29 November 2008

Sumber Hukum Islam

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut. Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika istinbat hukum.

Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Maka dalam makalah ini kami akan berusaha membahasnya dan akan kami sertakan sumber hukum utama yaitu Al Quran dan Sunnah.

  1. Pembahasan Makalah

Berdasarkan banyaknya permasalahan dalam ilmu Ushul Al Fikih, penulis membatasi masalah hanya pada permasalahan pengertian sumber dan dalil.

  1. Metode Penulisan

Dalam pembuatan makalah ini, penulis menggunakan metode literatur atau kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Pengertian Sumber dan Dalil
    1. Pengertian Dalil

Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah “sesuatu yang meberi patunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.

Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”.

Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.

Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan meneapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.

Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.

    1. Pengertian Sumber

Terhadap dalil hukum, ada sebutan lain di kalangan ulama ushul seperti istilah masadir al ahkam, masadir al syariah, masadir al tasyri atau yang diartikan sumber hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Sedangkan dalil atau yang diistilahkan dengan adillat al ahkam, ushul al ahkam, asas al tasyri dan adillat al syari;ah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukjum syara.

Dalam konteks ini Al Quran dan as sunnah adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus menjadi dalil hukum, sedangkan selain dari keduanya seperti al ijma, al qiyas dan lain-lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai dalil karena ia tidak dapat berdiri sendiri.

Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbat hukum selain Al Quran dan as sunnah. Sebab, keduanya merupakan istilah teknis yang yang dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbat hukum dan dalam prakteknya mencakup Al Quran, as sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber hukum lainnya.

Oleh karena itu, dikalangan ulama ushul masalah dalil hukum ini terjadi perhatian utama atau dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat penting ketika mereka berhadapan dengan persoalan-persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Dengan demikian setiap ketetapan hukum tidak akan mempunyai kekuatan hujjah tanpa didasari oleh pijakan dalil sebagai pendukung ketetapan tersebut.

Keberadaan dalil sebagai pijakan yang mendasari suatu ketetapan hukum mutlak harus diperhatikan dan tidak bisa diabaikan. Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:

1. Al Adillah Al Ahkam Al Manshushah atau dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil-dalil hukum yang dikategorikan kepada bagian ini adalah Al Quran dan as sunnah atau disebut pula dengan dalil naqli.

2. Al Adillah Al Ahkam ghoirul Manshushah atau dalil-dalil hukum yang scara tekstual tidak disebutkan oleh nash Al Quran dan as sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu dan disebut pula dengan dalil aqli.

Adapun dalil-dalil yang dikelompokkan kepada kategori terakhir ini meliputi Ijma, Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf, Syarun Man Qablana dan Qaul Shahabi. Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab mempergunakannya, sedangkan dalil-dalil yang keberadaannya menimbulkan perdebatan di kalangan ulama mazhab ushul. Perbedaan ini muncul karena ketika ulama ushul tidak menemukan dalil atau alasan yang mendasari suatu hukum dari Nash, maka mereka menggunakan ra’yu mereka masing-masing dengan rumusan tersendiri. Hal ini diyakini termotivasi oleh hadits yang berisi dialog antara Nabi saw dengan Mu’az Bin Jabal ketika akan dikirim ke Yaman

Nabi bertanya kepada Mu’az Bin Jabal, “Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara jika diajukan orang kepada engkau?”Mu’az menjawab, “saya akan putuskan dengan Kitab Allah”. Nabi bertanya kembali, ”jika tidak engkau dalam Kitab Allah?”. “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah”, jawab Mu’az. Dan Rasulullah bertanya kembali,”Jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?”. Mu’az menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan”. Kemudian Rasulullah membenarkannya.

Atas dasar ini para ulama ushul di berbagai mazhab menyusun dan berpijak pada sistematika istinbat yang mereka susun masing-masing secara berurutan dengan menempatkan dalil-dalil ra’yu setelah Al Quran dan as sunnah

 

  1. Al Qur’an

              1. Definisi Al Qur’an Dan  Akar kata al Qur’an

Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata 1. Diantara beberapa nama itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur’an.

Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur 3. Dikatakan Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :

“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).

Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.

“dan apabila dibacakan Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf [7]:204).

Al Qur’an merupakan  kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. Tidak dinamakan al Qur’an seperti Zabur, Taurat dan Injil. Ketiga kitab tersebut memang termasuk kalam Allah tapi tidak diturunkan kepada nabi Muhammad sehingga tidak disebut al qur’an

 

  1. Hadits dan Sunnah

Sunnah adalah segala perbuatan dan perkataan Rasulullah, termasuk segala sesuatu yang disetujui oleh Beliau.  Hadits sendiri berarti segala hikayat atau pembicaraan yang digunakan dalam meriwayatkan segala sesuatu tindak tanduk Rasulullah, sehingga sunnah dapat berarti sebuah contoh perbuatan atau hukum yang diambil dari adanya suatu hadits.  Berkaitan dengan Shariah, hanya sunnah yang berkaitan dengan hukum sajalah yang dikategorikan sebagai suatu sumber hukum Islam, sehingga sunnah yang tidak langsung berkaitan seperti bagaimana teknik pertanian, strategi peperangan, dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah sumber hukum Islam atau hukum pidana Islam.

Sunnah sendiri digunakan dalam berbagai keperluan diantaranya adalah untuk menkonfirmasi hukum-hukum yang sudah disebutkan dalam Alquran, untuk memberikan penjelasan tambahan bagi ayat Alquran yang menjelaskan sesuatu secara umum, untuk mengklarifikasi ayat-ayat Alquran yang mungkin dapat menerbitkan keraguan bagi ummat, dan memperkenalkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam alquran.  Kompilasi atas hadits dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim yang secara umum dikumpulkan oleh empat periwayat hadits terkemuka yaitu kompilasi hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (870M), Muslim (875M), Abu Dawud (888M), dan At-Tirmidhi (892M).  Mungkin masih ada hadits yang diriwayatkan oleh selain empat ulama terkemuka ini, namun secara umum umat muslim mengenal empat kompilasi hadits yang dikumpulkan atau diriwayatkan ulama di atas.  Hadits sendiri diklasifikasikan berdasarkan kualitas dari periwayatnya (bisa dipercaya) dan kekuatan dari isnad atau bagaimana hubungan antara para periwayat itu sendiri, sehingga dapat digolongkan dalam tiga jenis: Muwatir, Mashhur, dan Ahad.  Masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri yang menandakan kualitas dari hadits-hadits tersebut.

  1. Ijma’ Dan Qiyas

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.

Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[4] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.[5]

Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.

Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”

 

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.[7]

Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.

 

  1. Ijma’

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan berarti berupaya di atasnya.

Sebagaimana firman Allah Swt:

“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)

Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.[10]

Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.[11]

Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:

1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.[12]

Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:

Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:

Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.

Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.

Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

 

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[14]

 

  1. Qiyas

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.

Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)

Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[17]

Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.

2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[18]

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.

2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.

3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.

4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

 

 

BAB III

RANGKUMAN

 

  • Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.
  • Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur
  • Sunnah adalah segala perbuatan dan perkataan Rasulullah, termasuk segala sesuatu yang disetujui oleh Beliau.  Hadits sendiri berarti segala hikayat atau pembicaraan yang digunakan dalam meriwayatkan segala sesuatu tindak tanduk Rasulullah, sehingga sunnah dapat berarti sebuah contoh perbuatan atau hukum yang diambil dari adanya suatu hadits.  Berkaitan dengan Shariah, hanya sunnah yang berkaitan dengan hukum sajalah yang dikategorikan sebagai suatu sumber hukum Islam, sehingga sunnah yang tidak langsung berkaitan seperti bagaimana teknik pertanian, strategi peperangan, dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah sumber hukum Islam atau hukum pidana Islam.
  • Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
  • Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
  • Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan berarti berupaya di atasnya. Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
  • Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:

Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:

Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.

Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.

Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

  • Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hokum.
  • Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.

2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.

3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.

4. Illat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.

Abdurachman, Asmuni. 1985. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Al subki, ibn. t.t. Matn jam’i Al Jawa’I .Juz I dan II, Indonesia: Maktabah Dar Ihya Al Kitab Al Arabiyah.

Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..

Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka setia.

Khallaf, Abdul Wahab. 1972. Fi Ulumil ushul Fiqih. Kairo : Maktabah Da’wah Islamiyah.

Muhammad Syah, Ismail. 1991. Filsafat Hukum Islam : Jakarta : Bumi Aksara.

Romli. 1999 .Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta : Gaya Media Pratama

Qattan, Manna’. 1973 . Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Riyadh : Mansyuratul ‘Asril Hadits.

http://elearning.unej.ac.id/courses/001/document/

http://diaz2000.multiply.com/journal/item/3/3

http://tebuireng.net/news_Ijma'+Dan+Qiyas.html

http://one.indoskripsi.com/category/mata-kuliah/studi-fiqh


Yayasan PESANTREN RAUDLATUL ULUUM AEK NABARA

PESANTREN RAUDLATUL ULUUM AEK NABARA

AKTE NOTARIS No. 4

Mengasuh:

Ma’had Tahfidzul Qur’an, Ponpes Salafiyah Tingkat Ula(Setara SD/MI),

Raudlatul Athfal (TK Islam),Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah,

SMK 1 (Pertanian dan Perkebunan), SMK 2 (Teknik Mek.Otomotif dan Teknik Elektronika)










Kantor: Jl. Bambu Kuning No. 68 Aek Nabara – Bilah Hulu – Labuhanbatu ' (0624) 520516 – 520517 * 21462

Jl. Kota Pinang Gg. Raudlah No. 6 Aek Nabara – Bilah Hulu – Labuhanbatu ' (0624) 29338 * 21462

Dsn Cinta Makmur Aeknabara –Bilah Hulu–Labuhanbatu–Sumut Indonesia ' 081263499929 (M.Khadi Marzuki) * 21462

email : r_uluum1987@yahoo.co.id











13. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".



17. Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).



Visi :

Menjadi Lembaga Pendidikan Berbasis Islam Berstandard Nasional Pada Tahun 2010

Susunan Pengurus Yayasan Pesantren Raudlatul Uluum :

Pembina : DR. (HC). H. Marfin Kasduri

Ketua I : Muhammad Iqbal, S.SosI

Ketua II : Bukhori Fasha, S.Pd

Sekretaris : Abdul Aziz AR

Bendahara : Hj. Sugihati

Supervisor : Widya Syahraini, S.Pd

Fasilitas :

Mushola.



Lingkungan belajar yang nyaman dan asri.



Tenaga Edukatif (Guru) & Tenaga Administratif yang professional.



Ruang Teori yang memadai.



Workshop Otomotif dan Elektronika yang representative.



Peralatan dan bahan praktek yang lengkap.



Green House Pertanian.



Laboratorium Komputer.



Media Internet dan TV Edukasi.



Perpustakaan.



Pembelajaran Multimedia.



SUZUKI CLASS (Bengkel Resmi Standard SUZUKI)



Sarana Olah Raga yang lengkap.



Unit Kesehatan Sekolah (Konsultan : dr. Hariaty)



Kegiatan Ekstrakurikuler (OSIS,Team Sepakbola, Volleyball, Buletin Sekolah, Kerohanian Islam, dll).



Beasiswa bagi siswa yang tidak mampu dan Sekolah Gratis untuk Ponpes Salafiyah tingkat Ula setara Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI).



Jaringan Kerjasama dengan Dunia Usaha/Dunia Industri.





Raudlatul_Uluum wrote:

kelender

kelender_Selection

Dua Racun Hati

Jika ada suatu wilayah dengan sutau system pemerintahan, maka pemimpin tertinggi dari wilayah itu pastilah orang yang memegang kendali system pemerintahan tersebut. Apabila sang pemimpin orang bijak Insya Allah keadaan negaranya aman dan tentram. Jika sebaliknya, rusaklah Negara yang ia pimpin. Pejabat kerajaan dan tentaranya hanya akan menjadi alat perampas harta atas nama Negara. Rakyatnya hanya akan berada dalam dua keadaan, meniru perilaku pemimpin tersebut atau melawannya dengan hasutan, pengkhianatan dan pemberontakan.

Begitu juga kalau pemimpin itu bernama hati. Tubuh adalah wilayah kekuasaannya, seakan anggota tubuh seakan para menteri, punggawa, tentara serta rakyatnya. Jika hati lurus, luruslah keadaan tubuh tersebut. Apabila hati rusak, apa yang diperbuat anggota tubuh hanya akan menuruti kerusakan hati.

Kadang-kadang hati itu sehat dan kadangkala ia sakit. Sakitnya hati di sini tidaklah berarti hati itu mati, karena ketika sebuah hati mati, maka artinya adalah hati itu sudah ditutup dari kebenaran. Dan hanya orang kafirlah yang mempunyai hati mati seperti itu.

Secara umum, sebab penyakit hati hanya ada dua, yaitu syubhat dan syahwat. Yang pertama mengaburkan cara pandang dan daya pikir sehingga yang terserang tidak mampu membedakan kebenaran dan kebatilan. Yang kedua menipu mata hati manusia sehingga pandangannya akan tertuju kepada hal-hal yang menyenangkan dari kenikmatan sesaat dan melupakan kenikmatan akhirat.

Dua penyakit inilah yang selalu digunakan setan untuk menyesatkan manusia. Dengan dua penyakit inilah, setan telah membujuk Nabi Adam dan Hawa, sehingga Allah mengeluarkan keduanya dari surga.

“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya dan berkata, ‘Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon kekekalan dan kerajaan yang tidak akan binasa?’(Thaha: 120)

Syubhat

Syubhat secara bahasa mempunyai makna perkara yang samar-samar atau kabur. Ia digunakan ketika ada sesuatu yang sebenarnya haram dianggap halal, ketika ada kebenaran dianggap sebagai kebatilan. Dr. Ahmad Farid dalam Tazkiyatun Nufus menyebutkan bahwa syubhat adalah kesimpulan yang salah yang diakibatkan oleh keracunan hati dan kesalahn cara berfikir. Definisi kedua inilah yang dimaksudkan sebagai penyakit hati jenis yang pertama.

Jika Allah mencela orang-orang munafik, orang-orang yang mempunyai penyakit hati, dan orang-orang yang menyalahi sebagian ajaran agama, maka jenis penyakit yang ada pada mereka adalah penyakit syubhat.

Contohnya adalah firman Allah, “Di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah pun menambahkan penyakit itu.” (Al-Baqarah : 10)

Penyakit dalam ayat ini adalah keraguan dan kemunafikan. Ini merupakan syubhat dari setan yang dihembuskan ke hati-hati orang munafik sehingga mereka menganggap bahwa keyakinan mereka dapat memperdayai Allah dan orang-orang yang beriman.

Dengan jauhnya jarak jaman ini dengan masa keemasan nubuwah dan sahabat, semakin maraklah syubahat-syubhat yang tersebar di masyarakat. Contoh sederhana adalah sehubungan dengan firman Allah dalam surat Thaha ayat 14, yang artinya, “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Orang-orang yang terkena syubhat akan ngeyel, “Jika tujuan shalat untuk mengingat Allah, tanpa shalat, saya pun sudah senantiasa mengingat Allah. Lalu untuk apa saya melaksanakan shalat?”

Ada juga yang getol menyerukan aktualisasi ajaran Islam sehingga tak hanya pelintar-pelintir ayat dan hadist, menolak ayat dan hadist pun terjadi. Seperti terjadi pada orang yang protes terhadap suatu bagian dalam hal warisan untuk wanita. Menurutnya, sekarang wanita sudah banyak yang bekerja, sehingga seharusnya. Bagiannya juga sama dengan laki-laki.

Syahwat

Syahwat secara bahasa, sebenarnya berarti sesuatu yang diingini. Dalam definisi yang lebih pas, syahwat adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang diinginkan dan kecondongan hati kepada sesuatu yang dicintai.

Sebenarnya syahwat ini sudah menjadi atribut manusia sejak lahir. Tanpa syahwat kepada lawan jenis, tidak akan berlanjutr keturunan anak Adam. Keinginan dasar manusiawi ini akan tercela jika cinta dunia dan panjang angan-angan masuk ke dalamnya.

Dalam Al-Qur’an, apabila konteks kalimatnya mengenai orang-orang yang berbuat maksiat dan mereka yang condong kepadanya, maka jenis penyakitnya adalah penyakit syahwat. Contohnya adalah dalam firman Allah, “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya.” (QS. 33:32).

Komplikasi Syahwat dan Syubhat

Jika penyakit badan bisa berkomplikasi, meyerang satu tubuh pada saat yang sama, begitu pula halnya dengan penyakit syubahat dan syahwat. Sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya, “(Janganlah seperti) orang-orang sebelum kamu; mereka adalah orang-orang yang lebih kuat, lebih banyak harta dan anaknya daripada kamu. Mereka mengambil bagian (dunia) mereka, dan kamu pun mengambil bagian dunia kamu sebagaimana mereka mengambil bagian dunia mereka. Dan kamu pun memperbincangkan (kebatilan) sebagaiamana mereka memperbincangkannya.”

Mengomentari ayat ini, Ibnu Qayyim dalam I’lamul-Muwaqi’in berkata, “Firman Allah, ‘kamu nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang sebelum kamu menikmati bagian mereka’ merupakan isyarat kepada mengkais-kais syahwat yang merupakan penyakit ahli maksiat. Dan firman Allah, ‘dan kamu mempercakapkan kebatilan sebagaimana mereka mempercakapkannya’ merupakan isyarat koreksi terhadap syubhat yang merupakan penyakit ahli bid’ah, ahli ahwa’, dan tukang-tukang debat. Kebanyakan dua hal tersebut selalu bergandengan. Maka jarang kamu dapati seorang yang rusak akidahnya kecuali akan nampak juga kerusakan pada amalnya.”

Obat Dua Penyakit

Rasulullah telah memberi untuk menanggulangi syubhat dan syahwat dalam hadistnya, “Sesungguhnya dunia itu terkutuk, terkutuk juga apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah dan mendekatkan diri kepada-Nya, orang alim dan muta’alim (penuntut ilmu).” (HR. Tirmidzi)

Dzikrullah dan pendekatan diri kepada-Nya merupakan senjata untuk melawan syahwat, sedangkan mempelajari dan mengajarkan ilmu agama dapat menghancurkan syubhat.

Ibnu Qayyim mensarikan obat bagi syubhat dan syahwat dari firman Allah, “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah : 24)

Dalam Risalah Ila Kulli Muslim, beliau berkata, “Allah menggabungkan antara kesabaran dan keyakinan karena keduanya itulah dasar kebahagiaan seorang hamba. Hilangnya keduanya, berarti hilangnya kebahagiaan. Karena hati itu kerap disusupi syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan syubhat yang menyelisihi jalan kebaikan. Dengan kesabaran, syahwat dapat direm, dan dengan keyakinan, syubhat dan kesamaran bisa ditepis.”

Syubhat dan syahwat sudah menjadi senjata abadi musuh manusia, tinggal kita saja yang mau atau tidak mau untuk menuntut ilmu, menyakini, serta mengamalkan ketaatan kepada Allah. Inilah pilihan bagi kita.

Maraji’ :

*

- 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di, Pustaka Firdaus
*

- Syubhat dan Syahwat serta Dampak Negatifnya bagi Umat, Abu Ihsan Al-Atsary dalam As-Sunnah 24/II/1418-1997
*

- Nasihat Ibnu Qayyim untuk Setiap Muslim, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, At-Tibyan.

Sumber : Majalah Nikah edisi 10/I/2002, hal. 32-33

Ahkamul Awqof / Hukum Waqof

BAB I

PENDAHULUAN

 

Alqur’an adalah sebuah kitab suci yang mempunyai kode etik dalam membacanya. Membaca Alqur’an tidak seperti membaca bacaan-bacaan lainnya. Membaca Alqur’an harus tanpa nafas dalam pengertian sang pembaca harus membaca dengan sekali nafas hingga kalimat-kalimat tertentu atau hingga tanda-tanda tertentu yang dalam istilah ilmu tajwid dinamakan waqof. Jika si pembaca berhenti pada tempat yang tidak semestinya maka dia harus membaca ulang kata atau kalimat sebelumnya.

Waqof artinya berhenti di suatu kata ketika membaca Alqur’an, baik di akhir ayat maupun di tengah ayat dan disertai nafas. Mengikuti tanda-tanda waqof yang ada dalam Alqur’an, kedudukannya tidak dihukumi wajib syar’i bagi yang melanggarnya. Walaupun jika berhenti dengan sengaja pada kalimat-kalimat tertentu yang dapat merusak arti dan makna yang dimaksud, maka hukumnya haram.

Jadi cara membaca Alqur’an itu bisa disesuaikan dengan tanda-tanda waqof dalam Alqur’an atau disesuaikan dengan kemampuan si pembaca dengan syarat bahwa bacaan yang dibacanya tidak berubah arti atau makna.

Waqof dalam Alquran

> Tanda awal atau akhir ayat

> Tanda awal atau akhir surat

> Tanda-tanda waqof

BAB II

AHKAMUL WAQOF

 

  1. Pengertian Tajwid

Tajwid menurut bahasa berasal dari kata جوّد-يجوّد-تجويدا yang berarti bagus atau membaguskan. Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an maupun bukan.

Adapun masalah-masalah yang dikemukakan dalam ilmu ini adalah makharijul huruf (tempat keluar-masuk huruf), shifatul huruf (cara pengucapan huruf), ahkamul huruf (hubungan antar huruf), ahkamul maddi wal qasr (panjang dan pendek ucapan), ahkamul waqof wal ibtida’ (memulai dan menghentikan bacaan) dan al-Khat al-Utsmani.

Inilah yang dimaksud dengan membaca al-Qur’an dengan tartil sebagaimana firman-Nya : و رتل القران ترتيلا (المزمّل : 4) yang artinya : “Bacalah al-Qur’an itu dengan tartil”. Sedangkan arti tartil menurut Ibn Katsir adalah membaca dengan perlahan-lahan dan hati-hati karena hal itu akan membantu pemahaman serta perenungan terhadap al-Qur’an.

  1. Tujuan Mempelajari Ilmu Tajwid

Ilmu Tajwid bertujuan untuk memberikan tuntunan bagaimana cara pengucapan ayat yang tepat, sehingga lafal dan maknanya terpelihara. Pengetahuan tentang makhraj huruf memberikan tuntunan bagaimana cara mengeluarkan huruf dari mulut dengan benar. Pengetahuan tentang sifat huruf berguna dalam pengucapan huruf. Dalam ahkamul maddi wal qashr berguna untuk mengetahui huruf yang harus dibaca panjang dan berapa harakat panjang bacaannya. Ahkamul waqof wal ibtida’ ialah cara untuk mengetahui dimana harus berhenti dan dari mana dimulai apabila bacaan akan dilanjutkan.

  1. Pengertian Waqof

Secara bahasa waqof artinya terhenti/tertahan. Menurut istilah ilmu tajwid, waqof maksudnya memutuskan suara pembacaan atas suatu kalimat untuk menarik napas, dengan berniat untuk mengulangi bacaannya atau memang berwaqof di tempat yang pantas.

Dalam setiap mushaf menampilkan tanda-tanda waqof yang berbeda. Oleh karena itu, dalam makalah ini hanya akan dibahas tanda-tanda waqof yang dipergunakan pada mushaf Qur’an Saudi saja. Tanda-tanda waqof pada mushaf ini terdapat pada halaman-halaman terakhir mushaf.

  1. Jenis-Jenis Waqof
  1. Waqof Lazim

Waqof Lazim (harus), yaitu berhenti di akhir kalimat sempurna. Waqof Lazim disebut juga Waqof Taam (sempurna) karena waqof terjadi setelah kalimat sempurna dan tidak ada kaitan lagi dengan kalimat sesudahnya. Tandanya:( م ).

Contoh ayat : Al Baqarah : 26

* ¨bÎ) ©!$# Ÿw ÿ¾ÄÓ÷ÕtGó¡tƒ br& z>ÎŽôØo„ WxsVtB $¨B Zp|Êqãèt/ $yJsù $ygs%öqsù 4 $¨Br'sù šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä tbqßJn=÷èuŠsù çm¯Rr& ‘,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§‘ ( $¨Br&ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 šcqä9qà)u‹sù !#sŒ$tB yŠ#u‘r& ª!$# #x‹»ygÎ/ WxsVtB ¢ ‘@ÅÒム¾ÏmÎ/ #ZŽÏVŸ2 “ωôgtƒur ¾ÏmÎ/ #ZŽÏWx. 4 $tBur ‘@ÅÒムÿ¾ÏmÎ/ žwÎ) tûüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇËÏÈ   

 

  1. Waqof Tasawi

Waqof Jaiz Yang Kedua :

Waqof Tasawi

Waqof Tasawi (sama), yaitu tempat berhenti yang sama hukumnya antara waqof dan washal. Tandanya:( ج ).

Contoh Ayat An Nisaa' : 12

* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurø—r& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/”9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4  Æßgs9ur ßìç/”9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ó‰s9ur   4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJ›V9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u‘ ß^u‘qム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7‰Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß‰¡9$# 444 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° ’Îû Ï]è=›W9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h‘!$ŸÒãB 4 Zp§‹Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ   

 

  1. Waqof Hasan

Waqof Hasan (baik), yaitu bacaan yang boleh washal atau waqof, akan tetapi washal lebih baik dari waqof. Dinamakan hasan (baik) karena berhenti di tempat itu sudah baik. Tandanya:( صلي ).

Contoh ayat : Al Maidah : 8

$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9ω÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ   

  1. Saktah Lathifah (Berhenti Sejenak)

Saktah Lathifah (Berhenti Sejenak) yaitu memutuskan suara (selama dua harkat) di akhir kata tanpa bernafas. Tandanya {2}

߉÷Kptø:$# ¬! ü“Ï%©!$# tAt“Rr& 4’n?tã Ínωö7tã |=»tGÅ3ø9$# óOs9ur @yèøgs† ¼ã&©! 2%y`uqÏã ÇÊÈ   

 

 

  1. Waqof Muraqabah

Waqof muraqabah (terkontrol) yang disebut juga ta’anuqul-waqfi (waqof bersilang), yaitu terdapatnya dua tempat waqof di lokasi yang berdekatan, akan tetapi hanya boleh berhenti pada salah satu tempat saja.

Contohnya :

y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu‘ ¡ Ïm‹Ïù ¡ “W‰èd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ   

 

  1. Waqof Mamnuk

Waqof Mamnuk (terlarang), yaitu dilarang berhenti ditengah-tengah kalimat yang belum sempurna yang dapat mengakibatkan perubahan pengertian karena mempunyai kaitan yang sangat erat -- secara lafal dan makna – dengan kalimat sesudahnya. Oleh karena itu, dilarang berhenti ditempat itu. Tandanya : (ﻻ )

Contohnya :

 ãAqà)tƒur tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ÏäIwàs¯»ydr& tûïÏ%©!$# (#qßJ|¡ø%r& «!$$Î/ y‰ôgy_ öNÍkÈ]»yJ÷ƒr&   öNåk¨XÎ) öNä3yèpRmQ 4 ôMsÜÎ6ym öNßgè=»yJôãr& (#qßst7ô¹r'sù tûïÎŽÅ£»yz ÇÎÌÈ   

 

 

  1. Aturan Bacaan Ketika Waqof

 

Aturan waqof yang ke: 1

Apabila huruf terakhir berharakat sukun ( ْ ), maka cara melafazhkannya tetap tanpa ada perubahan, kecuali jika huruf terakhirnya adalah huruf Qalqalah, Hams, atau harus di baca Tafkhhiim, atau Tarqiiq, maka harus dibaca tampak.

Aturan waqof yang ke: 2

Jika huruf terakhir merupakan huruf hidup, atau tidak berharakat sukun, maka membacanya dengan menyukunkan huruf tersebut, kecuali jika huruf terakhirnya adalah huruf Qalqalah, Hams, atau harus di baca Tafkhhiim, atau Tarqiiq, maka harus dibaca tampak.

 

Aturan waqof yang ke: 3

Apabila katanya berakhiran ta marbutan ( ة ), maka ketika disukunkan berubah lafazhnya menjadi Hha (ﻫ).

 

Aturan waqof yang ke: 4

Jika katanya berakhiran dengan huruf hidup dan huruf sebelumnya berharkat sukun maka huruf terakhirnya ( huruf hidup tersebut ) disukunkan dengan melafazhkan sebagian hurufnya saja.

 

 

Aturan waqof yang ke: 5

Jika katanya berakhiran dengan huruf hidup dan huruf sebelumnya adalah huruf mad atau liin maka huruf terakhirnnya disukunkan dengan memanjangkan lafazh huruf maad nya

 

Aturan waqof yang ke: 6

Apabila huruf terakhir berharkat tanwin fathah, maka tanwin berubah menjadi fathah dan dibaca dua harkat.

 

Aturan waqof yang ke: 7

Jika huruf terakhir bertasydid, maka huruf tersebut disukunkan dengan tidak menghilangkan lafazh tastdidnya ( ّ ).

 

Aturan waqof yang ke: 8

Apabila huruf terakhir berupa alif ta’nis maqshuran atau fi’il madlhi bina’ naqish yang diakhiri huruf ya’ maka di baca fathah ( َ ) dengan panjang dua harkat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

R I N G K A S AN

 

Tajwid menurut bahasa berasal dari kata جوّد-يجوّد-تجويدا yang berarti bagus atau membaguskan. Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya.

Secara bahasa waqof artinya terhenti/tertahan. Menurut istilah ilmu tajwid, waqof maksudnya memutuskan suara pembacaan atas suatu kalimat untuk menarik napas, dengan berniat untuk mengulangi bacaannya atau memang berwaqof di tempat yang pantas.

Jenis-Jenis Waqof :

  1. Waqof Lazim
  2. Waqof Tasawi
  3. Waqof Hasan
  4. Saktah Lathifah (Berhenti Sejenak)
  5. Waqof Muraqabah
  6. Waqof Mamnuk

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://nurmadani.multiply.com/journal/item/4

http://smarking.com/editbookmark/?url=http://www.ikatanwargaislaminalum.com/?p=20&title=Membaca%20Al%20Qur%E2%80%99an%20dan%20Kesehatan

http://www.uni-duisburg.de/~sl452er/mr/doc/ModulTajwid.pdf

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBu3t7UlBjJDz89aQVuDIN_hNcpg1bwjyTLvVGgf5j8FjU-Pb0g2rlURuzcxY_8TJkoMiXmN_2Q7b8MnIRIJO5NXCUMdeTY3RcEWm11WMy9jzb9f5bsJ2wiFGrtEJ2_plOR6gEBbYC94c/s1600-h/Wakaf+Saktah+lathifah.bmp


23 November 2008

BAI'AT Antara Sunnah Dan Bid'ah

بسم الله الرحمن الرحيم

MUKADIMAH

Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan minta tolong kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya, amma ba'du.

Inilah tulisan singkat yang dilengkapi dengan dalil-dalil ilmiah baik dalil naqli maupun aqli tentang masalah ba'iat yang syar'i[ ] serta hukumnya menurut Al-Kitab dan As-Sunah. Apakah bai'at itu hanya boleh untuk khalifah saja atau untuk semua manusia? Disertai penjelasan pendapat yang benar tentang bai'at agar menjadi terang dan gamblang bagi pencari kebenaran (al-haq). Terungkap sebagian penyimpangan-penyimpangan yang menjerumuskan kepada aliran-aliran yang sesat dan menyesatkan.

Saya tulis risalah ini, setelah saya yakin bahwa ketika amalan Islam menjadi jauh dari fitrahnya di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka terjadilah kemorosotan moral, kehidupan rohani menjadi lemah, ilmupun kian sedikit. Begitupula semakin hilang keteguhan ketika menghadapi fenomena-fenomena yang mengerikan dan menyedihkan, dan jarak antara syi'ar dan kenyataan semakin lebar, serta semakin hilang jejak-jejak Nabi pada para juru dakwah (da'i), sebagai gantinya muncul jejak (jalan) yang dipenuhi oleh pemikiran aneh.[ ]

Maka saya berkeinginan untuk menulis pembahasan ini dengan tujuan menyebarkan ilmu dan menampakkan al-haq. Mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan menunjukkan jalan yang lurus kepada kita. Sesungguhnya Allah Maha mampu atas segala sesuatu.



PENGANTAR

Karakter suatu pembahasan dan alurnya akan berbeda menurut perbedaan kondisi yang ada, motivasi dan hasil-hasil yang mau dicapai, serta hal-hal lainnya yang tidak samar lagi bagi penuntut ilmu dan ahlinya.

Pembahasan kita dengan kekuatan yang diberikan Allah kepada kami bukanlah pembahasan yang didasari oleh perasaan dan semangat dengan cara menampakkan ungkapan-ungkapan yang indah. Tetapi pembahasan ini merupakan bahasan yang ilmiah (insya Allah), karena menuntut ilmu merupakan salah satu bentuk jihad yang wajib bagi kita untuk berkorban di dalam menempuhnya, meskipun berat dan mahal.[ ]

Jika hasil pembahasan nampak dengan jelas dan terang, maka wajib bagi pembaca tulisan ini untuk kembali kepada kebenaran (al-haq). Sehingga tertutuplah jalan bagi setan untuk memasuki jiwa-jiwa, dikarenakan jiwa, jika ditempati hawa nafsu pada salah satu lubuknya, maka akan dibutakan dari kebaikan dan akan ditulikan telinganya dari al-haq.[ ] Tertutup pula was-was setan bahwa rujuknya dia dari kesalahan (kepada kebenaran -ed) akan meruntuhkan reputasi dan menurunkan kedudukannya ! Padahal yang meghilangkan kedudukan adalah : masa bodoh dengan kesalahan, pindahnya dai dari hari kemarin kepada hari ini, kemudian kepada hari esoknya (semakin jelek amalnya -ed), merasa terjaga dari kesalahan dan menutup mata dari keadaan masyarakat yang komplek.[ ]

Barangkali ada orang yang membantah dengan mengatakan :
Yang menjadi kewajiban kita sekarang ini ialah mengajak kaum muslimin kepada masalah-masalah yang tidak ada perselisihan di dalamnya dan menjauhi sisi yang terdapat perselisihan di dalamnya[ ] Tidak sepantasnya bagi kita untuk berbicara seputar perselisihan demi menjaga kemaslahatan, sehingga musuh-musuh kita tidak tahu masalah ini! Atau ada yang mengatakan : Kewajiban yang paling penting ialah mengarahkan keinginan kaum musimin kepada persatuan barisan dan menyatukan kalimat semampu kita[ ].

Perkataan ini menyelisihi kebenaran, karena bersembunyi di atas kesalahan dengan dalih demi menjaga kemaslahatan bersama, Begitu pula anggapan bahwa koreksi di dalam beragama merupakan penyebab perpecahan dan pertikaian serta perkara yang berbahaya dan kerusakan yang nyata yang akan ditebus oleh umat dengan darah yang mengalir. Bukan itu saja, bahkan akan menimbulkan hilangnya kekuatan dan yang paling mendasar adalah hilangnya eksitensi. Padahal umat jika tanpa adanya koreksi dan saling menasehati akan hidup dalam warna lain : 'berupa kesendirian sampai pada batasan yang sangat menyedihkan dan menyakitkan'. Dari sini diketahui bahwa sosok seorang muslim yang benar ialah yang tidak terkungkung (terkurung) dan terpaku oleh satu sosok bagaimanapun karakternya. Tetapi sosok yang selalu siap untuk berpindah dari yang bermanfaat kepada yang lebih bermanfaat lagi, dari yang baik kepada yang lebih baik lagi, selalu menerima al-haq jika sudah terang dan menerima dalil jika sudah gamblang (jelas), serta tidak terjerumus kedalam hizbiyyah yang mematikan dan ashabiyyah yang membinasakan.[ ]

Adapun anggapan bahwa diam dalam masalah tersebut (nasehat-menasehati) bisa menyatukan barisan, maka hal ini telah dijawab oleh al-Ustadz Sayyid Qutb rahimahullah "Dengan ayat tersebut (Al-Maidah : 48 -pent) Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menutup semua pintu bagi setan, berupa kamuflase yang kelihatan baik dan bisa meluluhkan hati serta bisa menyatukan barisan tetapi dengan meremehkan sebagian dari syariat Allah demi memperoleh keridhaan dari semua pihak atau demi persatuan shaf (barisan)[ ]

Yang lainpun akan mengatakan dengan memberikan jalan keluar yang "obyektif" dengan berkata : "Kita saling menolong pada masalah-masalah yang kita sepakati dan saling memberi 'udzur' (maaf) sebagian atas sebagian yang lain pada masalah-masalah yang kita berselisih di dalamnya".[ ]

Maka kami jawab : "Benar, wajib bagi kita untuk saling menolong pada permasalahan yang kita bersepakat di dalamnya, seperti membela al-haq dan mendakwahkannya, serta mengingatkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-nya, Adapun saling memberi ma'af sebagian kita kepada sebagian yang lain pada masalah yang kita berbeda pendapat di dalamnya, tidaklah secara mutlak, tetapi perlu dirinci lagi. Kalau permasalahannya termasuk dari masalah-masalah ijtihad yang samar dalilnya, maka wajib untuk tidak mengingkari sebagian kita atas sebagian yang lain. Adapun pada permasalahan yang menyelisihi nash baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk mengingkari orang yang menyelisihinya, akan tetapi dengan hikmah dan nasehat yang baik serta berdiskusi dengan cara yang lebih baik ...." [ ]

Sebenarnya sebagian penulis-penulis harakiyyin (gerakan Islam) telah merasakan salahnya pemutlakan kalimat tersebut di atas, sehingga membatasinya dengan batasan yang halus guna menghilangkan kesalahan dan kekeliruan kalimat tersebut. Maka, diapun menyatakan setelah membawakan kalimat tersebut dengan mengatakan : "....pada masalah-masalah yang ada bagian untuk ijtihad di dalamnya".[ ]

Kemudian penulis yang lainpun memberi batasan dengan mengatakan : "...dengan ketentuan adanya kemungkinan ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) di dalamnya dan dengan landasan-landasan manhaj (metode) yang membolehkan adanya ikhtilaf seperti ini"[ ] Perlu diketahui bahwa keduanya berasal dari sekolah yang sama yang mengucapkan kalimat ini.

Saya berkata, "Di bawah ini adalah manhaj yang ilmiah dan benar yang wajib untuk diikuti, dan menapakinya agar terwujud kesatuan wawasan di antara kaum muslimin. Bukan manhaj tambal sulam, karena yang demikian itu tidak terdapat dalam agama Allah sedikitpun!".

Barangkali kritik dan koreksi ini akan dibantah/ditentang oleh para penulis Islam, lebih-lebih yang lainnya. Bahkan dianggap sebagai pengrusakan dan penghancuran. Kemudian mengatakan : "Adapun orang-orang yang ambisi pada diri-diri mereka sendiri untuk memperbaiki langkah disela-sela pengrusakan terhadap (akidah, -ed) jama'ah, yaitu memulai dari titik nol, maka kami katakan kepada mereka : "Sungguh kalian telah ketinggalan kereta, karena titik permulaan telah ada sejak lima puluh tahun sebelum ditulisnya tulisan ini. Memperbaiki langkah adalah dari dalam, dengan maksud membangun bukan menghancurkan!"[ ]

Benarkan perbaikan itu tidak akan bisa kecuali dari dalam ?
Apakah ucapan ini dari dalil-dalil petunjuk ? Atau hanya sekedar hasil eksperimen seseorang saja ?
Yang lain berkata dengan menjelaskan penyebab timbulnya orang yang berguguran di jalan dakwah menurut persangkaannya. Dia mengatakan :"Sebab keempat : Tekanan gerakan-gerakan bawah tanah.

Di antara hal-hal yang menyebabkan gugurnya kebanyakan orang di jalan Islam dan dakwah ialah berkaitan dengan gerakan-gerakan bawah tanah yang disaksikan oleh perjalanan Islam. Gerakan ini pekerjaannya tidak lain hanyalah memberi keraguan dan kritik. Seakan-akan dia diberi kepercayaan dan kekuasaan untuk menghancurkan gerakan-gerakan Islam dengan menggunakan nama Islam. Maka di setiap penjuru, dari masa ke masa akan muncul kelompok-kelompok yang berbeda dengan nama Islam merusak kemampuan intelektual para pemuda, meniadakan peran serta mereka dan meracuni udara-udara mereka.... Betapa banyaknya fenomena ini merusak akal yang sebelumnya sehat dan memadamkan cahaya yang sebelumnya menyala serta menghilangkan kekuatan yang sebelumnya bisa menghasilkan (produktif).[ ]

Kemudian apa sebab utama bagi pandangan yang gelap seperti ini terhadap masalah kritik, perbaikan dan membongkar kesalahan-kesalahan ?

Menurut keyakinan sebab utamanya ialah karena gerakan Islam terpengaruh -sampai batas tertentu- dengan suasana kehidupan partai yang ada di negara-negara Arab pada masa sekarang ini. Sehingga karakter gerakan Islam dan metodenya -hampir sama sebagian waktu [ ] - terkotori dengan ruh hizbiyyah yang sempit, yang tidak sesuai dengan keadaan dan suasana keterbukaan dan kemanusiaan dalam Islam.[ ]

Bahkan termasuk malapetaka bagi gerakan Islam, serta kemunduran dan kekacauan cara kerjanya ialah adanya pemikiran hizbi. Sehingga jika suatu tanzhim (kelompok/organisasi) ingin merekrut anggotanya akan menggunakan dalih ketaatan, tidak boleh membantah dan harus mengikuti perintah-perintah. Menurut mereka inilah yang dinamakan dengan loyal. Demikian pula sebaliknya.

Dari hasil metode pengajaran semacam ini ialah munculnya suatu generasi atau sekelompok besar dari para pemuda yang hanya menunggu perintah saja, sehingga terhalang dari pembaharuan dan kedinamisan. Padahal pembaharuan merupakan rahasia yang akan mengangkat dakwah. Sebaliknya akan rugi sebagian kelompok yang unsur terpenting dari dominannya adalah mengadakan pembaharuan.[ ]

Perkataan kami tentang ketaatan (di dalam harakah -ed) bukanlah suatu perkataan yang baru, bahkan merupakan realita yang bisa disaksikan. Ditulis serta dibukukan. Sehingga kita bisa temukan pada tulisan mereka bahwa aturan dakwah pada tahap pembentukan adalah sufi murni dan segi ruh dan militer murni dari segi pergerakan. Dan syiar bagi kedua segi ini adalah perintah dan taat, tidak boleh membantah dan ragu, serta tidak boleh beralasan. Bahkan ide yang pertama kali muncul pada tahap persiapan ini ialah ketaatan yang sempurna. Tidak menjamin keberhasilan pada tahap ini kecuali sempurnanya ketaatan. Atas dasar inilah barisan yang pertama mengambil bai'at dari ....." [ ]

Padahal taat yang wajib dan terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin (amirul mukminin) atau yang mewakilinya. Bukan ketaatan kepada segolongan manusia ata salah satu kelompok dari jama'ah-jama'ah yang ada. Walaupun demikian, tidak mungkin untuk disyaratkan dengan kata-kata "Tidak boleh membantah dan ragu serta tidak boleh beralasan" lebih-lebih dengan "taat yang sempurna"[ ] yang semestinya hanya diberikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuan-ketentuan agama ini ialah bahwa taat itu hendaknya pada hal-hal yang sudah jelas dan ukuran standardnya-pun tepat. Dan ini bukan termasuk bid'ah serta perkara yang diada-adakan, bahkan merupakan jejak langkah generasi terbaik (salafus ash-shalih). Abu Bakar ash-Shiddiq, -salah satu khalifah yang lurus, dan orang yang bersama Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika di gua, serta Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti sunnahnya - beliau berkata di awal pidatonya dari atas mimbar pertanggungjawaban : "Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Jika aku maksiat kepada-Nya maka tidak ada kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku" [ ]

Ini adalah merupakan pelajaran bagi orang yang bertanggung jawab dipusat kepemimpinan dan pemerintah, yaitu tidak mewajibkan untuk taat kepadanya kecuali jika dia mentaati perintah-perintah Allah dan berpegang teguh dengan manhaj (Ahlus Sunnah wal-Jama'ah). Merupakan pelajaran pula bagi orang awam agar semua inderanya selalu waspada dan hendaknya diapun memiliki ilmu yang sempurna tentang manhaj, serta tidak ada kewajiban baginya untuk taat kecuali pada hal-hal yang ma'ruf.[ ]

Kalau begitu, permasalahannya sekarang bukan karena berprasangka, menuduh, atau mengada-ada, tetapi merupakan hakekat yang nyata dan bisa dirasakan, yaitu pada saat dua orang yang berbeda kelompoknya saling berjumpa kemudian saling mengemukakan pandangan-pandangannya pasti akan timbul perselisihan. Sebab ruh hizbiyyah dan ta'ashub bisa memunculkan suasana yang aneh tatkala bertemu. Sehingga dia tidak melihat keadaan sekitarnya kecuali dengan warnanya. Pada gilirannya dia tidak melihat adanya kemungkinan salah padanya, diserta perasaan benar terhadap yang dia bawa. Bahkan merasa bahwa kebenaran mutlak ada padanya dan kesalahan mutlak ada pada orang lain [ ]

Sebetulnya, pertemuan semacam ini mustahil dapat terjadi, karena seorang hizbi pasti bersikukuh memegangi pendapatnya (walaupun terbatas), serta bersikeras untuk mengamalkan pendapatnya. Mengingat kelompok-kelompok kajian yang bersifat intern selalu melakukan pengkhususan dan pendalaman terhadap pendapat-pendapat tersebut, membelanya dan berusaha untuk melumpuhkan pendapat yang menyelisihinya. Karena akal pikiran seorang hizbi dibentuk untuk mempunyai satu pandangan saja, bukan karakter akal yang berkesinambungan. Demikian pula, bagi seorang hizbi, cenderung berkumpul bersama teman-teman almamaternya, artinya teman-teman satu sekolahan untuk melakukan pembentukan pribadi (bukan dengan ilmu, -ed). Sehingga ketika dia berkumpul dengan orang-orang di luar kelompoknya, maka diapun akan terisolir dari mereka dan diapun menjaga jarak dengan mereka dengan menahan diri sebelumnya. Ketika sudah dimulai pembahasan, ia merasa menderita dan tertekan. Jika berkembang pada perdebatan dia pun akan menghindar. Karena itulah suasana pertemuan penuh dengan basa-basi, dan hanya sekedar menghabiskan waktu. Atau penuh pergulatan dan tarik menarik, sehingga ada kalanya seorang hizbi tersebut tetap sebagai unsur pelaksana murni yang tidak mau berfikir banyak atau jatuh pada tarikan yang terus menerus (kalah dalam berdebat), lalu kembali (ruju'). Atau berhenti aktif dan meninggalkan kelompoknya secara praktik (artinya secara kenyataan tidak dengan pengumuman resmi) atau terus berkembang secara lambat laun sehingga melewati tangga hizbiyyah, baik dalam keadaan tetap memegangi pemikiran hizbiyyah atau meninggalkan hizb tersebut menuju tempat yang jauh dan suasana baru, khususnya berkaitan dengan orang-orang yang mempelajari masalah kemanusiaan. Dan dalam medan berfikir ini, yang berkumpul kebanyakan berasal dari kalangan penulis yang sebelumnya mempunyai latar belakang hizbiyyah, lalu melewati tangga hizbiyyah tersebut [ ] . Ini bukan berarti kekalahan, "gugur" atau tenggelam atau istilah-istilah lain yang diberikan kepada orang yang keluar dari hizb tertentu, karena istilah tersebut menyelisihi pemikiran yang bersandar pada Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh karena itu, maka apabila seorang muslim mendapati jalan yang salah, lalu dia bermaksud (setelah memberikan keterangan dan ditolak ucapannya) untuk meninggalkan kesalahan tersebut, maka ini adalah haknya. Akan tetapi tidak dikatakan keluar dari bai'at, tidak pula terlepas dari agama atau kembali pada masa jahiliyyah dan seterusnya dari ungkapan-ungkapan semisalnya.[ ]

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen harus dengan manhaj Islam, fikrah dan syari'at Allah. Bahkan terhadap individu, tanzhim-tanzhim, jama'ah-jama'ah atau pemerintah-pemerintah yang semuanya sebagai tempat salah dan benar. Karena bencana, kesenjangan, penyakit dan wabah akan menyusup dalam kehidupan Islam dari celah penyimpangan terhadap barometer ini atau usaha merampasnya dari tangan seorang muslim.

Dari sana dapat dipahami bahwa kemaksuman semu diberikan atas sebagian orang, rekomendasi-rekomendasi yang menggelikan yang dibuat untuk berbuat semaunya adalah awal keruntuhan. Karena, ini adalah permulaan praktik penggunaan tujuan-tujuan dan bukan mengemban tanggung jawab. Kadang-kadang hal ini merupakan sifat manusia tatkala dikuasai masa-masa tak berdaya atau menimpa kepada mereka keadaan-keadaan genting, intimidasi pemikiran secara terus menerus, atau rusaknya suasana politik, sehingga hukum dibeda-bedakan menurut orangnya, dan dibentuk penipuan terhadap syariat dalam bentuk sesuatu yang diada-adakan. Serta menumbuh tingkatkan ahli fikih penguasa, baik penguasa harta, pemerintah atau jabatan. Lalu ditakwilkan hadits-hadits dan ayat-ayat menurut kemauan hawa nafsunya. Akibatnya seseorang tidak boleh mengetahui bahwa mengajak untuk komitmen dengan manhaj merupakan barometer dan standard kebenaran dan kebatilan. Sedang tidak iltizam (komitment) dengan seseorang dituduh sebagai sikap ragu terhadap pribadi, merusak perjuangan dan menjauhkan diri dari jama'ah kaum muslimin secara keseluruhan.

Hal ini bukan perkara yang seorang muslim boleh memilihnya. Tetapi pada hakekatnya merupakan pembenaran terhadap langkah kehidupan kaum muslimin dalam berjama'ah dan menghilangkan terisolirnya seseorang dari kehidupan manusia serta upaya berpegang teguh dengan Islam. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya.
"Artinya : Dan dua orang yang saling bercinta karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah di atas keadaan yang demikian" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah]
Maka persatuan harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Berpisahpun harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Kecuali dalam keadaan hilang akal, dan tidak mampu menlihat kebenaran (al-haq) dengan benar disebabkan fanatik golongan, pribadi, ikatan dan kaum. Atau pada keadaan tidak adanya kemauan yang kuat untuk ber-iltizam dengan agama ini. [ ]

Ringkasnya ialah : Termasuk pandangan yang salah adalah keyakinan bahwa praktik mengkritik, saling menasehati, amar ma'ruf dan nahi mungkar akan menimbulkan kekacauan di barisan Islam dan kegoncangan dalam beramal. Padahal suatu barisan atau jama'ah yang takut untuk berdialog dengan pobhi untuk saling memberi nasehat, apalagi setan memberi kerancuan kepada sebagian anggotanya bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar akan merusak keberdayaannya adalah jamaah yang tidak dapat dipercaya, tidak berhak untuk langgeng dan tidak punya keahlian untuk mengemban risalah Islam yang tuntunan utamanya adalah amar ma'ruf dan nahi mungkar. Maka orang yang tidak punya sesuatu, tidak mungkin akan memberikan sesuatu tersebut.

Sesungguhnya membuang praktik saling menasehati, menahannya dan menghempaskannya, akan menimbulkan bahaya besar yang akan menimpa pada permasalahan pokok bagi keberlangsungan bentuk amalan dan dakwah. Karena sarana (yaitu saling menolong di dalam perjalanan suatu jama'ah untuk sampai kepada kebaikan yang lebih besar) berubah menjadi tujuan menurut batasan jama'ah tersebut. Sesungguhnya sifat egois dan intimidasi pemikiran yang ada pada sebagian aktifis Islam, merupakan akibat dari hilangnya medan perbuatan keimanan yang kokoh yang dapat melahirkan sifat tawadhu', lemah lembut dan akhlak yang mulia. Pada akhirnya muncul kelompok-kelompok kecil, semacam sekte-sekte baru, sehingga terpecahlah kemampuan berpikir, timbul golongan-golongan dan hilang persatuan, menjadi goncang tangga menuju keutamaan, hilang tempat menghimpun permasalahan-permasalahan, berhenti pekerjaan yang menghasilkan. Sarana-sarana berubah menjadi tujuan (sebagaimana kami telah jelaskan). Gambaran Islam hanya berkisar pada figur-figur yang permasalahan Islam tidak dilihat kecuali dari mereka. Kesungguhan beramal berubah menjadi pekerjaan untuk mendapatkan rekomendasi, lalu pekerjaan memperoleh rekomendasi ini menjadi dominan pada saat memahami studi sebab-sebab terjadinya kemunduran.

Permasalahan ini tidak akan bisa diobati kecuali dengan cara membiasakan berfikir, berdialog dan berpegang teguh dengan adab berselisih yang Islami. Menjadikan amalan yang disyari'atkan sebagai prinsip-prinsip, sedang pemikiran-pemikiran bukan untuk sarana bagi figur-figur tertentu. Karena akidah tempatnya adalah di hati. Tidak ada kekuasaan bagi seorangpun kecuali kekuasaan dalil. Dan menerima sesuatu dengan apa adanya hendaknya dibiasakannya (berhenti pada dalil). Allah subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa tujuan diutusnya beliau adalah memberikan rahmat kepada alam semesta. Allah berfirman.
"Artinya : Tidaklah engkau diutus kecuali sebagai rahmat bagi semua alam" [Al-Anbiya' : 107]
Dan berfirman.
"Artinya : Engkau bukanlah sebagai penguasa bagi mereka" [Al-Ghasyiyah : 22]
Dan Allah berfirman kepada Nabi-Nya juga.
"Artinya : Apakah kamu memaksa manusia agar mereka menjadi orang yang beriman ?" [Yunus : 99]
Dan berfirman.
"Artinya : Seandainya engkau kasar dan keras hati, niscaya mereka lari darimu" [Ali-Imran : 159]
Inilah sebagian langkah-langkah utama dalam berdakwah kepada Allah dan menyebarkan rahmat bagi semua alam. [ ]



BAIAT

Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa pembahasan masalah baiat merupakan pembahasan yang luas dan panjang lebar. Dibutuhkan penjelasan tentang pengertian baiat menurut istilah yang biasa dikenal, berapa macam-macamnya, apa arti sebenarnya, apa yang dimaksud dengan baiat tersebut, apa hikmah yang terkandung dengan meletakkannya di atas manhaj ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa baiat diwajibkan, syarat-syarat sempurnanya baiat, serta dengan apa baiat itu rusak.[ ]

Karena pembahasannya besar dan pelik sekali, maka kami akan meringkasnya pada dua permasalahan penting yang menjadikan kebingungan dan perselisihan yang dahsyat atas kaum muslimin, yaitu : "Kepada siapakah baiat itu wajib ? Apakah baiat itu boleh kepada setiap individu?". Adapun masalah-masalah yang lain bukan di sini tempatnya untuk membahasnya.

Kami mulai pembahasan ini dengan definisi baiat secara etimologi maupun terminologi. Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat "qad tabaa ya'uu 'ala al-amri" seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : "shofaquu 'alaihi" (membuat perjanjian dengannya). Kata-kata "baaya'tahu" berasal dari kata "al-baiy'u" dan "al-baiy'atu" demikian pula kata "al-tabaaya'u". Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
'ala tubaa yi'uunii 'ala al-islami'

"Maukah kalian membaiatku di atas Islam"
Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.[ ]

Bai'at Secara Istilah (Terminologi)
"Berjanji untuk taat". Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.

Jika membaiat seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa 'a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan syari'at.[ ]

Dan ba'iat itu secara syar'i maupun kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk kepala negara[ ]. Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal 'aqdi. Sedang baiat selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti baiat mereka [ ]

Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan/membicarakan tentang baiat, baik yang berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.[ ] Berupa hadits-hadits yang sulit untuk menghitung maupun menelitinya. Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat yang terdapat di dalam hadits-hadits ialah baiat kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah) Islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah [ ]

Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang baiat secara ringkas.

[I]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bejanji setia kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar" [Al-Fath : 10]
[II] Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)" [Al-Fath : 18]

Di dalam as-Sunnah, diantaranya.
[I] "Artinya : Barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh dia telah melepas ikatan Islam dari lehernya" [Dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar]
[II] "Artinya : Barangsiapa berjanji setia kepada seorang imam dan menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka hendaknya dia menaati imam tersebut menurut kemampuannya. Maka jika datang orang lain untuk menentangnya, maka putuslah ikatan yang lain tersebut" [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]
[III] "Artinya : Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya" [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Sa'id]
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lainnya.

Salah seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah wal-Jama'ah ditanya tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di atas. Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau menjawab :"Tahukah kamu, apakah imam itu ? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya, dan semuanya mengatakan : "Inilah imam", maka inilah makna imam"[ ]

Al-Imam Al-Qurthubi berkata [ ] :"Adapun menegakkan dua atau tiga imam dalam satu masa dan dalam satu negeri, maka tidak diperbolehkan menurut ijma"

Kemudian setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat tajam tentang ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid mengatakan : "Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam. Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang mendasar, yaitu :

1. Kelompok Pertama
Mengatakan : "Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun[ ], dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau meninggalkan baiat.

2. Kelompok Kedua
Mengatakan :"Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa yang meniggalkannya berarti dosa". Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah dosa-dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut. Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar [ ]

3. Kelompok ketiga adalah mereka (kaum muslimin) yang tidak membaiat seorangpun
Mereka mengatakan : "Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau) kenyataannya tidak ada di masa sekarang". Menurut keyakinanku, kelompok ketiga inilah yang berada di atas kebenaran" [ ]

Dan diantara hal yang menguatkan kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah (pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin- terdapat dalam keterangan para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam baiat berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi seorang yang memenuhi syarat-syaratnya [ ]




KESIMPULAN DAN TARJIH

Jadi yang dimaksud dengan baiat ialah, pemberian janji dari pihak pembaiat untuk mendengar dan taat kepada amir, baik di kala senang atau terpaksa di masa mudah atau sulit, tidak menentang perintahnya dan menyerahkan segala urusan kepadanya. [ ]


PERINGATAN

Dari keterangan yang telah lewat, kita mendapatkan dua perkara yang penting, yaitu :
1. Baiat tidak ada kecuali kepada Amirul Mukminin saja.
2. Ketaatan (kepada Amirul Mukminin) muncul dari baiat yang hanya diberikan kepadanya saja.
Oleh karena itu batal-lah[ ] semua baiat yang diberikan kepada seseorang (bukan Amirul Mukminin) bagaimanapun bentuknya, baik ketika ada imam atau tidak ada, ada seorang atau lebih.

Pada hakekatnya dasar pemikiran baiat yang dimiliki sebagian jama'ah-jama'ah Islam pada prinsipnya sesuai dengan syari'at Islam, karena mereka mengatakan di dalamnya : "Hendaknya kita berjanji setia kepada Allah untuk menjadi tentara dalam berdakwah kepada Islam dan di dalam baiat tersebut terdapat kehidupan negeri dan umat"[ ] Padahal ini adalah perjanjian yang diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala atas semua kaum muslimin.

Kemudian terjadilah sedikit "perkembangan" pemikiran dan organisasi pada orang-orang yang memberlakukan baiat terhadap diri-diri mereka, sehingga terjadilah kelompok/jamaah ikhwan membaiat pemimpin umum (al-mursid al-aam) sebagai orang yang dipercaya penuh dan didengar serta ditaati ketika suka atau terpaksa, sampai Allah memenangkan dakwahnya dan mengembalikan kemualiaan Islam.[ ] Kalau demikian terjadi keterjungkil balikan dan kesalahan.

Sebagai buktinya diantara sistem kerja anggota baiat adalah taat baik di kala susah atau mudah, terpaksa atau suka kepada kepemimpinan yang muncul dari aturan-aturan yang dipegangi oleh jama'ah.[ ]

Dua keterangan terakhir ini menjelaskan dengan gamblang bahwa baiat istitsnaiyyah yang tanpa dalil tersebut, tidak berbeda sedikitpun dengan baiat terhadap Amirul Mukminin. Tidak sebagaimana yang disangka oleh "sebagian orang" bahwa baiat tersebut hanya "sekedar janji"[ ] belaka !

Sebagai penambah keautentikan penjelasan tersebut ialah bahwa para pengikut Asy-Syaikh Hasan Al-Bana Rahimahullah menamainya dengan "Al-Imam". Padahal penamaan ini [ ] hanya bisa diperuntukkan bagi orang yang benar-benar imam. Karena diketahui bahwa al-ustadz Hasan Al-Banna tidak menyukai kepemimpinan dan mengetahui pula bahwa cinta kepada kepemimpinan dengan tujuan mencari kekuasaan mengakibatkan kejelekan bagi kaum muslimin pada sejarah mereka yang panjang, maka dia (Hasan Al-Banna -ed) menamai dirinya dengan mursyid dan tidak suka untuk menjadi pemimpin atau amir[ ]

Karena semua itulah sebagian penulis mengatakan : "Sesungguhnya baiat yang diberikan kepada suatu jama'ah, tidaklah sama dengan baiat yang diberikan kepada Amirul Mukminin ketika tegak khilafah atau penguasa muslim. Karena dengan baiat tersebut perintah seorang penguasa menjadi wajib untuk ditaati, sampai pada masalah-masalah yang mudah jika terdapat kemaslahatan di dalamnya. Adapun baiat yang terdapat pada Ikhwan al-Muslimin (dan katakan seperti itu juga pada jama'ah-jama'ah Islam lainnya), maka tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk taat, -ed) dari sisi fikih" [ ]

Untuk menjawab perkataan ini dari beberapa sisi.
1. Tidak terdapat dalil atas pemisahan (baiat) ini dalam Al-Kitab dan As-Sunah.
2. Sebelumnya telah saya nukilkan teks-teks dari ucapan Asy-Syaikh Hasan Al-Banna dan lainnya, dan tidak terdapat isyarat yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan di dalamnya terdapat isyarat kepada khilafah, tatkala menyebutkan "ketaatan yang mutlak"!!
3. Penelitian terhadap keberadaan jama'ah-jama'ah Islam dan tingkah para pemimpin serta anggotanya, berlawanan dengan pernyataan di atas. [ ]
Jika anda heran wahai saudaraku pembaca, maka lebih mengherankan lagi ucapan orang yang membantah ini yang menyatakan bahwa baiat tersebut tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk taat). Maka ucapan ini berarti membatalkan semua baiat dari akarnya. Hal ini diketahui dengan menjawab dua pertanyaan berikut ini.
1. Jika baiat tidak membuat adanya suatu kewajiban (untuk taat), lalu apa faedahnya ?
2. Apakah di dalam syariat Islam ada amalan yang tidak ada faedahnya?
Orang yang mencari dan memperhatikan, kritis dan jeli akan mengetahui jawabannya !




KESIMPULAN PEMBAHASAN DAN BEBERAPA TAMBAHAN
1. Baiat dengan berbagai macamnya tidak diberikan kecuali kepada khalifah kaum muslimin yang melaksananakan hukum-hukum dan menetapkan hukum had.
2. Mendengar dan taat tidak ada kecuali bagi orang yang Allah memberikan perintah untuk mentaatinya. Dan yang menjadi fokus pembahasan kita di sini adalah Amirul Mukmin saja! [ ]
3. Disebabkan oleh perbedaan kaum muslimin sekarang ini dalam memahami baiat dan tidak sepakatnya mereka di atas pemahaman yang syar'i dan benar tentang baiat, maka mereka saling bermusuhan, berpecah belah dan bersilang pendapat. Suatu kondisi yang akan menimbulkan penyimpangan di dalam beramal bersama hukum-hukum fikih. Begitu pula anggapan bahwa mereka adalah jama'atul muslimin, dapat menimbulkan kerusakan dan menghukumi kaum muslimin di luar lingkup mereka dengan hukum-hukum yang justru akan menjauhkan mereka dengan risalah yang sesungguhnya, karena celah-celah dakwah kepada Allah telah terkunci.[ ] Bukti semua itu (sebagai contoh) bahwa di New York saja terdapat lebih dari empat puluh kelompok yang menyeru kepada Islam, akan tetapi setiap jama'ah menyeru kepada Islam yang berbeda seruan Islamnya dengan yang lain.[ ]
Atas dasar itulah, wajib bagi kita untuk benar-benar meyakini bahwa gejala munculnya banyak kelompok di dalam pergerakan Islam tidak mungkin dianggap sebagai gejala yang sehat, karena efeknya bagi perkembangan Islam negatif dan buruk. Sedang akibatnya akan menimbulkan kesulitan di antara para aktifis serta menyibukkan mereka sendiri yaitu ketika menghadapi gugurnya sebagian anggota dakwah dan beban-beban yang lainnya.[ ] Maka kenyataan yang dapat disaksikan bahwa keadaan para da'i pada masa sekarang ini adalah hasil dari perpecahan yang tajam dan menyakitkan ini, suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Bahkan suatu keadaan yang sangat menyedihkan yang tidak boleh terus berlarut-larut keadaannya. Dan setiap muslim bertanggung jawab untuk mengobati gejala ini, agar kaum muslimin kembali sebagaimana sebelumnya yaitu sebagai umat terbaik yang dikeluarkan bagi mausia dan agar agama ini semuanya hanya untuk Allah.[ ]

Tidak hanya dalam satu ayat saja dari kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala terdapat perintah untuk bersatu dan bermufakat serta larangan untuk berselisih dan berpecah belah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." [Ali-Imran : 105]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa" [Al-An'am : 153]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesunguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" [Al-Anfal : 46]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tipa golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka" [Al-Mukminun : 53]



Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mulia[ ], yang menerangkan dengan tegas tentang tidak bolehnya kaum muslimin berpecah belah di dalam agama mereka menjadi kelompok-kelompok dan hizb-hizb yang saling melaknat sebagian atas sebagian yang lain dan saling memerangi sebagian atas sebagian yang lain. Karena sesungguhnya perpecahan ini adalah termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan Allah mencela orang yang mengada-adakannya atau mengikuti ahlinya, serta memberi ancaman bagi pelakunya dengan siksa yang pedih.... [ ]



BEBERAPA SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

Barangkali sebagian para da'i ada yang membantah hasil yang telah kita capai yaitu bahwa bai'at umum di dalam syari'at Islam tidak mungkin diberikan kecuali hanya kepada Amirul Mukminin saja. Seorang Amirul Mukminin yang memiliki kepantasan dan tanggung jawab, yang mampu untuk menegakkan agama dan melaksanakan hukum-hukumnya, menjalankan hukum sesuai syari'at, mengumumkan perang, cenderung kepada perdamaian dan lain sebagainya dari tugas-tugas yang khusus bagi Amirul Mukminin menurut pandangan Islam. Adapun celaan-celaan ditujukan pada siapa saja yang memberontak dan memisahkan diri dari jama'ah[ ] dan lain sebagainya tidak lain terjadi pada keadaan seperti ini (adanya Amirul Mukminin -ed) [ ]

Sebagai penguat lagi bahwa baiat yang umum tidak mungkin diberikan kecuali hanya kepada pemimpin kaum muslimin, yang mampu mengumumkan perang, mengikat perdamaian dan menegakkan hukum-hukum had[ ]

Jadi, bahwa permasalahan ini adalah permasalahan yang pasti dan tegas tidak menerima basa-basi. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menerima dalam masalah tersebut kecuali kesungguhan yang sangat, suatu kesungguhan yang selayaknya ada pada seorang muslim dalam masalah agama[ ]. Dan perkara ini diambil dari karakter agama ini. Dikarenakan masalah baiat adalah masalah yang jelas yang tidak mengandung kerancuan, tegas tidak menerima basa-basi.[ ]

Sedang penentangan-penentangan sebagian orang, terbatas pada beberapa syubhat. Akan kami sebutkan dan kami jawab, dengan daya dan kekuatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.



SYUBHAT PERTAMA
"Tidak ada dalil yang melarang bai'at".

Kami jawab dari beberapa sisi.
1. Sesungguhnya semua pembicaraan orang-orang terdahulu dari kalangan ahli ilmu dan fikih berkisar pada baiat kepada seorang khalifah muslim. Tidak seorangpun dari mereka (sesuai penelitianku) berpendapat kepada baiat-baiat istitsnaiyyah yang diberikan kepada bukan pemimpin kaum muslimin! Barangsiapa yang berpendapat selain ini, maka wajib baginya untuk menunjukkan dalil!
2. Jika kami mengatakan (dalam rangka membantah), bolehnya baiat semacam ini, maka apakah baiat itu khusus untuk golongan tertentu dari manusia ? Atau boleh untuk seluruh golongan umat dan individu-individunya ? Jika kami jawab pertanyaan yang pertama dengan "ya", maka yang demikian berarti batil, dan membuat-buat syari'at yang tidak diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena tidak ada wahyu yang mengkhususkan sekelompok manusia dengan suatu perkara, tanpa memberikan kepada kelompok yang lain setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam! Dan jika kami jawab pertanyaan yang kedua dengan "ya", berarti kami telah memporak porandakan urusan kaum muslimin, mencerai beraikan urusan mereka, dan memecah belah kedigdayaan mereka, serta menjadikan mereka berkelompok-kelompok dan bergolongan-golongan. Dari sana, maka terbuka pintu yang tidak bisa ditutup bagi beribu-ribu ba'iat, sehingga seorang mendatangi orang yang ia kehendaki kemudian membaiatnya kapan saja yang ia mau. Ini adalah sebatil-batilnya perkara!
3. Dimana pendahulu umat ini dari baiat-baiat semacam ini ? Apakah akal dan hawa nafsu kita bisa sampai kepada suatu kebaikan sedang kita lepas dari orang-orang terbaik dari umat ini dari kalangan salaf dan para imam Ridhwanullah 'alaihim ajma'in ? Maka benarlah Nabi yang terpilih Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersabda. "Artinya : Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami yang tidak ada (contoh) kami di atasnya, maka amalan tersebut ditolak" [Hadits Riwayat Bukhari-Muslim dari 'Aisyah]. Maka baiat-baiat istitsnaiyyah seperti ini yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits atau tidak terdapat pada perbuatan salah seorang dari salaf as-shalih[ ], adalah bid'ah dan perkara yang diada-adakan. Yang dibuat untuk menghianati orang awam dan kalangan orang-orang yang berilmu dari kaum muslimin, agar terpengaruh dengan tujuan merendahkan dan bertindak sesuka hatinya terhadap mereka [ ]. Dilakukan dibawah syiar al-wala' (loyalitas), al-intima' (kecenderungan), as-sam'u wa ath-tha'ah (mendengar dan taat), taubah dan lain sebagainya dari ungkapan-ungkapan yang dikemas dengan indah, kata-kata yang manis dan lafazh-lafazh yang mempesona.

SYUBHAT KEDUA
"Baiat Aqabah yang pertama dan ke dua terjadi sebelum tegaknya negara Islam".

Jawaban dari beberapa segi.
1. Kami katakan : "Ini adalah perbuatan yang tidak etis terhadap Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam. Tidak sepantasnya diucapkan teradap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau mengajak baiat sesudah atau sebelum tegaknya daulah. Karena ini adalah kebenaran yang diberikan dan dikhususkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan dikhususkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaiat sahabat-sahabatnya untuk tidak melarikan diri dari peperangan dan kadang memba'iat mereka untuk mati dan untuk berjihad sebagaimana membaiat mereka atas Islam. Dan beliau-pun membaiat mereka untuk hijrah sebelum fathu Mekkah, membaiat mereka untuk bertauhid, komitmen dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan beliaupun pernah memba'iat sekelompok dari para sahabat ridhwanullah 'alaihim ajma'in untuk tidak minta-minta sesuatupun terhadap manusia[ ]. Maka tidak sepantasnya bagi seorangpun dari manusia -bagaimanapun sesatnya orang tersebut- untuk mengkiaskan semua ini untuk dirinya saja, sebagaimana sudah jelas dan gamblang
2. Bahwa baiat tersebut diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedang beliau adalah orang yang dipersiapkan oleh Rabb semesta alam untuk menjadi amir bagi orang-orang mukmin. Dan tidak seorangpun setelah tegaknya daulah diberi bai'at secara umum selain beliau, sampai beliau menemui Tuhannya. Maka jadilah beliau amirul mukminin dan melaksanakan hukum had dan hukuman-hukuman lainnya. Kalau begitu siapakah di jaman sekarang ini orang yang seperti beliau di dalam persiapan Allah Subhanahu wa Ta'ala ?
3. Bahwa baiat yang pertama, adalah baiat untuk beriman kepada Allah saja, berpegang teguh dengan amalan-amalan yang utama dan mejauhi amalan-amalan yang mungkar[ ]. Dan engkau tidak mendapatkan pada panji-panji pembaitan ini suatu panji yang berkaitan dengan jihad[ ] atau yang menyerupainya. Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa baiat ini tidak diberikan kepada seorangpun (sebagaimana telah dijelaskan dengan rinci), tetapi hanya diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah dipersiapkan untuk menjadi imam dan pemimpin bagi kaum mukminin.
4. Sebagai penguat jawaban yang telah lewat, bahwa baiat Aqabah yang kedua merupakan kebulatan tekad untuk berhijrah dan pengukuhan pendirian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar serta kesanggupan mereka untuk memberikan kedamaian dengan suasana yang cerah di Madinah[ ]. Baiat tersebut juga merupakan janji militer saja. Tidak dibahas di tengah-tengah perundingan tersebut suatu masalah kecuali tentang kesanggupan tempat perlindungan ke Madinah. Serta untuk memerangi musuh-musuh beliau dan musuh agamanya. Maka baiat Aqabah lebih dari sekedar perjanjian untuk membela dari serangan. Sesungguhnya baiat tersebut adalah merupakan janji militer[ ]
Bait Aqabah yang kedua ini merupakan suatu landasan pijak bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk hijrah ke Madinah. Oleh karena itulah baiat tersebut mencakup dasar-dasar yang sempurna pensyariaatannya setelah hijrah, dan yang paling utama adalah jihad dan membela dakwah dengan kekuatan. Dan baiat Aqabah ini telah menjadi salah satu hukum -walaupun Allah belum memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa hal itu akan disyariatkan di masa yang akan datang [ ]

Maka berdalih dengan ke dua baiat tersebut atas baiat-baiat istitsnaiyyah seperti ini adalah alasan yang batil, sebagaimana tidak samar lagi setelah penjelasan ini.

Oleh karena itu tidak boleh dikatakan bahwa baiat itu terjadi sebelum adanya daulah! Akan tetapi baiat itu adalah kunci pertama dan pendahuluan yang pokok untuk tegaknya daulah!


SYUBHAT KETIGA
Baiat tersebut adalah baiat untuk amalan yang disyariatkan, seperti taubat, shalat dan lain sebagainya, maka hal itu menyerupai akad jual beli.

Jawab.
1. Jawabannya pada nomor (3), pada bantahan syubhat yang pertama.
2. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di dalam Majmu' Fatawa (28/18) bahwa jika maksud mereka dengan kesepakatan, loyalitas dan baiat ini adalah untuk tolong menolong atas kebenaran dan takwa, maka hal itu telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baginya dan bagi orang lain tanpa kesepakatan tersebut. Dan jika yang dimaksud adalah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan, maka hal itu telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga suatu kesepakatan yang dimaksudkan dengannya berupa kebaikan yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka tidak perlu adanya kesepakatan tersebut. Dan suatu kesepakatan yang dimaksudkan dengannya berupa kejelekan, maka hal tersebut telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Adapun menyerupakan baiat ini dengan akad jual-beli (dari sisi ini), maka hal itu adalah batil, bahkan membatalkan baiat mereka sendiri. Karena sifat jual beli berbeda dengan perbedaan yang mendasar dengan sifat baiat sebagaimana akad[ ]. Maka akad jual beli memberikan faedah bagi seorang pembeli untuk memiliki barangnya yang dijual dan pemilikan seorang penjual akan harganya, kemudian putus hubungan keduanya setelah itu. Maka bagi penjual boleh untuk menggunakan harga jualnya tersebut dengan bebas. Sedangkan pembeli tidak berhak untuk menghalanginya atau membatasi kebebasannya dalam menggunakan uang tersebut.[ ]
Adapun baiat yang syar'i, maka boleh bahkan wajib untuk menentang orang yang dibaiat jika menyelisihi perintah-perintah syari'at dan hukum-hukumnya, sebagaimana dijelaskan dengan rinci pada tempatnya. Karena tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil perjanjian atas seorang yang lain guna menyetujui atas apa yang dia inginkan, mencintai orang yang dia cintai dan memusuhi orang yang dia musuhi. Bahkan orang yang berlaku demikian termasuk jenisnya Jengis Khan dan orang yang semodel dengan dia, yang menjadikan orang yang setuju dengan mereka sebagai teman dan kawan serta menjadikan orang yang menyelisihi mereka sebagai musuh dan lawan.[ ]


SYUBHAT KEEMPAT
Bahwa baiat tersebut serta hukum-hukum sumpah dari segi adanya kafarat (denda), hanya saja baiat itu untuk taat.

Jawaban dari dua segi.
1. Bahwa baiat semacam itu tidak ada di jaman salaf ash-shalih, padahal ada pendorong untuk melakukan hal tersebut.
2. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan baiat ini dengan sumpah, maka masing-masing orang bisa berbuat sekehedak dirinya. Sewaktu-waktu dapat keluar dari baiat. Sebab sumpah dapat dijadikan baginya adanya kafarat-kafarat. Maka jika seseorang yang berbaiat ingin membatalkan baiatnya, dia tinggal membayar kafarat sumpahnya, sehingga hilanglah dosa darinya. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan baiat sebagai suatu perjanjian serta menyerupakannya dengan jual beli sebagaimana yang telah kami sebutkan. Karena orang yang berbaiat dan dibaiat tidak mempunyai pilihan. Sedang janji ('ahd) tidak ada pengecualian (dispensasi) dan kafarat. Maka dijadikan baiat dengan dua model yang keras ini sebagai dorongan untuk menjaga kemaslahatan khusus dan umum bagi kaum mukminin [ ]
Maka menyamakan baiat dengan hukum-hukum sumpah (setelah penjelasan ini), terdapat kezhaliman yang nyata yang menjerumuskan kepada pengabaian manhaj dan penyelewengan di dalam pengeterapannya !!


SYUBHAT KELIMA
Jika mengangkat amir di waktu safar itu wajib, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Jika tiga orang di dalam safar, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir"
Maka mengangkat amir untuk berdakwah dengan tujuan mengembalikan agama Allah di muka bumi itu lebih wajib dan janji serta baiat untuk taat itu lebih utama ?

Jawabannya dari enam segi.
1. Mengangkat amir dalam safar terdapat nash yang jelas dan shahih. Adapun mengangkat amir yang tersebut ini tidak terdapat nash di dalamnya. Pengkiasannya terlalu jauh, karena tidak adannya 'illah (alasan). Adapun kiyas tidak dilakukan kecuali oleh seorang mujtahid, sebagaimana disebutkan oleh ahli ushul.
2. Keamiran dalam safar berakhir dengan berakhirnya safar. Adapun keamiran-keamiran istitsnaiyyah mempunyai "ketaatan yang sempurna".
3. Keamiran di dalam safar semuanya adalah maslahat. Adapun keamiran-keamiran istitsnaiyyah adalah memecah-belah dan merusak[ ]. Maka kiyasnya jelas-jelas batil.
4. Seandainya sekelompok manusia bersepakat diantara mereka untuk menegakkan hukum had atas peminum khamr, pezina dan lain sebagainya, apakah hal itu diterima ? Ini adalah batil menurut Ijma' ummat dari orang yang setuju atau yang menentangnya. Maka kiyas ini membatalkan kiyas sebelumnya.
5. Keamiran safar terbatas pada beberapa perkara saja dan fungsinya adalah untuk ketertiban bukan untuk mendengar dan taat secara mutlak.
6. Karena baiat itu sebagai "janji" ('ahd), maka hal ini (kiyas di atas) bukanlah manhaj salaf ash-shalih ridwanullah ta'ala 'alaihim. Bahkan kenyataan mereka berbeda sama sekali dengan pemahaman salaf. Al-Hafizh Abu Nu'aim Al-Ashbihani meriwayatkan di dalam Hilyatul-Auliya (II/204) dengan sanadnya yang shahih dari Mutharrif bin Abdillah bin Asy-Syikhkhir[ ] beliau berkata : "Kami mendatangai Zaid bin Shuhan dan beliau berkata : 'Wahai hamba-hamaba Allah, berbuat mulialah kalian dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya wasilah (perantara) para hamba kepada Allah adalah dengan dua sifat, yaitu khauf (takut) dan tamak (dalam beramal)'. Maka pada suatu hari aku mendatanginya dan mereka menulis suatu tulisan dan menyusun suatu ucapan seperti ini : "Sesungguhnya Allah adalah Rabb kami, Muhammad adalah nabi kami, dan Al-Qur'an adalah imam kami. Barangsiapa yang bersama kami, maka dia termasuk kami dan kami akan melindunginya. Dan barangsiapa menyelisihi kami, tangan kamilah yang akan menentangnya, dan kami ..... dan kami ..... Perawi berkata : "Maka mulailah beliau (Zaid) memperlihatkan tulisan tersebut kepada mereka seorang demi seorang, sambil bertanya : 'Apakah engkau setuju wahai fulan ?' Sehingga sampailah padaku, dan bertanya : 'Apakah engkau setuju wahai anak muda ?' Aku menjawab : 'Tidak'. Zaid berkata : 'Kalian jangan tergesa-gesa untuk bertindak terhadap anak muda itu, apa yang akan kau katakan wahai anak muda ? (Rawi) berkata : 'Aku menjawab : 'Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian atasku di dalam Kitab-Nya. Maka aku tidak akan membuat suatu perjanjian selain perjanjian yang telah diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala atasku!' Rawi berkata : 'Maka rujuklah kaum tersebut pada akhirnya. Tidak seorangpun dari mereka yang menyetujui tulisan tersebut". Rawi berkata : 'Aku tanyakan kepada Mutharrif : 'Berapa jumlah kalian pada waktu itu ? 'Beliau menjawab : 'Sekitar tiga puluh orang'. Maka lihatlah -semoga Allah merahmatimu- kepada realita dan keadaan hati mereka di dalam menerima kebenaran serta tunduk kepadanya. Dan lihatlah penolakan mereka terhadap perkara apapun (walaupun zhahirnya benar, haq dan tidak menyimpang). Apapun, jika tidak terdapat (sifatnya) di dalam kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala atau tetap (tsabit) dalam sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dapat memecah belah umat, bagaimanapun bentuk perpecahan tersebut, walaupun kecil.
Karena semua inilah, sering kali kita mendapati diri-diri kita di hadapan gejala yang mengerikan, yaitu bahwa gerakan Islam menjadi lebih dekat kepada model dan ilustrasi belaka serta lebih dekat kepada formalitas atau hizbiyyah[ ]





PENUTUP

Semoga pembahasan ini -walaupun ringkas- dapat dipakai sebagai rujukan bagi para da'i untuk ingat setelah lalai dan terjaga setelah mereka terbuai. Agar mereka tidak mendahulukan amalan dan ucapan apapun kecuali setelah berilmu, mendapatkan kejelasan serta pengetahuan dan ketetapan.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada al-Imam al-Bukhari yang mengatakan : "Tidaklah aku menetapkan sesuatu dengan tanpa ilmu sama sekali semenjak aku berakal" [ ]

Pembahasan ini pula para aktifis Islam dapat instropeksi untuk berhenti dari tahazzub (berkelompok-kelompok), menolak al-haq dari ahlinya dan saling melibas/menggilas diantara mereka. Agar mereka dapat melihat kembali kepentingan dirinya, yaitu sebagai pembawa dakwah yang paling mulia dan beramal demi tujuan yang utama (ridha Allah, -ed). Sehingga pribadi-pribadi mereka menjadi kokoh dan komitmen ketika membuat perjanjian dengan Allah agar mereka berada pada puncak ke-Islaman dan masa mereka. Maka amalannya dalam Islam bersih dari pembicaraan sekitar pribadi dan berputar-putar di sekitar dzat seseorang. Dan apa-apa yang di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal.

Serta merupakan peringatan bagi orang-orang yang berusaha mengangkat Islam demi kepentingan pribadi, menjual jiwa-jiwa dan Islam mereka pada pasaran politik yang murah serta menjadi boneka-boneka yang digerakkan, dan tidak ada campur tangannya sedikitpun dalam perkara tersebut. Pada akhirnya mereka paham bahwa disyariatkannya sarana (wasilah) tergantung dari disyariatkannya tujuan (ghayah). Sehingga merekapun hidup untuk akhirat. Maka ketika mereka berusaha memperbaiki perangainya di hadapan manusia, mereka yakin bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengawasi mereka dan akan menghentikan (mematikan) serta menanyai mereka. Dan sesungguhnya agama ini tetap terjaga dengan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta akan hilang kejelekan dari padanya, seperti ububan (alat pandai besi) menghilangkan (karat) besi.

Merupakan kesempatan pula bagi para dai kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, agar mereka meninjau kembali sarana dan metode (dakwah) mereka. Yang demikian, karena menyeru manusia kepada Islam tidak lain harus dengan hikmah dan nasehat yang baik, tidak dengan paksaan. Maka barangsiapa yang memerintahkan kepada yang ma'ruf, harus dengan cara yang ma'ruf pula. Dengarlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu" [Ali Imran : 159]
Merupakan kesempatan pula bagi pribadi muslim untuk melihat menatap pada posisinya yang ada sekarang, faedah apa yang diberikan kepada Islam pada posisinya. Dan agar tahu bahwa taat dalam menjalani Islam akan memberikan kejelasan. Sesungguhnya tanggung jawab itu ditanggung oleh pribadi masing-masing. Dan agar tidak terjerumus ke dalam pemahaman hizbi yang jahil atau sufi, sehingga dia akan menolong saudaranya, baik yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi.

Bahkan wajib baginya untuk komitmen dengan pemahaman yang Islami yaitu : menolong orang yang dizhalimi dengan mengembalikan sesuatu yang diambil dengan zhalim dan menolong orang yang berbuat zhalim dengan merintangi kehendaknya. Maka tolong menolong harus atas dasar kebenaran dan takwa, bukan atas dasar berbuat dosa dan bermusuh-musuhan, sehingga sikap saling mensehati akan mendominasi barisan kaum muslimin yang akan menang dengan mendapatkan pertolongan di dunia dan pahala di akhirat.

Dan merupakan kesempatan pula bagi setiap muslim untuk mengetahui bahwa meremehkan dosa-dosa kecil akan menimbulkan dosa-dosa besar, sehingga diapun akan menghentikan perbuatan ghibah (menggunjing), adu domba dan buruk sangka. Inilah penyakit-penyakit yang menimpa jiwa yang sering dianggap remeh. Dan agar dia dapat menerapkan manhaj yang dia berpegang kepadanya dan melatih diri dengan makna Islami agar menjadi bagian dari hidupnya sehari-hari. Dengan demikian terbentuklah pribadi rabbani[ ] yang perangainya terwarnai dengan Islam, sehingga dia mempunyai tangan, kaki, mata dan telinga yang tunduk (pada syariat Islam). Dan bergeraklah semua anggota badannya dengan gerakan-gerakan Islam yang disyariatkan oleh Allah bagi orang yang Dia cintai[ ]

Dan akhir seruan kami bahwa segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabb semesta alam.



☼☼☼☼☼☼