21 Juli 2008

Psikologi Kemauan

BAB I
PENDAHULUAN

Jika kita mau makan karena lapar, cukupkan kita berdiam sambil menunggu ada orang yang datang membawakan makanan? Jika kita mau memiliki penghasilan yang baik, cukupkah kita duduk di rumah menunggu ada orang yang datang membawakan pekerjaan? Jawabnya tentu tidak! Padahal kita yakin Allah Maha Pemberi rezki.
Kesimpulannya, jika kita mau makan, maka kita akan tergerak untuk bangkit mencari jalan agar kita mendapatkan makanan, begitu pula jika kita mau mendapatkan penghasilan. Itulah bedanya antara mau dan kemauan. Sekedar mau makan berarti kita baru sampai pada tahap “mau”, dan itu tidak berarti apa-apa, dia baru akan bermanfaat jika “mau”-nya berubah menjadi “kemauan” yang berbentuk tindakan nyata untuk mewujudkannya.
Namun yang disayangkan “kemauan” tersebut baru kita miliki pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti contoh di atas. Adapun hal-hal yang bersifat ukhrowi, sering “kemauan” kita hanya sebatas “mau” saja.
Jika ditanya kepada kaum muslimin, apakah mereka mau menjadi orang shaleh? Maka semuanya akan menjawab: “Ya”. Namun banyak yang hanya sampai disitu, selebihnya tidak ada tindakan nyata yang dia lakukan untuk mewujudkannya. Dirinya tidak bergerak untuk menempuh sarana atau jalan yang dapat mengantarkan kesana. Pengajian tidak dihadiri, al-Qur’an dan buku-buku Islami tidak pernah dibaca, teman-teman yang shaleh justru dia benci.
Bahkan sebaliknya, jalan-jalan keburukanlah yang dia tempuh. Perkumpulan gosip menjadi hobinya, lagu dan musik menjadi temannya, tontonan dan bacaan porno selalu dicarinya dan berbagai bentuk kegiatan rusak, dialah pelanggannya.
Jika demikian halnya, akankah kemauan seorang muslim untuk menjadi orang saleh akan terwujud?

BAB II
P E MB A H A S A N

Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang dalam hubungan dengan lingkungannya merupakan organisme hidup (‘living organism’) memiliki kemauan, kebutuhan dan keterbatasan kemampuan. Ketiganya bersifat dinamis dan mempunyai arah gerak yang berbeda-beda, terutama kemauan kadang-kadang sulit dikendalikan, sedangkan kebutuhan dan kemampuan bersifat lebih teratur, bergerak gradual sesuai koridor yang membatasinya. Apabila orang dapat mengendalikan kemauannya (‘want’) dan dapat mengarahkannya pada alat-alat yang dianggap dapat mendukung kehidupan, maka kemauannya tersebut akn bergerak mendekati kebutuhan (‘need’).
Alat yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan dikatakan bernilai atau mengandung nilai. Karenanya alat atau benda yang mengandung nilai dicari orang, dibentuk atau diciptakan. Selanjutnya, melalui berbagai upaya, nilai suatu alat atau benda diubah atau ditingkatkan kegunaannya sehingga memiliki nilai tambah (‘value added’).
Dalam menanggapi munculnya kemauan dan kebutuhan, manusia akan menunjukkan reaksi sikap dan perilaku yang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini terutama disebabkan perbedaan tingkat kemampuan dan kondisi lingkungan. Sikap sebagai kecenderungan jiwa mengarah pada potensi dan dorongan menuju pada sesuatu yang dikehendaki yang diaktualisasikan dalam bentuk perilaku (‘behavior’)
Pola berpikir keagamaan yang menyertakan nilai-nilai ukhrawi pada setiap ikhtiar manusia merupakan solusi yang kaffah (‘holistic solution’) dalam mengendalikan gerak kemauan dan kebutuhan yang diselaraskan dengan kemampuan, yang dilandasi pada pengakuan adanya faktor eksternal yang menentukan berupa Rahmah dan InnayahNya. Proses demikian akan menghasilkan tercapainya suatu keseimbangan hidup yang lebih realistis-idealis, sederhana, penuh Ridho dan Maghfirah Allah swt. Kekurang berhasilan atau bahkan sesuatu kegagalan tidak mengurangi potensi dan dorongan untuk menggerakkan proses berikutnya dan keberhasilan akan disyukuri sebagai tambahan input amanah selanjutnya.
A. Kemauan
Kelebihan manusia dibandingkan makhluk lain adalah bahwa manusia memiliki kemauan. Kemauan yang kadang membuatnya jadi istimewa tetapi kadang justru membuatnya celaka. Istimewa karena dengan kemuan yang dimilikinya, manusia dapat membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Sesuai dengan tugasnya sebagai khalifah di bumi, maka sudah sepantasnya manusia memiliki kemauan untuk mengubah keadaan yang buruk menjadi baik dan keadaan yang baik menjadi lebih baik lagi. Di lain pihak, ia bisa membuat celaka jikalau kemauan tersebut tercampuri dengan hawa nafsu di mana hawa nafsu cenderung ke arah kerusakan.
Hanya saja, tidak selamanya kemauan dapat diwujudkan ke dalam kenyataan dengan mudah. Butuh niat dan usaha keras selama proses pencapaian target. Tidak usah yang bera-berat, ambil saja contoh bangun pagi. Sejak sebelum malam tiba seringkali kita sudah berniat mantap bahwa besok harus bangun pagi untuk mengerjakan berbagai macam tugas yang masih menumpuk. Tetapi kenyataannya, begitu ayam berkokok, bahkan matahari sudah menyapa dengan ramahnya, kita masih saja tidur atau lebih tepatnya sengaja tidur.

B. Penyebab Gagalnya Kemauan
Mengapa kemauan yang gagal itu bisa terjadi? Bukan manusia namanya jika tidak ada misteri yang tidak kita ketahui di dalamnya. Menurut pengalaman kami sendiri, tidak tercapainya suatu kemauan yang sebenarnya sudah sangat kita maukan sebelumnya dapat dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu :

• Kurang istiqomah
Kadang kemauan tersebut hanya ada di awal saja, tanpa kita bisa mempertahankannya sampai tercapai. Banyak orang mengatakan bahwa mempertahankan suatu proses yang panjang lebih sulit daripada memulainya. Tetapi sesuatu yang sulit bukan berarti tidak mungkin. Seperti kata pepatah “nothing impossible if we always think possible.”

• Cepat puas
Kecenderungan manusia adalah ia tidak suka atau lebih tepatnya tidak sabar untuk menunggu sesuatu yang lama, meskipun dampak positifnya lebih besar daripada sesuatu yang sedikit. Ibarat kita mau menjadi seorang wirausaha yang sukses, tetapi di awal karier bekerja sebagai karyawan untuk mengumpulkan modal. Tetapi karena kedudukan sebagai karyawan sudah sangat nyaman maka kemauan untuk menjadi pengusaha hilang begitu saja.
• Faktor eksternal
Contoh saja jika kita mau bangun pagi. Sebenarnya kemauan kita sudah sangat kuat dan mantap. Hanya saja pada saat pagi datang dan mata pun sudah terbuka. Kenyamanan di tempat tidur serta dmaunya udara pagi membuat kemauan yang tadinya menggebu-gebu menjadi hilang ditelan embun pagi.
Berbagai macam hambatan akan terpecahkan dengan tekad dan semangat yang muncul dari dalam diri kita. Jangan biarkan sesuatu yang baik di awalnya menjadi sesuatu yang tidak baik di akhirnya. Tak akan ada perubahan tanpa kemauan.
Kita hidup tak bisa lepas dari kemauan. Entah itu kemauan untuk memiliki sesuatu (berupa barang) atau kemauan untuk menjadi sesuatu, ataupun kemauan untuk melihat sesuatu, an masih banyak kemauan-kemauan lainnya. Kemauan adalah fitrah manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan hawa nafsu di dalam dirinya.
Hanya saja kadang kita tidak tahu, dari sekian banyak kemauan yang ada, kemauan manakah yang akan membuat kita bahagia (dalam arti yang sebenarnya) dan mana kemauan yang justru akan membuat kita sengsara. Sebagai contoh ketika kita lapar, maka sudah pasti muncul kemauan untuk memakan sesuatu, atau jika kita haus maka sudah pasti akan muncul kemauan untuk minum. Kemauan yang tidak bisa tidak bisa tidak untuk dipenuhi dapat disebut kebutuhan.
Sementara ada beberapa hal yang kita menginginkan sesuatu tetapi jika tidak terpenuhi pun tidak menjadi masalah. Seperti ketika kita pergi ke toko, atau seupermarket, atau mall dan melihat barang yang di mata kita sangat menarik. Pastilah muncul kemauan untuk membelinya. Tetapi jika kita tidak membelinya pun tidak apa. Dengan demikian kemauan yang semacm ini dapat dikompromikan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Dulu, kemauan seseorang murni datang dari dalam dirinya, tak ada pengaruh luar yang dominan. Sementara keadaan sekarang sangat berubah. Dengan banyaknya papan reklame, iklan di televisi mupun radio, brosur, leaflet, spanduk dan lain sebagainya memunculkan adanya faktor luar yang membuat kemauan seseorang muncul. Seperti iklan suatu produk makanan di televisi. Awalnya mungkin kita tidak punya kemauan untuk mencoba memakannya, bahkan mengenal jenis makanannya saja tidak. Begitu melihat iklan yang sangat menarik di televisi, muncullah kemauan untuk mencoba memakannya. Bukan untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan tetapi justru untuk memenuhi kemauan untuk mengetahui rasanya saja.

C. Mengendalikan Kemauan
Kita perlu mengendalikan setiap kemauan yang muncul dari dalam diri kita. Begitu banyaknya faktor luar yang saat ini sangat gencar menyerang setiap orang yang melihat, mendengar, atau merasakannya membuat kemauan itu seolah bukan datang dari dalam diri kita, bukan kebutuhan kita. Kemauan yang kadang akan membuat kita sengsara di masa yang akan datang.
Kemauan yang baik adalah kemauan yang sudah dipertimbangkan baik dan buruknya terhadap kehidupan kita. Kemauan yang membuat kita semakin dewasa, semakin mendekati kodrat manusia yang seutuhnya. Kemauan yang datang karena kita memang membutuhkannya. Kemauan yang membuat kenyamanan, baik bagi orang yang memilikinya maupun orang lain di sekitarnya.
Kita yang seharusnya mengendalikan kemauan kita bukannya kemauan yang mengendalikan diri kita. Lepasnya kontrol terhadap apa saja yang kita lakukan akan berakibat pada penyesalan di masa yang akan datang. Dan tak ada yang menyangkal bahwa, penyesalan itu selalu mendatangkan sakit hati. Dan seperti kata pepatah “Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati.”

D. Kemauan dan Mau
Jika kita mau makan karena lapar, cukupkan kita berdiam sambil menunggu ada orang yang datang membawakan makanan? Jika kita mau memiliki penghasilan yang baik, cukupkah kita duduk di rumah menunggu ada orang yang datang membawakan pekerjaan? Jawabnya tentu tidak! Padahal kita yakin Allah Maha Pemberi rezki.
Kesimpulannya, jika kita mau makan, maka kita akan tergerak untuk bangkit mencari jalan agar kita mendapatkan makanan, begitu pula jika kita mau mendapatkan penghasilan. Itulah bedanya antara mau dan kemauan. Sekedar mau makan berarti kita baru sampai pada tahap “mau”, dan itu tidak berarti apa-apa, dia baru akan bermanfaat jika “mau”-nya berubah menjadi “kemauan” yang berbentuk tindakan nyata untuk mewujudkannya.
Namun yang disayangkan, “kemauan” tersebut baru kita miliki pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti contoh di atas. Adapun hal-hal yang bersifat ukhrowi, sering “kemauan” kita hanya sebatas “mau” saja.
Jika ditanya kepada kaum muslimin, apakah mereka mau menjadi orang shaleh? Maka semuanya akan menjawab: “Ya”. Namun banyak yang hanya sampai disitu, selebihnya tidak ada tindakan nyata yang dia lakukan untuk mewujudkannya. Dirinya tidak bergerak untuk menempuh sarana atau jalan yang dapat mengantarkan kesana. Pengajian tidak dihadiri, al-Qur’an dan buku-buku Islami tidak pernah dibaca, teman-teman yang shaleh justru dia benci.
Bahkan sebaliknya, jalan-jalan keburukanlah yang dia tempuh. Perkumpulan gosip menjadi hobinya, lagu dan musik menjadi temannya, tontonan dan bacaan porno selalu dicarinya dan berbagai bentuk kegiatan rusak, dialah pelanggannya.
Jika demikian halnya, akankah kemauan seorang muslim untuk menjadi orang saleh akan terwujud? Kata seorang penyair:
Kita mau selamat, namun tidak kita tempuh jalannya Sesungguhnya perahu tidak berjalan di daratan.
Orang yang sekedar “mau” umumnya bersifat pasif, mencari waktu luang, menunggu peluang, minta dipahami, dst. Sementara orang yang punya “kemauan”, umumnya bersifat aktif, meluangkan waktu, mencari peluang, berusaha memahami dan seterusnya.

E. Kemauan Vs Paksaan
Dalam hidup kita, saat ini ataupun suatu saat nanti kita harus bertemu percabangan jalan, dan di titik itulah kita diwajibkan untuk memilih, apakah kita akan ke kiri atau ke kanan, apakah akan ke timur atau ke barat, dan lain sebagainya.
Ya...itulah suatu PILIHAN.
Coba kita simak bersama ilustrasi di bawah ini.
Suatu ketika si Dul yang berada di penghujung masa SMA merasa bingung dengan masa depannya. Ia yang saat SMA mengambil jurusan Ilmu Alam dipaksa oleh bapaknya untuk melanjutkan kuliah ke jurusan kedokteran di suatu PT ternama dengan alasan orang tuanya mau agar saat sudah lulus nanti ia bisa merawat keluarganya saat sakit dan lagipula pekerjaan "menyembuhkan sakit" adalah suatu yang mulia. Di sisi lain, ia yang semasa SMA-nya memang cukup menguasai pelajaran BIologi merasa kurang tertarik untuk menjadi dokter dan berkemauan untuk menjadi seorang engineer yang boleh jadi bisa membuat alat untuk mendukung kegiatan yang bersifat medis. Di node ini, ia harus berpikir keras untuk memutuskan. Jika ia menuruti kemauannya maka ia akan memupuskan harapan orang tuanya, tapi ia tidak mau untuk menjadi dokter.
Sekali lagi, pilihan adalah suatu keniscayaan. Jika Anda dihadapkan dengan pilihan semacam itu, yang mana yang akan saudara pilih?
Inilah suatu hal yang membingungkan kita antara kemauan dan paksaan.

BAB III
K E S I M P U L A N

 Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang dalam hubungan dengan lingkungannya merupakan organisme hidup (‘living organism’) memiliki kemauan, kebutuhan dan keterbatasan kemampuan. Ketiganya bersifat dinamis dan mempunyai arah gerak yang berbeda-beda.
 Kelebihan manusia dibandingkan makhluk lain adalah bahwa manusia memiliki kemauan. Kemauan yang kadang membuatnya jadi istimewa tetapi kadang justru membuatnya celaka. Istimewa karena dengan kemuan yang dimilikinya, manusia dapat membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Di lain pihak, ia bisa membuat celaka jikalau kemauan tersebut tercampuri dengan hawa nafsu di mana hawa nafsu cenderung ke arah kerusakan.
 Tidak tercapainya suatu kemauan yang sebenarnya sudah sangat kita maukan sebelumnya dapat dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu :
• Kurang istiqomah
• Cepat puas
• Faktor eksternal
 Kecenderungan manusia adalah ia tidak suka atau lebih tepatnya tidak sabar untuk menunggu sesuatu yang lama, meskipun dampak positifnya lebih besar daripada sesuatu yang sedikit.
 Kita perlu mengendalikan setiap kemauan yang muncul dari dalam diri kita. Begitu banyaknya faktor luar yang saat ini sangat gencar menyerang setiap orang yang melihat, mendengar, atau merasakannya membuat kemauan itu seolah bukan datang dari dalam diri kita, bukan kebutuhan kita. Kemauan yang kadang akan membuat kita sengsara di masa yang akan dating.
 Kemauan yang baik adalah kemauan yang sudah dipertimbangkan baik dan buruknya terhadap kehidupan kita. Kemauan yang membuat kita semakin dewasa, semakin mendekati kodrat manusia yang seutuhnya.
 Orang yang sekedar “mau” umumnya bersifat pasif, mencari waktu luang, menunggu peluang, minta dipahami, dst. Sementara orang yang punya “kemauan”, umumnya bersifat aktif, meluangkan waktu, mencari peluang, berusaha memahami dan seterusnya.
 Akan muncul nantinya Dalam hidup kita, saat ini ataupun suatu saat nanti kita harus bertemu percabangan jalan, dan di titik itulah kita diwajibkan untuk memilih, apakah kita akan ke kiri atau ke kanan, apakah akan ke timur atau ke barat, dan lain sebagainya. Jadi jalan mana yang akan ditumpuh, apakah jalan yang kita mau atau jalan yang tidak kita mau ?

DAFTAR PUSTAKA

http://adnan-04.blogspot.com/2008/05/kemauan.html
http://thanksfully.multiply.com/reviews/item/7
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/psikologi/index.html
http://nandigramunited.blogspot.com/2008/06/ppiindia-dimana-ada-kemauan-disitu-ada.html
http://xipemai.wordpress.com/2008/05/09/makalah-psikologi-tentang-sifat-sifat-kepribadian-manusia/
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi

Tidak ada komentar: