BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu proses modernisasi, suatu proses perubahan yang direncanakan, melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai sosial dan kebudayaan secara integratif. Atas dasar ini, semua fihak, apakah tokoh ? Tokoh masyarakat, formal atau non-formal, anggota masyarakat lainnya, apakah dalam skala individual atau pun dalam skala kelompok, seyogianya memahami dan menyadari, bahwa, manakala salah satu aspek atau unsur sosial atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsur-unsur lainnya mesti menghadapi dan mengharmonisikan kondisinya dengan unsur-unsur lain yang telah berubah terlebih dulu.
Oleh karena itu mesti memahami dan menyadari bahwa sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan ada yang berkualifikasi norma (norm) dan nilai (value). Di mana norma skala keberlakuannya tergantung pada aspek waktu, ruang (tempat, dan kelompok sosial yang bersangkutan; sedangkan nilai (value) skala keberlakuannya lebih universal. Dalam tatanan masyarakat yang maju atau modern, maka nilai-nilai sosial dan kultural yang bersifat universal mendominasi dan mengisi semua mosaik kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
BAB II
PERUBAHAN SOSIAL
A. Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Perubahan sosial terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.
B. Orientasi Perubahan
Yang dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.
Tidaklah jarang, bahwa tokoh-tokoh dan ungkapan-ungkapan yang bernuansa seni sastra pada masa lampau, baik suatu fenomena yang bernuansa imajinasi, yang ditampilkan oleh berbagai bentuk ceritera rakyat atau folklore. Semuanya lazim menyadarkan atau menampilkan nilai-nilai keteladanan, baik dalam aspek gagasan, aspek pengorganisasian dan kegiatan sosial, maupun dalam aspek-aspek kebendaan. Aspek-aspek ini senantiasa dimuati oleh nilai-nilai kearifan dan kebijakan yang memberikan acuan bagaimana orang mesti berfikir, berasa, berkarsa dan berkarya dalam upaya bertanggung jawab pada dirinya, pada sesamanya, dan pada lingkungannya, serta pada Sang Khalik Yang Maha Murbeng Alam ini. Nilai-nilai seperti inilah yang menjadi nuansa-nuansa dalam membagun kepribadian atau jatidiri sebagian besar masyarakat atau suatu kelompok bangsa dimanapun mereka berada.
Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang membutuhkannya.
Precedent dari suatu proses perubahan sosial tidak mesti diorientasikan pada isu kemajuan atau progress semata, sebab tidaklah mustahil bahwa proses perubahan sosial itu justru mengarah ke isu kemunduran atau kearah suatu regress, atau mungkin mengarah pada suatu degradasi pada sejumlah aspek atau nilai kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan. Suatu proses regresi atau kemunduran dan degradasi (luntur atau berkurangnya suatu derajat atau kualifikasi bentuk-bentuk atau niali-nilai dalam masyarakat), tidak hanya suatu arah atau orientasi perubahan secara linier, tetapi tidak jarang terjadi karena justru sebagai dampak sampingan dari keberhasilan suatu proses perubahan. Sebagai contoh perubahan aspek iptek, dari iptek yang bersahaja ke iptek yang modern (maju), mungkin menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada unsur-unsur atau nilai-nilai yang tengah berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, yang sering disebut sebagai culture-shock atau kejutan-kejutan budaya yang terjadi pada tatanan kehidupan suatu masyarakat yang tengah menghadapi berbagai perubahan.
C. Modernisasi Sebagai Kasus Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.
Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.
Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan kompleks.
BAB III
PERUBAHAN SOSIAL DAN REVOLUSI
Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Bertolak belakang dengan perspektif tersebut, revolusi merupakan sebuah bentuk perubahan sosial yang berlangsung cepat. Revolusi merupakan wujud perubahan sosial yang spektakuler. Tulisan ini mencoba membandingkan berbagai perspektif tentang revolusi, antara lain yang disampaikan oleh Sztompka, Wertheim, Eisenstadt dan Horowitz.
A. Revolusi Sebagai Puncak Perubahan Sosial
Sztompka memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Revolusi mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Wajah pertama menggambarkan revolusi sebagai sebuah mitos, sedangkan wajah kedua memberikan gambaran revolusi sebagai sebuah konsep dan bahkan teori dalam ilmu sosiologi. Kedua wajah ini mempunyai kesaling terkaitan bahkan dialektika diantara keduanya menjadi suatu bentuk kewajaran.
Konsep revolusi pada awalnya merujuk pada pengertian gerakan melingkar pada benda langit. Tidak mengherankan apabila kita mengenal istilah revolusi bumi terhadap matahari. Namun kemudian penggunaan konsep revolusi juga menyentuh pada bidang sosial politik. Perkembangan selanjutnya memberikan gagasan tentang pentingnya revolusi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih “sempurna”. Marx menggunakan konsep revolusi sebagai alat untuk menumbangkan dominasi kapitalis dan sebagai landasan untuk membangun masyarakat komunis.
Secara berangsur-angsur, mitos revolusi mengalami kemunduran. Ini terjadi tidak lepas dari “kegagalan” revolusi itu sendiri. Revolusi dipandang sebagai suatu proses yang tidak pernah berakhir. Tatanan kehidupan yang lebih baik seperti yang dijanjikan tidak dapat terwujud. Sejarah telah membuktikan bahwa sebagian besar revolusi menghasilkan bentuk ketidakadilan, ketimpangan, eksploitasi dan penindasan yang lebih parah. Selain itu revolusi seringkali harus diiringi dengan tindak kekerasan, peperangan dan kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa tidak sedikit. Revolusi dianggap sebagai sebuah bencana dibandingkan sebagai sebuah usaha penyelamatan kehidupan manusia.
Konsep revolusi dapat dibahas dalam dua perspektif, yaitu filsafat sejarah dan sosiologi. Konsep revolusi berdaarkan filsafat sejarah mempunyai ari sebagai bentuk terobosan radikal terhadap kesinambungan jalannya sejarah. Perspektif sosiologi memandang revolusi sebagai bentuk penggunaan kekuatan massa terhadap penguasa untuk melakukan perubahan mendasar dan terus-menerus. Revolusi dapat dianggap sebagai upaya membentuk ulang sejarah dengan menggunakan kekuatan krativitas manusia.
Kedua perspektif tersebut turut mempengaruhi pendefinisian konsep revolusi hingga pada akhirnya mengerucut pada tiga kelompok. Revolusi dapat diartikan sebagai lawan dari pembaruan. Perhatian utamanya adalah pada proses transformasi fundamental masyarakat. Selain itu, revolusi dapat dimaknai sebagai lawan dari evolusi. Tekanan yang diberikan adalah pada penggunaan kekerasan, perjuangan dan kecepatan perubahan yang terjadi.
Terdapat empat aliran dalam teori revolusi, yaitu tindakan, psikologi, struktural dan politik. Aliran tindakan disampaikan oleh Sorokin yang menitikberatkan pengamatan pada peran tindakan individu dalam revolusi. Secara garis besar terdapat dua kondisi yang mendorong terjadinya revolusi, yaitu tekanan dari bawah dan kelemahan dari atas. Aliran psikologi mengabaikan tindakan reflek atau naluriah dan beralih pada bidang orientasi sikap dan motivasi. Teori struktural memusatkan pada tingkat struktur makro dengan mengabaikan faktor psikologi.
B. Revolusi dan Emansipasi
Sebuah pertanyaan awal yang dilontarkan oleh Wertheim tentang revolusi dan pemberontakan dapat dijadikan bahan diskusi menarik. Revolusi merupakan bentuk penumbangan kekuasaan yang seringkali berwujud kekerasan atau pemberontakan. Namun demikian tidaklah tepat apabila kita memberikan definisi yang sama antara revolusi dan pemberontakan. Revolusi dapat berupa pemberontakan atau peperangan, namun tidak berarti revolusi adalah peperangan dan pemberontakan.
Revolusi selalu memiliki tujuan fundamental untuk menumbangkan kekuasaan masyarakat atau susunan kekuasaan yang bercokol, sedangkan semua jenis gangguan keamanan seperti kerusuhan atau pemberontakan hanya merupakan bentuk perlawanan kepada penguasa yang bertujuan menggeser atau mencopot kedudukan mereka.
Tekanan utama Wertheim dalam memahami konsep revolusi adalah tujuan fundamentalnya untuk merubah susunan masyarakat yang berlaku. Perubahan susunan masyarakat ini menjadi sebuah keharusan bagi lapisan bawah untuk menghapus ketimpangan struktur yang terjadi. Perubahan stuktur kekuasaan seringkali harus dilakukan dengan kekerasan. Hal inilah yang seringkali menimbulkan kerancuan antara revolusi dan pemberontakan. Konsep revolusi memberikan kita pemahaman pada sebuah proses perubahan yang berlangsung sangat cepat dan fundamental. Suatu yang berbeda dengan konsep evolusi.
C. Revolusi dan Transformasi Masyarakat
Revolusi oleh Eisenstadt dipahami sebagai kondisi dan keadaan bagaimana konflik antar elit atau kelas, frustasi atau memuncaknya pengharapan dan sebagainya. Kondisi ini menimbulkan apa yang seringkali disebut sebagai revolusi dan transformasi sosial. Revolusi menimbulkan kemerosotan dan disintegrasi suatu rezim atau kekuasaan sekaligus juga dapat menimbulkan perubahan dan transformasi sosial secara meluas. Konflik sosial, pemberontakan, perubahan dan transformasi merupakan suatu yang inheren dalam masyarakat, namun kombinasi tiap komponen tindakan sosial yang ada pada sebuah revolusi merupakan proses yang unik dari berlangsungnya perubahan dan transformasi sosial.
Revolusi telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat modern. Pengalaman-pengalaman proses revolusi telah melahirkan asumsi dasar pemikiran sosial politik yang berguna dalam analisis sosiologi modern tentang perubahan sosial. Pengalaman revolusi di Eropa membawa dampak pada citra yang melekat pada konsep revolusi. Revolusi ala Eropa dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia dan dianggap sebagai model yang paling tepat untuk melakukan perubahan sosial secara fundamental dan cepat.
Revolusi seringkali digambarkan dalam beberapa komponen, diantaranya kekerasan, pembaharuan dan perubahan yang menyeluruh. Proses revolusi dipahami sebagai proses yang amat luar biasa, sangat kasar dan merupakan gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan sosial lainnya. Revolusi terjadi sebagai akibat adanya penyimpangan sosial atau ketimpangan yang sangat fundamental. Telaah konflik antar kelas menjadi kajian yang menarik dalam revolusi.
Revolusi membawa dampak pada perubahan melalui kekerasan terhadap rezim politik yang ada. Perubahan ini dilakukan melalui penggantian elit politik atau kelas yang berkuasa. Perubahan secara mendasar pada berbagai bidang kelembagaan yang ada. Hubungan dengan sistem lama seolah-olah diputuskan secara radikal. Revolusi juga membawa pengaruh pada bangkitnya kekuatan ideologis dan orientasi kebangkitan mengenai gambaran revolusioner. Hal ini menggambarkan bahwa revolusi tidak hanya membawa transformasi kelembagaan melainkan juga perubahan terhadap sistem pendidikan dan moral sehingga mewujudkan “manusia baru”.
D. Perubahan Sosial Membentuk Revolusi
Berbagai konsep revolusi yang telah disampaikan didepan mempunyai sebuah gagasan yang sama yaitu sebagai bentuk perubahan sosial yang dahsyat dan bersifat fundamental dalam merubah tatanan masyarakat dalam waktu yang relatif cepat. Terdapat faktor pencetus yang menyebabkan revolusi dapat berjalan dalam suatu masyarakat. Berbagai teori menyampaikan pendapatnya tentang faktor penyebab ini, namun kesemuanya dapat disimpulkan sebagai sebuah hasil dari ketidakadilan dalam masyarakat. Kondisi ketidakadilan atau penyimpangan inilah yang melahirkan semangat revolusi. Akibat dari revolusi secara garis besar dapat dilihat dari tumbangnya penguasa lama dan digantikannya oleh tatanan penguasa baru. Selain merubah tatanan kepemimpinan, revolusi mampu merubah segala aspek kehidupan masyarakat.
Faktor Pembeda Sztompka Wertheim Eisenstadt Horowitz
Pembatasan konsep revolusi Mengungkapkan adanya dua wajah revolusi, yaitu mitos dan teori. Sztompka memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial. Mengungkapkan perbedaan antara revolusi dengan pemberontakan. Tekanan utama dalam memahami konsep revolusi adalah tujuan fundamentalnya untuk merubah susunan masyarakat yang berlaku. Revolusi dipahami sebagai kondisi dan keadaan bagaimana konflik antar elit atau kelas, frustasi atau memuncaknya pengharapan dan sebagainya. Revolusi dipahami sebagai represi. Represi ini diakibatkan oleh tekanan yang kuat sebagai akibat hubungan antara dunia dan dunia ketiga, sehingga dunia ketiga berkeinginan untuk membebaskan diri kungkungan dunia pertama.
Unit analisis Meso (negara) Meso (negara) Mezo (negara) Makro (dunia)
Faktor penyebab revolusi Terdapat empat aliran dalam teori revolusi, yaitu tindakan, psikologi, struktural dan politik. Aspek situasional, faktor ekonomi, faktor sosial, faktor politik, faktor psikologis dan faktor pemicu Sejarah alami, teori psikologi, krisis rezim. Ketimpangan struktur ekonomi antar negara.
BAB IV
KESIMPULAN
Perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Yang dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau.
Precedent dari suatu proses perubahan sosial tidak mesti diorientasikan pada isu kemajuan atau progress semata, sebab tidaklah mustahil bahwa proses perubahan sosial itu justru mengarah ke isu kemunduran atau kearah suatu regress, atau mungkin mengarah pada suatu degradasi pada sejumlah aspek atau nilai kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia.
Sztompka memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat.
Revolusi selalu memiliki tujuan fundamental untuk menumbangkan kekuasaan masyarakat atau susunan kekuasaan yang bercokol, sedangkan semua jenis gangguan keamanan seperti kerusuhan atau pemberontakan hanya merupakan bentuk perlawanan kepada penguasa yang bertujuan menggeser atau mencopot kedudukan mereka.
Berbagai konsep revolusi yang telah disampaikan didepan mempunyai sebuah gagasan yang sama yaitu sebagai bentuk perubahan sosial yang dahsyat dan bersifat fundamental dalam merubah tatanan masyarakat dalam waktu yang relatif cepat.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya
http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi
http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/revolusi-dan-perubahan-sosial/
http://mgmpips.wordpress.com/2007/03/05/proses-perubahan-sosial-budaya/
http://yoeswibi.blogspot.com/2007/09/perubahan-sosial-dan-pasang-surutnya_19.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar