BAB I
PENDAHULUAN
Masalah perkawinan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga telah diatur dengan jelas oleh undang-undang. Akan tetapi karena kurang banyaknya masyarakat yang memahaminya dan kurangnya sosialisasi dari berbagai pihak maka hal ini masih menjadi permasalahan yang sangat perlu dengan serius ditangani.
Coba kita lihat diberbagai berita nasional, selalu saja ada berita tentang KDRT. Padahal hukuman bagi pelakunya telah jelas ditetapkan oleh undang-undang.
Lain lagi dengan masalah perkawinan, setiap hari kita selalu saja disajikan dengan berbagai topic yang sangat memalukan. Perceraian….!!!
Karena apa saya katakan demikian ? bukankah perceraian itu ibarat aib yang sangat memalukan ? lalu kenapa masih saja di ekspos dengan jor-joran ! lihat saja acara di televise tentang infotaiment yang selalu saja membahas mengenai percerai dan perceraian ditambah dengan harta gono-gini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Perkawinan
Secara sing dan ringkas, perkawinan adalah suatu hak asasi yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) Perubahan II UUD 1945 dan kemudian dalam tataran praktisnya diatur dalam UU No 1 Tahun 1974.
Tetapi perkawinan sendiri dinilai sah apabila:
1. Dilakukan berdasarkan hukum agamanya dan kepercayaannya
2. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua mempelai
3. Yang laki laki min berumur 19 tahun sedang yang perempuan min berumur 16 tahun
4. Bagi yang berumur kurang dari 21 tahun harus memiliki izin dari kedua orang tua/wali
Lalu bagaimana proses pencatatannya sendiri, sebenarnya ini tidak menjadikan perkawinan itu tidak sah karena proses pencatatan itu sendiri adalah proses administratif. Namun dalam hukum nasional kita, proses pencatatan ini telah menjadi bagian dari hukum positif, karena hanya dengan proses ini maka masing-masing pihak diakui segala hak dan kewajibannya di depan hokum
UU Perkawinan juga mengatur tentang tata cara pembagian warisan, harta gono-gini yang terjadi karena perceraian, hak asuh anak.Selain itu UU Perkawinan juga mengatur tentang pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, serta putusnya perkawinan. Dan untuk lebih lengkapnya saya anjurkan untuk membaca tentang perkawinan di UU No 1 Tahun 1974.
B. UU PKDRT
1. Belum Memuaskan
“Sangat tidak setimpal hukuman penjara 2 bulan itu dengan apa yang telah dia lakukan pada saya… Tapi, biarlah dia puas, sanksi social dan adat akan dia terima melebihi hukuman yang diputuskan. Ini pun sudah menjadi pelajaran bagi dia selaku tokoh masyarakat.”
Penggalan kalimat di atas merupakan salah satu ungkapan kekecewaan dari korban kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun kekerasan fisik yang dialami termasuk berat, dan jalur hukum sudah ditempuh dengan waktu yang begitu lama, ternyata Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) belum menjawab keadilan bagi korban. Putusan 2 bulan tersebut bahkan lebih rendah dari tuntutan Jaksa yang 3 bulan penjara. Sehingga, begitu putusan dijatuhkan, sekitar enam hari kemudian pelaku menghirup udara kebebasan. Dalam kasus ini, Hakim maupun Jaksa tidak mempertimbangkan profesi serta kedudukan pelaku di masyarakat yang termasuk sebagai tokoh masyarakat dan akademisi –yang mana perilakunya seharusnya menjadi contoh dan panutan masyarakat–.
2. Jumlah Kasus KDRT di Beberapa Lembaga Pendamping
Sejak disahkannya UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada 22 September 2004 dan diberlakukan satu bulan kemudian, tidak banyak kasus yang dapat diproses secara hukum. Dari sekian banyak data pengaduan kasus KDRT yang diterima (kita ambil contoh di) LBH APIK Jakarta, kebanyakan korban mengambil keputusan yang ekstrim untuk memutus rantai KDRT, yakni dengan mengajukan perceraian ke Pengadilan. Di tahun 2006, sampai dengan bulan Agustus, terdapat 239 kasus KDRT, dengan penyelesaian perceraian sebanyak 124 kasus, dan 5 kasus dilaporkan ke polisi.
3. Kasus KDRT Tahun 2006 (Januari – Agustus)
No. Kekerasan yang Dialami Jumlah Korban Mengajukan Cerai Melapor ke Polisi
1. Fisik 75 - 5
2. Fisik, Psikis 9 7 -
3. Fisik, Ekonomi 1 - -
4. Psikis 148 111 -
5. Psikis, Ekonomi 5 2 -
6. Seksual 1 1 -
7. Ekonomi 23 4 -
TOTAL 262 124 5
Dari data di atas, terlihat bahwa dari sekian ratus kasus KDRT, hanya sebagian kecil saja yang melaporkan kasusnya ke Polisi. Banyak hal yang menjadi alasan kenapa mereka menempuh jalan perdata atau mediasi, meskipun UU PKDRT sudah empat tahun ini disahkan. Beberapa alasan kenapa pidana kasus KDRT masih rendah adalah pertama, karena masih adanya ketergantungan secara ekonomi dan psikis pada pelaku (pasangan). Hal ini antara lain disebabkan terbatasnya akses terhadap ekonomi keluarga maupun kebutuhan dilindungi dan disayang orang lain (pasangannya). Jadi, meskipun kekerasan yang dialami terkadang tergolong dalam KDRT berat, korban tidak ingin pelaku dihukum/dipenjara, mereka hanya mengharapkan pelaku dapat merubah perilakunya tersebut. Sehingga, tak jarang korban baru menempuh proses pidana atau perdata ketika kekerasan tersebut benar-benar sudah berat dan berulangkali terjadi. Bahkan, salah satu mitra (klien) LBH APIK Jakarta mengadukan kasus KDRT yang dia alami selama berpuluh-puluh tahun dan mengajukan perceraian ketika usianya 75 tahun dan anak-anaknya sudah dewasa semua.
Seperti tergambar dalam kasus ibu Dara, seorang ibu rumah tangga yang mengalami percobaan pembunuhan oleh suaminya dengan dipaksa minum racun serangga di tahun 1999. Akibat dari tindakan pemaksaan ini, ibu Dara dirawat di rumah sakit selama dua hari. Dari tahun 1999-2005, hampir setiap hari ibu Dara mengalami kekerasan fisik dan psikis dari suaminya. Bahkan diawal 2006, diketahui bahwa ternyata suaminya telah menikah lagi dengan perempuan lain. Bahkan, uang dan perhiasan ibu dara senilai Rp.14.000.000,- diambil oleh suaminya tersebut, sehingga ibu Dara tidak mempunyai uang untuk membiayai kehidupannya. Karena mengetahui tindakan suaminya tersebut, ibu Dara pun mendapatkan kekerasan fisik kembali. Dan setelah melaporkan ke polisi karena diancam dibunuh, suaminya pun ditangkap. Meskipun suami di dalam penjara. Namun, kekerasan masih saja dialami ibu Dara, karena ternyata ancaman dan teror diterima ibu Dara dan keluarganya hampir setiap hari dengan tidak mengenal waktu, siang ataupun malam.
Sedangkan data kekerasan dalam rumah tangga sepanjang tahun 2004 yang dikumpulkan oleh Komnas Perempuan dari beberapa organisasi (43 organisasi perempuan) di Indonesia adalah sebagai berikut:
No. Jenis Kekerasan Jumlah Kasus
1. Kekerasan terhadap istri 1782
2. Kekerasan dalam pacaran 321
3. Kekerasan terhadap anak perempuan 251
4. Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) 71
5. Kekerasan ekonomi 28
TOTAL 2453
Dari data yang dikumpulkan Komnas Perempuan tersebut, ternyata terlihat bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimpa istri saja, tetapi juga anak dan pekerja rumah tangga (PRT). Meskipun jumlah kasus yang menimpa PRT lebih sedikit dibanding kekerasan yang menimpa istri maupun anak, namun, kekerasan terhadap PRT ini mempunyai kekhususan dan kompleksitas yang tinggi. Seperti misalnya, jika kekerasan psikis yang menimpa istri atau anak berupa cacian, makian, tekanan-tekanan psikis lainnya. Maka kekerasan psikis yang menimpa PRT bisa lebih berat lagi seperti kondisi kamar yang tidak manusiawi, dikurung di dalam rumah, larangan berkomunikasi dengan tetangga ataupun keluargannya, fasilitas –termasuk fasilitas kesehatan dan kesejahteraan yang sangat minim, pembatasan akses informasi, dan sebagainya. Bahkan tidak menutup kemungkinan pelaku kekerasan terhadap PRT tidak hanya satu orang, tetapi beberapa orang anggota keluarga tersebut. Hal ini bisa terjadi karena posisi rentan PRT dalam struktur keluarga, terlepas kenyataan bahwa PRT tersebut tua atau muda. Karena secara tidak langsung, majikan PRT tidak hanya orang yang mempekerjakan dia saja, tetapi juga anak majikan, ibu/bapak majikan, istri/suami majikan, saudara-saudara majikan yang tinggal satu rumah ataupun beda rumah dengan majikannya. Apalagi konsep keluarga atau rumah tangga di Indonesia masih mengenal keluarga batih atau keluarga besar, tidak hanya ayah, ibu, anak.
BAB III
KESIMPULAN
Perkawinan adalah satu hal yang sangat mulia. Dimana didalam hadits dikatakan bahwa pernikahan/perkawinan itu adalah separuh agama. Untuk itu sudah selayaknyalah kita mengetahui tata cara dan undang-undang yang berlaku tantang perkawinan.
Sedangkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah perbuatan tercela dan sangat hina. Bukankah Rasulullah telah berwasiat kepada sahabat untuk memuliakan wanita ? jadi perbuatan KDRT sudah sangat bertentangan dengan agama kita yang mulia.
Akar permasalahan KDRT bukan hanya sekedar tindak kekerasan, tetapi juga karena adanya budaya patriarki yang sudah mendarah daging, dan menjadi dasar diwajarkannya tindakan kekerasan terhadap istri atau anggota keluarga lain yang berada dalam posisi subordinat.
Disini penulis menganjurkan kita untu lebih mendalami dan mengetahui mengenai Undang-Undang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Majalah Assunnah Edisi 11 tahun XI/1429H/2008M dengan judul KDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga
http://estufanani.wordpress.com/2007/07/11/undang-undang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-belum-menjawab-keadilan-bagi-korban-kdrt/
http://ibnuakhir.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar