BAB I PENDAHULUAN
Psikologi membahas motivasi beragama atau penyebab yang mendorong maupun menarik manusia menganut suatu agama berdasarkan dinamika psikologis serta peranan fungsi kejiwaan dalam perilaku keagamaan. Pembahasan mengenai agama sebagai salah satu metode psikoterapi, tidak akan terlepas dari kehidupan motivasi beragama. Psikologi sebagai sains tidak mampu menganalisis penyebab yang paling mendasar dari tingkah laku keagamaan, karena analisis psikologis itu terbatas pada fakta empiris. Teori-teori psikologis, instink, konflik, frustasi baik disebabkan faktor biologis, psikologis, sosial, kematian maupun frustasi moral ataupun teori psikologi lainnya mengenai penyebab prilaku keagamaan hanya mampu menerangkan motivasi beragama secara fungsional. Artinya teori-teori tersebut menerangkan perilaku keagamaan berdasarkan peranan dan kegunaan agama bagi kehidupan psikis manusia yaitu :
a. sebagai efek, akibat atau kelanjutan proses kimiawi dan faali tubuh
b. penyalur suatu instink ;
c. pelarian untuk mengatasi konflik ;
d. jawaban atau pemenuhan kebutuhan yang tidak terpuaskan karena adanya frustasi yang dialami manusia pada berbagai bidang kehidupannya.
BAB II
AGAMA SEBAGAI METODE PSIKOTERAPI
Manusia bertingkah laku keagamaan karena ia mengalami frustasi dan berusaha untuk mengatasi.
Setiap teori mengenai motivasi perilaku keagamaan yang tidak melibatkan filsafat hidup dan kehidupan rohaniah, akan selalu memliki kelemahan-kelemahan yang dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku manusia tidak terlepas dari filsafat an kerohanian. Kita harus menganalisis manusia sebagai suatu kesatuan psikosomatis, sebagai kesatuan jasmani rohanih atau jiwa raga dan mencari motivasi perilaku keagamaan secara lebih mendalam dam lebih mendasar daripada sekedar berlandaskan fakta empiris belaka. Penyebab itu harus dicari bukan hanya berdasarkan fakta empiris objektif saja, akan tetapi harus mencakup pula perilaku keagamaan yang subjektif dan rohaniah. Pada umumnya penyebab perilaku keagamaan manusia merupakan campuran antara berbagai faktor, baik faktor lingkungan, biologis, psikologis rohaniah, unsur fungsional, unsur asli, fitrah ataupun karunia Tuhan. Studi yang mampu membahas masalah empiris, nonempiris dan rohaniah adalah agama. Agama berwenang mencari hakikat yang terdalam mengenai fitrah, takdir, kematian, hiayat, taufik, keimanan, malaikat, syetan, dosa, jiwa, roh, wahyu, kehadiran Tuhan, dan realitas nonempiris maupun rohaniah. Filsafat mampu membahas masalah nonempiris dan mencari penyebab yang terdalam dari prilaku keagamaan, namun pembahasan filsafat itu terbatas pada fakta nonempiris yang logis dan rasional. Filsafat tidak berwenang membahas masalah nonempiris yang bersifat emosional dan subjektif yang seperti “Kehadiran Tuhan”.
Kalau psikoterapi membatasi diri pada fakta empiris objektif saja, maka psikoterapi hanya mampu menangani kasus-kasus gangguan mental secara terbatas. Padahal psikoterapi harus menangani manusia secara utuh. Oleh karena itu psikoterapi harus terbuka dan menerima pembahasan, analisis, asumsi, hipotesis, dan teori mengenai gangguan mental dan filsafat dan agama. Kehidupan menusia yang kompleks tidak akan terpecahkan dengan tepat kalau hanya melalui pendekatan metode sains saja.
A. Peranan Agama
Pada mulanya psikoterapi di Barat berusaha mendekati masalah gangguan mental secara ilmiah murni, seperti yang dilaksanakan oleh para dokter pada abad ke-19. Para ahli yang berasal dari disiplin Ilmu Kedokteran kurang puas terhadap keterbatasan disiplin ilmiahnya dalam membahas kasus gangguan mental sehingga mereka memasuki bidang psikologi. Namun demikian cara bekerja mereka dipengaruhi oleh Ilmu Alam yang berkembang pesat dengan metode eksperimen. Para dokter yang mengamalkan psikoterapi itu akhirnya menjadi peletak dasar psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat itu masyarakat Barat lebih condong mengatasi gangguan mentalnya dengan meminta bantuan para psikiater daripada pastor. Masyarakat cenderung mencari sebab-sebab jasmaniah dari segala macam penyakit. Ini berarti mengabaikan peranan agama dalam mengatasi gangguan mental. Disamping itu kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ditemukan teori-teori ilmiah yang kadang-kadang bertentangan dengan agama Kristen, menambah kepercayaian masyarakat terhadap sains dan menganggap para dokter lebih maju, modern dan up-to-date dibandingkan dengan para pastor. Padahal psikoterapi dan agama sama-sama memandang manusia secara utuh sebagai terapi. Pada pasal ini akan ditunjukkan beberapa kasus gangguan mental yang dapat disembuhkan melalui perilaku keagamaan. Walaupun agama tidak identik dengan psikoterapi, namun perilaku keagamaan mempunyai peran sangat besar untuk mengatasi gangguan mental. Bahkan agama dapat dijadikan landasan untuk membina kesehatan mental serta mampu membentuk dan mengembangkan kepribadian seseorang melalui kegiatan peribadatan.
B. Pengalaman Keagamaan
Pengalaman keagamaan dapat merupakan pengalaman kerohanian, orang mengalami dunia sampai batasnya seakan-akan menyentuh apa yang berada diseberang duniawi atau yang diluar profan. Pengalaman keagamaan yang khas itu merupakan tanda adnya Tuhan dan sifat-sifatNya. Akan tetapi karena pengalaman itu dirasakan oleh manusia, akan sering kali pengalaman yang kudus bercampur dengan hal-hal yang duniawi sehingga kekudusannya menjadi dangkal. Kesyahduan memandang Ka’bah, kelezatan bergelantungan di Multazam, kekhusyukan shalat atau keasyikan bertawaf merupakan pengalaman keagamaan yang kudus. Kekudusan pengalaman nan-illahi itu akan menjadi dangkal dengan timbulnya kesadaran bahwa Ka’bah itu bangunan batu berbentuk kubus dan gantungan di Multazam adalah tambang Ka’bah atau kiswah. Tanda-tanda keagunan Tuhan kadang kala dianggap sebagai Tuhan itu sendiri. Hal inilah yang sering kali menyesatkan manusia untuk memuja dan menyembah kepada selain Allah. Kalau yang suci bercampur benda-benda alam atau kosmos seperti gunung Ciremai, goa tempat bertapa, pohon, batu, kuncen, maka benda alam atau mahluk itu oleh beberapa orang mungkin dijadikan pujaan, sesembahan atau berhala. Menurut Vergote (1967) yang kudua dapat pula bercampur dengan yang erotis atau seksual sehingga dapat terjadi pemujaan pada seks. Dapat pula tanda-tanda yang kudus melekat pada mahluk halus seperti setan, sehingga si Centring dan Merakayangan menjadi pujaan. Bentuk campuran hanya dapat dihindari kalau manusia sungguh-sungguh sadar akan transendensi Allah, yaitu keyakinan bahwa Allah bukan duniawi, tidak dikenai ruang dan waktu, tiada sesuatu yang menyerupaiNya serta tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia. Setiap kali manusia membayangkan Allah atau sifat-sifatNya, setiap kali pula yang terbayang bukan Allah dan bukan sifat yang sebenarnya. Walaupun demikian tanda-tanda Allah bahkan Yang Maha Suci itu sendiri dapat dirasakan atau dihayati kehadiranNya oleh orang yang beriman.
Peribadatan seperti shalat dan dzikir ternyata merupakan suatu metode atau teknik psikoterapi yang dapat menghilangkan dendam kesumat, kebejatan moral, sifat nekad, frustasi dan gangguan mental lainnya. Bahkan peribadatan atau perilaku keagamaan mampu membentuk, mengubah, mengembangkan, memperkaya, dan memantapkan kepribadian S.J. Subjek mampu menjadi Asisten Ny. G, bersedia memberikan ceramah keagamaan, mengadakan hubungan social, berani membuka diri dan meninggalkan kantor PR dengan sebuah senyum serta suara alam yang merdu.
BAB III
TERMINOLOGI AGAMA
Gangguan mental, baik berat maupun ringan, menunjukkan adanya konflik dalam kepribadian klien. Dalam mengutarakan fakta tersebut, psikologi dan agama menggunakan bahasa, pernyataan atau terminologi yang berbeda, namun memiliki isi atau pengertian yang sama.
Bandingkan rumusan kalimat dibawah ini :
“Ego dan superego tidak mau kerja sama,” kata psikolog.
“Nafsu hewani berlawanan dengan jiwa rohani,” kata ulama.
“Pemecahan frustasi yang positif merupakan pelajaran yang dapat mematangkan kepribadian. Sedangkan frustasi yang tidak dapat diselesaikan dapat mengakibatkan putus asa, psikosis atau neurosis,” kata psikolog.
“Setiap kali manusia mau berbuat kebaikan selalu setan hadir menggodanya. Makin alim manusia, makin pandai setan menggodanya,” kata ulama.
Maksudnya, setiap kali manusia melangkah pada kebaikan (kemajuan) selalu ada rintangan (setan) yang dapat menimbulkan frustasi. Apabila manusia tergoda oleh setan atau tidak mampu menyelesaikan frustasi, ia akan jetuh bergelimang dosa atau jatuh ke jurang kesengsaraan, putus asa, psikosis atau neurosis. Sedangkan kalau ia mampu mengatasi godaan setan atau mampu menyelesaikan frustasi secara positif, maka kepribadiannya makin metang atau menemukan kebahagiaan dalam nernuat kebaikan.
“Perasaan bersalah menunjukkan kepribadian yang kurang utuh,” kata psikolog.
“Bersihkan hatimu dari kemunafikan!” kata ulama.
Kemunafikan menunjukkan sikap luar yang berbeda dengan sikap dalam, menunjukkan kepribadian yang kurang utuh. Kebanyakan konflik yang mengganggu mental disebabkan karena adanya keinginan atau dorongan yang tidak terkendali oleh individu serta tidak sesuai dengan norma masyarakat atau moral. Penghayatan terhadap moral selalu berperan dalam konfilk yang mendalam. Psikologi menyebut penghayatan moral itu superego, sedangkan agama menyebutnya jiwa rohani, hati nurani, basirah atau afi’dah. Istilah jiwa rohanih, hati nurani, basirah atau afi’dah mempunyai perbedaan derajat atau gradasi dalam pengertiannya, namun semuanya menunjukkan kehidupan rohaniah atau spiritual. Pelanggaran terhadap hati nurani (norma illihi) disebut “dosa” sedangkan pelanggaran terhadap superego disebut “guilty feeling” atau rasa bersalah.
Apakah hati nurani itu pembawaan? Ada ahli yang menjawab ya, ada pula yang mengatakan tidak. Memang pada waktu bayi lahir, ia belum memiliki hati nurani, namun telah memiliki potensi dasar untuk berhati nurani. Seperti juga indera penglihatan. Pada waktu bayi lahir, ia belum berpenglihatan, tetapi telah memiliki potensi untuk melihat. Setelah kurang lebih 40 hari, penglihatan si bayi mulai berfungsi. Pemunculan hati nurani lebih lambat dan lebih belakangan dibandingkan dengan penglihatan. Orang tua dengan susah payah mendidik dan mmbimbing anak agar memahami apa dan bagaimana perilaku yang baik dan benar, serta mana dan bagaimana perilaku yang salah dan buruk. Hati nurani diwarnai, diolah dan dimatangkan oleh lingkungan serta perkembangannya mengikuti kematangan perkembangan kepribadian. Sedikit demi sedikit pengaruh lingkungan, norma yang ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat menjadi bagian kepribadiannya. Hanya merupakan suatu pengecualian yang sangat jarang, hati nurani itu tidak nampak pada orang-orang psikopat atau oramg yang nampaknya tidak mempunyai perasaan bersalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar