24 Juni 2008

sex dan jender

BAB I
PENDAHULUAN

Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan, walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Jender adalah suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Jender (gender discourse).Sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu.
Dimensi teologi jender masih belum banyak dibicarakan, padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber dari tradisi keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction).
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan jender.
Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor produksi.
Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama, khususnya agama-agama Ibrahimiah (Abrahamic religions) sebagai salah satu faktor menancapnya faham patriarki di dalam masyarakat, karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Lebih dari itu, agama Yahudi dan Kristen dianggap mentolerir faham misogyny, suatu faham yang menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari sorga karena rayuan Hawa. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother God ke The Father God di dalam mitologi Yunani.
Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai "as it should be" (keadaan sebenarnya), bukannya "as it is" (apa adanya).


BAB II
SEX DAN JENDER

A. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan".
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
B. Perbedaan Sex dengan Gender
Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti "jenis kelamin") lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender.
Manusia memiliki kemampuan untuk mengklarifikasikan lingkungannya lewat simbol yang diciptakannya lalu dibakukan lewat tradisi dan sistem budayanya. Karena proses simbolisasi ini terkait dengan sistem budaya, maka apa yang kita lihat sekarang sebagai "pekerjaan laki-laki" dapat kita lihat juga dikerjakan oleh perempuan dalam suatu sistem budaya lain. [Masalahnya kita hidup dalam dominasi sistem budaya yang patriarkis] Pembedaan seks dan gender pertama kali dipopulerkan oleh Ann Oakley, seorang ahli sosiologi Inggris, lewat bukunya "Sex, Gender, and Society" . Walau sebenarnya pemikiran mengenai hal itu sudah lama menjadi dialektika diskursus sosiologi. Tahun 1968, Robert Stoller telah menerbitkan bukunya yang berjudul "Sex and Gender".
Pemikiran Oakley mengatakan bahwa gender adalah suatu konstruksi sosial dan bukan biologis yang memungkinkan subordinasi perempuan oleh laki-laki karena perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Oakley secara tegas mengatakan bahwa "seks" adalah kata yang merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang tampak pada organ genital, dan perbedaan dalam fungsi prokreatif. Sedangkan gender adalah suatu konstruksi sosial, persoalan budaya yang mengacu pada klasifikasi sosial tentang peran feminin dan maskulin.
Gender adalah suatu konsep nurture sedangkan seks adalah konsep nature. Gender dibentuk oleh suatu sistem budaya, dan karenanya bisa berbeda pada sistem budaya yang berlainan. Sedangkan seks/jenis kelamin adalah konsep nature yang berasal dari alam/Sang Pencipta, suatu hal yang esensial [yang harusnya... murni tanpa pengaruh dimensi sosial budaya]
Gender sebagai suatu konstruksi sosial yang melahirkan perbedaan gender lahir melalui proses yang sangat panjang. Proses-proses penguatan perbedaan gender tersebut termasuk proses sosialisasi, proses kultural, keagamaan, dan kekuasaan negara. Karena proses ini terjadi suatu bias gender, sehingga gender diyakini sebagai suatu yang esensial, bersifat nature. Selanjutnya gender mewariskan konsep pemikiran tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak yang diwariskan dari generasi ke generasi. Terjadi suatu pembenaran terhadap pembedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan hanya karena perbedaan jenis kelaminnya.
Perbedaan seks yang paling jelas dapat kita lihat pada organ genital dan fungsi prokreatif - perempuan melahirkan, laki-laki tidak- , dan tidak lebih daripada itu. Secara genetik wanita memproduksi hormon-hormon estrogen dan progesteron sedangkan laki-laki memproduksi hormon-hormon testosteron dan androgen. Pada masa pubertas, produksi hormon ini secara signifikan meningkat dan menentukan karakter seksual sekunder serta kemampuan reproduksi laki-laki dan perempuan. Penelitian terhadap realitas biologis menunjukkan bahwa laki-laki hampir selalu lebih besar dari perempuan, berat badan yang lebih, dan kekuatan yang lebih pula. Berat badan lahir bayi perempuan lebih kecil dibandingkan bayi laki-laki, dan juga rata-rata ukuran otak perempuan lebih kecil daripada ukuran otak laki-laki. Perbedaan-perbedaan tersebut lalu dijadikan alasan pembenar perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan oleh masyarakat. Sebagai contoh, pada umumnya kesempatan pendidikan bagi laki-laki jauh lebih baik daripada perempuan [ukuran otak yang lebih kecil dijadikan indikasi inferioritas perempuan terhadap laki-laki].
Oakley menolak tegas anggapan-anggapan itu dan mengatakan bahwa seharusnya laki-laki dan perempuan dipandangan sebagai kategori dalam suatu continuum yang saling berlawanan pada dua ujungnya namun dengan verlapping pada bagian tengahnya.
Penelitian Margareth Mead pada tahun 1935 tentang tiga suku di Papua Nugini menjelaskan pengkondisian budaya yang dilawankan dengan faktor-faktor biologi yang terkait dengan permasalahan seks dan gender. Mead melakukan penelitian pada suku-suku Arapesh, Mundugumor dan Tchambuli. Pada suku Arapesh, laki-laki dan perempuan dewasa yang ideal adalah yang memiliki karakteristik sabar, lembut, penuh kasih, dan pasif [karakteristik yang oleh dunia kita sering diidentikkan dengan feminin].
Pada suku Mundugumor, laki-laki dan perempuan biasanya bersikap tegas, asertif, dan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap mereka yang berjenis kelamin lain. Mereka membenci kehamilan dan kegiatan memelihara anak. Dan, pada suku Tchambuli, laki-laki biasanya tertarik pada kesenian, teater, berbelanja dan gosip. Laki-laki suku Tchambuli juga sering iri terhadap satu sama lain, dan sangat tertarik untuk merawat tubuhnya. Sedangkan perempuan suku Tchambuli menyukai kegiatan praktis, energik, tegas dan mendominasi.
Jadi, makin jelas bahwa suatu sistem budaya yang berlainan dapat saja mempunyai konsep gender yang berlainan. Tapi jelas tidak adil bila akhirnya konsep gender itu membatasi peran salah satu pihak tanpa memberikan kesempatan dan akses yang sama kepada alat-alat yang dapat meningkatkan produktivitas dan ketrampilan kerja.


BAB III
KESIMPULAN

Banyak hal yang perlu diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan. Terutama anggapan sadar dan bawah sadar bahwa kaum laki-laki lebih utama dari pada kaum prempuan. Semenjak dahulu kala, orang banyak berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin tetapi hasilnya belum banyak mengalami kemajuan. Persepsi itu memang sulit dihilangkan karena berakar dari atau didukung oleh ajaran teologi. Padahal Max Weber pernah menegaskan bahwa tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat tanpa mengubah sistem etika, dan tidak mungkin mengubah etika tanpa meninjau sistem teologi dalam masyarakat.
Diskursus mengenai perempuan seringkali terlalu tematis, sehingga dilupakan persoalan asasinya. Para feminis telah banyak mencurahkan perhatian untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, tetapi tidak sedikit perempuan merasa enjoy di atas keprihatinan para feminis tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan ideal ialah mereka yang bisa hidup di atas kodratnya sebagai perempuan, dan kodrat itu dipahami sebagai takdir (divine creation), bukan konstruksi masyarakat (social consttuction).
Dalam praktek terkadang sulit dibedakan mana pesan yang bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari mitos. Agama pada hakekatnya menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Pesan-pesan agama untuk kemaslahatan manusia mestinya dapat dijangkau oleh umat (mukallaf). Sedangkan pesan yang lahir dari mitos seringkali memberikan muatan lebih (over loads). Untuk itu, perlu adanya reidentifikasi masalah dan reinterpretasi sumber-sumber ajaran agama.
Selain itu kita juga dapat mengambil beberapa kesimpulan dari makalah diatas anatara lain :
 Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan jender.
 Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
 Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan".
 Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
 Pemikiran Oakley mengatakan bahwa gender adalah suatu konstruksi sosial dan bukan biologis yang memungkinkan subordinasi perempuan oleh laki-laki karena perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Oakley secara tegas mengatakan bahwa "seks" adalah kata yang merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang tampak pada organ genital, dan perbedaan dalam fungsi prokreatif. Sedangkan gender adalah suatu konstruksi sosial, persoalan budaya yang mengacu pada klasifikasi sosial tentang peran feminin dan maskulin.


DAFTAR PUSTAKA

Astiti, T.I.P., 2000; “Jender Dalam Hukum Adat” Makalah.
Fakih, Mansour, 1996; Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Muchtar, Yati, 2001; “Gerakan Perempuan Indonesia dan Politik Gender Orde Baru”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, No. 14.
Soewondo, Nani, 1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekito, Sri Widoyatiwiratmo, 1989; Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta.
Undang-Undang Dasar, 1945; Apollo, Surabaya.
Undan-Undang No. 1 Tahun 1974 dan P P No. 9 Tahun 1975; Karya Anda, Surabaya.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Permpuan, Kantor Mentri Negara Urusan Peranan Wanita, Jakarta, 1993.

Tidak ada komentar: