BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan pendidikan di Negara – Negara berkembang seperti di Asia, Amerika Latin dan Afrika mempunyai kondisi yang hampir sama satu sama lain. Mulai dari masyarakatnya yang kemampuan daya beli atau tingkat perekonomiannya masih cukup rendah. Hal ini menjadi fenomena tersendiri pada masayarkat Negara berkembang, ini juga dipertambah kompleks permasalahannya yaitu jumlah penduduknya yang cenderung cukup besar dibanding dengan Negara – Negara yang sudah maju. Untuk menuju Negara yang memiliki kualitas masyarakatnya berkualitas dan produktif seperti Negara maju maka diantara solusi atau jalan keluarnya adalah mengubah dunia pendidikan dii Negara tersebut, karena dengan tingkat pendidikan yang meningkat maka akan lahir generasi – generasi masa depan yang unggul memiliki kualitas untuk melahirkan kreatifitas-kreatifitas membangun negaranya. pendidikan adalah jendela informasi dunia, bila ingin meraih atau mewujudkan impian dan cita-cita melalui proses pendidikan.
Kita akan melihat bagaimana yang terjadi di Negara kita “ Indonesia “, Negara yang sudah 63 tahun merdeka ini dalam perjalanannya. Kita dapat melihat para Founding Father Bangsa Indonesia mempunyai latar belakang pendidikan masa kolonial atau masa penjajahan Belanda, tentunya mereka mengenyam metode, konsep pendidikan Belanda.Baik di peroleh di dalam negeri atapun di luar negeri, hal ini sangat mempengaruhi konsep dan metode pendidikan di Indonesia pada awal-awal kemerdekaannnya. Ketika diawal perjalanan Bangsa Indonesia khusus di Asia Tenggara memiliki sumber daya manusia yang cukup banyak, karena saat itu cukup banyak alumni hasil pendidikan masa kolonial Belanda, ini hal posistif yang didapat oleh bangsa di Indonesia selama 350 tahun dijajah oleh Belanda khususnya ini terjadi di awal tahun 1900-an, sehingga terbuka cakrawala berfikir Bangsa Indonesia terhadap dunia luar yaitu melalui pendidikan. Saat Malaysia merdeka sekitar tahun 1950, mereka justru belum siap dengan sumber daya manusia yang berkualitas secara pendidikan, Malaysia pun banyak mendatangkan tenaga pengajar atau pendidik dari Indonesia.
Pemerintah Indonesia sangat memperhatikan pentingnya pendidikan untuk masayarkatnya, di antara upaya pemerintah yaitu di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimuat didalamnya hak setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan (pengajaran) dan penghidupan yang layak. Ini mengandung arti bahwa memperoleh pendidikan adalah suatu hal yang asasi dalam diri manusia yang merdeka dan juga di jamin atau ditanggung oleh Negara bagi mereka yang tidak mampu. Upaya-upaya ini menunjukan bahwa sangat begitu pentingnya pendidikan, sungguh kita dapat melihat para founding father bangsa Indonesia adalah tokoh-tokoh yang berpendidikan, sehingga menggoreskan tinta emas perjalanan bangsa yang besar ini menuju cita-cita bangsa ini menjadi bangsa yang sejahtera, adil dan kemerdekaan akan sulit untuk menjadi bangsa yang besar dan maju. Kemerdekaan adalah hak asasi setiap bangsa di dunia ini.
BAB II
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA KOLONIAL BELANDA
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma.
Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasarkan peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasarkan rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajarannya pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan system numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya tambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
Berdiri tahun 1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
(1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu;
(2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial;
(3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.;
(4) pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Era ini sesungguhnya telah memperoleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara.
Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (180 di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon.
Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan.Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles.
Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie.
Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda.Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang memperoleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri.
Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan.Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892).
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda.Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”.
Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah:
(1) pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan;
(2) pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan memperoleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) pendidikan tinggi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Ketika diawal perjalanan Bangsa Indonesia khusus di Asia Tenggara memiliki sumber daya manusia yang cukup banyak, karena saat itu cukup banyak alumni hasil pendidikan masa kolonial Belanda, ini hal posistif yang didapat oleh bangsa di Indonesia selama 350 tahun dijajah oleh Belanda khususnya ini terjadi di awal tahun 1900-an, sehingga terbuka cakrawala berfikir Bangsa Indonesia terhadap dunia luar yaitu melalui pendidikan.
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie).
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
• Pendidikan dasar
• Sekolah Latin
• Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
• Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
• Sekolah Cina
• Pendidikan Islam
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk.
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda.Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) pendidikan tinggi.
Saran kami, sepertinya stake holder pendidikan sekarang masih tetap berkiblat dengan pola lama. Tidak mampu melihat lebih jauh keragaman bangsa yang dibangun atas dasar keragaman budaya di archipelago Nusantara ini. Justru karisma sesosok Suwardi Suryaningrat sesungguhnya lebih mengedepankan pruralisme pendidikan diberbagai daerah, namun sayang terlanjur dinikmati oleh segelintir elit untuk kepentingan sentralisasi segala bidang. Semangat demokrasi yang sesungguhnya sudah tidak bisa ditunda lagi untuk generasi pendidikan sekarang dan masa depan. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia mestinya berorientasi pada ajaran agama Islam. Pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dan rasulNya, akhlak mulia, beridisiplin tinggi, bijaksana, dapat berdiri sendiri, bertanggung jawab, cerdas dan trampil, sehat jasmani, dan rohani, aktif dan kreatif, cermat dan teliti, sabar serta menyerah diri pada ketetapan Allah SWT.
DAFTAR REFERENSI
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-penjajahan-belanda/
http://www.sekolahrakyat.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=50
http://phadli23.multiply.com/journal
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0408/16/utama/
http://priandoyo.wordpress.com/
http://elfarid.multiply.com/journal/item/574/Pendidikan_Adalah_Hak_Anak_Bangsa
http://wewaits.wordpress.com/2008/05/03/jika-pendidikan-adalah-pilihan/
http://kawansejati.ee.itb.ac.id/perbedaan-antara-pendidikan-dan-pengajaran
http://www.penulislepas.com/v2/?p=206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar