenaran daripada pen­dapat satu orang, dan
dalam hadits disebutkan:



أِنَّ
الشَّيْطَانَ
مَعَ اْلوَاحِدِ
,
وَهُوَ
مِنَ اْلأِثْنَيْنِ
أَبْعَدُ
[6]


"Sesungguhnya,
syaitan itu bersama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua
orang.",
[7]



 



Ungkapan
orang yang menyatakan, bahwa tarjih (pengung­gulan satu
pendapat) itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun
pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh
99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan
oleh syari'at secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan
perselisihan dan tidak mengandung perbedaan atau menerima
pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah yang
dikatakan: “Jama'ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran
meski engkau hanya sendirian."'
[8]



 



Sesungguhnya
petaka pertama yang menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya
adalah sikap mengabaikan terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan
"Khilafah Rasyidah" menjadi "kerajaan penindas"
yang oleh sebagian sahabat disebut "kekaisaran". Artinya,
kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari
berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah ke­padanya. Padahal
semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari
berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya
negara mereka.



 



Apa
yang menimpa Islam, umatnya, serta dakwahnya di zaman modern ini
tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan pemerintahan otoriter yang
bertindak sewenang wenang terhadap umat manusia dengan menggunakan
pedang kekuasaan dan emas­nya, dan tidaklah syari'at dihapuskan,
skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke
barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah
Islam dan ge­rakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para
penganut dan penyerunya dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh
kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa kedok dan terkadang dengan
meng­gunakan kedok demokrasi palsu yang diperintahkan oleh
kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau diarahkan
dari balik layar."
[9]



Di
sini saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) perlu menekankan, bahwa saya bukan
termasuk orang yang suka menggunakan kata-­kata asing, seperti
misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk mengungkapkan
pengertian-pengertian Islam.



 



Tetapi,
jika suatu istilah telah menyebar luas di tengah-tengah umat manusia
dan telah dipergunakan oleh banyak orang, maka kita tidak perlu
menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita harus mengetahui maksud
istilah tersebut, sehingga kita tidak me­mahaminya secara keliru,
atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak dikehendaki
oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita
terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu
datang dari luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab,
poros hukum itu tidak pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan
dan substansinya."
[10]



 



Saya
(Dr. Yusuf al-Qaradhawi) termasuk orang yang me­nuntut demokrasi
dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk
merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di
dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam,
sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke
dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan."
[11]


 


Berkenaan
dengan hal tersebut, dapat penulis katakan: "Dr. Yusuf
al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam
menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang
berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh Dr. Yusuf
al-Qaradhawi dan Jama'ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr.
Yusuf al-Qaradhawi berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan
segenap daya dan upaya.


 


Yang
lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan
hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah Islami yang
sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi ala Barat
meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan keindahan.


 


Jika
kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan bebe­rapa hal yang
sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang
memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya
demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura (permusyawaratan)
misalnya.


 


Dengan
demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali diambil
dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan melakukan
penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara otomatis
menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi sebagai
demokrasi. Dalam hal ini, perum­pamaannya adalah sama dengan
khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada
saat itu tidak lagi disebut se­bagai khamr, tapi disebut cuka.
Demikian pula demokrasi.



Jadi, yang harus
dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan
hukum Islam dengan menerap­kan sistem syura (permusyawaratan)
yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain,
yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.
[12]



 



 A.     
KOMENTAR
JAMAL SULTHAN ATAS FATWA DR. YUSUF AL-QARADHAWI.



 



Ustadz Jamal Sulthan
hafizhahullah mempunyai komentar yang sangat baik terhadap
fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam hal demokrasi. Di sini saya
bermaksud untuk menukilnya agar bisa diambil manfaat oleh para
pembaca, dan agar para pembaca mengetahui titik-titik ketidakbenaran
dari ucapan Dr. Yusuf al­Qaradhawi.



 



Jamal Sulthan mengatakan:
"Masalah ini sangat penting sekali, dan ketika yang
mengungkapkannya adalah seorang pakar fiqih sekaliber Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, maka masalahnya semakin bertambah penting, belum lagi
mimbar yang menjadi tempat penyebaran fatwa yang dibaca tidak kurang
dari satu juta orang berbahasa Arab. Maka pada saat itu, tidak
diragukan lagi bahayanya akan lebih besar, dan dia mempromosikan
dirinya kepada setiap penulis dan pemilik pemikiran.



 



Fatwa dalam format yang
disebarluaskan tidak mempunyai tema sama sekali dan hampir tidak
mempunyai nilai sama sekali, cukuplah bagi anda ketika anda
dihadapkan suatu ungkapan yang anda bisa mengatakan: "itu
benar," bersikap sama seperti halnya ketika anda tidak bisa
mengatakan: "Itu salah!" Namun, sesung­guhnya di sana
ada suatu kerancuan yang aneh, dan beberapa hakikat obyektif dan
histroris yang tidak diketahui Dr. Yusuf al-Qaradhawi, menyebabkan
pembicaraannya terjadi kekeliruan, yang menuntut saya mengkaji cukup
lama untuk mendiskusikan "segi dan pertim­bangan" fatwa
dengan mengharapkan keluasan hati pemberi fatwa tersebut, dan kita
tahu kesungguhan beliau untuk memperoleh kejelasan kebenaran, dimana
pun berada serta perhatiannya yang tulus insya Allah terhadap
berbagai masalah besar yang membuat sibuk generasi muslim pada zaman
sekarang ini.



 


Dalam
fatwa tersebut ditanyakan, sebagaimana yang ditegas­kan oleh
Ustadz Fahmi: "Apakah demokrasi itu kufur?"


Maka,
Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi membuka pembicaraannya dengan
mengatakan: "Sesungguhnya substansi demokrasi adalah memberi­kan
kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan
mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh
penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka
benci. Selain itu, mereka juga harus mem­punyai hak menilai dan
mengkritik jika penguasa melakukan ke­salahan, juga hak opsi jika
penguasa melakukan penyimpangan. Rakyat tidak boleh digiring kepada
aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang
tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui, dan itulah
substansi demokrasi."


 



Kemudian Dr. Yusuf
al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari: "Realitas
menunjukkan, bahwa orang yang mem­perhatikan secara seksama
substansi demokrasi, maka dia akan mendapatkan bahwa ia termasuk dari
konsep Islam."



 



Pendahuluan inilah yang
menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwanya
salah secara keseluruhan. Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah menetapkan,
bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat
untuk memilih pemimpin mereka... dan seterusnya. Inilah salah satu
produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan
dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi
demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi.



Namun, demokrasi secara
substansial adalah pe­nolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem
pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan
atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut
perjalanan se­jarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian
negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama,
hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan
agama.



 



Dengan kata lain, kita
bisa katakan bahwa demokrasi itu ada­lah sisi lain dari
sekularisme, dan di antara dampaknya demokrasi adalah meniadakan
perwalian masing-masing individu umat manusia dari pundak masyarakat.
Sebab, jika kita menolak perwalian agama dan Tuhan untuk kepentingan
rakyat, maka semua perwalian di bawahnya sudah pasti akan tertolak.
Dari sini lahirlah berbagai sarana dan sistem yang mengatur seluk
beluk masyarakat, yang mencegah munculnya kekerasan, penindasan dan
kesewenangan dalam bentuk apa pun, dan itu berlangsung setelah negara
sipil dengan para pemikir dan pendukungnya berhasil merealisasikan
kemenangan akhir atas gereja dan para tokoh agama serta berhasil
mencopot kekuasaan dari mereka, seperti yang diketahui oleh setiap
pengkaji sejarah Eropa modern.



 



Di antara dampak dari
kemenangan akhir bagi gerakan demokrasi ini adalah terhapusnya sifat
kesucian dari semua posisi, masalah dan makna, selama tidak
ditetapkan oleh rakyat sebagai sesuatu yang suci. Yang haram adalah
apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai haram, sedangkan
yang halal adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai
halal, dengan menutup mata dari setiap referensi yang lain, baik yang
bersifat religius maupun yang lainnya. Sebab, jika anda menetapkan
bahwa di sana terdapat referensi syari'at yang berada di atas manusia
atau harus didahulukan sebelum pendapat rakyat, maka dengan demikian
anda telah menggugurkan dasar demokrasi. Karena, jika anda
mengatakan, misalnya "Sesungguhnya masalah ini berdasarkan nash
al-Qur'an, tidak boleh dilakukan oleh manusia, maka dengan demikian,
anda telah menjadikan hukum hanya pada Allah Ta'ala semata, bukan ada
pada rakyat. Selama kekuasaan dan hukum ditarik dari rakyat, maka
berakhirlah kisah demokrasi itu.



Demikian itulah kisah
demokrasi secara ringkas dan ini pula yang menjadi substansinya, yang
diketahui secara pasti oleh Ustadz Fahmi Huwaidi dan aliran
pemikirannya. Dengan demikian, apa­kah kita bisa mengatakan
seperti yang dikatakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Barangsiapa
yang memperhatikan secara seksama terhadap substansi demokrasi,
niscaya dia akan mendapatkan bahwa demokrasi termasuk dari konsep
Islam"
. Atau kita akan mengata­kan seperti yang
dikatakannya pula: "Islam telah mendahului
demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan
bagi substansinya, hanya saja Islam menyerahkan rincian­nya pada
ijtihad kaum muslimin sesuai dengan ajaran agama mereka, kepentingan
dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka."



Yang tampak jelas sekali
dari fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa dia menggambarkan
demokrasi dengan gambaran tertentu yang dia angan-angankan dan
impikan, lalu dia mengeluar­kan fatwanya berdasarkan pada
khayalan yang mempermainkan angan-angannya, bukan pada hakikat
sejarah demokrasi dan obyek­tivitas yang membentuk istilah
demokrasi dalam pemikiran manusia modern.



Barangkali hal yang
sangat jelas menunjukkan hal tersebut adalah ungkapan Dr. Yusuf
al-Qaradhawi dalam fatwanya: "Dan ungkapan
orang yang mengatakan bahwa demokrasi berarti pe­merintahan yang
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga ada keharusan
menolak prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di
tangan Allah, adalah ungkapan yang sama sekali tidak dapat diterima,
karena menyuarakan demokrasi tidak harus menolak kekuasaan tertinggi
berada di tangan Allah atas semua umat manusia. Saya yakin hal
seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru
demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak
kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan yang
menindas rakyat, baik itu penguasa zhalim maupun diktator."



Sebenarnya, saya (Jamal
Sulthan) belum memahami benar ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang
menyatakan: "Hal seperti itu tidak pernah
terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demo­krasi. Tetapi,
yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang
sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap
rakyat."
Apakah dia pernah melakukan penelitian yang
menghasilkan hakikat tersebut? Jika lawannya mengatakan:
"Sesungguhnya hal itu selalu terbersit di dalam hati mayoritas
penyeru demokrasi," lalu siapa yang akan menilai dan
membenar­kan salah satu dari kedua ungkapan tersebut ?



 



Sesungguhnya fatwa
syari'at memerlukan adanya ketelitian dan keakuratan dalam ucapan,
lebih dari sekedar ungkapan yang hanya dilandasi perasaan (misalnya :
“Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit…”
dst –ed). Saya sangat memaklumi Dr. Yusuf al­Qaradhawi
dalam hal kesungguhannya mempertahankan nilai­-nilai keadilan,
kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta
kehormatan mereka. Dalam hal itu, orang seperti dia dan saya
mengetahui betapa kejam cambuk-cambuk para algojo, dan betapa
menyeramkannya pula penjara para penindas. Namun demikian,
pembicaraan masalah keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia
merupakan suatu hal, sedangkan pengaturan istilah pemikiran politik
untuk memberlakukan hukum syari'at terhadap­nya merupakan hal
lain. Sebagaimana realitas terus berada seperti sediakala tidak
berubah seperti yang saya duga. Kita perlu juga merenungi ucapan
Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Orang
muslim yang menyerukan demokrasi pada hakikatnya menyeru kepada­nya
sebagai satu bentuk pemerintahan, yang dapat mewujudkan
prinsip-prinsip politik Islam dalam pemilihan pemimpin, penetapan
musyawarah dan loyalitas, serta penegakan amar ma'ruf nahi munkar,
melawan kezhaliman, menolak kemaksiatan, khususnya jika sampai pada
kekufuran yang jelas yang telah ada bukti dari Allah."



Di sini, saya setuju
sekali dengan Syaikh Dr. Yusuf al-Qara­dhawi mengenai kriteria
yang dikemukakannya mengenai manhaj bagi pemerintahan Islam. Tetapi,
apakah yang mendorong anda untuk meletakkan stempel demokrasi pada
perbincangan ini dan manhaj tersebut? Apakah sebenarnya kesucian yang
dikandung oleh istilah "buatan Barat, perkembangan, sejarah dan
pertikaian­nya" untuk anda pertahankan dengan mati-matian
dan memperindah penampilannya di hadapan kaum muslimin? Hal itu
mengingatkan kita terhadap apa yang meliputi akal pikiran kaum
muslimin pada tahun lima puluhan dan enam puluhan sekitar istilah
"sosialisme ", sehingga mereka menjadikan sosialisme dan
Islam dua sisi satu mata uang. Pengalaman yang sama juga kembali
terjadi sekali lagi pada istilah demokrasi.



 



Sesungguhnya, demokrasi
bukan apa yang anda rinci ber­dasarkan analogi Anda sendiri, atau
dirinci oleh orang lain. Tetapi demokrasi merupakan satu kesatuan
sistem untuk memelihara bangunan sosial. Terserah anda mau
menerimanya atau menolak­nya, lalu mencari manhaj lain yang
melahirkan bagi anda satu istilah lain yang orisinil yang sesuai
dengan `aqidah, agama, sejarah dan kemanusiaan anda.



 


Jika
kita boleh menerima istilah tersebut disertai dengan beberapa
penyesuaian terhadapnya agar sejalan dengan lingkungan kita, lalu
bagaimana pendapat anda mengenai istilah teokrasi, atau yang disebut
dengan "pemerintahan berdasarkan ketuhanan". Kita hanya
akan menjauhkan diri dari monopoli para tokoh agama terhadap
kekuasaan atas nama perwakilan langit sebagaimana yang diketahui oleh
sejarah gereja Eropa, dan tinggallah bagi kita, yaitu menjadikan
hukum Allah yang berkuasa atas umat manusia dan membatasi
perundang-ungangan masyarakat. Pada saat itu, apakah kita bisa
mengatakan bahwa substansi teokrasi yaitu "hukum Allah"
adalah Islam?!


 



Dengan tolok ukur yang
sama, jika anda mengatakan: "Se­sungguhnya demokrasi itu
dari Islam," maka dibenarkan pula untuk mengatakan:
"Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam !!!"



Sedangkan kita akan
mengatakan: "Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya
adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan
(budaya) Barat, hal itu tidak memberikan man­faat bagi kita
sebagai kaum muslimin. Sebab, Islam tidak mengenal pemerintahan
pemuka agama, sebagaimana Islam juga tidak me­ngenal istilah
"surat penebus dosa", dan tidak pula mengenal istilah
pertikaian antara negara sipil dan gereja, atau antara agama dan
negara. Karena, Islam sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan ber­beda
dari Kristen sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan. Hal itu
memperlihatkan kepada kita secara pasti perbedaan berbagai istilah
pemikiran, politik, dan metodologi antara keduanya (Islam dan
Kristen).



 


Permasalahannya
di sini adalah, bahwa sebagian kaum mus­limin berkhayal bahwa
hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, hak suksesi kekuasaan dan
larangan melakukan penindasan di muka bumi merupakan hal-hal yang
diperjuangkan oleh sistem demokrasi bagi masyarakat, di mana tidak
mungkin bagi mereka untuk meng­gambarkan prinsip-prinsip ini
dapat terealisasi di bawah payung istilah lain dalam Islam. Yang
demikian itu merupakan satu ke­salahan yang sangat berbahaya.
Sesungguhnya hak-hak dan prinsip-­prinsip kemanusiaan itu hanya
sekedar dampak dari kelahiran sekularisme atau demokrasi di
masyarakat Eropa. Bersamaan dengan itu mungkin juga memproduksinya,
memeliharanya, dan mem­berlakukannya di masyarakat lain tanpa
melalui jalan sekularisme atau demokrasi.


 



Tetapi, dominasi
pemikiran Barat atas berbagai aliran pe­mikiran dan politik dalam
masyarakat kontemporer, dan tirani yang ditanamkan oleh Eropa ke
dalam akal dan jiwa masyarakat dunia ketiga yang di antara mereka
adalah sebagian kaum muslimin, tidak meninggalkan sedikit kesempatan
pun bagi akal non-Eropa untuk memikirkan orisinalitas atau
mengkhayalkan karya pe­mikiran atau metodologis yang tidak
terpengaruh oleh "kutub Eropa", serta berbagai manhaj dan
istilahnya. Maka sebagian besar usaha-usaha "dunia ketiga"
dalam bidang pemikiran, metodologi dan istilah -yang di antaranya
adalah fatwa ini-, hanyalah sekedar catatan kaki atau catatan akhir
atas matan (isi) yang berasal dari Eropa. Padahal kita -di
lingkungan Islam-, hati nurani Islami me­nolak kecuali mencatat
sikap kehati-hatiannya yang malu-malu itu terhadap demokrasi,
sedangkan berpura-pura tidak mengetahui bahwa sikap kehati-hatian itu
bermakna pada kenyataan obyektifnya sebagai penolakan terhadap
demokrasi, tetapi kita masih terus ngotot untuk mempertahankan
istilah tersebut, meskipun pada hakikatnya, secara obyektif, telah
meninggalkannya.



 



Sesungguhnya Partai
Kupu-Kupu Itali -Partai para pelacur- ­memaksakan dirinya masuk
ke dunia partai, dan sebagian anggo­tanya masuk parlemen Itali,
agar "suara pelacur" cukup untuk membuat berbagai ketetapan
undang-undang baru di dalam masya­rakat, jika semua suara sama.



 



Yang tidak mau diakui
oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa Partai Kupu-Kupu ini
mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda menolak keberadaannya
atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak keikutsertaannya dalam
penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda tidak demokratis, dan
tin­dakan ini melawan demokrasi. Itulah hakikat obyektif, yang
tidak ada alasan bagi anda terhadapnya, serta tidak ada tempat
melarikan diri dari mengakuinya.



 



Benar bahwa anda menolak
hal tersebut, dan saya pun demi­kian. Tetapi, makna hal itu
adalah bahwa kita menolak demokrasi sebagai bingkai sistem bagi
pemerintahan di suatu negara Islam. Tinggallah bagi saya dan anda
mencarikan istilah baru dan sistem baru, yang menyatukan antara agama
dan dunia, syari'at dan ma­syarakat, keadilan dan moral,
kebebasan dan nilai-nilai, hak Allah dan hak hamba, dan semuanya itu
adalah aspek-aspek yang tidak mempunyai hubungan dengan demokrasi.



 



Jangan anda merasa kesal
tuanku (Dr. Yusuf al-Qaradhawi), jika masyarakat Barat menolak
mengakui istilah dan sistem baru anda. Karena mereka memang menolak
agama anda pada dasarnya, sebagaimana logika subyektif dari sistem
demokrasi yang mengatur kehidupannya, mengharuskannya menerima
pluralisme. Yang demikian itu, jika kita berhusnuzhzhan
(berprasangka baik) ter­hadap kesungguhan mereka dalam
memegang segala macam prinsip, apalagi yang menyangkut masalah
hubungan antar negara.



 



Dalam fatwa Syaikh Dr.
Yusuf al-Qaradhawi tentang de­mokrasi, masih terdapat kerancuan
lain, yaitu dalam usahanya melegitimasi beberapa sisi kekuasaan
eksekutif dalam menerapkan demokrasi, di mana sang Doktor
mempromosikannya kepada pemahaman beberapa pemerintah Islam. Lebih
baiknya, kita simak apa yang dikatakan Doktor, kemudian simak juga
komentar kami setelah itu.



 



Dr. Yusuf al-Qaradhawi
mengatakan: "Di antara dalil-dalil menurut
kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan demokrasi adalah prinsip
hasil import dan tidak ada hubungannya dengan Islam, adalah bahwa ia
berdasarkan pada suara mayoritas, serta menganggap suara terbanyak
merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan
mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta
memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai masalah yang
berbeda-beda dengan meng­gunakan pemungutan suara terbanyak dalam
demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat mana pun yang
memenang­kan suara terbanyak secara absolut, atau terbatas pada
beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun
ter­kadang pendapat itu salah dan bathil.



 



Padahal Islam tidak
menggunakan sarana seperti itu dan tidak mentarjih (mengunggulkan)
suatu pendapat atas pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan
pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan
tersebut; Apakah ia salah atau benar? Jika benar, maka ia akan
memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau
bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika
salah,. maka ia akan me­nolaknya, meskipun bersamanya terdapat 99
orang dari 100 orang yang ikut.



 



Bahkan, nash-nash
al-Qur'an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam
kebathilan dan selalu mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang
terdapat dalam firman Allah Ta'ala ini:



وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ
مَنْ فِي الْأَرْضِ
يُضِلُّوكَ
عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ إِنْ
يَتَّبِعُونَ
إِلَّا الظَّنَّ
وَإِنْ هُمْ
إِلَّا يَخْرُصُونَ
(116)


"Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di­muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya."(QS.
Al-An'aam: 116).


Juga
firman-Nya:



وَمَا
أَكْثَرُ النَّاسِ
وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
(103)


"Dan
sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat
menginginkannya." 
(QS. Yusuf: 103).



 



Di dalam al-Qur'an,
dilakukan pengulangan berkali-kali ter­hadap firman-Nya berikut
ini:



وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ
(187)


"Tetapi
kebanyakan manusza tidak mengetahui. "
(QS. AI­A'raaf:
187).


 



Selanjutnya, Syaikh Dr.
Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari hal tersebut
dengan mengatakan: "Ungkapan tersebut sama
sekali tidak dapat diterima, sebab didasarkan pada suatu hal yang
salah.”



 



Seharusnya
kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim;
yang mayoritas mereka dari kalangan orang orang yang berpengetahuan,
berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan
tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah:



Kemudian,
sesungguhnya terdapat beberapa hal yang tidak masuk ke dalam kategori
voting dan tidak dapat diambil suaranya, karena ia termasuk bagian
dari hal yang sudah tetap dan permanen yang tidak dapat diubah
kecuali jika masyarakat itu berubah sendiri dan tidak menjadi muslim
lagi.



Jadi,
tidak ada tempat bagi voting dalam berbagai ketetapan syariat yang
sudah pasti dan juga pokok-pokok agama. Voting itu hanya pada
masalah-masalah ijtihad saja yang bisa mencakup lebih dari satu
pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat
mengenai hal tersebut, jika terdapat berbagai pendapat yang
berbeda-beda mengenai beberapa masalah. Lalu, apakah masalah-masalah
itu akan dibiarkan bergantung begitu saja? Dan apakah ada pemilihan
pendapat tanpa adanya yang diunggul­kan? Ataukah perlu adanya
yang diunggulkan?



 



Logika
akal, syari'at dan realitas menyatakan perlu adanya (orang) yang
dimenangkan. Yang diutamakan pada saat terjadi perbedaan pendapat
adalah jumlah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang itu lebih
mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang. Dalam hadits pun
sudah ditegaskan:


أِنَّ
الشَّيْطَانَ
مَعَ اْلوَاحِدِ
,
وَهُوَ
مِنَ اْلأِثْنَيْنِ
أَبْعَدُ


"Sesungguhnya,
syaitan itu bexsama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua
orang."


 


Ditegaskan
pula, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar
radhiallahu `anhuma:


لَوِ
اْجتَمَعْتُمَا
عَلَى مَشْوَرَةٍ
مَا خَالَفْتُكُمَا


"Jika
kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan
menentang kalian berdua."


 


Demikian
yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Ungkapan Dr. Yusuf
al-Qaradhawi di atas memerlukan ada­nya perincian, karena di
dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang membingungkan.


 


Pertama-tama,
saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qara­dhawi menempatkan
pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka
ucapannya bahwa mereka berpen­dapat "Demokrasi
adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan
dengan Islam".



-       
Apakah Dr.
Yusuf al-Qara­dhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran
yang tidak diimport?



-       
Dan
bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di
dalam buaian sejarah Islam disertai ber­bagai perubahan
peradaban, manhaj, agama dan politik?



-       
Lalu kapan
hal itu terjadi?



-       
Di zaman
apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi ~ sampai pertengahan
abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin?



-       
Serta
apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan
menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun
waktu yang begitu panjang?



 



Saya kira, Dr. Yusuf
al-Qaradhawi tidak seharusnya mem­buka ucapannya dengan kalimat
tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak akan dapat
mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak diimport
dari sistem Eropa. Se­sungguhnya yang menjadi perbedaan pendapat
adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!



Adapun ungkapan Syaikh
Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Se­harusnya
kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim,
yang mayoritas mereka dari kalangan orang­orang yang
berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak
membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari
jalan Allah."


 



Yang demikian itu secara
obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab, demokrasi tidak
mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis nilai yang
dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu orang alim
yang bertindak sewenang-­wenang, Muslim dan Nasrani. Jika saya
katakan: "Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim
tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di
dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas
tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya
anda telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula.
Jelas, itu bukan lagi demokrasi."



 



Demikian juga dengan
ungkapan Syaikh Dr. Yusuf ai-Qara­dhawi: "Kemudian,
di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam voting
dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena semua
itu merupakan bagian dari hal­-hal yang sudah baku dan tidak
dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami
perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi."



 



Perbedaan yang dianggap
aneh oleh Syaikh Dr. Yusuf al­Qaradhawi di sini adalah bahwa
suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak menjadi muslim
lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang demokratis. Tetapi,
jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka dapat dipastikan ia
tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain berupa hal-hal
yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak mungkin untuk
di­tundukkan pada pendapat manusia.


Di
sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada kon­sepsi
Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi.
Di dalam demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus
penguasa, pembuat ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda
mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat
ditundukkan pada voting atau tidak masuk pada ruang voting, maka
dengan demikian anda tidak demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di
sana terdapat beberapa hal pasti dan permanen, baik yang menyangkut
masalah pemikiran, agama, moral, ekonomi atau politik yang tidak akan
dapat diubah, maka pada saat itu anda juga tidak demokratis.


 



Demikian juga ungkapan
Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Jadi , tidak ada
ruang voting dalam berbagai ketetapan syari'at yang sudah pasti,"

maka ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan
anda bahwa di sana terdapat syari'at yang me­merintah di atas
kehendak dan kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan
telak terhadap isi dan substansi demokrasi.



 



Apakah sekarang
gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan
mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan
oleh Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim,
tetapi kesalahan mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu
mengapa- kecuali dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah
dan sistem politik Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah
memper­indah Islam dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan
slogan hasil impor dari Barat ini?



 



Sesungguhnya Islam, wahai
para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi, suci dan lebih lurus dari
demokrasi dan dari segala konsep buatan manusia untuk mengatur
politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu tidak hanya sekedar
untuk membela agama, atau sekedar militansi iman, tetapi yang
demikian itu merupakan ke­yakinan yang teguh dari perjalanan
panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan
perhatian terhadap ber­bagai perubahan sejarah kemanusiaan
terdahulu maupun modern sekarang ini.



 



Saudaraku sekalian,
sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah menimbulkan
kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan hati
nurani generasi muda pemegang panji kebang­kitan Islam yang
diharapkan umat.



 


Mengapa
kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil kon­struktif (yang
berasal dari Islam), yang dengannya kalian membina proyek Islam yang
fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial
Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim
sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun
materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional: "Disembelih
dengan cara Islami?"


 


Wahai
saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, ma­syarakat,
peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum
munculnya demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakat­nya tidak
mengetahui keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban,
permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya,
sebelum menculnya demokrasi?



Jika Islam mengetahui
semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada kami, lalu kembalikan
bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem dan kelembagaan,
telitilah aturan-aturan dan sarana untuk merealisasikannya, serta
lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya berupa istilah-istilah
orisinil dan simbol-­simbol Islami, yang mengekspresikan
keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada melakukan
penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan memalukan di
hadapan kancah pemikiran Eropa modern.



 



Wahai Syaikh Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua sisi mata uang
Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda, berarti dia
telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal tersebut
(demokrasi dan sekularisme) ditolak. Tetapi penolakan terhadap
keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang
hampir menyerupai nilai-nila.i Islam. Merupakan hak rakyat untuk
memilih pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk
melengser­kannya jika menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya
jika melakukan kesalahan, juga mempunyai kebebasan berpendapat, hak
berbeda pendapat, menjaga kehormatan manusia, hak per­putaran
kekuasaan, dan lain-lainnya. Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok
manhaj Islam dalam pemerintahan yang ditetapkan melalui nash
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan tetapi semua­nya itu
merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas dasar-dasar idealis dan
`aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan dan bingkai-­bingkai
sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan
ketentuan-­ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem
bagi politik masyarakat manusia.



 



Wahai Syaikh Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu pula problema
Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang dimunculkan oleh
para propagandis pen­cerahan yang mempunyai pemikiran berlebihan,
yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan umat,
mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami bahwa
mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam semesta.



 



Wahai Syaikh Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh belahan bumi, yang
telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum terpelajar. Saya
meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, "agar Anda
menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya,"
supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah
ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan
kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada
sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya
katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada
umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada
yang lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah
pada permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan
dari Allah semata."'
[13]



 



Perlu penulis katakan:
"Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya kepada demokrasi,
maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan percaya
terhadap segala resikonya, yaitu mun­culnya berbagai partai yang
bersaing untuk kekuasaan."



 







[1]
Al-Huluul al Mustaurida (hal. 77, 78).


[2]
Fataazva'Mu'aashirah (II/637).


[3]
Ibid (II/643).


[4]
Ibid (II/644-645)


[5]
Ibid (II/646).


[6]
HR. At-Tirmidzi, dalam al-Fitan dari `Umar (2166).


[7]
Fataawa' Mu'aashirah (II/647-648).


[8]
Ibid (II/649).


[9]
Ibid (II/649).


[10]
Ibid (II/650).


[11]
Ibid (II/650).



[12]
Bagi yang berminat menambah pengetahuan tentang masalah demokrasi ini
sekallgus mengetahui sisi-sisi negatif dan keburukannya, hendaklah ia
mem­baca risalah al-Islamiyyuun wa Saraabud Demoqrathiyyah
karya `Abdul Ghani (telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
: Fenomena Demokrasi, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam oleh
Abdul Ghany bin Muhammad Ar-rahhal –ed), Haqiiqatud
Demoqrathiyyah
karya Muhammad Syakir asy-Syarif,
ad-Demoqra­thryyah fil Miizaan karya Sa'id Abdul Azhim dan
Khamsuuna Mafsadah jaliyyah min Mafasidid Demoqrathiyyah karya
`Abdul Majid ar-Riimi.


[13]
Jihaaduna ats-Tsaqafi (54-65).