29 September 2008

Qardhawi dan Demokrasi

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar terhadapnya.



Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:



"Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis.

Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.

"Kekuasaan yang terpilih" inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau "pemerintah", menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan.

Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan.

Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya.

Saya katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.

Kekuasaan terpilih itu tidak memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta'ala. Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mem­punyai kekuasaan menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah jalla Sya'nuhu.

Manusia hanya boleh membuat hukum untuk diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta'ala saja. Artinya, hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih salah satu makna dan meng­gunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syari'at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi para pembuat undang-undang.

Oleh karena itu, harus dikatakan: "Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas syari'at Islam." Sebagaimana dalam Majelis Tasyri' (Badan Legislatif) harus ada komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai ber­bagai ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan penyimpangannya dari syar'iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa agama negara yang dianut adalah Islam.

Kemudian, para calon wakil rakyat juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama dan akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari seorang penjahat atau pemabuk atau suka mening­galkan shalat atau orang yang menganggap enteng agama.

Di sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu pekerjaan.

Pertama, mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di bidangnya.

Kedua, amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta'ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur'an melalui lisan Yusuf as , di mana dia mengatakan:

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ(55)

"Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi ber­pengetahuan. "' (QS. Yusuf: 55).



Juga dalam kisah Musa as, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua renta:



قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ(26).

"Karena sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. " (QS. Al-Qashash: 26).



Dengan demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilan­nya.”[1]



Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan: "Anehnya, se­bagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata, sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan cirinya.

Di antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan (hukum) terhadap sesuatu merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa meng­hukumi sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang memberi ke­putusan dengan didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi dengan yang lain.

Lalu apakah demokrasi yang didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan oleh banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan penguasa tirani, yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kuku­kuku politik campur tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!"

Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik

jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan."[2]



Sesungguhnya Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan substansi­nya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka, ke­pentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan manusia.



Kelebihan demokrasi adalah, bahwa ia mengarahkan di sela­-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari penindasan kaum tirani.



Tidak ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara lain, barang­kali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan me­realisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna me­wujudkan keadilan, permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi ini.



Di antara kaidah syari'at yang ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuan­tujuan syari'at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mem­punyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai tujuan tersebut.



Tidak ada satu syari'at pun yang melarang penyerapan pe­mikiran teori atau praktek empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi saw sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran "penggalian parit", padahal strategi tersebut berasal dari strategi bangsa Parsi.



Selain itu, Rasulullah saw pernah juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar "dari orang-orang yang mampu membaca dan menulis" untuk mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslim.in, meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya, maka dia yang paling berhak atasnya.



Dalam beberapa buku, saya telah mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam (yang jelas) dan tidak juga kaidah syari'at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya."3[3]

Ungkapan seseorang yang mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya, harus ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat di­terima.



Bagi para penyeru demokrasi tidak perlu harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-­wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.



Benar, setiap yang dimaksudkan dengan demokrasi oleh me­reka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan mereka,

serta menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam: "Jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat," dan mereka juga mem­punyai hak untuk menurtmkan penguasa jika melakukan penyim­pangan dan berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau p eringatan. "[4]



Sesungguhnya undang-undang menetapkan, di samping ber­pegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah Islam dan bahwasanya syari'at Islam adalah sumber hukum dan undang­undang, dan yang demikian itu merupakan penegasan akan ke­kuasaan Allah atau kekuasaan syari'at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat tertinggi.



Dimungkinkan juga untuk menambahkan pada undang-g­undang materi yang secara tegas dan lantang menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan syari'at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil."[5]



Tidak ada ruang untuk pemberian suara dalam berbagai hukum pasti dari syari'at dan juga pokok-pokok agama serta hal­-hal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga pengeluaran undang-undang untuk me­ngatur lalu lintas jalan raya atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai "mashalihul mursalah." Atau seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau tidak, atau mem­batasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa pemilihan atau tidak, demikian seterusnya.



Jika banyak pendapat yang berbeda dalam masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung begitu saja, apa­kah ada tarjih tanpa murajjah (yang diunggulkan)? Ataukah harus ada murajjah?

Sesungguhnya logika akal, syari'at dan realitas menyatakan harus ada murajjah (yang diunggulkan), dan yang diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pen­dapat satu orang, dan dalam hadits disebutkan:

أِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ اْلوَاحِدِ, وَهُوَ مِنَ اْلأِثْنَيْنِ أَبْعَدُ[6]

"Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang.",[7]



Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa tarjih (pengung­gulan satu pendapat) itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh 99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari'at secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak mengandung perbedaan atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah yang dikatakan: “Jama'ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran meski engkau hanya sendirian."'[8]



Sesungguhnya petaka pertama yang menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan "Khilafah Rasyidah" menjadi "kerajaan penindas" yang oleh sebagian sahabat disebut "kekaisaran". Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah ke­padanya. Padahal semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya negara mereka.



Apa yang menimpa Islam, umatnya, serta dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang wenang terhadap umat manusia dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emas­nya, dan tidaklah syari'at dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan ge­rakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa kedok dan terkadang dengan meng­gunakan kedok demokrasi palsu yang diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau diarahkan dari balik layar."[9]

Di sini saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan kata-­kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk mengungkapkan pengertian-pengertian Islam.



Tetapi, jika suatu istilah telah menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh banyak orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita tidak me­mahaminya secara keliru, atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya."[10]



Saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) termasuk orang yang me­nuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam, sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan."[11]



Berkenaan dengan hal tersebut, dapat penulis katakan: "Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan Jama'ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan upaya.



Yang lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan keindahan.



Jika kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan bebe­rapa hal yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura (permusyawaratan) misalnya.



Dengan demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perum­pamaannya adalah sama dengan khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada saat itu tidak lagi disebut se­bagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian pula demokrasi.

Jadi, yang harus dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan hukum Islam dengan menerap­kan sistem syura (permusyawaratan) yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.[12]



A. KOMENTAR JAMAL SULTHAN ATAS FATWA DR. YUSUF AL-QARADHAWI.



Ustadz Jamal Sulthan hafizhahullah mempunyai komentar yang sangat baik terhadap fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam hal demokrasi. Di sini saya bermaksud untuk menukilnya agar bisa diambil manfaat oleh para pembaca, dan agar para pembaca mengetahui titik-titik ketidakbenaran dari ucapan Dr. Yusuf al­Qaradhawi.



Jamal Sulthan mengatakan: "Masalah ini sangat penting sekali, dan ketika yang mengungkapkannya adalah seorang pakar fiqih sekaliber Dr. Yusuf al-Qaradhawi, maka masalahnya semakin bertambah penting, belum lagi mimbar yang menjadi tempat penyebaran fatwa yang dibaca tidak kurang dari satu juta orang berbahasa Arab. Maka pada saat itu, tidak diragukan lagi bahayanya akan lebih besar, dan dia mempromosikan dirinya kepada setiap penulis dan pemilik pemikiran.



Fatwa dalam format yang disebarluaskan tidak mempunyai tema sama sekali dan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, cukuplah bagi anda ketika anda dihadapkan suatu ungkapan yang anda bisa mengatakan: "itu benar," bersikap sama seperti halnya ketika anda tidak bisa mengatakan: "Itu salah!" Namun, sesung­guhnya di sana ada suatu kerancuan yang aneh, dan beberapa hakikat obyektif dan histroris yang tidak diketahui Dr. Yusuf al-Qaradhawi, menyebabkan pembicaraannya terjadi kekeliruan, yang menuntut saya mengkaji cukup lama untuk mendiskusikan "segi dan pertim­bangan" fatwa dengan mengharapkan keluasan hati pemberi fatwa tersebut, dan kita tahu kesungguhan beliau untuk memperoleh kejelasan kebenaran, dimana pun berada serta perhatiannya yang tulus insya Allah terhadap berbagai masalah besar yang membuat sibuk generasi muslim pada zaman sekarang ini.



Dalam fatwa tersebut ditanyakan, sebagaimana yang ditegas­kan oleh Ustadz Fahmi: "Apakah demokrasi itu kufur?"

Maka, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi membuka pembicaraannya dengan mengatakan: "Sesungguhnya substansi demokrasi adalah memberi­kan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mem­punyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan ke­salahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan. Rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui, dan itulah substansi demokrasi."



Kemudian Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari: "Realitas menunjukkan, bahwa orang yang mem­perhatikan secara seksama substansi demokrasi, maka dia akan mendapatkan bahwa ia termasuk dari konsep Islam."



Pendahuluan inilah yang menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwanya salah secara keseluruhan. Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah menetapkan, bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka... dan seterusnya. Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi.

Namun, demokrasi secara substansial adalah pe­nolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut perjalanan se­jarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan agama.



Dengan kata lain, kita bisa katakan bahwa demokrasi itu ada­lah sisi lain dari sekularisme, dan di antara dampaknya demokrasi adalah meniadakan perwalian masing-masing individu umat manusia dari pundak masyarakat. Sebab, jika kita menolak perwalian agama dan Tuhan untuk kepentingan rakyat, maka semua perwalian di bawahnya sudah pasti akan tertolak. Dari sini lahirlah berbagai sarana dan sistem yang mengatur seluk beluk masyarakat, yang mencegah munculnya kekerasan, penindasan dan kesewenangan dalam bentuk apa pun, dan itu berlangsung setelah negara sipil dengan para pemikir dan pendukungnya berhasil merealisasikan kemenangan akhir atas gereja dan para tokoh agama serta berhasil mencopot kekuasaan dari mereka, seperti yang diketahui oleh setiap pengkaji sejarah Eropa modern.



Di antara dampak dari kemenangan akhir bagi gerakan demokrasi ini adalah terhapusnya sifat kesucian dari semua posisi, masalah dan makna, selama tidak ditetapkan oleh rakyat sebagai sesuatu yang suci. Yang haram adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai haram, sedangkan yang halal adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai halal, dengan menutup mata dari setiap referensi yang lain, baik yang bersifat religius maupun yang lainnya. Sebab, jika anda menetapkan bahwa di sana terdapat referensi syari'at yang berada di atas manusia atau harus didahulukan sebelum pendapat rakyat, maka dengan demikian anda telah menggugurkan dasar demokrasi. Karena, jika anda mengatakan, misalnya "Sesungguhnya masalah ini berdasarkan nash al-Qur'an, tidak boleh dilakukan oleh manusia, maka dengan demikian, anda telah menjadikan hukum hanya pada Allah Ta'ala semata, bukan ada pada rakyat. Selama kekuasaan dan hukum ditarik dari rakyat, maka berakhirlah kisah demokrasi itu.

Demikian itulah kisah demokrasi secara ringkas dan ini pula yang menjadi substansinya, yang diketahui secara pasti oleh Ustadz Fahmi Huwaidi dan aliran pemikirannya. Dengan demikian, apa­kah kita bisa mengatakan seperti yang dikatakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Barangsiapa yang memperhatikan secara seksama terhadap substansi demokrasi, niscaya dia akan mendapatkan bahwa demokrasi termasuk dari konsep Islam". Atau kita akan mengata­kan seperti yang dikatakannya pula: "Islam telah mendahului demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan bagi substansinya, hanya saja Islam menyerahkan rincian­nya pada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan ajaran agama mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka."

Yang tampak jelas sekali dari fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa dia menggambarkan demokrasi dengan gambaran tertentu yang dia angan-angankan dan impikan, lalu dia mengeluar­kan fatwanya berdasarkan pada khayalan yang mempermainkan angan-angannya, bukan pada hakikat sejarah demokrasi dan obyek­tivitas yang membentuk istilah demokrasi dalam pemikiran manusia modern.

Barangkali hal yang sangat jelas menunjukkan hal tersebut adalah ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya: "Dan ungkapan orang yang mengatakan bahwa demokrasi berarti pe­merintahan yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga ada keharusan menolak prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah, adalah ungkapan yang sama sekali tidak dapat diterima, karena menyuarakan demokrasi tidak harus menolak kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah atas semua umat manusia. Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan yang menindas rakyat, baik itu penguasa zhalim maupun diktator."

Sebenarnya, saya (Jamal Sulthan) belum memahami benar ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan: "Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demo­krasi. Tetapi, yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat." Apakah dia pernah melakukan penelitian yang menghasilkan hakikat tersebut? Jika lawannya mengatakan: "Sesungguhnya hal itu selalu terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi," lalu siapa yang akan menilai dan membenar­kan salah satu dari kedua ungkapan tersebut ?



Sesungguhnya fatwa syari'at memerlukan adanya ketelitian dan keakuratan dalam ucapan, lebih dari sekedar ungkapan yang hanya dilandasi perasaan (misalnya : “Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit…” dst –ed). Saya sangat memaklumi Dr. Yusuf al­Qaradhawi dalam hal kesungguhannya mempertahankan nilai­-nilai keadilan, kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta kehormatan mereka. Dalam hal itu, orang seperti dia dan saya mengetahui betapa kejam cambuk-cambuk para algojo, dan betapa menyeramkannya pula penjara para penindas. Namun demikian, pembicaraan masalah keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia merupakan suatu hal, sedangkan pengaturan istilah pemikiran politik untuk memberlakukan hukum syari'at terhadap­nya merupakan hal lain. Sebagaimana realitas terus berada seperti sediakala tidak berubah seperti yang saya duga. Kita perlu juga merenungi ucapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Orang muslim yang menyerukan demokrasi pada hakikatnya menyeru kepada­nya sebagai satu bentuk pemerintahan, yang dapat mewujudkan prinsip-prinsip politik Islam dalam pemilihan pemimpin, penetapan musyawarah dan loyalitas, serta penegakan amar ma'ruf nahi munkar, melawan kezhaliman, menolak kemaksiatan, khususnya jika sampai pada kekufuran yang jelas yang telah ada bukti dari Allah."

Di sini, saya setuju sekali dengan Syaikh Dr. Yusuf al-Qara­dhawi mengenai kriteria yang dikemukakannya mengenai manhaj bagi pemerintahan Islam. Tetapi, apakah yang mendorong anda untuk meletakkan stempel demokrasi pada perbincangan ini dan manhaj tersebut? Apakah sebenarnya kesucian yang dikandung oleh istilah "buatan Barat, perkembangan, sejarah dan pertikaian­nya" untuk anda pertahankan dengan mati-matian dan memperindah penampilannya di hadapan kaum muslimin? Hal itu mengingatkan kita terhadap apa yang meliputi akal pikiran kaum muslimin pada tahun lima puluhan dan enam puluhan sekitar istilah "sosialisme ", sehingga mereka menjadikan sosialisme dan Islam dua sisi satu mata uang. Pengalaman yang sama juga kembali terjadi sekali lagi pada istilah demokrasi.



Sesungguhnya, demokrasi bukan apa yang anda rinci ber­dasarkan analogi Anda sendiri, atau dirinci oleh orang lain. Tetapi demokrasi merupakan satu kesatuan sistem untuk memelihara bangunan sosial. Terserah anda mau menerimanya atau menolak­nya, lalu mencari manhaj lain yang melahirkan bagi anda satu istilah lain yang orisinil yang sesuai dengan `aqidah, agama, sejarah dan kemanusiaan anda.



Jika kita boleh menerima istilah tersebut disertai dengan beberapa penyesuaian terhadapnya agar sejalan dengan lingkungan kita, lalu bagaimana pendapat anda mengenai istilah teokrasi, atau yang disebut dengan "pemerintahan berdasarkan ketuhanan". Kita hanya akan menjauhkan diri dari monopoli para tokoh agama terhadap kekuasaan atas nama perwakilan langit sebagaimana yang diketahui oleh sejarah gereja Eropa, dan tinggallah bagi kita, yaitu menjadikan hukum Allah yang berkuasa atas umat manusia dan membatasi perundang-ungangan masyarakat. Pada saat itu, apakah kita bisa mengatakan bahwa substansi teokrasi yaitu "hukum Allah" adalah Islam?!



Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan: "Se­sungguhnya demokrasi itu dari Islam," maka dibenarkan pula untuk mengatakan: "Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam !!!"

Sedangkan kita akan mengatakan: "Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan (budaya) Barat, hal itu tidak memberikan man­faat bagi kita sebagai kaum muslimin. Sebab, Islam tidak mengenal pemerintahan pemuka agama, sebagaimana Islam juga tidak me­ngenal istilah "surat penebus dosa", dan tidak pula mengenal istilah pertikaian antara negara sipil dan gereja, atau antara agama dan negara. Karena, Islam sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan ber­beda dari Kristen sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan. Hal itu memperlihatkan kepada kita secara pasti perbedaan berbagai istilah pemikiran, politik, dan metodologi antara keduanya (Islam dan Kristen).



Permasalahannya di sini adalah, bahwa sebagian kaum mus­limin berkhayal bahwa hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, hak suksesi kekuasaan dan larangan melakukan penindasan di muka bumi merupakan hal-hal yang diperjuangkan oleh sistem demokrasi bagi masyarakat, di mana tidak mungkin bagi mereka untuk meng­gambarkan prinsip-prinsip ini dapat terealisasi di bawah payung istilah lain dalam Islam. Yang demikian itu merupakan satu ke­salahan yang sangat berbahaya. Sesungguhnya hak-hak dan prinsip-­prinsip kemanusiaan itu hanya sekedar dampak dari kelahiran sekularisme atau demokrasi di masyarakat Eropa. Bersamaan dengan itu mungkin juga memproduksinya, memeliharanya, dan mem­berlakukannya di masyarakat lain tanpa melalui jalan sekularisme atau demokrasi.



Tetapi, dominasi pemikiran Barat atas berbagai aliran pe­mikiran dan politik dalam masyarakat kontemporer, dan tirani yang ditanamkan oleh Eropa ke dalam akal dan jiwa masyarakat dunia ketiga yang di antara mereka adalah sebagian kaum muslimin, tidak meninggalkan sedikit kesempatan pun bagi akal non-Eropa untuk memikirkan orisinalitas atau mengkhayalkan karya pe­mikiran atau metodologis yang tidak terpengaruh oleh "kutub Eropa", serta berbagai manhaj dan istilahnya. Maka sebagian besar usaha-usaha "dunia ketiga" dalam bidang pemikiran, metodologi dan istilah -yang di antaranya adalah fatwa ini-, hanyalah sekedar catatan kaki atau catatan akhir atas matan (isi) yang berasal dari Eropa. Padahal kita -di lingkungan Islam-, hati nurani Islami me­nolak kecuali mencatat sikap kehati-hatiannya yang malu-malu itu terhadap demokrasi, sedangkan berpura-pura tidak mengetahui bahwa sikap kehati-hatian itu bermakna pada kenyataan obyektifnya sebagai penolakan terhadap demokrasi, tetapi kita masih terus ngotot untuk mempertahankan istilah tersebut, meskipun pada hakikatnya, secara obyektif, telah meninggalkannya.



Sesungguhnya Partai Kupu-Kupu Itali -Partai para pelacur- ­memaksakan dirinya masuk ke dunia partai, dan sebagian anggo­tanya masuk parlemen Itali, agar "suara pelacur" cukup untuk membuat berbagai ketetapan undang-undang baru di dalam masya­rakat, jika semua suara sama.



Yang tidak mau diakui oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa Partai Kupu-Kupu ini mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda menolak keberadaannya atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak keikutsertaannya dalam penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda tidak demokratis, dan tin­dakan ini melawan demokrasi. Itulah hakikat obyektif, yang tidak ada alasan bagi anda terhadapnya, serta tidak ada tempat melarikan diri dari mengakuinya.



Benar bahwa anda menolak hal tersebut, dan saya pun demi­kian. Tetapi, makna hal itu adalah bahwa kita menolak demokrasi sebagai bingkai sistem bagi pemerintahan di suatu negara Islam. Tinggallah bagi saya dan anda mencarikan istilah baru dan sistem baru, yang menyatukan antara agama dan dunia, syari'at dan ma­syarakat, keadilan dan moral, kebebasan dan nilai-nilai, hak Allah dan hak hamba, dan semuanya itu adalah aspek-aspek yang tidak mempunyai hubungan dengan demokrasi.



Jangan anda merasa kesal tuanku (Dr. Yusuf al-Qaradhawi), jika masyarakat Barat menolak mengakui istilah dan sistem baru anda. Karena mereka memang menolak agama anda pada dasarnya, sebagaimana logika subyektif dari sistem demokrasi yang mengatur kehidupannya, mengharuskannya menerima pluralisme. Yang demikian itu, jika kita berhusnuzhzhan (berprasangka baik) ter­hadap kesungguhan mereka dalam memegang segala macam prinsip, apalagi yang menyangkut masalah hubungan antar negara.



Dalam fatwa Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi tentang de­mokrasi, masih terdapat kerancuan lain, yaitu dalam usahanya melegitimasi beberapa sisi kekuasaan eksekutif dalam menerapkan demokrasi, di mana sang Doktor mempromosikannya kepada pemahaman beberapa pemerintah Islam. Lebih baiknya, kita simak apa yang dikatakan Doktor, kemudian simak juga komentar kami setelah itu.



Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: "Di antara dalil-dalil menurut kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan demokrasi adalah prinsip hasil import dan tidak ada hubungannya dengan Islam, adalah bahwa ia berdasarkan pada suara mayoritas, serta menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai masalah yang berbeda-beda dengan meng­gunakan pemungutan suara terbanyak dalam demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat mana pun yang memenang­kan suara terbanyak secara absolut, atau terbatas pada beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun ter­kadang pendapat itu salah dan bathil.



Padahal Islam tidak menggunakan sarana seperti itu dan tidak mentarjih (mengunggulkan) suatu pendapat atas pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut; Apakah ia salah atau benar? Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika salah,. maka ia akan me­nolaknya, meskipun bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang ikut.



Bahkan, nash-nash al-Qur'an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan dan selalu mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta'ala ini:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ(116)

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di­muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya."(QS. Al-An'aam: 116).

Juga firman-Nya:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ(103)

"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya." (QS. Yusuf: 103).



Di dalam al-Qur'an, dilakukan pengulangan berkali-kali ter­hadap firman-Nya berikut ini:

… وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ(187)

"Tetapi kebanyakan manusza tidak mengetahui. " (QS. AI­A'raaf: 187).



Selanjutnya, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari hal tersebut dengan mengatakan: "Ungkapan tersebut sama sekali tidak dapat diterima, sebab didasarkan pada suatu hal yang salah.”



Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim; yang mayoritas mereka dari kalangan orang orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah:

Kemudian, sesungguhnya terdapat beberapa hal yang tidak masuk ke dalam kategori voting dan tidak dapat diambil suaranya, karena ia termasuk bagian dari hal yang sudah tetap dan permanen yang tidak dapat diubah kecuali jika masyarakat itu berubah sendiri dan tidak menjadi muslim lagi.

Jadi, tidak ada tempat bagi voting dalam berbagai ketetapan syariat yang sudah pasti dan juga pokok-pokok agama. Voting itu hanya pada masalah-masalah ijtihad saja yang bisa mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat mengenai hal tersebut, jika terdapat berbagai pendapat yang berbeda-beda mengenai beberapa masalah. Lalu, apakah masalah-masalah itu akan dibiarkan bergantung begitu saja? Dan apakah ada pemilihan pendapat tanpa adanya yang diunggul­kan? Ataukah perlu adanya yang diunggulkan?



Logika akal, syari'at dan realitas menyatakan perlu adanya (orang) yang dimenangkan. Yang diutamakan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang. Dalam hadits pun sudah ditegaskan:

أِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ اْلوَاحِدِ, وَهُوَ مِنَ اْلأِثْنَيْنِ أَبْعَدُ

"Sesungguhnya, syaitan itu bexsama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang."



Ditegaskan pula, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar radhiallahu `anhuma:

لَوِ اْجتَمَعْتُمَا عَلَى مَشْوَرَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا

"Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua."



Demikian yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas memerlukan ada­nya perincian, karena di dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang membingungkan.



Pertama-tama, saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qara­dhawi menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka ucapannya bahwa mereka berpen­dapat "Demokrasi adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam".

- Apakah Dr. Yusuf al-Qara­dhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport?

- Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai ber­bagai perubahan peradaban, manhaj, agama dan politik?

- Lalu kapan hal itu terjadi?

- Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi ~ sampai pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin?

- Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun waktu yang begitu panjang?



Saya kira, Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak seharusnya mem­buka ucapannya dengan kalimat tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak akan dapat mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak diimport dari sistem Eropa. Se­sungguhnya yang menjadi perbedaan pendapat adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!

Adapun ungkapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Se­harusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka dari kalangan orang­orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah."



Yang demikian itu secara obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab, demokrasi tidak mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis nilai yang dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu orang alim yang bertindak sewenang-­wenang, Muslim dan Nasrani. Jika saya katakan: "Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya anda telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula. Jelas, itu bukan lagi demokrasi."



Demikian juga dengan ungkapan Syaikh Dr. Yusuf ai-Qara­dhawi: "Kemudian, di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam voting dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena semua itu merupakan bagian dari hal­-hal yang sudah baku dan tidak dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi."



Perbedaan yang dianggap aneh oleh Syaikh Dr. Yusuf al­Qaradhawi di sini adalah bahwa suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak menjadi muslim lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang demokratis. Tetapi, jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka dapat dipastikan ia tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain berupa hal-hal yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak mungkin untuk di­tundukkan pada pendapat manusia.

Di sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada kon­sepsi Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi. Di dalam demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus penguasa, pembuat ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat ditundukkan pada voting atau tidak masuk pada ruang voting, maka dengan demikian anda tidak demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal pasti dan permanen, baik yang menyangkut masalah pemikiran, agama, moral, ekonomi atau politik yang tidak akan dapat diubah, maka pada saat itu anda juga tidak demokratis.



Demikian juga ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: "Jadi , tidak ada ruang voting dalam berbagai ketetapan syari'at yang sudah pasti," maka ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan anda bahwa di sana terdapat syari'at yang me­merintah di atas kehendak dan kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan telak terhadap isi dan substansi demokrasi.



Apakah sekarang gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan oleh Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim, tetapi kesalahan mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu mengapa- kecuali dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah dan sistem politik Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah memper­indah Islam dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan slogan hasil impor dari Barat ini?



Sesungguhnya Islam, wahai para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi, suci dan lebih lurus dari demokrasi dan dari segala konsep buatan manusia untuk mengatur politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu tidak hanya sekedar untuk membela agama, atau sekedar militansi iman, tetapi yang demikian itu merupakan ke­yakinan yang teguh dari perjalanan panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan perhatian terhadap ber­bagai perubahan sejarah kemanusiaan terdahulu maupun modern sekarang ini.



Saudaraku sekalian, sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah menimbulkan kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan hati nurani generasi muda pemegang panji kebang­kitan Islam yang diharapkan umat.



Mengapa kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil kon­struktif (yang berasal dari Islam), yang dengannya kalian membina proyek Islam yang fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional: "Disembelih dengan cara Islami?"



Wahai saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, ma­syarakat, peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum munculnya demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakat­nya tidak mengetahui keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban, permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya, sebelum menculnya demokrasi?

Jika Islam mengetahui semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada kami, lalu kembalikan bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem dan kelembagaan, telitilah aturan-aturan dan sarana untuk merealisasikannya, serta lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya berupa istilah-istilah orisinil dan simbol-­simbol Islami, yang mengekspresikan keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada melakukan penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan memalukan di hadapan kancah pemikiran Eropa modern.



Wahai Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua sisi mata uang Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda, berarti dia telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal tersebut (demokrasi dan sekularisme) ditolak. Tetapi penolakan terhadap keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang hampir menyerupai nilai-nila.i Islam. Merupakan hak rakyat untuk memilih pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk melengser­kannya jika menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya jika melakukan kesalahan, juga mempunyai kebebasan berpendapat, hak berbeda pendapat, menjaga kehormatan manusia, hak per­putaran kekuasaan, dan lain-lainnya. Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok manhaj Islam dalam pemerintahan yang ditetapkan melalui nash Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan tetapi semua­nya itu merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas dasar-dasar idealis dan `aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan dan bingkai-­bingkai sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan ketentuan-­ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem bagi politik masyarakat manusia.



Wahai Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu pula problema Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang dimunculkan oleh para propagandis pen­cerahan yang mempunyai pemikiran berlebihan, yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan umat, mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami bahwa mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam semesta.



Wahai Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh belahan bumi, yang telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum terpelajar. Saya meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, "agar Anda menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya," supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah pada permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata."'[13]



Perlu penulis katakan: "Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya kepada demokrasi, maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan percaya terhadap segala resikonya, yaitu mun­culnya berbagai partai yang bersaing untuk kekuasaan."





[1] Al-Huluul al Mustaurida (hal. 77, 78).

[2] Fataazva'Mu'aashirah (II/637).

[3] Ibid (II/643).

[4] Ibid (II/644-645)

[5] Ibid (II/646).

[6] HR. At-Tirmidzi, dalam al-Fitan dari `Umar (2166).

[7] Fataawa' Mu'aashirah (II/647-648).

[8] Ibid (II/649).

[9] Ibid (II/649).

[10] Ibid (II/650).

[11] Ibid (II/650).

[12] Bagi yang berminat menambah pengetahuan tentang masalah demokrasi ini sekallgus mengetahui sisi-sisi negatif dan keburukannya, hendaklah ia mem­baca risalah al-Islamiyyuun wa Saraabud Demoqrathiyyah karya `Abdul Ghani (telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia : Fenomena Demokrasi, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam oleh Abdul Ghany bin Muhammad Ar-rahhal –ed), Haqiiqatud Demoqrathiyyah karya Muhammad Syakir asy-Syarif, ad-Demoqra­thryyah fil Miizaan karya Sa'id Abdul Azhim dan Khamsuuna Mafsadah jaliyyah min Mafasidid Demoqrathiyyah karya `Abdul Majid ar-Riimi.

[13] Jihaaduna ats-Tsaqafi (54-65).

Pembatal KeIslaman

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk masuk ke dalam Dinul Islam dan berpegang teguh dengannya, serta mewaspai segala sesuatu yang akan menyimpangkan mereka dari din yang suci ini. Dia mengutus nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dengan amanat da’wah yang suci dan mulia.

Allah juga telah mengingatkan hamba-Nya, bahwa barangsiapa yang mengikuti seruan para Rasul itu, maka dia telah mendapatkan hidayah; dan siapa yang berpaling dari seruannya, maka ia telah tersesat. Di dalam Kitabullah, ia mengingatkan manusia tentang perkara-perkara yang menjadi sebab “riddah” (murtad dari Dinul Islam) dan perkara-perkara yang termasuk kemusyrikan dan kekafiran. Beberapa ulama rahimahullah selanjutnya menyebutkan peringatan-peringatan Allah itu dalam kitab-kitab mereka.

Mereka mengingatkan bahwa sesungguhnya seorang muslim dapat dianggap murtad dari Dinul Islam disebabkan beberapa hal yang bertentangan, sehingga menjadi halal darah dan hartanya. Diantara sekian banyak hal yang membatalkan keislaman seseorang, Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, serta beberapa ulama lainnya menyebutkan sepuluh hal yang paling banyak dilakukan oleh umat Islam. Dengan mengharap keselamatan dan kesejahteraan dari-Nya, kami paparkan dengan ringan sebagai berikut :

1. Mengadakan persekutuan dalam beribadah kepada Allah. Dalam kaitan ini, Allah berfirman :

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya dan mengampuni selain dosa syrik bagi siapa yang dikehendaki…”. (An-Nisa: 116).

“Sesungguhnya siapa saja yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (Al-Maidah: 72)

Termasuk dalam hal ini, permohonan pertolongan dan permohonan do’a kepada orang mati serta bernadzar dan menyembelih qurban untuk mereka.

2. Menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara do’a, permohonan syafaat, serta sikap tawakal mereka kepada Allah.

3. Menolak untuk mengkafirkan orang-orang musyrik, atau menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan madzhab mereka.

4. Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lebih sempurna dan lebih baik. Menganggap suatu hukum atau undang-undang lainnya lebih baik dibandingkan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, serta lebih mengutamakan hukum taghut dibandingkan ketetapan Rasulullah Shalalhu ‘Alaihi Wa Sallam.

5. Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, meskipun diamalkannya. Dalam hal ini Allah berfirman :

“Demikian itu karena sesungguhnya mereka benci terhadap apa yang diturunkan Allah, maka Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 9).

6. Mengolok-olok sebagian dari Din yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, misalnya tentang pahala atau balasan yang akan diterima. Allah berfirman:

“…Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta ma’af, karena kamu kafir sesudah beriman…”.(At-Taubah: 65-66).

7. Masalah sihir. Diantara bentuk sihir adalah “Ash Sharf” (pengalihan), yaitu mengubah perasaan seorang laki-laki menjadi benci kepada istrinya. Sedangkan “Al ‘Athaf” adalah sebaliknya, menjadikan orang senang terhadap apa yang sebelumnya dia benci dengan bantuan syaithan.

Orang yang melakukan kegiatan sihir hukumnya kafir. Sebagai dalilnya adalah firman Allah, yang artinya :
“..dan keduanya tidak mengajarkan sihir kepada seseorang pun sebelum mengatakan,’Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah kamu kafir…”.(Al-Baqoroh: 102).

8. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih daripada pertolongan dan bantuan yang diberikan kepada kaum muslimin. Allah berfirman, yang artinya:

“…barangsiapa di antara kamu, mengambil mereka orang-orang musyrik menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim”.(Al-Maidah: 51).

9. Beranggapan bahwa manusia bisa leluasa kelar dari syari’at Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dalam kaitan ini Allah berfirman :

“Barangsiapa yang mencari agama selain Dinul Islam, maka dia tidak diterima amal perbuatannya, sedang dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi”.(Ali-Imran: 85).

10. Berpaling dari Dinullah, baik karena dia tidak mau mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah :

“dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-prang yang berdosa”. (As-Sajadah: 22).


Itulah sepuluh naqidhah (pembatal) yang perlu diwaspadai oleh setiap muslim, agar dia tidak terjerumus untuk melakukan salah satu diantara kesepuluh sebab yang dapat mengeluarkannya dari Dinul Islam.

Begitu seseorang meyakini bahwa undang-undang yang dibuat manusia lebih utama dan lebih baik dibandingkan syari’at Islam, maka ia telah kafir. Demikain juga jika ia menganggap bahwa ketentuan-ketentuan Islam sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman mutakhir ini, atau bahkan beranggapan bahwa aturan Islam adalah penyebab kemunduran dan keterbelakangan umat Islam. Seseorang juga tergolong kafir bila beranggapan bahwa Dinul Islam hanya menyangkut hubungan ritual antara hamba dan rabbnya, tetapi tidak ada kaitannya dengan masalah-masalah duniawi.

Demikian juga jika seseorang memegang bahwa pelaksanaan syari’at Islam, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina muhshon (pezina yang sudah kawin) tidak sesuai dengan peradaban modern, begitu pula halnya dengan seseorang yang beranggapan bahwa seseorang boleh tidak berhukum dengan syari’at Allah dalam hal muamalat (kemasyarakatan), hudud, serta dalam hukum-hukum lainnya. Ia telah terjatuh kepada kekafiran, meskipun ia belum sampai pada keyakinan bahwa hukum yang dianutnya lebih utama dari hukum Islam, karena boleh jadi ia telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah, dengan dalih keterpaksaan, seperti berzina (karena beralasan mencari nafkah), minum khamr, riba dan berhukum dengan hukum rekaan manusia.

Marilah kita berlindung kepada Alah dari hal-hal yang menyebabkan kemurkaan-Nya dan dari adzabnya yang pedih. Shalawat dan salam mudah-mudahan dilimpahkan kepada sebaik-baiknya mahluk-Nya, Muhammad Rasulullah, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.


Maraji':
Aqidah Shohihah Vs Aqidah Bathilah, Syaikh Abdul Aziz bin baaz,

Syirik Defenisi dan Jenisnya

Oleh : Nur Ahmad Setiawan, S.T.


1.

Definisi Syirik

Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah disamping berdo’a kepada Allah, atau memalingkan suatu ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a dan sebagainya kepada selain-Nya.

Karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah berarti ia telah meletakkan ibadah bukan pada tempatnya dan memberikan ibadah tersebut kepada yang tidak berhak, dan itu adalah kedholiman yang paling besar. Allah berfirman :

“Sesunggguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kedholiman yang besar.” (luqman:13).

Allah tidak mengampuni orang musyrik, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” (An-Nisa’:48).

Surga pun diharamkan atas orang musyrik, Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dholim itu seorang penolong pun.”(Al-Maidah:72).

Dan syirik menghapuskan pahala segala amal kebaikan. Allah berfirman:

“Seandainya mereka menyekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”(Al-An’am:88).

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan (nabi-nabi) sebelummu,’Jika kamu menyekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar:65).

Orang musyrik itu halal darah dan hartanya. Allah berfirman :

“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian.”(At-Taubah:5).

Nabi shallallahu ‘alai wa sallam bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyatakan, ‘Tiada sesembahan yang haq melainkan Allah’. Jika mereka telah menyatakannya, niscaya darah dan harta mereka aku lindungi kecuali karena haknya.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, syirik adalah dosa yang paling besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Maukah kalian aku beritakan tentang dosa yang paling besar?’ Kami menjawab, ‘Ya, wahai rasulullah!’ beliau bersabda, ‘berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Syirik adalah suatu kekurangan dan aib yang Allah subhanahu wa ta’ala menyucikan diri dari keduanya. Karena itu, barangsiapa berbuat syirik kepada Allah berarti dia menetapkan bagi Allah apa yang Dia menyucikan diri daripadanya. Dan ini adalah puncak pembangkangan, kesombongan dan permusuhan kepada Allah.


A.Jenis Syirik

Syirik ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.


*

Syirik Besar

Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama islam dan menjadikannya kekal didalam neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat daripadanya. Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan menyembelih kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan. Termasuk juga takut kepada orang-orang yang telah mati, jin atau syaithan bahwa mereka bisa membahayakan atau membuatnya sakit, juga mengharapkan sesuatu kepada selain Allah, yang tidak kuasa melakukannya kecuali Allah, berupa pemenuhan kebutuhan dan menghilangkan kesusahan, hal yang saat ini dilakukan di sekeliling bangunan-bangunan yang didirikan diatas kuburan para wali dan orang-orang shalih di sebagian wilayah islam. Allah berfirman:

“ Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah’.”(Yunus:18).


Syirik besar ada empat macam:

1. Syirik dakwah (do’a) :

Yaitu disamping dia berdo’a kepada Allah ia berdo’a kepada selainNya. Allah berfirman:

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampaiu ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) menyekutukan (Allah).”(Al-Ankabut:65).

2. Syirik niat, keinginan dan tujuan :

Yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah. Allah berfirman:

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”(Huud:15-16).

3. Syirik Ketaatan :

Yaitu menta’ati selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah. Allah berfirman:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang haq selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”(At-taubah:31).

4. Syirik mahabbah (kecintaan) :

Yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan. Allah berfirman:

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.”(Al-Baqarah:165).


*

Syirik Kecil

Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar. Syirik kecil ada dua macam.

1. Syirik zhahir (nyata) :

Yaitu syirik kecil dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.”(HR At-Tirmidzi dan dihasankannya, serta dishahihkan oleh Al-Hakim).

Termasuk didalamnya adalah ucapan “atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Ibnu Abbas r.a menuturkan:

“Bahwa ada seorang berkata kepada nabi shallahu ‘alai wa sallam.’Atas kehendak Allah dan kehendakmu ‘, maka ketika itu bersabdalah beliau, ‘apakah engkau menjadikan diriku sebagai sekutu bagi Allah ? (katakanlah) Hanya atas kehendak Allah saja’.”(HR. An-Nasa’i).

Termasuk pula ucapan, “ Kalau bukan karena Allah dan karena si fulan.” Yang benar adalah hendaknya diucapkan ‘Atas kehendak Allah kemudian si fulan’, ‘Kalau bukan karena Allah kemudian karena si fulan’. Sebab kata ‘kemudian’ menunjukan tertib berurut, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah, sebagaimana firman Allah:

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”(At-takwir:29).

Sedangkan ‘dan’ untuk menunjukan kebersamaan dan persekutuan, tidak menunjukkan tertib berurut. Termasuk dalam larangan ini adalah ucapan ‘Tidak ada penolong bagiku kecuali Allah dan engkau’, ‘Ini adalah atas berkah Allah dan berkahmu’.

Adapun yang berbentuk perbuatan adalah seperti memakai kalung atau benang sebagai pengusir atau penangkal marabahaya atau menggantungklan tamimah (tamimah adalah sejenis jimat yang biasanya dikalungkan di leher anak-anak) karena takut terkena ‘ain (mata) atau perbuatan lainnya, jika ia berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut merupakan sebab-sebab pengusir atau penangkal marabahaya, maka ia termasuk syirik kecil. Sebab Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya) dengan hal-hal tersebut. Sedang jika ia berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut bisa menolak atau mengusir marabahaya maka ia merupakan syirik besar, sebab ia berarti menggantungkan diri kepada selain Allah.

2. Syirik Khafi (tersembunyi) :

yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang). Seperti melakukan amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya dengan membaikkan sholatnya atau bersedekah agar dipuji dan disanjung karenanya, atau ia melafadzkan dzikir dan memperindah suaranya dalam bacaan (alqur’an) agar didengar oran garis tengah lain, sehingga menyanjungnya atau memuinya. Jika riya’ itu mencampuri (niat) suatu amal, maka amal itu menjadi tertolak. Karena itu, ikhlas dalam beramal adalah sesuatu yang niscaya. Allah berfirman:

“ Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia mengerjakan amal sholih dan janganlah ia berbuat syirik sedikan pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-kahfi :110).

Nabi Shallallahu ‘alai wa sallam bersabda:

“Yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil. Mereka bertanya, ‘Wahai rasulullah, apakah syirik kecil itu?’ beliau menjawab, ‘yaitu riya’.” (HR. Ahmad, aththabrani, albaghawi dalam syarhus-sunnah).

Termasuk didalamnya adalah motivasi amal untuk kepentingan duniawi, seperti orang yang menunaikan haji atau berjihad untuk mendapatkan harta benda. Nabi shallallahu ‘alai wa sallam bersabda:

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hambah khamishoh dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”(HR. Al-Bukhari)

khamishah dan khamilah adalah pakaian yang terbuat dari wol atau sutra dengan diberi sulaman atau garis-garis yang menarik dan indah. Maksud ungkapan rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam –wallahu a’lam- dengan sabdanya tersebut ialah untuk menunjukkan orang yang sangat ambisi dengan kekayaan duniawi, sehingga menjadi hamba harta benda. Mereka itulah orang-orang yang celaka dan sengsara. (pen).

1


anirrahim







THOGHUT



(ANTARA
PERNYATAAN DAN KENYATAAN)



Sering
kita mendengar kata thoghut itu diidentikkan dengan pemerintah yang
melakukan kezholiman atau penganiayaan terhadap rakyat.
Hingga tak aneh jika pernyataan itu mendorong sebagian rakyat untuk
melakukan pemberontakan pada pemerintahnya. Akhirnya, terjadilah apa
yang terjadi atas taqdir Allah. Pertikaian yang berkepanjangan antar
rakyat dan pemerintahnya. Seperti yang terjadi di negeri kita ini dan
negeri-negeri lainnya. Melihat tragedi yang memilukan ini
terdoronglah hati saya untuk memberikan penjelasan dengan
kaidah-kaidahnya yang disertai penerapan-penerapan konkret dengan
harapan bisa menjadi wawasan bagi kita semua datam mensikapi
kenyataan yang ada.








  1. DEFINISI
    THOGHUT




Pada dasarnya definisi
thoghut terbagi menjadi dua macam secara bahasa dan secara istilah.




  1. Secara Bahasa




Secara
bahasa thoghut berasal dari kata :



طَغَا
– يَطْغُوْ –
طَغْوًا – فَهُو
طَاغٍ



yang berarti
melampaui batas. Seperti kalimat –
طغا
الماء

yang
berarti air itu melampaui batas
(jawa : luber)








  1. Secara istilah




Adapun
secara istilah ada beberapa definisi tentang thoghut yang
diungkapkan oleh para ulama diantaranya .





    • Imam Malik
      berkata thoghut adalah segala sesuatu yang
      diibadahi selain Allah.



    • lbnul
      Qoyyim
      berkata thoghut adalah segala sesuatu yang
      membuat hamba Allah meherjang
      batasan-batasannya.



    • Umar
      bin Khotthob
      berkata : thoghut adalah
      syetan



    • Ibnu
      Katsir
      berkata pendapat Umar bin Khotthob adalah pendapat
      yang paling kuat karena sangat cocok dengan keadaan masyarakat
      dimana ayat Allah tentangnya diturunkan.









"Tidak
ada doktren dalam agama, telah jelas antara petunjuk dan kesesatan,
barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Allah
sungguh dia telah berpegang teguh pada tali yang kokoh. (Al Baqarah :
256)






Oleh karena
itu kedua definisi di atas dan semisalnya tidak akan cocok bila pada
kenyataannya tidak terbukti. Karena tidak setiap yang diibadahi
selain Allah bisa dikatakan thoghut atau tidak setiap yang membuat
hamba-hamba Allah melanggar batasan-batasan-Nya bisa dibilang
thoghut, kalau ternyata segala sesuatu itu bukan syetan. Sebagai
contoh adalah Nabi Isa 'alaihissalam yang diibadahi oleh
orang-orang Nashoro maka tidak bisa dikatakan thoghut karena Nabi Isa
itu bukan syetan bahkan musuhnya syetan. Atau raja-raja Abbasiyyah
yang banyak melanggar hukum-hukum Allah dan membuat hamba-hamba Allah
melanggar batasan-batasan­Nya, seperti Al Ma'mum, Al Watsiq dan
Al Mu'tashim billah, tidak bisa pula kita sebut thoghut karena bukan
syetan. Apalagi Imam Ahmad sendiri
yang sasaran penganiayaan mereka tidak menjuluki
thoghut, malah mendo'akan ampunan bagi mereka. Sedangkan bisa
dibilang syetan itu bila terbukti kafir







Akan
tetapi syetan-syetan itulah yang kafir" (Al Baqarah : 102)







"Kecuali
lblis, dia enggan dan sombong dan dia termasuk orang-orang kafir"
(Al Baqarah : 34)







Dari
keterangan di atas bisa kita simpulkan bahwa thoghut itu adalah
syetan atau segala sesuatu yang diibadahi selain Allah sedang dia
kafir atau segala sesuatu yang membuat hamba-hamba Allah menerjang
batasan-batasan -Nya sedang dia kafir. Atau bisa disebut sebagai
pemimpin-pemimpin orang kafir, seperti difirmankan oleh Allah
Ta'ala.







"Sedangkan
orang-orang kafir memimpin-pemimpin mereka adalah thoghut yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan.
Mereka itulah penghuni neraka, yang kekal di



dalamnya
(Al Baqarah
: 275)







Sebagai
contoh adalah Iblis, Fir'aun, Namrud, Qorun, Abu Jahal, Abu Lahab,
para dukun/para normal, dan semisalnya dari pemimpin-pemimpin kafir
baik dari jenis manusia maupun jin.












  1. KAPANKAH
    SESEORANG DIHUKUMI THOGHUT
    ?








Di atas
telah kita dapatkan keterangan yang jelas
tentang definisi thoghut. Yakni syetan atau pemimpin-pemimpin kafir,
yang mempunyai tugas pokok mengeluarkan hamba
Allah clan penunjuk menuju kesesatan







Namun
apakah dengan definisi di atas kita diperbolehkan menluluki
setiap orang yang atau pemimpin yang kebetulan kita jumpai bertipe
seperti di atas dengan kita katakan si Fulan thoghut, si Fulan
syetan, si Fulan kafir. Maka dalam hal ini ada beberapa jawaban
antara lain









    1. Apabila
      pemimpin itu ber­agama selain agama Islam maka
      bisa disebut thoghut dan sekaligus boleh diperangi atau diberontak
      bila kaum muslimin memiliki kemampu­an.
      Dan
      bila tidak memiliki kemampuan wajib bagi mereka hijrah ke negri
      Islam atau tetap tinggal di negri itu dengan terus berdakwah bila
      tidak mendapat­kan tekanan dari pemimpin kafir itu. Misalnya
      para pemimpin negara-negara Barat atau Eropa.











    1. Adapun
      jika pemimpin itu beragama Islam sedangkan dia melakukan
      tindakan­-tindakan yang melampaui batas dan kezholiman,
      maka
      hal ini kita sampaikan kepada para ulama yang mutamakhin /mumpuni
      agar memberikan nasehat atau menegakkan hujjah berkali-kali dengan
      sabar hingga benar jelas bagi pemimpin itu bahwa tindakannya telah
      melampaui batas dan mengeluarkan dirinya dari Islam untuk akhirnya
      disebut thoghut.





Namun yang
demikian ini tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan, karena mem­butuhkan kehati-hatian ulama dalam memberikan
nasehat. Yang harus diikuti harapan besar untuk diterimanya nasehat
dan bukan semata-mata se­kedar sebagai bukti bahwa dia telah
menyampaikan nasehat untuk mendapatkan alasan bahwa pemimpin itu
telah menentang Allah hingga bisa dijuluki thoghut. Naudzubillah
mindzalik.



Cobalah
kita lihat bagaimana kesabaran dua Imam Ahmad ; Ahmad bin Hambal dan
Ahmad bin Taimiyah (Ibnu Taimiyah) yang meskipun berkali-kali
nasehat­nya tidak diterima oleh rajanya tidak mendorong keduanya
untuk mudah mengkafirkan raja­nya, bahkan meskipun kedua­nya
selalu dipenjara dan dicambuk punggungnya. Lebih dari itu Ibnu
Taimiyah dengan senang hati menerima perintah rajanya untuk menjadi
panglima perang melawan raja Janghes­khan
dan tentara para penyembah kubur. Meskipun tetap dijebloskan ke dalam
penjara selesai memenangkan peperangan melawan bangsa Tartar
itu.







Dan bukan
seperti ajaran Khowarij suatu kelompok yang
bermudah-mudah dalam meng­kafirkan pimpinannya
manakala dipandang sedikit agak menyimpang dari agama. Mereka
menyampaikan hujjah/nasehat itu hanya sebagai kedok bahwa dirinya
telah menyampaikan nasehat, yang dalam hati mereka tak punya harapan
sadarnya pemimpin.







Oleh
karena itu hendaklah kita berhati-hati dari sikap mudah menjuluki
thoghut pada pemerintah kita yang mungkin banyak melakukan
penyimpangan yang mungkin disebabkan masih jauhnya mereka dari
petunjuk-petunjuk agama, hingga sangat membutuhkan nasehat yang
banyak melalui para ulama sambil kita bersabar dengan kezholiman
ataupun kefasikan mereka, selama mereka masih menjalankan sholat.







"Dan sejelek
jelek pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian
membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka
dan mereka melaknat kalian.
Dikatakan kepada
beliau : Ya Rasulullah bolehkah kami
memerangi mereka ?
Beliau
menjawab : tidak boleh, selama mereka masih
sholat diantara kalian (HR. Muslim)







Abu Hamdan



Referensi



- Al
Intishor Li Hizbillah oleh Abdullah bin
Abdurrohman



-
Silsilah Hadits-hadits Shohih oleh Albani



-
Aqidatus Salafis Shohih oleh Abdullah bin Abdul
Hamid



- Zhohirotut Tabdi' Wa
Tafsiq waTakfir oleh Sholeh Fauzan






Majalah
Hanif 05 / I / 1423 H / 2002





TIGA
LANDASAN UTAMA


Oleh


Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab





Muqaddimah




Akhi (Saudaraku).


Semoga Allah senantiasa
melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.




Ketahuilah, bahwa wajib
bagi kita untuk mendalami empat masalah, yaitu :


1. Ilmu, ialah mengenal
Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama Islam berdasarkan
dalil-dalil.


2. Amal, ialah
menerapkan ilmu ini.


3. Da'wah, ialah
mengajak orang lain kepada ilmu ini.


4. Sabar, ialah tabah
dan tangguh menghadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu,
mengamalkannya dan berda'wah kepadanya.


Dalilnya, firman Allah
Ta'ala.


"Artinya : Demi
masa. Sesungguhnya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shalih dan
saling nasihat-menasihati untuk (menegakkan) yang haq, serta
nasehat-menasehati untuk (berlaku) sabar".(Al-'Ashr : 1-3).


Imam Asy-Syafi'i1
Rahimahullah Ta'ala, mengatakan :"Seandainya Allah hanya
menurunkan surah ini saja sebagai hujjah buat makhluk-Nya, tanpa
hujjah lain, sungguh telah cukup surah ini sebagai hujjah bagi
mereka".




Dan Imam Al-Bukhari2
Rahimahullah Ta'ala, mengatakan :"Bab Ilmu didahulukan sebelum
ucapan dan perbuatan".




Dalilnya firman Allah
Ta'ala.


"Artinya : Maka
ketahuilah, sesungguhnya tiada sesembahan (yang haq) selain Allah dan
mohonlah ampunan atas dosamu". (Muhammad : 19).


Dalam ayat ini, Allah
memerintahkan terlebih dahulu untuk berilmu (berpengetahuan) .... .."
3 sebelum ucapan dan
perbuatan.




Akhi (Saudaraku).


Semoga Allah senantiasa
melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.




Dan ketahuilah, bahwa
wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan
mengamalkan ketiga perkara ini :



  1. Bahwa Allah-lah
    yang menciptakan kita dan yang memberi rizki kepada kita. Allah
    tidak membiarkan kita begitu saja dalam kebingungan, tetapi mengutus
    kepada kita seorang rasul, maka barangsiapa mentaati rasul tersebut
    pasti akan masuk surga dan barangsiapa menyalahinya pasti akan masuk
    neraka. Allah Ta'ala berfirman :"Sesungguhnya Kami telah
    mengutus kepada kamu seorang rasul yang menjadi saksi terhadapmu,
    sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir'aun seorang rasul, tetapi
    Fir'aun mendurhakai rasul itu, maka Kami siksa ia dengan siksaan
    yang berat". (Al-Muzammil : 15-16).


  2. Bahwa Allah tidak
    rela, jika dalam ibadah yang ditujukan kepada-Nya, Dia
    dipersekutukan dengan sesuatu apapun, baik dengan seorang malaikat
    yang terdekat atau dengan seorang nabi yang diutus manjadi rasul.
    Allah Ta'ala berfirman :"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu
    adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah
    seorang-pun di dalamnya disamping (menyembah) Allah". (Al-Jinn
    : 18).


  3. Bahwa barangsiapa
    yang mentaati Rasulullah serta mentauhidkan Allah, tidak boleh
    bersahabat dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya,
    sekalipun mereka itu keluarga dekat. Allah Ta'ala berfirman :"Kamu
    tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
    Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi
    Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang itu bapak-bapak, atau
    anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka
    itulah orang-orang yang Allah telah mantapkan keimanan dalam hati
    mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya
    dan mereka akan dimasukkan-Nya ke dalam surga-surga yang mengalir
    dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha
    kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah
    golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah
    golongan yang beruntung". (Al-Mujaadalah : 22).





Akhi (Saudaraku).


Semoga Allah mebimbing
anda untuk taat kepada-Nya.




Ketahuilah, bahwa Islam
yang merupakan tuntunan Nabi Ibrahim adalah ibadah kepada Allah
semata dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Itulah yang
diperintahkan Allah kepada seluruh umat manusia dan hanya itu
sebenarnya mereka diciptakan-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala.


"Artinya : Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah
kepada-Ku". (Adz-Dzaariyaat : 56).


Ibadah dalam ayat ini,
artinya : Tauhid. Dan perintah Allah yang paling agung adalah Tauhid,
yaitu : Memurnikan ibadah untuk Allah semata-mata. Sedang larangan
Allah yang paling besar adalah syirik, yaitu : Menyembah selain Allah
di samping menyembah-Nya. Allah Ta'ala berfirman :


"Artinya :
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu apapun
dengan-Nya". (An-Nisaa : 36).


Kemudian, apabila anda
ditanya : Apakah tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh
manusia ? Maka hendaklah anda jawab : Yaitu mengenal Tuhan Allah
'Azza wa Jalla, mengenal agama Islam, dan mengenal Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam.




Fote Note.



  1. Abu Abdillah
    Muhammad bin Idris bin Al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi'i Al-Hasyim
    Al-Quraisy Al-Muthallibi (150-204H - 767-820M) Salah seorang imam
    empat. Dilahirkan di Gaza (Palestina) dan meninggal di Cairo.
    Diantara karya ilmiyahnya Al-Umm, Ar-Risalah dan Al-Musnad.


  2. Abu 'Abdillah
    Miuhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al- Bukhari
    (194-256H - 810-870M) Seorang Ulama ahli Hadits. Untuk mengumpulkan
    hadits ia telah menempuh perjalanan yang panjang, mengunjungi
    Khurasan, Irak, Mesir dan Syam. Kitab-kitab yang disusunnya antara
    lain Al-Jaami Ash-Shahih (yang lebih dikenal dengan Shahih Bukhari),
    At-Taarikh, Adh-Dhu'afaa, Khalq Af'aal al-Ibaad.


  3. Al-Bukhari dalam
    Shahih-nya, kitab Al-'ilm, bab.10






MENGENAL ALLAH, 'AZZA WA JALLA




Apabila anda ditanya :
Siapakah Tuhanmu ? Maka katakanlah : tuhanku adalah Allah, yang
memelihara diriku dan memelihara semesta alam ini dengan segala
ni'mat yang dikaruniakan-Nya. Dan dialah sembahanku, tiada sesembahan
yang haq selain Dia.




Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :


"Artinya : Segala
puji hanya milik Allah Tuhan Pemelihara semesta alam".
(Al-Faatihah : 1).


Semua yang ada selain
Allah disebut Alam, dan aku adalah salah satu dari semesta alam ini.




Selanjutnya jika anda
ditanya : Melalui apa anda mengenal Tuhan ? Maka hendaklah anda jawab
: Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah : malam, siang, matahari dan
bulan. Sedang di antara ciptaan-Nya ialah : tujuh langit dan tujuh
bumi beserta segala mahluk yang ada di langit dan di bumi serta yang
ada di antara keduanya.




Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan
bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula
kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang
menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah"
(Fushshilat : 37).


Dan firman-Nya :


"Artinya :
Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia
menutupkan malam kepada siang, senantiasa mengikutinya dengan cepat.
Dan Dia (ciptakan pula) matahari dan bulan serta bintang-bintang
(semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah hanya hak Allah
mencipta dan memerintah itu. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam".
(Al-A'raaf : 54).


Tuhan inilah yang haq
disembah. Dalilnya, firman Allah Ta'ala :


"Artinya : Wahai
manusia ! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan
orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (Tuhan) yang telah
menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap,
serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia
menghasilkan segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu,
janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui". (Al-Baqarah : 22).


Ibnu Katsir 1
Rahimahullah Ta'ala, mengatakan :"Hanya Pencipta segala sesuatu
yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam
ibadah".(Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, (Cairo,
Maktabah Dar At-Turats, 1400H) jilid. 1 hal. 57.




Dan macam-macam ibadah
yang diperintah Allah itu, antara lain : Islam (Syahadat, Shalat,
Puasa, Zakat dan Haji), Iman, Ihsan, Do'a, Khauf (takut), Raja'
(pengharapan), Tawakkal, Raghbah (penuh minat), Rahbah (cemas),
Khusyu' (tunduk), Khasyyah (takut), Inabah (kembali kepada Allah),
Isti'anah (memohon pertolongan), Isti'adzah (meminta perlindungan),
Istighatsah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau
diselamatkan), Dzabh (penyembelihan) Nadzar dan macam-macam ibadah
lainnya yang diperintahkan olehAllah.




Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :


"Artinya : Dan
sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu
janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping
(menyembah) Allah". (Al-Jinn : 18).


Karena itu barangsiapa
yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka dia
adalah musyrik dan kafir. Firman Allah Ta'ala :


"Artinya : Dan
barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah)
Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka
benar-benar balasannya ada pada tuhannya. Sungguh tiada beruntung
orang-orang kafir itu". (Al-Mu'minuun :117).


Dalil-dalil macam
Ibadah :




1. Dalil Do'a.


Firman Allah Ta'ala :


"Artinya : Dan
Tuhanmu berfirman : Berdo'alah kamu kepada-Ku niscaya akan
Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk
beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina-dina".
(Ghaafir : 60).




Dan diriwayatkan dalam
hadits :


"Artinya : Do'a
itu adalah sari ibadah". ( Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam
Al-Jaami' Ash-Shahiih, kitab Ad-Da'waat, bab 1. "Maksud hadits
ini adalah bahwa segala macam ibadah, baik yang umum maupun yang
khusus, yang dilakukan seorang mu'min, seperti mencari nafkah yang
halal untuk keluarga, menyantuni anak yatim dll, semestinya diiringi
dengan permohonan ridha Allah dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh
karena itu Do'a (permohonan dan pengharapan tersebut) disebut oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sari atau otak
ibadah, karena senantiasa harus mengiringi gerak ibadah").





2. Dalil Khauf
(takut).


Firman Allah Ta'ala :


"Artinya : Maka
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika
kamu benar-benar orang yang beriman". (Ali 'imran : 175).





3. Dalil Raja'
(pengharapan).


Firman AllahTa'ala.


"Artinya : Untuk
itu barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhanya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan
seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya". (Al-Kahfi : 110).





4. Dalil Tawakkal
(berserah diri).


Firman Allah Ta'ala :


"Artinya : Dan
hanya kepada Allah-lah supaya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar
orang yang beriman". (Al-Maa'idah : 23).




"Artinya : Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang akan
mencukupinya". (Ath-Thalaaq : 3).





5. Dalil Raghbah
(penuh minat), Rahbah (cemas) dan Khusyu' (tunduk).


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya :
Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam (mengerjakan)
kebaikan-kebaikan serta mereka berdo'a kepada Kami dengan penuh minat
(kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu
selalu tunduk hanya kepada Kami". (Al-Anbiyaa : 90).





6. Dalil Khasy-yah
(takut).


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Maka
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku".
(Al-Baqarah : 150).





7. Dalil Inabah
(kembali kepada Allah).


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Dan
kembalilah kamu kepada Tuhanmu serta berserah dirilah kepada-Nya
(dengan mentaati perintah-Nya), sebelum datang adzab kepadamu,
kemudian kamu tidak dapat tertolong (lagi)". (Az-Zumar : 54).





8. Dalil Isti'anah
(memohon pertolongan).


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Hanya
kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami
memohon pertolongan". (Al-Faatihah : 4).




Dan diriwayatkan dalam
hadits.


"Artinya : Apabila
kamu memohon pertolongan, maka memohonlah pertolongan kepada Allah".
(Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami' 'Ash-Shahiih, kitab
Shifaat Al-Qiyaamah wa Ar-Raqa'iq wa Al-Wara : bab 59 dan riwayat
Imam Ahmad dalam Al-Musnad. Beirut Al-maktab Al-Islami 1403H jilid 1
hal. 293, 303, 307).





9. Dalil Isti'adzah
(meminta perlindungan).


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya :
Katakanlah Aku berlindung kepada Tuhan yang Menguasai subuh".
(Al-Falaq : 1).




Dan firman-Nya :


"Artinya :
Katakanlah Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Penguasa manusia".
(An-Naas : 1-2).





10. Dalil Istighatsah
(meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan).


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya :
(Ingatlah) tatkala kamu meminta pertolongan kepada Tuhanmu untuk
dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu".
(Al-Anfaal : 9).





11. Dalil Dzabh
(penyembelihan).


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya :
Katakanlah. Sesungguhnya shalatkku, penyembelihanku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sesuatu-pun
sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama kali berserah diri (kepada-Nya)".
(Al-An'am : 162-163).




Dalil dari Sunnah.


"Artinya : Allah
melaknat orang yang menyembelih (binatang) bukan karena Allah".
(Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al-Adhaahi, bab 8 dan
riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108, 118 dan 152)





12. Dalil Nadzar.


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Mereka
menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang siksanya merata di
mana-mana". (Al-Insaan : 7).





Fote Note.



  1. Abu Al-Fidaa :
    Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasy Ad-Dimasyqi (701-774H -
    1302-1373M). Seorang ahli ilmu hadits, tafsir, fiqh dan sejarah.
    Diantara karyanya : Tafsir Al-Qur'aan Al-Azhim, Thabaqat Al-Fuqahaa
    Asy Syafiiyyun, Al-Bidayah wa An-Nihayah (sejarah), Ikhtishaar
    'Uluum Al-Hadits, Syarh Shahih Al-Bukhari (belum sempat
    dirampungkannya).









MENGENAL ISLAM




Islam, ialah berserah
diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh
kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari
perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.




Dan agama Islam, dalam
pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman
dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.




I. Tingkatan Islam


Adapun tingkatan Islam,
rukunnya ada lima :



  1. Syahadat
    (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa "Laa Ilaaha Ilallaah"
    (Tiada sesembahan yang haq selain Allah) dan Muhammad adalah
    Rasulullah.


  2. Mendirikan shalat.


  3. Mengeluarkan
    zakat.


  4. Shiyam pada bulan
    Ramadhan.


  5. dan Haji ke
    Baitullah Al-Haram.






1. Dalil Syahadat.


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Allah
menyatakan bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Dia, dengan
senantiasa menegakkan keadilan (Juga menyatakan demikian itu) para
malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tiada sesembahan (yang haq)
selain Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Al-Imraan :
18).


"Laa Ilaaha
Ilallaah"' artinya : Tiada sesembahan yang haq selain Allah.




Syahadat ini mengandung
dua unsur : menolak dan menetapkan. "Laa Ilaaha", adalah
menolak segala sembahan selain Allah. "Illallaah" adalah
menetapkan bahwa penyembahan itu hanya untuk Allah semata-mata, tiada
sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu didalam penyembahan
kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan
sekutu di dalam kekuasaan-Nya.




Tafsiran syahadat
tersebut diperjelas oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


"Artinya : Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kepada kaumnya
: 'Sesungguhnya aku menyatakan lepas dari segala yang kamu sembah,
kecuali Tuhan yang telah menciptakan-ku, karena sesungguhnya Dia akan
menunjuki'. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang
kekal pada keturunannya supaya mereka senantiasa kembali (kepada
tauhid)". (Az-Zukhruf : 26-28).




"Artinya :
Katakanlah (Muhammad) : 'Hai ahli kitab ! Marilah kamu kepada suatu
kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, yaitu ;
hendaklah kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan
sesuatu apapun dengan-Nya serta janganlah sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling
maka katakanlah kepada mereka :'Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang yang muslim (menyerahkan diri kepada Allah)". (Ali
'Imran : 64).


Adapun dalil syahadat
bahwa Muhammad adalah Rasulullah.


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya :
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kalangan kamu
sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) untukmu, amat belas kasihan lagi penyayang
kepada orang-orang yang beriman". (Alt-Taubah : 128).


Syahadat bahwa Muhammad
adalah Rasulullah, berarti : mentaati apa yang diperintahkannya,
membenarkan apa yang diberitakannya, menjauhi apa yang dilarang serta
dicegahnya, dan menyembah Allah hanya dengan cara yang
disyariatkannya.




2. Dalil Shalat dan
Zakat serta tafsiran Tauhid.


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Padahal
mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah,
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya lagi bersikap lurus, dan supaya
mereka mendirikan Shalat serta mengeluarkan Zakat. Demikian itulah
tuntunan agama yang lurus". (Al-Bayyinah : 5).





3. Dalil Shiyam


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Wahai
orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu untuk melakukan
shiyam, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu,
agar kamu bertakwa". (Al-Baqarah : 183).





4. Dalil Haji.


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Dan
hanya untuk Allah, wajib bagi manusia melakukan haji, yaitu (bagi)
orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa
yang mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha tidak
memerlukan semsesta alam". (Al 'Imran : 97).





II.
Tingkatan Iman.


Iman itu lebih dari
tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat "Laa
Ilaaha Ilallaah", sedang cabang yang paling rendah ialah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu adalah salah satu
dari cabang Iman.




Rukun Iman ada enam,
yaitu :



  1. Iman kepada Allah.


  2. Iman kepada para
    Malaikat-Nya.


  3. Iman kepada
    Kitab-kitab-Nya.


  4. Iman kepada para
    Rasul-Nya.


  5. Iman kepada hari
    Akhirat, dan


  6. Iman kepada Qadar,
    yang baik dan yang buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu :
    Iman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam semesta ini adalah
    diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa
    Ta'ala).






Dalil keenam rukun ini,
firman Allah Ta'ala.


"Artinya :
Berbakti (dari Iman) itu bukanlah sekedar menghadapkan wajahmu (dalam
shalat) ke arah Timur dan Barat, tetapi berbakti (dan Iman) yang
sebenarnya ialah iman seseorang kepada Allah, hari Akhirat, para
Malaikat, Kitab-kitab dan Nabi-nabi...".(Al-Baqarah : 177).




Dan firman Allah
Ta'ala.


"Artinya :
Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan sesuai dengan qadar".
(Al-Qomar : 49).





III.
Tingkatan Ihsan.


Ihsan, rukunnya hanya
satu, yaitu :


"Artinya :
Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya.
Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu".
(Pengertian Ihsan tersebut adalah penggalan dari hadits Jibril, yang
dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, sebagaimana
akan disebutkan).




Dalilnya, firman Allah
Ta'ala.


"Artinya :
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang
yang berbuat ihsan". (An-Nahl : 128).




Dan firman Allah
Ta'ala.


"Artinya : Dan
bertakwallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.
Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat)
perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.
Sesunnguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
(Asy-Syu'araa : 217-220).




Serta firman-Nya.


"Artinya : Dalam
keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur'an yang
kamu baca, serta pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan, tidak lain
kami adalah menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya".
(Yunus : 61).


Adapun dalilnya dari
Sunnah, ialah hadits Jibril1
yang masyhur, yang diriwayatkan dari 'Umar bin Al-Khaththab
Radhiyallahu 'anhu.


"Artinya : Ketika
kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih
pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuhnya
tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun di
antara kami yang mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan menyandarkan kelututnya pada
kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangannya di atas
kedua paha beliau, dan berkata : 'Ya Muhammad, beritahulah aku
tentang Islam', maka beliau menjawab :'Yaitu : bersyahadat bahwa
tiada sesembahan yang haq selain Allah serta Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam
pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu
mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana'. Lelaki itu pun berkata :
'Benarlah engkau'. Kata Umar :'Kami merasa heran kepadanya, ia
bertanya kepada beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia
berkata : 'Beritahulah aku tenatng Iman'. Beliau menjawab :'Yaitu :
Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kepada Qadar yang
baik dan yang buruk'. Ia pun berkata : 'Benarlah engkau'. Kemudian ia
berkata : 'Beritahullah aku tentang Ihsan'. Beliau menjawab : Yaitu :
Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya.
Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu'. Ia
berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab :
'Orang yang ditanya tentang hal tersebut tidak lebih tahu dari pada
orang yang bertanya'. AKhirnya ia berkata :'Beritahulah aku sebagian
dari tanda-tanda Kiamat itu'. Beliau menjawab : Yaitu : 'Apabila ada
hamba sahaya wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat
orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat lagi,
pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun
bangunan yang tinggi'. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu,
semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi
bertanya : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?
Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun
bersabda : 'Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk
mengajarkan urusan agama kalian". (Hadits Riwayat Muslim dalam
Shahihnya, kitab Al-Iman, bab 1, hadits ke 1. Dan diriwayatkan juga
hadits dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah oleh Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, kitab Al-Iman, bab 37, hadits ke 1.)




Fote Note.



  1. Disebut hadits
    jibril, karena jibril-lah yang datang kepada Rasulullah Shallallahu
    'alaihi wa sallam, dengan menanyakan kepada beliau tentang, Islam,
    Iman dan masalah hari Kiamat. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan
    pelajaran kepada kaum muslimin tentang masalah-masaalah agama.





MENGENAL NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA
SALLAM




Beliau adalah Muhammad
bin 'Abdullah, bin 'Abdul Muthallib, bin Hasyim. Hasyim adalah
termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa Arab, sedang
bangsa Arab adalah termasuk keturunan Nabi Isma'il, putera Nabi
Ibrahim Al-Khalil. Semoga Allah melimpahkan kepadanya dan kepada Nabi
kita sebaik-baik shalawat dan salam.




Beliau berumur 63
tahun, diantaranya 40 tahun sebelum beliau menjadi nabi dan 23 tahun
sebagai nabi dan rasul.




Beliau diangkat sebagai
nabi dengan "Iqra" yakni surah Al-'Alaq : 1-5, dan diangkat
sebagai rasul dengan surah Al-Mudatstsir.




Tempat asal beliau
adalah Makkah.




Beliau diutus Allah
untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada
tauhid. Dalilnya, firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Wahai
orang yang berselimut ! Bangunlah, lalu sampaikanlah peringatan.
Agungkanlah Tuhanmu. Sucikalah pakaianmu. Tinggalkanlah
berhala-berhala itu. Dan janganlah kamu memberi, sedang kamu
menginginkan balasan yang lebih banyak. Serta bersabarlah untuk
memenuhi perintah Tuhanmu". (Al-Mudatstsir : 1-7).


Pengertian :



  • ·"Sampaikanlah
    peringatan", ialah menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan
    mengajak kepada tauhid.


  • ·"Agungkanlah
    Tuhanmu". Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan beribadah
    kepada-Nya semata-mata.


  • ·"Sucikanlah
    pakaianmu", maksudnya ; Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan
    syirik.


  • ·"Tinggalkanlah
    berhala-berhala itu", artinya : Jauhkan dan bebaskan dirimu
    darinya serta orang-orang yang memujanya.



Beliaupun melaksanakan
perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak
kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu beliau di mi'rajkan
(diangkat naik) ke atas langit dan disyari'atkan kepada beliau shalat
lima waktu. Beliau melakukan shalat di Makkah selama tiga tahun.
Kemudian, sesudah itu, beliau diperintahkan untuk berhijrah ke
Madinah.




Hijrah, pengertiannya,
ialah : Pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islami.




Hijrah ini merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam. Dan kewajiban tersebut
hukumnya tetap berlaku sampai hari kiamat. Dalil yang menunjukkan
kewajiban hijrah, yaitu firman Allah Ta'ala.


"Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan zhalim
terhadap diri mereka sendiri 1,
kepada mereka malaikat bertanya :'Dalam keadaan bagaimana kamu ini .?
'Mereka menjawab : Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri
(Makkah). Para malaikat berkata : 'Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah (kemana saja) di bumi ini ?. Maka
mereka itulah tempat tinggalnya neraka Jahannam dan Jahannam itu
adalah seburuk-buruk tempat kembali. Akan tetapi orang-orang yang
tertindas di antara mereka, seperti kaum lelaki dan wanita serta
anak-anak yang mereka itu dalam keadaan tidak mampu menyelamatkan
diri dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), maka mudah-mudahan
Allah memaafkan mereka. Dan Allah adalah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun". (An-Nisaa : 97-99).




Dan firman Allah
Ta'ala.


"Artinya : Wahai
hamba-hamba-Ku yang beriman ! Sesungguhnya, bumi-Ku adalah luas, maka
hanya kepada-Ku saja supaya kamu beribadah". (Al-Ankabuut : 56).


Al-Baghawai 2,
Rahimahullah, berkata :"Ayat ini, sebab turunnya, adalah
ditujukan kepada orang-orang muslim yang masih berada di Makkah, yang
mereka itu belum juga berhijrah. Karena itu, Allah menyeru kepada
mereka dengan sebutan orang-orang yang beriman".




Adapun dalil dari
Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.


"Artinya : Hijrah
tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum ditutup, sedang
pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari barat".
(Hadits Riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 4, hal. 99. Abu
Dawud dalam Sunan-nya, kitab Al-Jihad, bab 2, dan Ad-Darimi dalam
Sunan-nya, kitab As-Sam, bab 70).


Setelah Nabi Muhammad
menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji,
adzan, jihad, amar ma'ruf dan nahi mungkar, serta syariat-syariat
Islam lainnya.




Beliau-pun melaksanakan
untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh
tahun. Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam
keadaan lestari.




Inilah agama yang
beliau bawa : Tiada suatu kebaikan yang tidak beliau tunjukkan kepada
umatnya dan tiada suatu keburukan yang tidak beliau peringatkan
kepada umatnya supaya di jauhi. Kebaikan yang beliau tunjukkan ialah
tauhid serta segala yang dicintai dan diridhai Allah, sedang
keburukan yang beliau peringatkan supaya dijauhi ialah syirik serta
segala yang dibenci dan tidak disenangi Allah.




Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, diutus oleh Allah kepada seluruh umat
manusia, dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk
mentaatinya. Allah Ta'ala berfirman.


"Artinya :
Katakanlah. 'Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepada kamu semua". (Al-Araaf : 158).


Dan melalui beliau,
Allah telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita, firman Allah Ta'ala.


"..Pada hari ini
3, telah Aku sempurnakan
untukmu agamamu dan Aku lengkapkan kepadamu ni'mat-Ku serta Aku
ridhai Islam itu menjadi agama bagimu". (Al-Maaidah : 3).


Adapun dalil yang
menunjukkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga wafat,
ialah firman Allah Ta'ala.


"Artinya
:Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka-pun akan mati
(pula). Kemudian, sesungguhnya kamu nanti pada hari kiamat berbantah-
bantahan di hadapan Tuhanmu". (Az-Zumar : 30-31).


Manusia sesudah mati,
mereka nanti akan dibangkitkan kembali. Dalilnya firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Berasal
dari tanahlah kamu telah Kami jadikan dan kepadanya kamu Kami
kembalikan serta darinya kamu akan Kami bangkitkan sekali lagi"
(Thaa-haa : 55).




Dan firman Allah
Ta'ala.




"Artinya : Dan
Allah telah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya,
kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalamnya (lagi) dan (pada hari
Kiamat) Dia akan mengeluarkan kamu dengan sebenar-benarnya".
(Nuh : 17-18).


Setelah manusia
dibangkitkan, mereka akan di hisab dan diberi balasan sesuai dengan
amal perbuatan mereka, firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Dan
hanya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
buruk sesuai dengan perbuatan mereka dan memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik dengan (pahala) yang lebih baik
(surga)".(An-Najm : 31).


Barangsiapa yang tidak
mengimani kebangkitan ini, maka dia adalah kafir, firman Allah
Ta'ala.


"Artinya : (Kami
telah mengutus) rasul-rasul menadi penyampai kabar gembira dan
pemberi peringatan, supaya tiada lagi suatu alasan bagi menusia
membantah Allah sebelum (diutusnya), serta beliulah penutup para
nabi". (An-Nisaa : 165).




"Artinya :
Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka tidak akan
dibangkitkan. Katakan : 'Tidaklah demikian. Demi Tuhanku, kamu pasti
akan dibangkitkan dan niscaya akan diberitakan kepadamu apapun yang
telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah amat mudah bagi Allah".
(At-Tghaabun : 7).


Allah telah mengutus
semua rasul sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala.


"Artinya : (Kami
telah mengutus) rasul-rasul menjadi penyampai kabar gembira dan
pemberi peringatan supaya tiada lagi suatu alasan bagi manusia
membantah Allah setelah (diutusnya) para rasul itu .." (An-Nisaa
: 165).


Rasul pertama adalah
Nabi Nuh 'Alaihissalam 4, Dan
rasul terkahir adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
serta beliaulah penutup para nabi.




Dalil yang menunjukkan
bahwa rasul pertama adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, firman Allah Ta'ala.


"Artinya :
Sesungguhnya Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah
mewahyukan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya .." (An-Nisaa :
163).


Dan Allah telah
mengutus kepada setiap umat seorang rasul, mulai dari Nabi Nuh sampai
Nabi Muhammad, dengan memerintahkan mereka untuk beribadat kepada
Allah semata-mata dan melarang mereka beribadah kepada thagut. Allah
Ta'ala berfirman.


"Artinya : Dan
sesungguhnya, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul
(untuk menyerukan) :'Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah
thagut itu ..". (An-Nahl : 36).


Dengan demikian, Allah
telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir
terhadap thagut dan hanya beriman kepada-Nya.




Ibnu Al-Qayyim 5,
Rahimahullah Ta'ala, telah menjelaskan pengertian thagut tersebut
dengan mengatakan.


"Artinya : Thagut,
ialah setiap yang diperlakukan manusia secara melampui batas (yang
telah ditentukan oleh Allah), seperti dengan disembah, atau diikuti
atau dipatuhi".


Dan thagut itu banyak
macamnya, tokoh-tokohnya ada lima :



  1. Iblis, yang telah
    dilaknat oleh Allah.


  2. Orang yang
    disembah, sedang dia sendiri rela.


  3. Orang yang
    mengajak manusia untuk menyembah dirinya.


  4. Orang yang mengaku
    tahu sesuatu yang ghaib, dan


  5. Orang yang
    memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan
    oleh Allah.






Allah Ta'ala berfirman.


"Artinya : Tiada
paksaan dalam (memeluk) agama ini. Sungguh telah jelas kebenaran dari
kesesatan. Untuk itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan
beriman kepada Allah, maka dia benar-benar telah berpegang teguh
dengan tali yang terkuat, yang tidak akan terputus tali itu. Dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (Al-Baqarah : 256).


Ingkar kepada semua
thagut dan iman kepada Allah saja, sebagaimana dinyatakan dalam ayat
tadi, adalah hakekat syahadat "Laa Ilaaha Ilallah".




Dan diriwayatkan dalam
hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


"Artinya : Pokok
agama ini adalah Islam 6, dan
tiangnya adalah shalat, sedang ujung tulang punggungnya adalah jihad
fi sabilillah". (Hadits Shahih riwayat Ath-Thabarani dari Ibnu
Umar Radhiyallahu anhu, dan riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami
Ash-Shahih, kitab Al-Imaan, bab 8).


Hanya Allah-lah Yang
Mahatau. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah
kepada Nabi Muhammad kepada keluarga dan para sahabatnya.




Fote Note.



  1. Yang dimaksud
    dengan orang-orang yang zhalim terhadap diri mereka sendiri dalam
    ayat ini, ialah orang-orang penduduk Makkah yang sudah masuk Islam
    tetapi mereka tidak mau hijrah bersama Nabi, padahal mereka mampu
    dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir
    supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada
    diantara mereka yang terbunuh.


  2. Abu Muhammad
    Al-Husein bin Mas'ud bin Muhammad Al-Farra' atau Ibnu Al-Farra'. Al
    Baghawi (436-510H - 1044-1117M). Seorang ahli dalam bidang fiqh,
    hadits dan tafsir. Di antara karyanya : At-Tahdziib (fiqh), Syarh
    As-Sunnah (hadits), Lubaab At-Ta'wiil fi Ma'aalim At-Tanziil
    (tafsir).


  3. Maksudnya, adalah
    hari Jum'at ketika wukuf di Arafah, pada waktu Haji Wada.


  4. Selain dalil dari
    Al-Qur'an yang disebutkan Penulis, yang menunjukkan bahwa Nabi Nuh
    adalah rasul pertama, di sana juga ada hadits shahih yang menyatakan
    bahwa Nabi Nuh adalah rasul pertama yang di utus kepada penduduk
    bumi ini, seperti hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya kitab
    Al-Anbiya, bab 3 dan riwayat Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Iman,
    bab. 84. Adapun Nabi Adam Alaihissalam, menurut sebuah hadits yang
    diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari, Radhiyallahu anhu. Beliau
    adalah nabi pertama. Dan disebutkan dalam hadits ini bahwa jumlah
    para nabi ada 124 ribu orang, dari jumlah tersebut sebagai rasul 315
    orang, dan dalam riwayat lain disebutkan 310 orang lebih. Lihat :
    Imam Ahmad, Al-Musnad, jilid 5, hal. 178, 179 dan 265.


  5. Abu Abdillah :
    Muhammad bin Abu Bakar, bin Ayyub, bin Said, Az-Zur'i,Ad-Dimasqi,
    terkenal dengan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (691-751H - 1292 -
    1350M). Seorang ulama yang giat dan gigih dalam mengajak umat Islam
    pada zamannya untuk kembali kepada tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah
    serta mengikuti jejak para Salaf Shalih. Mempunyai banyak karya
    tulsi, antara lain : Madaarij As-Salikin, Zaad Al-Ma'aad, Thariiq
    Al-Hijratain wa Baab As-Sa'aadatain, At-Tibyaan fi Aqwaam
    Al-Qur'aan, Miftah Daar As-Sa'aadah.


  6. Silahkan melihat
    kembali pengertian Islam yang disebutkan oleh Penulis, dalam Tiga
    Landasan Utama bagian 3/4