24 Juni 2008

Syarat Hadits Shahih

BAB I PENDAHULUAN

Ada beberapa hal yang sangt penting dan mesti kita ketahui dalam masalah hadits yaitu :
1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.
Dan disini kami akan coba menjelaskan mengenai syarat-syarat hadits shohih dan yang berkaitan dengannya.
BAB II
SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH

A. KESHAHIHAN SANAD HADITS
Imam syafi’I mengatakan hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah kecuali memenuhi 2 syarat yaitu pertama : hadits tersebut diriwayatkan oleh orang yang tsiqaf (adil dan Dhabth) kedua : rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad atau dapat juga tak sampai kepada Nabi.
Ibnu Shalah (w. 643 h-1245m) dalam muqaddimahnya :
Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanadnya, tak terdapat kejanggalan (syaz) dan cacat (‘illat).
Dari defenisi hadits shahih diatas bahwa hadits shahih harus memenuhi syarat :
- bersambung sanadnya
- diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil
- diriwayatkan oleh periwayat yang dhabit
- terhindar dari syaz
- terhindar dari ‘illat
Hadits yang akan diteliti tersebut harus lengkap sanad dan matannya dan lengkap pula informasi dari kitab-kitab yang memuat hadits tersebut. Mentakhrij hadits memang adalah suatu kegiatan untuk mengeluarkan hadits dari sumber hadits. Takhrij hadits, juga sebagai langkah awal untuk mengetahui kuantitas, jalur sanad dan kualitas suatu hadits.
B. PENELITIAN KUALITAS SANAD HADITS
Ada dua syarat yang harus dimiliki oleh periwayat hadits,
1. ‘Adil
2. Dhabit
Kriteria periwayat ‘Adil :
a. Beragama islam. ( periwayat hadits ketika mengajarkan hadits harus telah beragama islam, karena kedudukan periwayat hadits dalam islam sangat mulia. Namun, menerima hadist tak di syaratkan beragama islam.
b. Berstatus Mukallaf, didasarkan pada dalil Naqli yang bersifat umum.
c. Melaksanakan ketentuan agama, yakni teguh melaksanakan adab- adab syara’.
d. Memelihara Muru’ah. Muru’ah merupakan salah satu tata nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kriteria periwayat Dhabit:
a. Kuat ingatan dan kuat pula hafalannya, tak pelupa.
b. Memelihara hadits, baik yang tertulis maupun tak tertulis, ketika ia meriwayatkan hadits berdasarkan buku catatannya/ sama dengan catatan ulama yang lain ( Dhabit Al- kitab)
a) Klasifikasi hadits dalam sunan Al- Nasa’i sebagai berikut :
1. Hadits qudsi 25 buah
2. Hadits nabawi 5637
b) Pembagian hadits dari segi kuantitas sanad:
1. Hadits mutawatir 846 buah
2. Hadits ahad 4816 buah.
c) pembagian hadits dari segi penyandaran berita :
1. Hadits marfu’ 5354 buah
2. Hadits mawquf 214 buah
3. Hadits maqtu’ 69 buah dari 5662 hadits dalam sunan an-Nasai
C. KRITERIA KEBERSAMBUNGAN SANAD HADITS
Dalam sanad hadits termuat nama-nama periwayat dan kata-kata/singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan periwayat lainnya yang terdekat.
Matan hadits yang shahih belum tentu sanadnya shahih. Sebab boleh jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung/salah stu periwayatnya tidak siqat (adil dan dhabit)
Kriteria ketersambungan sanad :
1) Periwayat hadits yang terdapat dalam sanad hadits yang teliti semua berkualitas siqat(adil dan dhabit)
2) Masing-masing periwayatnya menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-sama’) yang menunjukkan adanya pertemuan diantara guru dan murid.
D. MENELITI SYUZUZ DAN ‘ILLAT
Sanad hadits yang terdiri dari periwayat yang tsiqah (adil dan dhabit) dan muttasil (betul-betul bersambung) dapat dinyatakan sebagai hadits yang shahih dari segi sanad. Namun kenyataannya, ada sanad hadits yang tampak berkualitas shahih dan setelah diteliti dengan lebih teliti dan cermat lagi, dengan cara membentangkan dan membanding-bandingkan semua sanad untuk matan hadits yang semakna, adakalanya hadits bersangkutan mengandung kejanggalan (syuzuz) ataupun cacat (‘illat). Demikian pula terhadap matan hadits. Jadi, untuk mengetahui syaz/’illat pada suatu hadits, baik terhadap sanad maupun matan adalah dengan melakukan penelitian secara teliti dan mendalam. Kemudian hasil penelitian tersebut di bentangkan dan di banding-bandingkan.
Pendapat al-Syafi’I tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits dikatakan mengandung syuz apabila hadits itu memiliki lebih dari satu sanad, para periwayat hadits yang terdapat dalam beberapa sanad itu seluruhnya tsiqah, matan atau sanad hadits itu ada mengandung pertentangan.
Menurut ibn shalah ‘illat (cacat) pada hadits adalah sebab yang tersembunyi yang dapat merusakkan kualitas hadits. Keberadaan ‘illat menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih. ‘illat (cacat) disini bukan disebabkan adanya periwayat dalam sanad yang kurang adil dan kurang dhabit secara nyata. Karena kecacatan semacam itu mudah diketahui oleh peneliti hadits, tetapi kecacatan yang dimaksud adalah ‘illat yang tersembunyi dibalik keshahihan hadits dengan perkataan lain, hadits yang ber’illat adalah hadits yang kelihatan sudah memenuhi criteria keshahihan hadits, baik sanad maupun matan, tetapi setelah dilakukan penelitian secara mendalam dan di banding-bandingkan dengan hadits yang lain yang semakna, ternyata ditemukan kecacatan.
Menurut bahasa kata matan berasal dari bahasa Arab matana artinya punggung jalan atau muka jalan, tanah tinggi dan keras. Sedangkan matan menurut ilmu hadits adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan hadits adalah isi hadits. Matan hadits terbagi tiga yaitu ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad.
Kalimat yang baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sanad hadits yang baik, kalau matannya tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
E. KRITERIA KESHAHIHAN MATAN HADITS
Menurut muhadditsin tampak beragam. Salah satu versi tentang criteria keshahihan matan hadits ialah bahwa suatu matan hadits dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadits yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
- tidak bertentangan dengan akal sehat
- tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hokum yang telah tetap)
- tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
- tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (Ulama Salaf)
- tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
- tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
Salaf Al-din Al-Adabi mengambil jalan tengah. Kriteria keshahihan matan ada 4 :
- tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
- tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat
- tidak bertentangan dengan akal sehat, indra, sejarah dan
- susunan pernyataannya menunjukkan cirri-ciri sabda keNabian.
Keshahihan matan hadits antara lain:
- sanadnya shahih (penentuan keshahihan sanad hadits didahului dengan takhrij al-hadits dan dilanjutkan dengan kegiatan penelitian sanad hadits)
- tidak bertentangan dengan hadits mutawatir/hadits ahad yang shahih.
- tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
- sejalan dengan alur akal sehat
- tidak bertentangan dengan sejarah
- susunan pernyataan menunjukkan cirri-ciri keNabian.

Kriteria keshahihan sanad, baik dilihat dari kebersambungan sanad maupun dari segi kapasitas dan kualitas perawi, dan sanad hadits tersebut memiliki musyahid dan muttabi’.
F. KRITERIA KESHAHIHAN HADITS
Ulama dari berbagai bidang keislaman sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah hanya hadits yang berkualitas shahih. Maka para Muhaddits menetapkan criteria kesahihan hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan.
a. Kriteria kesahihan sanad hadits
Menurut Muhammad Al- Ghazali, keshahihan sanad hadits hanya terdiri dari dua syarat yaitu :
- Setiap perawi dalam sanad suatu hadits haruslah dikenal sebagai penghapal yang cerdas, teliti dan benar- benar memahami apa yang didengarnya, kemudian setelah ia meriwayatkannya, tepat seperti aslinya. Pada konteks ini perawi disebut dhabit.
- Disamping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya, bertakwa kepada Allah serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan. Pada konteks ini perawi disebut ‘adil.

Pendapat Muhammad Al- ghazali berbeda dengan pendapat Muhadditsin. Menurut mereka, ketersambungan sanad mutlak adanya, karena bagaimana mungkin suatu berita dapat dipercaya jika tidak jelas asal- usulnya.terlebih lagi berita itu disandaran pada Rasulullah. Oleh karena itu, sanad hadits yang terputus , baik mursal (termasuk mursal sahabi), mungati, maupun Mu’dal menurut Muhaddisin hal tersebut menyebabkan suatu hadits menjadi dhoif.
b. Kriteria kesahihan matan hadits
Muhammad Al- ghozali menetapkan tujuh criteria keshahihan matan hadits :
a) Matan hadits sesuai dengan Al- qur’an.
b) Matan hadits sejalan dengan matan hadits shahih lainnya.
c) Matan hadits sejalan dengan fakta sejarah.
d) Redaksi matan hadits menggunakan bahasa arab yang baik.
e) Kandungan matan hadits sesuai dengan prinsip- prinsip umum ajaran agama islam.
f) Hadits itu tidak bersifat syaz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan dapat dipercaya)
g) Hadits tersebut harus bersih ‘illah audihah ( yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadits, sedemikian sehingga mereka menolaknya).
BAB III
KESIMPULAN

 Imam syafi’I mengatakan hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah kecuali memenuhi 2 syarat yaitu pertama : hadits tersebut diriwayatkan oleh orang yang tsiqaf (adil dan Dhabth) kedua : rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad atau dapat juga tak sampai kepada Nabi.
 Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanadnya, tak terdapat kejanggalan (syaz) dan cacat (‘illat).
 Matan hadits yang shahih belum tentu sanadnya shahih. Sebab boleh jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung/salah stu periwayatnya tidak siqat (adil dan dhabit)
 Ulama dari berbagai bidang keislaman sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah hanya hadits yang berkualitas shahih. Maka para Muhaddits menetapkan criteria kesahihan hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan.
 Kalimat yang baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sanad hadits yang baik, kalau matannya tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany;
Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah;
Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy;
Kitab Mushtholahul Hadits - A. Hassan

Tidak ada komentar: