24 April 2008

MEMBUAT JAMA’AH KEDUA DALAM SATU MASJID

bismillahirrahmanirrahim
MEMBUAT JAMA’AH KEDUA DALAM SATU MASJID
Kategori: Fiqh oleh: abu_muhammad Tanggal 23 Mar 2006. Dibaca: 1247 kali
Pertanyaan:

Bagaimana pandangan syari`at tentang mengadakan jamaa`ah yang kedua dalam satu masjid (jamaa`ah yang berulang ulang)???

Jawab:

Telah terjadi perselisihan dikalangan `Ulama tentang hukum membentuk jamaa`ah yang kedua dalam satu masjid, akan tetapi sebelum menjelaskan sebab ikhtilaf mereka, menjabarkan pandangan yang shohih dan yang tidak shohih maka sangat penting untuk kita batasi jamaa`ah yang bagaimana yang diperselisihkan oleh mereka dalam satu masjid tersebut.

Pokok perselisihan mereka adalah dalam satu jamaa`ah yang sudah didirikan dalam satu masjid yang memiliki imam dan muaddzin rawatib, adapun jamaa`ah yang didirikan di tempat tempat umum, seperti di rumah, atau masjid dipinggir jalan, atau toko tidak permasalahan untuk mendirikan jamaa`ah yang berulang ulang ditempat tempat seperti ini.


Sebahagian besar `ulama berpadangan dibencinya berulang ulangnya jamaa`ah dalam satu masjid yang memiliki imam dan muaddzin rawaatib- pendalilan mereka ditinjau dari dua sisi :

Pertama : Dalilun Naqliy (dari Al Quraan dan As Sunnah),
Kedua : Nadzoriy (dengan cara meneliti riwayat riwayat), dan hikmah dari disyari`atkannya sholat berjamaa`ah.

Adapun dari sisi naqliy : Sesungguhnya para `ulama setelah meneliti dengan seksama maka mereka dapatkan bahwa An Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam sepanjang hayatnya sholat berjamaa`ah bersama para shahabatnya di masjidnya, bersamaan dengan demikian apabila salah seorang shahabatnya masuk ke dalam masjid lalu luput dia dari sholat berjamaa`ah lantas dia sholat sendirian dengan tidak menunggu jamaa`ah lainnya, dia tidak menoleh ke kanan dan ke kiri- sebagaimana kita saksikan manusia di zaman kita ini dimana mereka mencari cari seseorang atau lebih untuk sholat berjamaa`ah bersama dia sebagai imam.

Dan tidak pernah kaum As Salaf berbuat seperti ini sama sekali; apabila salah seorang dari mereka masuk ke mesjid dan dia dapati manusia telah selesai melaksanakan sholat jamaa`ah lalu dia sholat sendirian, inilah yang telah dijelaskan oleh Al Imam As Syaafii`iy dalam kitabnya : “Al Umm”- dan perkataan Al Imam As Syaa`fii`iy dalam masalah ini merupakan perkataan yang paling mencakup dari sekalian pandangan para imam- sekira kira beliau berkata : “Apabila satu kelompok masuk ke mesjid, mereka dapatkan Al Imam sudah selesai melaksanakan sholat berjamaa`ah hendaklah mereka sholat sendiri sendiri, kalau seandainya mereka sholat juga berjamaa`ah dibalas sholat mereka tersebut, akan tetapi saya sangat membenci mereka kalau mereka lakukan juga demikian; sebab tidak pernah kebiasaan kaum As Salaf sepeti itu.”

Kemudian beliau berkata juga : “Adapun mesjid yang berada di pinggir pinggir jalan- yang tidak ditentukan padanya imam dan muaddzin rawaatib, tidak salah kalau seandainya didirikan jamaa`ah yang berulang ulang.”

Kemudian beliau berkata kembali : “Kami telah menghapal bahwa sekelompok dari kalangan shahabat Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bila mereka luput dari sholat berjamaa`ah, maka mereka sholat sendiri sendiri, sedangkan mereka mampu untuk mengumpulkan manusia lainnya guna mendirikan jamaa`ah yang kedua tetapi tidak pernah mereka lakukan hal itu; karena mereka membenci dibentuk jamaa`ah kedua di satu mesjid.”

Inilah pandangan Al Imam As Syaafii`iy, dan apa apa yang sudah dijelaskan olehnya bahwa shahabat sholat sendiri sendiri kalau luput dari mereka sholat berjamaa`ah- dan beliau sebutkan dengan shiqhat jazam pada atsar yang mu`allaq ini, dan disambungkan oleh Al Haafidz Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dalam kitab beliau yang masyhur “Al Mushannaf” dan diriwayatkan oleh beliau dengan sanad yang kuat dari Al Hasan Al Bishriy bahwa para shahabat apabila mereka luput dari sholat berjamaa`ah mereka sholat sendiri sendiri.

Ini disebutkan juga oleh Ibnul Qaasim dalam “Mudawwanah Al Imam Maalik” dari sekelompok kaum As Salaf, seperti Naafi` Maulaa Ibnu `Umar, Saalim bin `Abdullah, dan selain dari mereka berdua bahwa bila mereka luput dari sholat jamaa`ah ketika mereka masuk ke mesjid lantas mereka sholat sendiri sendiri dengan tidak membuat jamaa`ah yang kedua.
Dan juga diriwayatkan oleh Al Imam At Thobraaniy dalam “Mu`jamul Kabiir” dengan sanad yang jaiyid (baik) dari jalan Ibnu Mas`uud bahwa dia satu hari keluar bersama dengan dua orang shahabatnya ke mesjid untuk melaksanakan sholat jamaa`ah, seketika sampai di masjid dia lihat manusia sedang keluar dari masjid karena mereka sudah selesai melaksanakan sholat jamaa`ah, maka beliau kembali ke rumah dan sholat berjamaa`ah bersama dengan dua orang shahabanya sebagai imam; kembalinya Ibnu Mas`uud- siapa yang tidak tahu bagaimana kedudukan beliau sebagai shahabat Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam dan ke ilmuan serta kefaqihannya tentang Din Islam ini- kalau seandainya beliau mengetahui tentang disyari`atkannya berulang ulangnya jamaa`ah di satu masjid sudah tentu dia dan dua orang shahabatnya ketika masuk masjid akan membuat jamaa`ah yang kedua; karena dia sangat tahu sekali tentang perkataan Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam : “Sebaik baik sholat seseorang ialah di rumahnya kecuali sholat wajib”. Apa yang melarang Ibnu Mas`uud untuk melaksanakan sholat wajib di masjid ? keilmuannya bahwa kalau dia sholat di masjid tentu dia akan sholat sendiri, lalu dia berpandangan untuk membentuk jamaa`ah dengan dua orang shahabatnya di rumahnya yang ini lebih afdhol dari pada dia dan dua orang shahabatnya sholat sendiri sendiri di masjid.

Inilah sejumlah nukilan yang menyokong pandangan jumhur `ulama yang membenci ber ulang ulangnya jamaa`ah dalam satu masjid seperti yang dishifatkan sebelum ini.

Kemudian tidaklah menghalangi juga seseorang untuk menemukan dalil dalil yang lain untuk mengambil istinbat (kesimpulan) dan penelitian secara dalam terhadap dalil dalil itu, sungguh telah diriwayatkan oleh Al Bukhariy dan Muslim satu hadist dari jalan Abi Hurairah radhiallahu `anhu berkata : Berkata Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam :

((لقد همت أن آمر رجلا فيصلي بالناس، ثم آمر رجالا فيحتطبوا حطبا، ثم أخالف أناس يدعون الصلاة مع الجماعة فأحرق عليهم بيوتهم، والذى نفس محمد بيده، لو يعلم أحدهم أنه يجد فى المسجد مرماتين حسنتين لشهدهما)).

Artinya : “Sungguh saya berniat memerintahkan seorang laki laki untuk sholat bersama manusia lainnya sebagai imam, lalu saya perintahkan kaum laki lainnya untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian saya berangkat menuju orang orang yang meninggalkan sholat berjamaa`ah lantas saya bakar rumah rumah mereka, dan Demi Yang jiwa saya berada di Tangan-Nya, kalau salah seorang mereka mengetahui apa yang akan dia dapat di masjid dua kaca (permata) yang sangat indah tentu dia akan menyaksikannya.” Pada hadist ini nampak bagi kita ancaman Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam terhadap orang orang yang meninggalkan sholat berjamaa`ah di masjid dengan membakar rumah rumah mereka dengan api, saya (As Syaikh Al Albaaniy rahimahullah Ta`aala) berpandangan bahwa hadist satu ini saja sudah menjelaskan pada kita tentang hukum masalah ini, atau memberikan sinyal bagi kita akan perkataan Al Imam As Syaafi`iy yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah; yaitu bahwa shahabat tidak pernah mengulang ulang sholat berjamaa`ah disatu masjid, yang demikian itu kalau kita membolehkan dibentuk jamaa`ah kedua dan ketiga disatu masjid, kemudian datang ancaman yang keras dari Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam terhadap orang orang yang meninggalkannya, maka jamaa`ah yang mana ini mereka terlambat darinya, yang mengakibatkan mereka terkena ancaman yang keras dari Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam??

Kalau dikatakan : Jamaa`ah yang pertama.

Jadi jawabannya : maka jamaa`ah yang lainnya tidaklah disyari`atkan, dan apabila dikatakan : Sesungguhnya ancaman ini mencakup atas setiap yang meninggalkan jamaa`ah walaupun berurut dikerjakan; karena kalau sendainya datang sebahagian orang yang selalu meninggalkan/melambat lambatkan sholat jamaa`ah ketika beliau digantikan sebagai Imam untuk sholat jamaa`ah, maka ketika Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam datang kerumah rumah mereka lantas ditemui mereka sedang bermain main dengan isteri dan anak anak mereka sudah tentu Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam meng-ingkari perbuatan mereka : kenapa kalian tidak pergi melaksanakan sholat jamaa`ah ? Sudah tentu mereka akan menjawab : Kami akan sholat dengan jamaa`ah yang kedua atau yang ketiga, nah apakah bisa Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berhujjah atas mereka ? Oleh karena itu kalau Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berkeinginan untuk memilih seseorang untuk menggantikan posisinya sebagai imam di masjidnya, lantas beliau pergi menemui orang orang yang selalu meninggalkan sholat jamaa`ah, lalu beliau membakar rumah rumah mereka-sudah tentu ini sudah merupakan dalil yang sangat besar sekali menunjukan buat kita bahwa tidak di masa beliau jamaa`ah kedua disatu masjid secara muthlaq. Ini sesuai dengan nukilan dalil dalil yang dijadikan sandaran oleh para `ulama.

Adapun dari sisi pandangan; keterangannya sebagai berikut : Mengenai sholat jamaa`ah telah keterangan dari hadist hadist yang shohih tentang keutamaannya diantaranya :

((صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بخمس وعشرين- وفي رواية : بسبع وعشرين- درجة)).

Artinya : “Sholat jamaa`ah lebih afdhol dari sholat sendirian dua puluh lima kali lipat, dalam riwayat lain-dua puluh tujuh kali lipat.” Keutamaan seperti ini hanya didapatkan pada sholat berjamaa`ah.

Dan datang juga keterangan tentang ini disebahagian hadist yang lainnya.

((أن صلاة الرجل مع الرجل أزكى عند الله من صلاته وحده، وصلاة الرجل مع الرجلين أزكى عند الله من صلاته مع الرجل)).

Artinya : “Bahwa sholat lelaki bersama satu lelaki lainnya lebih baik disisi Allah Ta`aala dari pada dia sholat sendirian, dan demikian juga kalau dia sholat bersama dua orang lelaki lainnya lebih baik disisi Allah daripada dia sholat hanya bersama satu orang lainnya.” Demikian seterusnya, setiap kali bertambah banyaknya orang yang ikut sholat berjamaa`ah maka pahalanya akan lebih berlipat ganda.

Apabila kita mengerti makna ini dan kita lihat secara dalam akan efek dari pandangan yang membolehkan untuk diadakannya sholat berjamaa`ah berulang ulang disatu masjid, dimana masjid itu ada imam dan muadzzin rawaatibnya, maka sungguh efek ini akan lebih jelek lagi kalau dinisbahkan akan hukum islam ini yaitu sholat berjamaa`ah; sebab pandangan yang membolehkan pengulangan jamaa`ah disatu masjid akan mengakibatkan pengurangan terhadap jumlah peserta jamaa`ah yang pertama, sudah tentu ini akan membatalkan paedah anjuran dari hadist diatas : “Sholat seorang lelaki dengan lelaki lainnya lebih baik disisi Allah………….” dst. Karena hadist ini memotivasi kita untuk memperbanyak jumlah untuk ikut sholat berjamaa`ah, dan pandangan yang menyelisihi ini sudah tentu akan mengurangi jumlah yang ikut pada sholat jamaa`ah yang pertama dan akan memecah persatuan kaum muslimin.

Dan lainnya yang diikuti dengan pandangan yang jernih yaitu apabila kita melihat kepada hadist dari jalan Ibnu Mas`uud yang telah lewat di “Shohih Muslim” dan semakna dengan hadist dari jalan Abi Hurairah radhiallah `anhuma : “Sesungguhnya saya bercita cita sekali untuk memerintahkan seorang laki laki untuk sholat bersama manusia lainnya menggantikan saya sebagai imam………..” dst. Hadist ini datang untuk menjelaskan tentang orang orang yang melalai lalaikan sholat jum`ah dan sholat berjamaa`ah, ketika itu kita ketahui bahwa sholat jum`at dan berjamaa`ah ini sangat saling berhubungan satu dengan lainnya, maka ancaman ini yaitu tentang sholat jamaa`ah yang kedua setelah sholat jum`at dan berjamaa`ah; sampai sekarang sholat jum`at dengan sendirinya tidak kita temui disyari`atkannya berulang ulang pelaksanaannya di satu masjid bahkan ini menurut madzhab para `ulama walaupun berbeda madzhab mereka satu sama lain, pada kesempatan ini tidak lupa untuk kita ingatkan bahwa diantara sebab sebab penuhnya masjid pada hari jum`at adalah banyaknya orang hadir dimasjid untuk melaksanakan sholat jum`at walaupun kebanyakkan mereka tidak menghadiri sholat shoalat yang lain, akan tetapi tidak diragukan lagi penyebab penuhnya masjid pada hari jum`at oleh orang orang yang sholat dikarenakan kaum muslimin tidak membiasakan mengulang ulang jamaa`ah pada hari itu di satu masjid, demikian juga kalau seandainya kaum muslimin membiasakan melaksanakan sholat jamaa`ah sebagaimana mereka kerjakan dihari jum`at sudah tentu masjid akan penuh juga seperti penuhnya pada hari jum`at, sebab setiap orang akan merasa rugi ketinggalan sholat jamaa`ah pertama, tidak mungkin dia dapati setelah itu lagi, maka sudah tentu keyakinan seperti ini motivasi yang kuat baginya untuk mengikuti sholat jamaa`ah, demikian juga sebaliknya, apabila salah seorang muslim pergi ke mesjid rupanya luput dari jamaa`ah yang pertama lantas dia dapati ada jamaa`ah yang kedua dan ketiga……. dan kesepuluh kadang kadang, sudah tentu ini akan melemahkan semangatnya dan keinginannya untuk menghadiri jamaa`ah yang pertama, dengan dalil nanti walaupun dia terlambat dia akan dapati jamaa`ah yang kedua dan seterusnya.

Tinggal dua permasalahan yang perlu dijelaskan disini :

Pertama : Perlu kita jelaskan disini bahwa yang berpandangan tentang; tidak disyari`atkannya membentuk jamaa`ah yang kedua disatu masjid seperti yang telah lewat, dan sangat membencinya jumhur (kebanyakan) `ulama As Salaf, diantaranya : Tiga orang Imam; Abu Haniifah, Maalik, As Syaafi`iy, dan Al Imam Ahmad dalam satu riwayat, namun riwayat ini kurang masyhur dikalangan pengikut beliau sekarang ini, walaupun disebutkan oleh murid khusus beliau yaitu Abu Daawuud As Sijastaaniy; sesungguhnya beliau telah menjelaskannya dalam kitabnya : “Masaailul Imam Ahmad” dimana beliau berkata : ”Sesungguhnya pengulang ulangan jamaa`ah di masjid Al Haram (Makkah) dan Madinah sangat dibenci sekali” , dan ini- dari sisi keutamaan- memberikan penjelaskan pada kita bahwa kebencian tersebut juga termasuk di masjid masjid yang lainnya ketika diulang ulang mengadakan jamaa`ah disitu, akan tetapi di masjid yang dua tersebut sangat dibenci sekali, maka dalam riwayat ini Al Imam Ahmad bertemu pandangannya dengan tiga orang imam tersebut.

Kedua : Riwayat yang lain dari Al Imam Ahmad dan ini masyhur dikalangan pengikut beliau di zaman ini, namun dasar pegangan mereka dan para pengikut mereka adalah satu hadist yang diriwayatkan Al Imam At Tirmidziy, Al Imam Ahmad dan selain mereka berdua, hadist dari jalan Abi Sa`iid Al Khudriy, bahwa seorang laki laki pernah masuk masjid sedangkan Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam telah selesai melaksanakan sholat berjamaa`ah dengan para shahabatnya, lalu laki laki itu ingin melaksanakan sholat, maka berkata Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam :

((ألا رجل يتصدق على هذا فيصلي معه))، فقام رجل فصلى معه.

Artinya : “Ketahuilah maukah seorang laki bersedeqah atas dia ini untuk sholat bersama dia”, maka berdirilah seorang laki laki lalu sholat bersamanya, pada satu riwayat oleh Abu Bakar Al Baihaqiy di dalam “sunannya Al Kubaraa” bahwa laki laki yang itu ialah Abu Bakar As Shiddiiq, akan tetapi riwayat ini dalam sanad didapati kelemahan, sedangkan riwayat yang shohih tidak dinamakan laki laki yang masuk terlambat tersebut, sesungguhny mereka yang membolehkan jamaa`ah yang kedua cuma berdalil dengan hadist dengan mengatakan : Lihat tuh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam menyetujui jamaa`ah yang kedua!

Jawaban dari pendalilan ini adalah bahwa perlu kita perhatikan tentang jamaa`ah yang dijelaskan dalam hadist ini bukanlah jamaa`ah yang berkisar disekitar soal, sesungguhnya jamaa`ah yang dijelaskan dalam hadist ini ialah jamaa`ah seorang laki laki yang masuk ke dalam masjid setelah selesainya jamaa`ah yang pertama, dia ingin melaksanakan sholat sendirian, lalu Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam memotivasi para shahabatnya yang telah selesai melaksanakan jamaa`ah dengannya supaya salah seorang dari mereka berdiri untuk menemani dia sholat naafilah baginya, kemudian dilakukan oleh salah seorang shahabat, begitulah sebenarnya yang terjadi; dimana jamaa`ah ini cuma terdiri dari dua orang saja, imam dan ma`muum, imam sholatnya sebagai sholat wajib sedangkan ma`muum sholatnya sebagai sholat sunnah, siapa sebenarnya yang mendirikan jamaa`ah ini?? Kalaulah tidak ditemani oleh yang sholat sunnah tadi sudah tentu tidak ada yang namanya jamaa`ah, jadi jamaa`ah ini adalah sebagai sunnah dan naafilah, bukan jamaa`ah yang fardhu, sedangkan khilaf terjadi sekitar jamaa`ah yang kedua dalah sholat wajib, oleh karena itu pendalilan dari kelompok yang membolehkan dibentuknya jamaa`ah kedua dengan hadist ini tidak tepat sama sekali dan tidak shohih, dan yang lebih menyokong lagi bahwa hadist ini menjelaskan : “Ketahuilah maukah seorang laki laki bersedeqah terhadap laki laki ini untuk sholat bersamanya?”, kejadian ini- terjadi- diantara yang bersedeqah dan yang disedeqahi atasnya, kalau kita bertanya kepada orang paling rendah sekali pemahaman dan ilmunya : Siapa yang bersedeqah? Dan siapa yang disedeqahi atasnya di dalam keadaan sebagaimana yang telah disetujui oleh Rasulullah Shollallahu `alahi wa Sallam? Sudah tentu jawabannya adalah : Yang bersedeqah ialah laki laki yang telah selesai sholat berjamaa`ah dibelakang Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, sedangkan yang disedeqahi atasnya adalah laki laki yang datang terlambat dari sholat jamaa`ah yang pertama.

Soal yang sama kalau kita ajukan masih dalam koridor sholat berjamaa`ah yang kita bahas di atas : Masuk ke masjid enam atau tujuh orang laki laki, mereka dapati imam sudah selesai melaksanakan sholat berjamaa`ah, lantas salah seorang dari mereka mengambil inisiatif untuk meng-imami mereka dengan membentuk jamaa`ah yang kedua, maka siapa yang bersedeqah diantara mereka itu, dan siapa pula yang disedeqahi atasnya?, sudah pasti tidak akan ada yang sanggup untuk menjawabnya satu orangpun sebagaimana sanggupnya seseorang menjawab contoh yang di atas, jamaa`ah yang masuk kemasjid sedangkan imam sudah selesai melaksanakan jamaa`ah yang pertama, keseluruhan mereka ini sudah tentu ingin melaksanakan sholat pardhu, tidak ada diantara mereka yang bersedeqah dan yang disedeqahi atasnya, keterangan ini sangat jelas sekali pada gambaran yang pertama : Yang bersedeqah adalah laki laki yang sudah selesai melaksanakan sholat dibelakang Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam (sholat jamaa`ah yang pertama) dan dituliskan baginya dua puluh tujuh kali lipat balasan, jadi dia ini sudah mendapatkan ganjaran yang dia cari dan mungkin saja dia bisa memberikan sedeqahnya pada orang lain, sedangkan yang sholat sebagai imam-kalaulah tidak ada yang bersedeqah atasnya sudah tentu dia akan sholat sendirian-maka dia faqiir, tentu dia sangat berhajat pada orang yang bersedeqah buatnya, sebab dia tidak mendapatkan apa yang didapatkan oleh yang sholat bersama jamaa`ah yang pertama tadi.

Dan jelas sekali sebab keadaan yang bersedeqah dengan yang disedeqahi atasnya, adapun pada gambaran yang kedua yaitu enam atau tujuh orang yang masuk kedalam masjid tadi yang kesemuanya ingin melaksanakan sholat fardhu berjamaa`ah; karena seluruh mereka fuqaraa`(menghajatkan kepada ganjaran dua puluh tujuh kali lipat), dimana mereka telah luput dari sholat berjamaa`ah yang pertama, tentu tidak bisa diperaktekan perkataan Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam terhadap mereka yang artinya : “Ketahuilah adakah seorang laki laki diantara kalian mau bersedeqah kepada laki laki yang masuk ini untuk sholat bersamanya”, maka terhadap gambaran yang kedua ini tidak shohih hadist ini dijadikan dalil, dan juga pokok pembahasan bukan pada gambaran yang pertama.
Pada kesempatan ini juga kita gabungkan dalil mereka yang lain yaitu perkataan Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam :

((صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة)).

Artinya : “Sholat berjamaa`ah lebih afdhol dari sholat sendirian dua puluh tujuh kali ganjaran.” Mereka berdalil secara muthlaq; maksudnya mereka memahami bahwa huruf “alif lam” pada kata jamaa`ah pengertian adalah untuk syumul (mencakup seluruhnya); dengan arti kata bahwa setiap sholat berjamaa`ah dimasjid lebih afdhol dari sholat sendirian, maka kita tentu akan mengatakan pada mereka berdasarkan dalil dalil yang telah lewat : Sesungguhnya huruf “alif lam” pada kata jamaa`ah ini bukanlah untuk syumul (menyeluruh), akan tetapi untuk “Al `Ahdu” (perjanjian); dengan pengertian bahwa sholat berjamaa`ah yang telah disyari`atkan oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, dan diberi motivasi serta diperintahkan manusia untuk mengerjakannya, dan diancam yang melalai lalaikannya dengan membakar rumah rumah mereka, bahkan Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam mensifati orang yang meninggalkannya sebagai munaafiqiin- yaitu sholat berjamaa`ah yang lebih afdhol dari sholat sendirian, tentu sholat jamaa`ah yang pertama.

Demikianlah yang sebenarnya para pembaca sekalian tuntunan dari Sunnah Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam tentang sholat berjamaa`ah, bukan sebagaimana yang kita saksikan dizaman kita ini, dimana kita lihat dibeberapa masjid orang seenaknya saja untuk membentuk jamaa`ah yang kedua setelah selesai imam melaksanakan jamaa`ah yang pertama, bahkan tidak segan segan mereka untuk melaksanakan iqomah yang kedua, ketiga dan bahkan keempat, kelima dan seterusnya, padahal sholat jamaa`ah yang pertama sudah selesai.

Syari`at Ini Telah Sempurna

Syari`at Ini Telah Sempurna
Kategori: Aqidah, Manhaj oleh: abu_muhammad Tanggal 22 Dec 2007. Dibaca: 888 kali
Allah Tabaaraka wa Ta`aala berkata takkala memberikan karuniaNya kepada hamba-hambaNya :
((اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا)). المائدة (3).

Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu Dinmu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni`matKu, dan telah Kuredhoi Islam itu jadi Din bagimu.” Al Maaidah: (3).

Berkata al Imam al Baghawiy ketika menafsirkan ayat yang mulia ini: “Perkataan Allah `Azza wa Jalla :
((اليوم أكملت لكم دينكم))
Maksudnya: Dihari turunnya ayat ini Saya telah sempurnakan bagi kalian Din kalian. Maknanya: `amalan yang wajib dan sunnah, al huduud dan al Jihad, hukum-hukum baik yang halal dan yang haram, tidak akan turun lagi setelah turunnya ayat ini baik yang halal atau haram, tidak satupun dari `amalan yang wajib. Inilah ma`na perkataan Ibnu `Abbas radhiallahu `anhuma-, diriwayatkan juga dari beliau bahwa ayat riba turun setelah ini.”

Berkata Sa`iid bin Jubeir dan Qataadah: “Saya telah sempurnakan bagi kalian Din kalian artinya tidak akan melaksanakan haji bersama kalian seorang musyrikpun.”

Perkataan Allah `Azza wa Jalla :
((وأتممت عليكم نعمتي))
Maksudnya : “Saya telah laksanakan janji Saya pada perkataan Saya :

((ولأتم نعمتي عليكم)). البقرة : (150).
Artinya : “Dan agar Kusempurnakan ni`matKu atasmu.” Al Baqarah : (150).

Maka diantara kesempurnaan nikmatNya ialah dimana mereka memasuki Makkah dalam keadaan aman dan kemenangan, dan mereka melaksanakan haji dalam keadaan tenang, tidak seorangpun orang musyrikin bersama mereka.”1

Berkata al Imam Ibnu Katsiir dalam tafsiirnya: “Ini merupakan nikmat Allah Ta`aala yang paling terbesar atas ummat ini, sekira-kira Allah Ta`aala telah menyempurnakan bagi mereka Din mereka. Maka tidak berhajat mereka lagi kepada Din selainnya, dan juga kepada Nabi selain dari Nabi mereka Shollallahu `alaihi wa Sallam, oleh karena itu Allah Ta`aala menjadikan dia sebagai khatamul Anbiyaa`, dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Maka tidak yang halal kecuali apa yang telah dihalalkan olehNya, tidak ada yang haram kecuali apa yang diharamkanNya, tidak ada Din kecuali apa yang telah disyari`atkanNya.”2
Ayat yang mulia ini menunjukan kepada kita bahwa syari`at ini telah cukup dan sempurna, dan mencukupi setiap apapun yang dibutuhkan oleh makhluq dimana Allah Jalla wa `Alaa telah menurunkan perkataanNya:

((وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون)). الذاريات : (56).

Artinya: “Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk ber`ibadat kepadaKu.” Adzzaariyaat : (56).

Dan segala sesuatu yang Dia khabarkan; adalah haq dan benar, tidak ada kedustaan dan kekurangan padanya, sebagaimana Allah Ta`aala berkata:

((وتمت كلمة ربك صدقا وعدلا)). الأنعام : (115).

Artinya : “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al Quraan sebagai kalimat yang benar dan `adil)”. Al An`aam : (115); maksudnya: benar dalam khabar dan `adil dalam perintah dan larangan, maka takkala telah Allah sempurnakan bagi mereka Din ini; cukuplah ni`matNya atas mereka”.

“Maka jangan sampai membayangkan seorang manusia datang, kemudian dia mengadakan sesuatu yang baru dalam syari`at ini; karena penambahan atas syari`at ini merupakan bentuk penyusulan atas Allah Tabaaraka wa Ta`aala, dan akan membisikan bahwa syari`at ini kurang, maka sudah tentu ini sangat menyelisihi apa yang datang dengan Kitaabullahi Tabaaraka wa Ta`aala.

Jangan sekali-kali seorang manusia membayangkan ketika dia menambah syari`at Allah ini, dia tidak akan dicela”.3

Permasalahan ini sesungguhnya Allah Jalla wa `Alaa telah meyakinkan ahlil milal keseluruhannya-bagi Allah sajalah segala pujian-, akan tetapi kebanyakan mereka menentangnya; sebagaimana yang difirmankan Allah Ta`aala:
((وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا)). النمل : (14).
Artinya: “Dan mereka mengingkarinya karena kezholiman dan kesombongan mereka, padahal hati mereka meyakini kebenarannya”. An Naml : (14).

Dari Thooriq bin Syihaab; berkata: “Berkata seorang yahudi kepada `Umar radhiallahu `anhu: sesungguhnya kalian membaca satu ayat pada Kitab kalian, kalau seandainya diturunkan atas kami orang orang yahudi; akan kami jadikan hari turunnya itu sebagai hari `iid! Berkata `Umar: ayat apa itu? mereka menjawab:
((اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي)).
Berkata `Umar: “Demi Allah sesungguhnya saya sangat mengetahui hari turunnya ayat itu atas Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam, dan waktu turunnya ayat itu : turun atas Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam pada sore `Arafah, pada hari Jumu`at”.4

Sesungguhnya Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda:
“إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم، وينذرهم شر ما يعلمه لهم….”
Artinya: “Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi sebelum saya kecuali adalah wajib atasnya untuk menunjukan ummatnya kepada kebajikan yang telah dia ketahui bagi mereka, dan mengingatkan mereka akan kejelekkan yang mereka ketahui bagi mereka…..”5

عن أبي ذر الغفاري رضي الله عنه؛ قال : تركنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وما طائر يقلب جناحيه في الهواء؛ إلا وهو يذكر لنا “يذكرنا” منه علما. قال : فقال صلى الله عليه وسلم : “ما بقي شيء يقرب من الجنة ويباعد من النار؛ إلا وقد بين لكم”.

Artinya: Dari Abi Dzarr al Ghifaariy radhiallahu `anhu; berkata : Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah meninggalkan kami dan tidak ada seekor burungpun yang sedang membalik balikkan sayap di udara; kecuali dia telah menyebutkan (mengingatkan) `ilmunya bagi kami. Berkata Abu Dzarr: Bersabda Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam : “Tidak tersisa sedikitpun sesuatu yang akan mendekatkan ke Jannah (surga) dan menjauhkan dari neraka; kecuali telah dijelaskan bagi kalian.”6

Hadist Nabawiy yang mulia ini terdapat padanya pernyataan yang sangat jelas dan gamblang sekali bahwa setiap apapun yang akan mendekatkan kedalam Jannah sungguh Rasul kita Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menjelaskannnya, dan setiap apapun yang akan menjauhkan kita dari neraka; kecuali sungguh telah dijelaskan juga oleh Rasul kita Shollallahu `alaihi wa Sallam kepada kita.

Maka apapun bentuk `amalan yang baru atau bid`ah sesungguhnya merupakan tambahan atas syari`at ini, dan keberanian yang sangat jelek diserukan oleh pelakunya bahwa syari`at ini belum cukup, belum sempurna!, maka menghajatkan pada tambahan dan ciptaan yang baru darinya!!

Dan inilah apa yang telah dipahami oleh ash-haabun Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, sebagaimana dalam satu hadist shohih dari jalan Ibnu Mas`uud radhiallahu `anhu : dia berkata:
“اتبعوا ولا تبتدعوا؛ فقد كفيتم, وكل بدعة ضلالة”.
Artinya: “Ikutilah oleh kalian (ber-itiba’-lah) jangan sekali-kali kalian mengadakan bid`ah; sungguh telah cukup bagi kalian, dan setiap bid`ah adalah menyesatkan.”7

Kesimpulan: “Sesungguhnya seorang yang menganggap bid`ah itu baik melazimkan baginya secara `adat bahwa syari`at ini disisinya belum sempurna sama sekali, maka ayat Ta`aala:
((اليوم أكملت لكم دينكم))
Sama sekali tidak ada nilai maknanya disisi mereka.”8

Apabila sudah demikian; maka seorang mubtadi` hasil dari perkataannya secara lisan ialah: sesungguhnya syari`at ini belum cukup, sebab masih ada tersisa daripadanya hal-hal yang perlu untuk ditambahkan; karena kalau dia meyakini tentang kesempurnaan dan cukupnya syari`at ini dari berbagai sisi; sudah tentu dia tidak akan membuat bid`ah, dan tidak akan menambahnya, dan orang yang mengatakan seperti ini jelas-jelas sesat dari as shiraathil mustaqiim.

Berkata Ibnul Maajisyuun: saya telah mendengar al Imam Maalik berkata: “barang siapa yang membuat satu bid`ah dalam Islam, dia pandang baik; sesungguhnya dia telah menda`wakan bahwa Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah khianat dalam menyampaikan Islam; karena Allah berfirman:
((اليوم أكملت لكم دينكم)),
apapun yang bukan ajaran Din (Islam) pada hari itu; maka hari ini juga bukan bagian dari Din.”9

“Jadi jalan ad Din (kebenaran) dan `ibadat yang benar hanyasanya apa yang telah dijelaskan oleh Pencipta makhluq ini menurut lisan RasulNya Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam. Maka barangsiapa yang menambah atau mengurangi; sungguh-sungguh dia telah menyelisihi Pencipta Yang Maha Bijaksana dan Maha Ber`ilmu, dengan bentuk susunan tertentu dari diri dia sendiri, mungkin saja obatnya akan menjadi penyakit, `ibadatnya jadi ma`shiyat, sementara dia tidak merasakan. Sebab ad-Din (al Islam) sungguh telah sempurna dengan betul-betul sempurna. Barangsiapa yang menambah di dalamnya sedikit saja; berarti sungguh dia telah menyangka bahwa ad Din ini kurang, dialah yang akan menyempurnakannya dengan perkiraan `aqalnya yang rusak, dan khayalannya yang membingungkan.”10

Berkata al Imam as Syaukaaniy di “al Qaulul Mufiid” halaman 38 ketika membantah ahlul bid`ah tentang pendapat mereka: “Apabila Allah sungguh telah menyempurnakan DinNya sebelum Dia mewafatkan NabiNya Shollallahu `alaihi wa Sallam; maka apa mamfa`at pemikiran yang diadakan oleh pemiliknya setelah Allah Ta`aala menyempurnakan DinNya??!

Kalau seandainya merupakan bagian ad Din dalam i`tiqad mereka; belum sempurna kecuali dengan pemikiran mereka! Dan ini padanya penolakan terhadap al Quran!

Kalau bukan bagian dari ad Din; apa faedahnya menyibukan diri dengan sesuatu yang bukan bagian dari ad Din?!

Ini merupakan hujjah pamungkas, dan dalil yang agung, tidak memungkinkan bagi peng`ibadat `aqal untuk menolaknya dengan penolakan apapun, maka jadikan ayat yang mulia ini sebagai dalil yang utama untuk merontokkan wajah-wajah peng`ibadat `aqal, dan membalikan hidung-hidung mereka serta menghancurkan hujah-hujah mereka.”
Berkata al Imam Abu Ismaa`il `Abdullah bin Muhammad al Anshoriy al Harawiy rahimahullahu Ta`aala: saya telah mendengar Ahmad bin al Hasan bin Muhammad al Bazzaar, al Faqiih, al Hanbaliy ar Raaziy, di rumahnya di ar Ray berkata : “Setiap apapun yang diada-adakan setelah turunnya ayat ini; maka itu merupakan sampah, tambahan dan bid`ah”.11

——————————————————————-
Diterjemahkan dari kitab “`Ilmu Ushuulul Bida`” halaman 17-21 oleh as Syaikh `Ali Hasan, oleh Abul Mundzir/Dzul Akmal bin Muhammad Kamal as Salafiy Lc.
Rimbo Panjang 5 Syawwal 1428H/16 Oktober 2007M.

Footnote:
1 Lihat “Tafsiir al Baghawiy” (1/637), cetakan Daarut Thoiyyibah.
2 Sesungguhnya telah meriwayatkan Ibnu Jariir dan Ibnul Mundzir dari Ibnu `Abbaas tentang ayat ini : perkataannya. “Allah Tabaaraka wa Ta`aala telah mengkhabarkan NabiNya Shollallahu `alaihi wa Sallam dan orang mu`minin bahwasanya Dia betul betul telah menyempurnakan bagi mereka keimanan, makan tidak menghajatkan mereka kepada tambahan selama lamanya…..”; sebagaimana juga dijelaskan dalam “ad Durrul Mantsuur” (3/17). Nukilan dari kitab “`Ilmu Ushuulul Bida`”, hal. 17-18, oleh as Syaikh `Ali Hasan.
3 “al Bid`ah wal Mashoolihul Mursalah” (hal. 111) oleh Taufiiq al Waa`ii.
4 Hadist ini diriwayatkan oleh al Imam al Bukhariy (45,4407,4606,7268), Muslim (3017).
5 Hadist ini diriwayatkan oleh al Imam Muslim (1844) dari jalan Ibnu `Amr.
6 Berkata as Syaikh `Ali Hasan : “sanad hadist ini shohih”. Dan lihat takhriijnya di : “al Itmaam” (21399), “ar Risaalah” (hal.93) oleh al Imam as Syaafi`iiy ditahqiiq oleh as Syaikh Ahmad Syaakir, “Miftaahul Jannah” (hal.32) oleh as Sayuuthiy dita`liiq oleh saudara kami Badrul Badr.
7 Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah di “al `Ilmu” no. 54 dari jalan Ibraahim an Nakha`iiy; berkata : berkata `Abdullah. Dan sanad ini shohih; bagi apa yang sangat ma`ruuf dari Ibraahim pada shighat yang seperti ini bukan hanya satu orang saja dari Ibnu Mas`uud radhiallahu `anhu.
8 “al I`tishoom” (1/111), oleh al Imam as Syaathibiy.
9 “al I`tishoom” (1/49).
10 “Miftaahul Jannah Laa Ilaaha Illallahu”, hal. 58 oleh al Ma`shuumiy, ditahqiiq oleh as Syaikh `Ali Hasan.
11 “Dzammul Kalaam wa Ahluhu” (1/17-18 no., oleh al Imam al Harawiy, ditahqiq oleh as Syaikh `Abdurrahmaan bin `Abdil `Aziiz as Syibl. “Siyaru A`laamin Nubalaa” (18/509), oleh al Imam ad Dzahabiy.

Syaikh Muqbil bin Hadi - Cahaya Sunnah dari Yaman

Syaikh Muqbil bin Hadi - Cahaya Sunnah dari Yaman
Posted on February 6th, 2006 by

Nama dan Nasabnya



Beliau adalah Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi bin Qayidah Al-Hamdany Al-Wadi?I Al-Khilaly rahimahullah.







Kelahirannya



Beliau rahimahullah dilahirkan pada tahun 1352 H di Damaj Yaman di sebuah lingkungan Zaidiyah (Salah satu sekte Syi?ah) yang bercirikan tasawuf, mu?tazilah, dan berbagai bid?ah lainnya.








Pertumbuhan Ilmiahnya



Beliau rahimahullah memulai pelajarannya di Maktab di sebuah desa yang bernama Al-Wathan Damaj Yaman beberapa lama kemudian berhenti karena tidak ada yang membantunya belajar.







Kemudian beliau safar ke Riyadh Saudi Arabia dan tinggal di sana sekitar sebulan setengah. Ketika cuaca Riyadh berubah maka beliau berangkat ke Makkah. Beliau meminta petunjuk kepada sebagian penceramah tentang kitab-kitab yang bermanfaat yang akan beliau beli, maka beliau dinasehati agar membeli kitab Shahih Bukhari, Bulughul Maram, Riyadhush Shalihin, dan Fathul Majid.







Beliau bekerja sebagai penjaga sebuah gedung di Hajun sambil menelaah kitab-kitab tersebut. Beliau sangat tertarik dengan kandungan kitab-kitab tersebut karena apa yang dilakukan manusia di negerinya sangat berbeda dengan yang ada dalam kitab-kitab tersebut.







Setelah beberapa lama beliau pulang ke negerinya Yaman dan mulai mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan kaumnya. Seperti menyembelih untuk selain Alloh, meminta kepada orang-orang yang sudah mati, membangun kuburan, dan kesyirikan-kesyirikan lainnya.







Reaksi yang muncul dari kaumnya begitu keras, lebih-lebih dari orang Syi?ah yang memandang Syaikh Muqbil sudah mengganti agamanya sehingga pantas dibunuh. Mereka memaksa Syaikh Muqbil untuk belajar di Masjid Jami? Al-Hadi untuk menghilangkan syubhat-syubhatnya.







Kemudian beliau berangkat ke Najran dan tinggal di sana selama dua tahun belajar kepada Majduddin Al-Muayyid. Setelah itu berangkatlah beliau ke Makkah bekerja di waktu siang dan belajar di waktu malam.







Ketika dibuka Ma?had Al-Haram Al-Makky beliau mendaftarkan diri dan diterima sehingga beliau menyelesaikan pendidikan Mutawassithah dan Tsanawiyah. Kemudian beliau menuju ke Madinah dan masuk ke Universitas Islam Madinah di Fakultas Da?wah dan Ushuluddin.







Ketika dibuka Fakultas Pasca Sarjana di Universitas Islam Madinah, Beliau mendaftarkan diri dan diterima. Risalah Magisternya adalah tahqiq kitab Ilzamat dan Tatabbu? oleh Al-Imam Daruquthni.







Dakhwahnya di Yaman



Ketika terjadi fitnah kelompok Juhaiman di Masjidil Haram, beliau rahimahullah dituduh termasuk kelompok mereka sehingga beliau dipenjara dan dipulangkan ke Yaman.







Sesampainya beliau di Yaman, beliau memulai dakhwahnya dengan mengajari Al-Qur?an kepada anak-anak di kampungnya. Beliau dengan gigih mendakwahkan dakwah salafiyah, dakhwah tauhid dakwah yang haq, meski begitu banyak rintangan yang menghadangnya dari kelompok syi?ah, sufiyah, dan sekuler. Beliau rahimahullah mulai dakwahnya dari kampungnya yang kecil yang dikelilingi gunung-gunung tetapi cahaya dakwah beliau memancar hingga ke pelosok-pelosok yang jauh di Yaman.







Dengan pertolongan Alloh ?Azza wa Jalla, kemudian dengan kegigihan beliau mulailah dengan manusia meninggalkan kesyirika-kesyirikan dan kemungkaran-kemungkaran yang sebelumnya merupakan kebiasaan mereka sehari-hari.







Ketika dakwah beliau mulai terdengar ke seluruh penjuru, berbondong-bondonglah manusia menuju tempat beliau untuk mengambil ilmu. Datanglah para penuntut ilmu dari daerah-daerah sekitarnya,bahkan dari luar negeri Yaman seperti Mesir, Kuwait, Haramain, Najd, Libia, Al-Jazair, Maghrib (Maroko), Turki, Inggris, Indonesia, Amerika, Somalia, Belgia, dan negeri-negeri lainnya.







Keberaniannya Dalam Mengingkari Kemungkaran



Beliau rahimahullah dikenal pemberani di dalam mengucapkan kebenaran dan mengingkari kemungkaran. Tidak takut kepada siapa pun di dalam membela kebenaran. Siapa saya yang membaca tulisan-tulisan dan mendengarkan kaset-kaset beliau akan mengetahui hal itu.Beliau berbicara tentang bid?ah-bid?ah, kesyirikan-kesyirikan, kezhaliman-kezhaliman, dan kerusakan-kerusakan. Beliau memiliki banyak bantahan-bantahan kepada para pemilik kebathilan di dalam tulisan-tulisan dan kaset-kaset beliau.







Perhatian Kepada Para Penuntut Ilmu



Beliau begitu besar perhatiannya kepada para penuntut ilmu. Beliau sangat bersedih jika ada dari para murid-muridnya membuthkan sesuatu kemudian tidak bisa mendapatkannya. Beliau pernah berkata di dalam majelisnya, ?Beban terberat yang aku hadapi yang aku rasakan lebih berat daripada menghadapi ahli bid?ah dan menulis adalah kebutuhan murid-murid kami?.







Keluhuran Jiwanya



Beliau rahimahullah begitu luhur jiwanya, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak pantas, menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain, sampai-sampai beliau merasa berat memintakan kepada para muhsinin (dermawan) untuk kepentingan para muridnya. Ketika Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengetahui hal itu maka beliau mengirim surat kepada Syaikh Muqbil yang isinya, ?Tulislah permohonan wahai Abu Abdurrahman, engkau akan mendapatkan pahala darinya!?







Beliau latih para muridnya pada sifat yang agung ini. Beliau mencela dan memperingatkan dari orang-orang yang meminta-minta kepada manusia atas nama dakwah, dan ini bukan berarti beliau rahimahullah menyeru para penuntut ilmu agar meninggalkan taklimnya untuk berdagang. Maksud beliau, makan dari hasil usaha sendiri lebih baik daripada meminta-minta. Beliau rahimahullah juga berkata, ?Aku menasehatkan kepada ahli sunnah agar bersabar atas kefaikiran, karena itulah keadaan yang Alloh pilihkan kepada Nabi-Nya Shollallahu ?Alayhi wa Sallam.







Kesabarannya



Beliau rahimahullah memiliki kesabaran yang sulit dicari bandingannya. Beliau begitu sabar atas bebrbagai penyakit yang menimpanya, bersabar atas penyakit busung air yang bertahun-tahun dideritanya. Demikian pula atas penyakit lever yang menimpanya. Merupakan hal yang menakjubkan bahwa beliau dalam keadaan sakit tidak pernah meninggalkan taklimnya. Pernah suatu saat beliau menyampaikan pelajarannya dalam keadaan tangannya diikat dengan perban ke lehernya.







Kezuhudan, Kesederhanaan, Kedermawanan, dan Wara?nya.



Beliau dikenal dengan kezuhudannya dan beliau biasakan para muridnya atas sifat yang mulia ini. Beliau sampaikan kepada mereka bahwa dengan sifat inilah mereka akan mendapatkan ilmu. Beliau sangat sederhana dalam tempat tinggal, pakaian dan makanannya.







Di antara hal yang menunjukkan kezuhudannya pada dunia, beliau wakafkan tanag belia yang luas untuk tempat tinggal para muridnya yang sekarang ditempati sekitar 250 rumah.







Beliau memiliki sifat tawadhu? yang sulit dicari bandingannya. Jika beliau sedang berjalan kemudian dipanggil oleh seorang anak kecil maka beliau langsung berhenti, menyapanya, dan menanyakan apa yang dikehendaki. Ketika beliau di majelis taklimnya datanglah seorang anak kecil, beliau hentikan pelajarannya dan berkata anak kecil itu kepadanya, ?Aku ingin membaca sebuah hadits di mikrofon.? maka beliau dudukkan anak kecil tersebut di depannya untuk membaca hadits yang dikehendakinya.







Beliau dikenal dengan sifat wara?, tidak pernah tersisa dana dakwah disisinya karena selalu beliau serahkan kepada penanggungjawabnya.







Kegigihan Dalam Berdakwah



Beliau rahimahullah begitu gigih dalam berdakwah meskipun begitu padat kesibukannya daalam mengajar dan menulis. Beliau arahkan para muridnya dengan mengatakan, ?Janganlah kalian hanya menuntut ilmu dan meninggalkan dakwah, wajib atas kalian mendakwahkan ilmu yang kalian pelajari!?







Beliau melakukan perjalanan dakwah di kota-kota dan desa-desa Yaman, mendaki gunung-gunung dan menuruni lembah-lembah. Beliau mengalami vabyak rintangan dari para musuh-musuhnya seperti jama?ah Ikhwanul Muslimin, Jam?iyah Hikmah dan Ihsan, kelompok sekuler, Sufiyah, dan selain mereka, tetapi beliau tidak pernah surut dalam dakwahnya kepada Kitab dan Sunnah.







Ceramah-ceramah dakwah beliau dihadiri oleh jumlah yang sangat besar hingga di sebagian tempat ceramah diadakan di tanah lapang karena masjid yang ada tidak mampu memuat jumlah hadirin.







Beliau peringatkan manusia dari kesyirikan, kebid?ahan, demokrasi dan parlemen. Beliau ingatkan kaum muslimin agar tidak memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Islam, dan meninggalkan fitnah hizbiyyah yang telah menceraiberaikan umat.







Kegigihannya Dalam Mempelajari dan Menyampaikan Ilmu



Beliau begitu gigih di dalam mengajarkan ilmu. Satu jam sebelum Zhuhur beliau mengajarkan kitabnya Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain, setelah itu kitab Jami? Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain. Sesudah sholat Zhuhur belia mengajarkan Tafsir Ibnu Katsir dua hari sekali bergantian dengan kitab Shahih Musnad min Asbabin Nuzul. Ketika kitab yang akhir ini selesai beliau ganti dengan kitab Jami? Shahih. Sebelum Zhuhur beliau menelaah pelajaran di rumahnya selama seperempat jam.







Sesudah Ashar beliau mengajarkan kitab Shahih Bukhary, dan sesudah Magrib mengajarkan Shahih Muslim dan Kitabnya Ahaditsu Mu?allah Zhahiruha Shihhah. Selesai dari kitab yang akhir ini beliau menggantinya dengan kitabnya Gharatul Fishal alal Mu?tadin ala Kutubil Ilal.Selesai dari kitab yang akhir ini beliau mengajarkan kitabnya Dzammul Mas?alah, kemudian setelah selesai diganti dengan kitab Shahih Musnad min Dalail Nubuwwah. Bersama kedua kitab ini beliau ajarkan juga kitab Mustadrak dan kitabnya Shahih Musnad fil Qadar. Demikianlah urut-urutan taklim beliau hingga beliau wafat.







Jika beliau berbicara tentang rijal maka beliau adalah pakarnya, jika beliau sedang diskusi dengan murid-muridnya dalam masalah nahwu maka seakan-akan tidak ada selsain beliau yang mengetahui disiplin ilmu ini, jika beliau berbicara tentang ilal maka membuat terhenyak orang yang ada dihadapannya. Demikian juga beliau memiliki kecepatan luar biasa di dalam menghadirkan dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah.







Guru-gurunya



Beliau mempelajari ilmu-ilmu syar?i dari para ulama besar dizamannya seperti : SYAIKH Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Syaikh Abdullah bin Humaid, Syaikh Muhammad As-Sabil, Syaikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, Syaikh Yahya Al-Bakistany, Syaikh Muhammad bin Abdullah ASH-Shamaly, Syaikh Muhammad Hakim Al-Mishry, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Mishry.








Murid-muridnya



Di antara murid-muridnya adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washshaby Al-Abdaly, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajury, Syaikh Muhammad bin Abdullah Ar-Rimy Al-Imam, Syaikh Abdul Aziz bin A;-Bar?i, Ummu Abdillah Al-Wadi?iyah putrinya, Ummu Syu?aib Al-Wadi?iyah istri keduanya, Ummu Salamah istri ketiganya, dan masih banyak lagi selain mereka.







Tulisan-tulisannya



Diantara tulisan-tulisannya adalah Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain, Tarajim Rijal Al-Hakim fil Mustadrak, Tatabbu? Auham Al-Hakim allati Sakata Alaiha Adz-Dzhaby, Tarajim Rijal Sunan Daruquthni, Shahih Musnad min Dalail Nubuwwah, Gharatul Fishal ?alal Mu?tadin ?ala Kutubil Ilal, Jami? Shahih fil Qadar, Sha?qatu; Zilzal Linasfi Abathil Rafdhi wal I?tizal, Ijabatus Sail?an Ahammil Masail, Asy-Syafa?ah, Riyadhul Janna fi Raddi ?ala A?dai Sunnah, Tuhfatul Arib ?ala As?ilatil Hadhir wal Gharib, Al-Makhraj minal Fitnah, Shahih Musnad min Asbabin Nuzul, Rudud Ahlil Ilmi ?ala Tha?inin fi haditsi Sihr, Mushara?ah. Ilhad Khomeni fi Ardhil Haramain, Al-Ba?its ala Syarhil Hawadits, Irsyad Dzawil Fathan Liib?adi Ghulati Rwafidh ?anil Yaman, Jami? Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain, Gharatul Asyrithah ?ala Ahlil Jahli wa Safsathah, Fawakih Janiyah fil Khuthab wal Muhadharat Saniyah, Qam?ul Mu?anid wa Zajrul Haqidil Hasid, Majmu?atu Rasail Ilmiyah, Tuhfatusy Syab Rabbany, Fatwa fi Wihdatil Muslimin ma?al Kuffar, Iqamatil Burhan ala Dhalali Abdur Rahim Ath-Thahhan, Dibaj fi Maratsy Syaikhul Islam Abdul Aziz bin Baz, Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah, Muqtarah fi Ajwibati As?ilatil Musthalah, Fadhaih wa Nashaih, Maqtal Syaikh Jamilurrahman, Iskatul Kalbil?Awi, Tahqiq Tafsir Ibnu Katsir, Shahih Musnad mimma Tafsir bil Ma?tsur, dan Kitab Ilzamat wa Tatabbu? lil Imam Daruquthni dirasah wa tahqiq.







Wafatnya



Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi?i wafat di Jedda pada malam Ahad 1 Jumadil Ula tahun 1422 H dalam usia sekitar 70 tahun dan dimakamkan di Makkah di samping Syaikh Abdul Aziz bin Baz dab Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalan keluasan jannah-Nya.







Rujukan



Nubdzah Yasir min Hayati Ahadi ?Alamil Jazirah oleh Abu Hammam Muhammad bin Ali bin Ahmaf Ash-Shauma?i Al-Baidhani.







Tulisan ini diambil dari : Majalah Al Furqon Edisi:1 Tahun V Sya?ban 1426 H / September 2005

Hukum Membaca Shadaqallahul ‘Azhim

Pertanyaan:

Assalammualaikum…
Mau tanya, apakah ada dalilnya membaca bacaan Shadaqallahul azhim di setiap selesai membaca Al Quran ?

Jawaban:

Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuhu

Pertanyaan saudara merupakan pertanyaan yang pernah diajukan kepada Lajnah Da’imah Saudi Arabia (Komite Fatwa di Saudi Arabia, semacam MUI di Indonesia). Maka kami akan mencukupkan diri dengan membawakan jawaban dari pertanyaan tersebut. Berikut jawaban dari Lajnah Da’imah mengenai pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan anda:

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du.

Ucapan shadaqallahul azhim setelah selesai membaca Al-Qur’an adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, demikian juga para Khulafaur Rasyidin, seluruh sahabat dan para imam Salafus Sholih, padahal mereka banyak membaca Al-Qur’an, sangat memelihara dan mengetahui benar masalahnya. Jadi, mengucapkan dan terus menerus mengucapkannya setiap kali selesai membaca Al-Qur’an adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.

Diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:

Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya Allahlah yang mampu memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

(Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah, fatwa nomor 3303, disadur dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2 penerbit darul haq)

Kesimpulannya adalah membaca bacaan Shadaqallahul azhim setiap selesai membaca Al Quran tidak ada dalil/tuntunannya dari Nabi dan termasuk perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam.



sumber : http://muslim.or.id/2007/08/11/konsultasi-ustadz-hukum-membaca-shadaqallahul-%e2%80%98azhim/

MENJUAL BARANG SECARA KREDIT, TETAPI BARANG TERSEBUT BELUM MENJADI MILIK SIPENJUAL KETIKA MENJUALNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Perlu dicermati bahwa ada sebagian perusahaan yang bila seseorang datang untuk membeli suatu keperluan seperti peralatan rumah tangga, mobil, rumah dan sebagainya, ia membelikan keperluan tersebut kemudian menjualnya kepada orang tersebut secara kredit plus bunga darinya padahal barang tersebut belum menjadi milik perusahaan itu. Atau trik lainnya, perusahaan tadi menyuruh orang tersebut membelinya sendiri kemudian ia membayarkan harganya terlebih dahulu berdasarkan kwitansi lalu mengambil bunga dari orang ini, bagaimana hukum jual-beli seperti ini?

Jawaban
Sebagaimana telah diketahui, bahwa siapa saja yang meminjam sejumlah 100.000 riyal, misalnya, untuk kemudian melunasinya secara angsuran (kredit) plus 8% untuk setiap angsurannya dan presentase ini semakin bertambah atau bisa juga tidak bertambah manakala temponya diperpanjang (jatuh tempo), maka ini adalah bagian dari riba, yaitu Riba Nasi’ah dan Fadhl. Hal ini semakin buruk manakala persentase tersebut semakin bertambah bila temponya diperpanjang, dan ini adalah riba Jahiliyah yang telah dilansir oleh Allah dalam firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawakalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat” [Ali-Imran : 130-132]

Seperti telah diketahui bawha pengelabuan (menyiasati secara licik) terhadap transaksi seperti ini sama artinya mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, berbuat makar dan berkhianat terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui pandangan mata yang khianat (pandangan yang terlarang seperti melihat kepada wanita bukan mahram, -pent) dan apa yang disembunyikan oleh hati.

Demikian pula, bahwa mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah tidak akan dapat menjadikannya halal hanya sekedar lahiriyahnya saja yang halal sementara tujuannya haram. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah ini hanya akan menjadikannya bertambah buruk, karena si pelakunya telah terjatuh kedalam dua larangan.

Pertama : Menipu, makar dan mempermainkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua : Kerusakan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang diharamkan dan didapat dengan cara pengelabuan tersebut, sebab akibat dari pengelabuan itu berarti kerusakan tersebut menjadi semakin terealisir. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah berarti keterjerumusan ke dalam hal yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Dengan begitu, si pelakunya berarti telah menyerupai mereka dalam hal itu. Oleh karenanya pula, dalam sebuah hadits disebutkan.

“Artinya : Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kamu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) siasat licik” [Ibnu Baththah dalam kitabnya Ibthalul Hiyal hal. 24, lihat juga Irwa’ul Ghalil 1535]

Sebagaimana dimaklumi oleh orang yang mau merenung dan dapat melepaskan dirinya dari kungkungan hawa nafsu, bahwa siapa yang mengatakan kepada seseorang yang ingin membeli mobil, “pergilah ke pameran mobil dan pilihlah mobil yang adan inginkan, saya akan membelinya dari pameran mobil itu kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”, atau mengatakan kepada seseorang yang ingin membeli tanah, “pergilah ke pemilik usaha property dan pilihlah tanah yang anda inginkan, saya akan membeli darinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”.

Atau dia mengatakan kepada orang yang ingin mendirikan bangunan dan membutuhkan besi, “pergilah ke toko alat-alat bangunan (material) si fulan dan pilihlah jenis besi yang anda sukai, saya akan membelinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”. Atau mengatakan kepada orang yang sama tetapi membutuhkan semen, “pergilah ke toko alat-alat bangunan si fulan dan pilihlah jenis semen yang anda inginkan, saya akan membelinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”.

Saya tegaskan, sebagaimana telah diketahui oleh orang yang mau merenung, bersikap adil (objektif) dan dapat melepaskan dirinya dari kungkungan hawa nafsu, bahwa transaksi seperti ini adalah termasuk pengelabuan terhadap riba. Hal ini, karena pedagang yang membeli barang tadi, dari semula tidak bermaksud untuk membelinya dan tidak pernah terpikirkan di otaknya untuk membelinya. Demikian pula, dia tidak pernah membelinya untuk si pencari barang tersebut karena ingin berbuat baik kepadanya, tetapi dia membelinya karena tergiur oleh nilai tambah yang didapatnya dari proses penangguhan (kredit) tersebut. Oleh karena itulah, setiap kali tempo diperpanjang, maka bertambah pula prosentase bunganya.

Sebenarnya hal ini sama seperti ucapan seseorang, “Saya pinjamkan kepadamu harga dari semua barang-barang ini plus ribanya sebagai imbalan dari penangguhan (kredit) akan tetapi saya juga akan memasukkan barang di sela kedua hal tersebut”. Dalam hal ini, telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bawhasanya dia pernah ditanyai tentang seorang yang menjual sutera dari orang lain seharga seratus kemudian menjulannya seharga lima puluh? Beliau menjawab, “itu sama saja dengan beberapa dirham plus beberapa dirham secara berlebih (riba) termasuk di sela-sela keduanya sutera tersebut”.

Ibn Al-Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Tahdzibus Sunan (V : 103), “Pengharaman terhadap riba seperti ini adalah berdasarkan makan (esensi) dan hakikat (substansi)nya, sehingga ia tidak akan surut berlaku dikarenakan perubahan nama dalam teknis penjualannya” –selesai ucapan beliau-

Bila membandingkan antara masalah jual-beli Inah dengan masalah tersebut, anda akan mendapatkan hukum masalah tersebut lebih dekat kepada pengelabuan terhadap riba ada sebagian gambaran yang ada dalam masalah Inah, sebab Inah tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli fikih bahwa (gambarannya) ; seorang menjual barang kepada seseorang dengan harga tangguh (kredit) kemudian membeli lagi darinya secara cash (kontan) dengan harga yang kurang dari itu padahal ketika menjualnya,si penjual terkadang tidak berniat untuk membelinya. Sekalipun demikian, hal itu tetap haram baginya. Ucapan si penjual yang suka mengelabui, “saya tidak memaksanya untuk mengambil barang yang telah saya belikan untuknya”, tidaklah dapat mentolerir (kebolehan) transaksi seperti ini.

Hal tersebut, karena sebagaimana telah diketahui bahwa seorang pembeli tidak mencari barang tersebut kecuali karena dia memang membutuhkannya dan dia tidak akan membatalkan niat untuk membelinya. Tentunya, kita tidak pernah mendengar ada seseorang yang membeli barang-barang dengan cara seperti itu (secara kredit) membatalkan niatnya untuk membelinya sebab seorang pedagang yang suka mengelabui seperti itu sudah mempertimbangkan untung ruginya bagi dirinya dengan mengetahui pasti bahwa si pembeli tersebut tidak akan membatalkan niatnya, kecuali bila dia mendapatkan cacat pada barang tersebut atau criteria yang disebutkan kepadanya ternyata kurang.

Jika ada yang mengatakan, “Bilamana tindakan seperti ini termasuk pengelabuan untuk melakukan riba, apakah ada jalan lain yang dapat ditempuh sehingga tindakan seperti ini dapat bermanfaat tanpa harus melakukan pengelabuan terhadap riba?”

Jawabannya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berkat hikmah dan rahmatNya tidak pernah mengunci pintu-pintu maslahat bagi para hambaNya. Jadi, bila dia mengharamkan sesuatu atas mereka karena terdapat kemudharatannya, maka Dia akan membukakan pintu-pintu bagi mereka yang mencakup semua maslahat tanpa menimbulkan kemudharatan.

Jalan yang terbebas dari tindakan seperti itu adalah dengan adanya barang-barang tersebut pada si pedagang, lalu dia menjualnya kepada para pembeli dengan harga tangguh (kredit), sekalipun dengan tambahan harga atas harga kontan (cash).

Saya kira, tidak ada pedagang besar (konglomerat) yang tidak mampu membeli barang-barang yang dia lihat prosfektif untuk diserbu para konsumen untuk kemudian menjualnya dengan harga yang dia tentukan sendiri. Dengan demikian, dia akan mendapatkan keuntungan yang dia inginkan plus terbebas dari tindakan pengelabuan untuk melakukan riba. Bahkan barangkali dia malah mendapatkan pahala di akhirat kelak bila diniatkan untuk memberikan kemudahan kepada orang-orang yang tidak mampu membelinya dengan harga kontan (cash). Bukankah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda.

“Artinya : Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang tergantung kepada apa yang dia niatkan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, kitab Bad’il Wahyi (1), Muslim, kitab Al-Imarah (1907)]

Terkait dengan apa yang disinggung oleh si penanya bahwa perusahaan tersebut membebankan kepada pembeli agar membeli barang yang diinginkan ; jika melalui hak itu, ia (perusahaan tersebut) ingin agar si pembeli tersebut menjadi perantaranya, maka inilah masalah yang telah kita bicarakan di atas. Dan jika yang diinginkan oleh perusahaan tersebut adalah membeli barang tersebut untuk kepentingan sendiri, maka ini namanya Qardlun Jarra Naf’an (pinjaman yang diembel-embeli tambahan). Dan ini tidak ada masalah lagi bahwa ia adalah jelas-jelas riba.

[Fatawa Mu’ashirah, hal. 47-52,dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]



Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2078/slash/0

18 April 2008

Membongkar Kedok Sufi : Ilmu Laduni

Membongkar Kedok Sufi : Ilmu Laduni
Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 31/II/I/1425
Firqoh-Firqoh, 28 Mei 2005, 15:45:05
Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya.

Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat.

Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.

Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.

Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)

Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)

Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)

Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.

Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya
1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).

Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)

Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
(artinya) “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)

Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ مَا تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا ﴿٢٥﴾ عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)

Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ ﴿٢٢۳﴾
“Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)

2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada pada umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.

Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).

Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.

Hadits-Hadits Dho’if Dan Palsu Yang Tersebar Di Kalangan Umat

Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)

(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 31/II/I/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli "Tasawuf Dan Ilmu Laduni". Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=945

adab menuntut ilmu

ADAB-ADAB MENUNTUT ILMU (Bagian 1)
Kategori: Fatwa oleh: abu_muhammad Tanggal 23 Mar 2006. Dibaca: 2845 kali

Di dalam muqoddimah kitab Annubzu fi Adabil Tholabil Ilmi pada cetakan yang keempat beliau*1 berkata :
“Saya sebenarnya telah membukukan tentang faedah-faedah yang berhubungan dengan adab-adab didalam menuntut ilmu dan saya tambahkan juga apa-apa yang menyebabkan lebih sempurna atau lebih bermanfaat dan lebih tepat. Dan Allah telah memudahkan bagi saya untuk mengeluarkan kumpulan tersebut pada tahun 1415 H yaitu cetakan yang pertama, saya berharap kepada Allah semoga pekerjaan tersebut menjadi amalan yang shaleh yang akan mengalir kepada saya balasan setiap orang yang membaca atau yang mengambil manfaat kepada tulisan tersebut”

“Cetakan yang pertama daripada kitab ini tercakup didalamnya dan terkandung lebih kurang 48 (empat puluh delapan) bentuk adab-adab didalam menuntut ilmu. Setelah itu, selalu saya menanamkan (menambahkan) apa-apa yang saya dapatkan sepanjang penela’ahan saya, faedah-faedah disetiap bacaan dan penelaahan saya pada kitab tersebut. Maka pada tahun 1416 H (pada cetakan yang kedua dari buku ini), dalam jarak setahun saya tambahkan lagi menjadi yang terkumpul didalam kitab ini tentang permasalahan-permasalahan, adab-adab atau tatacara didalam menuntut ilmu itu lebih kurang menjadi 60 (enam puluh) adab.”



“Sekarang Allah telah memudahkan kepada saya, untuk mencetak cetakan yang keempat (tahun 1425 H) dengan penambahan-penambahan didalam sebagian adab-adab yang ada asalnya (maksudnya ada pada cetakan yang kedua) lalu ditambahkan dengan penambahan-penambahan dari adab-adab yang baru, sehingga keseluruhan adab yang terkumpul dicetakan yang keempat ini adalah 109 (seratus sembilan) adab”.

Pada cetakan yang keempat ini, disamping beliau menambah permasalahan-permasalahan yang baru dalam bentuk adab-adab menuntut ilmu, beliau yang pertama kali adalah menambahkan topik-topik dan bab-babnya. Semisal dengan akhwal para ‘ulama dalam masalah adab yaitu bagaimana etika duduk didalam bermajelis, cara kita hadir di majelis, penampilan dalam belajar, serta semangat kita dalam belajar tersebut. Dijelaskan juga oleh beliau mengenai adab yang baru yang tidak berhubungan dengan adab yang pertama tadi, sehingga jumlahnya menjadi 109 bentuk adab didalam menuntut ilmu tersebut.

“Dan yang pantas juga untuk diingatkan atasnya adalah bahwasanya apa-apa yang sesungguhnya telah didapatkan juga penyandaran*2, kebanyakan dari thob’at pada sebagian kitab-kitab yang sementara kitab itu adalah terbatas sekali seperti kitab Jami’u Bayanil Ilmiy wa Fadlihi (karya imam Abdil Bar رحمه الله تعلى pada abad ke 4 dan ke 5 Hijriah)*3 dan saya minta kepada Allah untuk menjadikan amalan saya ini ikhlas semata-mata mengharapkan wajah Allah yang maha mulia.”

“Tidak diragukan lagi bahwasanya menuntut ilmu tersebut telah datang padanya tentang keutamaan-keutamaan ilmu itu dengan dalil-dalil yang sangat banyak, baik dari al-Qur’an maupun dari as-Sunnah, dan memaparkan dalil-dalil tersebut sangat penting sekali untuk menambah atau memperkuat tekad kita didalam menuntut ilmu tersebut. Dan didalam menuntut ilmu, ada adab-adab yang perlu dipelajari. Berpegang teguh dengan adab-adab tersebut akan membentuk dan mengokohkan etika seorang penuntut ilmu, baik antara dia dengan syaikhnya maupun antara dia dengan teman-temannya. Dan untuk mempermudah baginya jalan didalam menuntut ilmu tersebut serta akan membimbingnya untuk melihat mana ilmu yang lebih penting dari yang penting. Bahkan akibat dari adab-adab itu tadi akan menunjukkannya kepada jalan dan metode ‘ulama-‘ulama yang betul-betul kokoh (‘ulama kibar) didalam menuntut ilmu tersebut.
Artinya dari sana terlihat olehnya bagaimana metode dan cara para ‘ulama zaman dahulu yang telah mendahului dia didalam menuntut ilmu tersebut

“Diantara adab-adab itu juga apa-apa yang diambil dan dipelajari dengan cara membaca kitab-kitab yang dikarang didalam permasalahan adab-adab menuntut ilmu.

Diantara adab-adab menuntut ilmu itu yang kemungkinan dia membaca kitab para ‘ulama, serta apa-apa yang diambil dan dipelajari dengan cara mujalasah (duduk dengan para ‘ulama). Ketika dia duduk dengan para ‘ulama tersebut akan nampak olehnya bagaimana cara orang ‘alim itu mengajarnya, ketika mengajar, ketika mensyarahkan, ketika menjawab suatu pertanyaan.*4

Berkata murid Imam Ahmad رحمه الله تعلى : “Saya berteman dan bersahabat dengan Abu Abdillah (imam Ahmad) dan saya pelajari darinya ilmu dan adab.*5
Berkata ibnu Wahhab*6 رحمه الله تعلى : “Apa-apa yang kami nukilkan (kami dapatkan) dari adab imam Malik tersebut, lebih banyak daripada apa-apa yang kami pelajari dari beliau tentang ilmunya.”
Disini ibnu Wahhab adalah murid imam Malik mengatakan ; “yang kami nukilkan tentang adab-adab imam Malik رحمه الله تعلى lebih banyak daripada ilmu yang kami pelajari darinya”. Ini menunjukkan kepada kita seorang murid yang betul-betul bergaul, belajar dan bermajelis dengan gurunya.~

Hajat penuntut ilmu terhadap adab-adab menuntut ilmu sebelum dia mulai melangkah untuk menuntut ilmu, maka hajatnya terhadap adab tersebut sangat penting sekali. Oleh karena itu sangat masyur dan sangat banyak wasiat-wasiat dari para ‘ulama mengenai perintah terhadap belajar adab tersebut.
Imam Malik رحمه الله تعلى pernah berkata kepada seorang pemuda dari kalangan masyarakat Quraisy (keturunan Qurasy) ; “Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab tersebut sebelum kamu memulai belajar ilmu”*7, adab menuntut ilmu merupakan hajat yang bersangatan.

Berkata Yusuf bin al Husein*8 : “Dengan adab itu, dipahami ilmu tersebut”

Berkata Abu Abdillah al-Balhi : “Adab ilmu tersebut lebih banyak daripada ilmu”.*9

Juga berkata imam Laits ibn sa’ad : “Ketika saya memperhatikan para penuntut ilmu hadits, lalu saya melihat pada mereka ada suatu kecacatan (suatu hal yang perlu dikritik dan dinasehati) lalu kata beliau ; “apa ini?, kalian kepada adab sedikit dan kalian lebih berhajat kepada banyak ilmu”*10. Ini menunjukkan kepada kita bahwa sangat pentingnya adab tersebut didalam menuntut ilmu.

Sebagaimana yang dikatakan oleh imam Abu Bakr al-Ajurri رحمه الله تعلى*11 ; “Kepada seorang ‘alim ini dia harus memiliki sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang berbagai macam, kedudukan-kedudukan yang wajib untuk dia gunakan. Maka hal yang demikian itu digunakan dan diamalkan disetiap saat apa-apa yang diwajibkan atas seorang ‘alim tersebut, maka baginya harus memiliki suatu sifat bagaimana cara dia dalam menuntut ilmu tersebut. Dan juga baginya, sifat ketika ilmu sudah banyak disisinya maka hendaklah dia lazimkan dirinya kepada yang diwajibkan tersebut. Dia harus memiliki sifat dan mengetahui sifat bagaimana bermajelis dengan para ‘ulama. Dan ada sifat yang harus diketahuinya ketika dia belajar dari para ‘ulama tadi, bagaimana dia belajar serta dia juga harus mengerti tentang sifat bagaimana dia mengajar, dan didalam munazaroh dalam masalah ilmu. Dan didalam berfatwa dia juga harus memiliki sifat dan adab, dan dia juga harus memiliki sifat bagaimana bermajelis dengan para pemimpin yang kalau seandainya dia diuji dengan duduk bersama pemimpin, dan siapa yang berhak bermajelis dengannya dan siapa yang tidak berhak. Dan dia juga harus memiliki sifat bagaimana dia beribadat kepada Allah (antara dia dengan Allah). Sesungguhnya dia telah mempersiapkan setiap hak yang melazimkan padanya apa-apa yang menguatkannya untuk mendirikan dan menunaikan hak tersebut. Dia juga harus mempersiapkan diri dari kejadian-kejadian yang baru, apa-apa yang bisa dia selamat dari kejelekan-kejelekannya terutama dalam masalah agamanya dan dia harus berilmu dan mengetahui dengan hal-hal yang bisa mendatangkan ketaatan kepadanya. Juga dia harus berilmu dengan apa-apa yang menolak bala’ tersebut. Sesungguhnya dia harus beri’tiqod, menganut dan mengamalkan dangan akhlak-akhlak yang baik dan menjauhi akhlak-akhlak yang hina dan rendah didalam kehidupannya”.
Inilah butir-butir dari adab-adab yang akan membimbing kepada ilmu dan bagaimana menunaikan ilmu tersebut. Dan kadang-kadang mungkin saja luput dari saya selain dari apa yang akan saya sebutkan, dan Allah-lah yang menunjuki kepada jalan yang lurus.

Catatan kaki:

1) Syaikh Hamad bin Ibrahim al-Utsman (Pengarang Kitab)

2) Yaitu menisbahkan, misalnya kalau kita mengambil suatu topik atau pembahasan maka kita kembalikan kepada para ‘ulama atau disandarkan kepada suatu kitab. Jika kita menukil suatu kitab, maka kita kembalikan nukilan tersebut pada kitab tadi, lalu kita sebutkan nama kitabnya, jika perlu halamannya, dan jika ada nomornya maka kita sebutkan nomornya. Ini menunjukkan tentang ilmiyyahnya suatu kajian atau karya tulis. Kita perhatikan karya-karya para salafunasholeh (orang-orang salaf dahulu), mulai dari zaman tabi’in saja kalau kita melihat, yang sudah mulai dibukukan hadits yang mereka menukilkannya dari perkataan si fulan dan si fulan (bersanad) terus sampai hari ini. Kalau kita lihat kitab-kitab jangankan yang berbahasa arab, yang berbahasa Indonesia saja dapat kita lihat adanya catatan kaki, terkadang disandarkan kepada Imam Bukhori dan Muslim, syaikh Al-bani, syaikh bin Baz, syaikh Utsaimin dan para ‘ulama muta’akhirin. Inilah yang dikatakan metode yang ilmiyah.

3) Sebuah kitab yang membahas tentang permasalahan Ilmu dan Keutamaan Ilmu.

4) Tidak setiap pertanyaan untuk dijawab oleh para ‘ulama, dan tidak setiap pertanyaan harus dijawab karena ada pertanyaan yang butuh dijawab pada saat itu dan ada juga yang ditunda. Tidak boleh kita apabila dilontarkan pertanyaan lalu kita jawab semuanya. Bukan ‘aib bagi kita untuk mengatakan jika kita ditanya lalu kita mengatakan Allahu a’lam.

5) Disamping dia berteman dengan gurunya, bersahabat dengan gurunya dan disamping dia mempelajari ilmu, dia juga mempelajari adab sebagaimana gurunya.

6) Didalam Siyar alamin-nubala’, Jilid 8 halaman 113.

7) Di dalam al-Hilyah oleh Abi Nu’aim

8) Iqtidho’ al-Ilmiy wal ‘amali oleh Khatib al Baghdadiy, (hal. 170)

9) Didalam kitab al-adabul syar’iyyah (Jilid 3, Halaman 552).

10) Didalam Syarfu Ashabil Hadits oleh al-Khatib al-Baghdadiy (No. 283).

11) Didalam Akhlakul ‘Ulama (Hal. 29 dan 30).