BAB I
PENDAHULUAN
Penciptaan pemerintahan yang bersih (Clean Government) dan bebas dari praktik korupsi menjadi cita-cita reformasi yang di gelorakan kelompok perubahan hampir sepuluh tahun lalu faktanya, hingga 4 kali berganti kepemimpinan, praktik kejahatan ekonomi itu masih saja ada. Banyak sudah lembaga-lembaga baru didirikan untuk menjadi garda depan pemberantas korupsi, sebut saja komisi pemberantas korupsi, tim pemberantas tindak pidana korupsi (Timtas Tipikor) bentukan porli maupun kejaksaan, sebagai salah satu implementasi dari Undangan-Undangan Nomor 31 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.Hasilnya? Kita masih bisa hitung dengan jari,berapa jumlah kasus korupsi yang bisa sampai kepengadilan hingga jatuh vonis dan menjebloskan pelakunya ke penjara.
Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, khususnya dalam pemberantasan korupsi, tidak bisa hanya mengandalkan lembaga-lembaga tersebut di atas, karena terkadang hidung aparat lembaga itu tak mampu menemukan indikasi praktik korupsi atau bahkan tak mampu mengendus gejala adanya indikasi praktik korupsi.Laporan dari masyarakat malah menjadi andalan mereka untuk memulai penyelidikan. Karenanya, peran serta masyarakat sangat di butuhkan untuk membantu aparat pemberantas korupsi agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya .
Diyakini, peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi dapat mengakhiri peraktik korupsi. Atas peran serta tersebut,masyarakat berhak mendapatkan penghargaan dari pihak atau lembaga yang melakukan penyelidikan. Peraturan pemeintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000 mengatur tentang Tata Cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tak hanya itu, PP tersebut juga mengatur hak dan kewajiban penegak hukum setelah mendapat laporan atau informasi saran dan pendapat tentang dugaan tindak pidana korupsi dari masyarakat
BAB II
MASYARAKAT ANTI KORUPSI
A. Peran Masyarakat Sipil Menanggulangi Korupsi
Penanggulangan korupsi sudah menjadi agenda global. Bagi Indonesia, yang dipersepsi sebagai negara terkotup di Asia (Survey PERC 2004) atau terkorup ke II dari 133 negara di dunia (CPI Transparency International), isu anti korupsi sudah lama menjadi agenda reformasi nasional. Berbagai penguatan kerangka hukum dan institusional di bangun, seperti UU Antikorupsi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTK) dan sebagainya.
Namun pemberantasan korupsi di Indonesia ini ternyata tidak bisa diperankan semata oleh para elite politik dan aparat pemerintahan saja (eksekutif, legislative dan yudikatif), mengingat penyakit ini sudah berurat berakar dan menjangkiti berbagai sendi pemerintahan. Sebagai mana pengalaman di negara lain di dunia, peran masyarakat sipil baik secara terorganisir maupun individual yang berintegritas, diharpkan mampu mendorong perubahan ini pada percepatan dan hasil-hasil yang nyata. “korupsi paling merajalela terjadi dalam pengadaan barang/jasa publik” menurut Donald Stromboom (mantan) Word Bank Consultants, hasil survey Transparency International.
a. Kebocoran dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Suatu fakta yang kerap luput dari perhatian rakyat banyak adalah bahwa praktek korupsi terbesar dan paling merajalela terjadi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah (public procurement). Dalam perkiraan Bank Dunia tahun 2001, setiap tahunnya lebih dari 10 miliar Dollar Amerika atau sekitar 85 triliun Rupiah anggaran Pemerintah pusat. Baik untuk belanja rutin maupun proyek-proyek pembangunan, dibelanjakan melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Bila benar apa yang disinyalir BPKP dan berbagai studi korupsi, bahwa dari pembelanjaan tersebut terjadi kebocoran rata-rata 30%, maka dari keuangan pemerintah pusat saja potensi kebocoran bisa mencapai minimal 25 triliun Rupiah! Angka yang fantastis ini belum lagi termasuk potensi kebocoran anggaran pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan milik negara, yang jumlahnya jauh lebih besar lagi.
Kobocoran tersebut bisa terjadi adalam berbagai bentuk, transaksi yang tidak efisien karena salah urus atau terjadi penggelembungan harga sebagai hasil persekongkolan yang selisihnya diselewengkan ke kantung-kantung pribadi. Bentuk lain bisa berupa manipulasi spesifikasi barang/jasa yang di serahkan, sehingga dapat menimbulkan marjin haram yang dinikmati pengusaha maupun menjadi suap bagi oknum pejabat atau pengelola proyek pemerintah. Dengan berbagai pola penyimpangan, modus operandi korupsi dan persekongkolan ini akibatnya jelas, pemborosan asset negara yang notabene adalah uang rakyat yang diamanarkan untuk dikelola pejabat publik melalui administrasi pemerintahan.
b. Kerugian bagi rakyat
Hilangnya sumber daya ekonomi sedemikian besar tentunya menghambat peluang bagi rakyat untuk lepas dari jerat kemiskinan dan memperoleh peningkatan taraf hidup yang lebih baik di bidang pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Modal fisik dan infrastruktur terancam cepat rusak Karena buruknya pengelolaan proyek-proyek pemerintah.
Korupsi juga merusak modal sosial, karena menjalar menjadi sesuatu hal yang ‘biasa’ atau kelaziman yang harus diterima dalam kehidupan masyarakat. Modal politik tergerus oleh meningkatnya ketidakpercayaan rakyat pada administrasi pemerintahan. Demikian pula ketidakpercayaan investor yang berdampak seretnya suntikan modal bagi bisnis yang dapat mendorong pembanguna kawasan.
c. Kelemahan sistematik dan upaya perbaikan
Kebocoran dalam pengadaan barang/jasa pemerintah bisa jadi merupakan akibat mismanajemen yang parah, atau bisa juga merupakan bagian dari korupsi sistemik yang merajalela dalam berbagai sektor dan struktur pemerintah Indonesia. Korupsi yang di sinyalir oleh UNDP sebagai penyakit yang kait mengait dalam berbagai sektor tatapemerintahan, meliputi adminitrasi publik, legislative, yudikatif, dunia usha dan sebagainnya. Bukan saja menjadi persoalan hukum dan politik, juga menjadi persoalan manajemen pemerintah, ekonomi, sosial bahkan etika. Semua berurat berakar menjadi belenggu yang sukar diurai atau diputus (Holloway, Memecah Belenggu Korupsi Sistemik).
Demikian pula halnya dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ini. Ranah dimana pemerintah dan dunia usaha bertransaksi ini selama beberapa dekade luput dari perhatian masyarakat banyak. Sebuah studi Bank Dunia yang dituangkan dalam Country Procurement Asessment Report (CPAR) 2001, mengungkapkan berbagai masalah yang bersifat structural dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia.
Dalam studi tersebut, sistem pengadaan barang/jasa pemerintah dinilai tidak berfungsi denga seharusnya. Berbagai kondisi yang didentifikasikan sebagai penyebab masalah ini, dapat dikelompokan menjadi :
o Kelemahan kerangka hukum dan kelembagaan. Peraturan yang kurang lengkap dan tumpang tindih dan tidak adanya peraturan yang cukup tinggi, setingkat undang-undang, masih dianggap menjadi masalah dalam kerangka hukum ini. Demikian pula tidak ada lembaga pemerintah khusus yang menyusun kebijakan atau regulasi dan memantau pelaksanaannya.
o Kelemahan kapasitas pengelola pengadaan barang/jasa pemerintah. Kurangnya pejabat publik yang mempunyai kualitas pengetahuan dan keterampilan memadai, membuat manajemen pengadaan barang/jasa pemerintah kerap tidak mencapai hasil yang optimal. Kebutuhan akan sumber daya manusia ini bahkan semakin besar dalam era otonomi daerah dimana kegiatan pembangunan termasuk proses pengadaan barang/jasanya didelegasikan ke berbagai pemerintah daerah.
o Kelemahan kepatuhan terhadap peraturan, pengawasan dan penegakkannya. Pengabaian atau pelanggaran terhadap aturan yang mengatur sistem dan prosedur, bisa jadi merupakan kelalaian. Namun bisa juga merupakan bagian dari suatu penyalahgunaan wewenang plus persekongkolan secara sistematis demi keuntungan prbadi maupun kelompok. Keduanya merugikan rakyat yang menitipkan asset dan amanat itu kepada pejabat publik yang mengelola administrasi pemerintahan. Pengawasan dan penegakkan aturan yang tidak efektif semakin menyuburkan praktek-praktek pelanggaran ini.
Atas indentifikasi berbagai masalah ini, pemerintah Indonesia telah mulai mengadakan langkah-langkah sebagaimana direkomendasikan studi ini. Misalnya revisi Keputusan Presiden (Keppres) No.18 Tahun 2000 dengan Keppres No. 80 Tahun 2003. suatu sistem pendidikan dan sertifikasi profesi pengadaan barang/jasa publik juga mulai dikembangkan. Suatu lembaga pemerintah semacam National Public Procurement Office juga akan dibentuk. Studi tersebut juga merekomendasikan untuk meningkatkan peran masyarakat sipil dan pemantauan masyarakat sipil terhadap pengadaan barang/jasa pemerintah.
B. Peran Masarakat Sipil
Dalam upaya memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa pemerintah, sekaligus meretas belenggu korupsi sistemik di dalamnya, tidak akan cukup bergantung pada inisiatif dan peranserta pemerintah (eksekutif, legislative, yudikatif), tanpa partisipasi aktif rakyat atau berbagai komponen masyarakat sipil. Demikian pula halnya dalam pembenahan sistem dan praktek pengadaan barang/jasa pemerintah ini. Sebagai pengalaman dari beberapa dekade lalu, fungsi pengawasan internal, fungsi dan structural pemerintah tidak kunjung memadai membendung merajalelanya korupsi. Apalagi dalam paradigma baru tatapemeritahan (governance), dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ini masyarakat sipil adalah salah satu stakeholer, yaitu penerima manafaat (beneficiaries) disamping pemerintah sebagai pengguna (user) dan perusahaan swasta sebagai penyedia (provider).
Organisasi masyrakat sipil, jurnalis media massa cetak dan elektronik, organisasi sosial, keagamaan, masyarakat /lembaga akademik, kaum professional, pranata tradisional/adat, forum warga dan sebagainya merupakan komponen masyarakat sipil yang seyogianya berperan dalam pengembangan tatapemerintahan, termasuk menaggulangi penyakit korupsi.
Beberapa peran yang dapat dikembangkan masyarakat sipil termasuk,
o Partisipasi aktif dalam pembangunan kerangka hukum dan kebijakan publik melalui fungsi sosialisasi dan konsultasi. Misalnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat dalam undang-undang, peraturan pemerintah pusat, peraturan pemerintah daerah (Perda) yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Termasuk juga memperjuangkan penegakan perinsip-perinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam kerangka peraturan tersebut.
o Peran pengawasan, yang dikenal dalam undang-undang sebagai fungsi ‘ pengawasan masyarakat’ dalam mengelola pengadaan barang/jasa di instansi-instansi pemerintah tingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota. Peran aktif masyarakat dalam pengawasan ini diharapkan dapat mencega berkembangnya penyimpangan, menekan peluang atau memperbesar resiko korupsi. Peran ini dapat diwujudkan misalnya, dengan mempertanyakan penyimpangan tersebut kepada instansi yang bersangkutan, dan bila tidak mendapat tanggapan yang memuaskan, melaporkan kepada :
• pimpinan instansi bersangkutan atau atasan yang lebih tinggi;
• aparat pengawas internal seperti BPKP dan Inspektorat;
• DPR atau DPRD yang mempunyai fungsi pengawasan dan pemerintahan;
• Lembaga penyelidik dan penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya;
• Lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam advokasi atau pengawasan pemerintah dan/atau pers.
a. Tantangan
Namun dalam pengembangan perannya, beberapa masalh masih menghadang bagi masyarakat sipil, di antaranya ;
o Resistensi dari oknum beebagai institusi pemerintah ditingkat pusat maupun daerah terhadap peran dan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan. Hal ini banyak terjadi pada hal yang bersifat mendasar, sebagai prinsip tranparansi dan akuntabilitas dengan menutup akses informasi kepada masyarakat sipil, yang secara tegas dan eksplisit diatur dalam peraturan mengenai pengadaan barang/jaa pemerintah.
o Lemahnya kapasitas masyarakat sipil. Kelemahan ini bisa terdapat pada tingkat individual, kelembagaan maupun structural atau lingkungan tatapemerintahan. Hal ini termasuk kurangnya perhatian, minat dan perhatian masyarakat terhadap isu tatapemerintahan di tinglkat pusat maupun local, sampai pengetahuan tetang kerangka peraturan serta keterampilan dalam melakukan pemantauan dan menindak lanjuti temuan penyimpangan. Padahal secara langsung maupun tidak, isu tatapemerintahan ini mempengaruhi hajat hisup mereka. Kelemahan kapasitas masyarakat ini juga termasuk pengelolan dan sumberdaya masyarakat sipil dalam mengorganisasikan agenda-agenda tata kepemerintahan.
C. Tata Cara Peran Serta
Setiap orang berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi, serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada penegak hukum (polisi,jaksa,hakim,advokat). Dalam pasal 1,ayat 1,PP Nomor 71 Tahun 2000 di sebutkan peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya bahkan setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi yang menangani perkara tindak pidana korupsi, seperti juga tercantum dalam pasal 2 ayat 1 peraturan pemerintah tersebut.
Namun demikian, dalam ayat 2-nya (masih pasal 2 )di katakan, penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau pemintaan informasi harus dilakukan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.
Informasi yang di maksud juga harus dapat di pertanggung jawabkan, sehingga dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 juga mensyaratkan informasi, saran, dan pendapat dari masyarakat tentang tindak pidana korupsi harus di sampaikan secara tertulis, di sertai dengan data pelapor yang lengkap, seperti nama dan alamat. Data pelaku dugaan tindak pidana korupsi juga harus di lampirkan, seperti di syaratkan dalam pasal 3 ayat 1 huruf b.
D. Hak dan Kewajiban
Penegak hukum berkewajiban memberikan pelayanan dan jawaban atas informasi, saran dan pendapat yang di sampaikan, seperti di atur dalam pasal 4 ayat 1 peraturan pemerintah tersebut dan penegak hukum wajib memberikan jawaban secara lisan ataupun tertulis paling lambat 30 hari setelah informasi, saran dan pendapat diterima(pasal 4ayat 2). Terkait peran serta itu,masyarakat sebagai pelapor berhak mendapatkan perlindungan hukum dari penegak hukum seperti diatur dalam pasal 5 dan pasal 6 peraturan pemerintah dimaksud.
E. Penghargaan
Atas peran serta memberikan informasi, saran dan pendapat itu,masyarakat berhak mendapatkan penghargaan atas upaya pencegahan dan membantu pemberantasan tindak pidana korupsi” setiap orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, yang telah berjasa dalam uaha pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak pendapatkan penghargaan “(pasal 7 ayat 1 ).
Penghargaan tersebut tidak harus berupa materi, bisa juga berupa piagam penghargaan. Ayat 2 dalam pasal 7 mengatakan, penghargaan dapat berupa piagam atau premi. Besarnya premi di tetapkan paling banyak 2 permil dari nilai kerugian negara yang di kembalikan dan di berikan kepada pelapor setelah putusan pengadilan yang memidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 11).
Meski diatur hak dan kewajiban serta pemberian penghargaan, masyarakat di tuntut konsekuen dan bertanggung jawab dalam menggunakan hak dan kewajibannya di dalam hukum,tidak asal melapor dan memfitnah orang.
F. Peran Lain
Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak sebatas seperti yang di ungkapkan dalam PP Nomor 71 / 2000.Banyak serta dan dukungan lain yang bisa dilakukan masyarakat dalam kaitan itu.
Dalam buku Mengenali dan Memberantas Korupsi yang di terbitkan komisi memberantas korupsi (KPK), di sebutkan dukungan lain yang bisa diberikan masyarakat, misalnya, mengasingkan dan menolak keberadaan koruptor memboikot dan memasukan nama koruptor dalam daftar hitam, dan tidak memilih pejabat dan pemimpin yang terlibat korupsi.
Dalam upaya pencegahan, bisa di lakukan dengan melakukan pengawasan dan mendukung terciptanya lingkungan yang anti korupsi, melaporkan gratifikasi, melaporkan bila terjadi penyelewengan dan penyelenggaraan negara dan berani melakukan kesaksian dalam pemeriksaan perkara korupsi, serta mendukung proses hukum, baik terhadap orang lain (termasuk kerabatnya) maupun terhadap diri sendiri
BAB III
KESIMPULAN
Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, khususnya dalam pemberantasan korupsi, tidak bisa hanya mengandalkan lembaga-lembaga pemerintahan, karena terkadang hidung aparat lembaga itu tak mampu menemukan indikasi praktik korupsi atau bahkan tak mampu mengendus gejala adanya indikasi praktik korupsi. Laporan dari masyarakat malah menjadi andalan mereka untuk memulai penyelidikan. Karenanya, peran serta masyarakat sangat di butuhkan untuk membantu aparat pemberantas korupsi agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya .
Indonesia, dipersepsi sebagai negara terkorup di Asia (Survey PERC 2004) atau terkorup ke II dari 133 negara di dunia (CPI Transparency International)
Sebagai mana pengalaman di negara lain di dunia, peran masyarakat sipil baik secara terorganisir maupun individual yang berintegritas, diharpkan mampu mendorong perubahan ini pada percepatan dan hasil-hasil yang nyata dalam pemberantasan korupsi.
Suatu fakta yang kerap luput dari perhatian rakyat banyak adalah bahwa praktek korupsi terbesar dan paling merajalela terjadi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah (public procurement).
Korupsi juga merusak modal sosial, karena menjalar menjadi sesuatu hal yang ‘biasa’ atau kelaziman yang harus diterima dalam kehidupan masyarakat. Modal politik tergerus oleh meningkatnya ketidakpercayaan rakyat pada administrasi pemerintahan.
Dalam upaya memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa pemerintah, sekaligus meretas belenggu korupsi sistemik di dalamnya, tidak akan cukup bergantung pada inisiatif dan peranserta pemerintah (eksekutif, legislative, yudikatif), tanpa partisipasi aktif rakyat atau berbagai komponen masyarakat sipil.
Beberapa peran yang dapat dikembangkan masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi antara lain ;
o Partisipasi aktif
o Peran pengawasan
Peran pengawasan dapat diwujudkan misalnya, dengan mempertanyakan penyimpangan tersebut kepada instansi yang bersangkutan, dan bila tidak mendapat tanggapan yang memuaskan, melaporkan kepada :
• pimpinan instansi bersangkutan atau atasan yang lebih tinggi;
• aparat pengawas internal seperti BPKP dan Inspektorat;
• DPR atau DPRD
• Lembaga penyelidik dan penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya;
• Lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam advokasi atau pengawasan pemerintah dan/atau pers.
Dalam pasal 1,ayat 1,PP Nomor 71 Tahun 2000 di sebutkan peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penegak hukum berkewajiban memberikan pelayanan dan jawaban atas informasi, saran dan pendapat yang di sampaikan, seperti di atur dalam pasal 4 ayat 1 peraturan pemerintah tersebut dan penegak hukum wajib memberikan jawaban secara lisan ataupun tertulis paling lambat 30 hari setelah informasi, saran dan pendapat diterima(pasal 4ayat 2)
Dalam buku Mengenali dan Memberantas Korupsi yang di terbitkan komisi memberantas korupsi (KPK), di sebutkan dukungan lain yang bisa diberikan masyarakat, misalnya, mengasingkan dan menolak keberadaan koruptor memboikot dan memasukan nama koruptor dalam daftar hitam, dan tidak memilih pejabat dan pemimpin yang terlibat korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com/default.asp
http://www.iprocwatch.org/
http://apindonesia.com/new/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=36
http://www.qbheadlines.com/index.php?cat=2
http://forum.ti.or.id/
http://www.transparansi.or.id/main.html
http://www.banten.go.id/index.php?link=isi&id=299&nama=Menara+Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar