BAB I PENDAHULUAN
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.
Posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk dikonsultasi.
Maka disini kami akan mencoba untuk membahas mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat.
BAB II SYARAT PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI
A. Syarat-syarat seorang perawi
Sifat-sifat hadits yang diterima:
1. Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).3. Betul-betul hafal.
4. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
B. Cara menerima dan menyampaikan riwayat
Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.
Dan yang dimaksud dengan “bentuk penyampaian” (sighatul-ada’) adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu ( سَمِعْتُ) “Aku telah mendengar”; haddatsani ( حَدَّثَنِي) “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing :
• As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh (guru).
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain.
Adapun lafadh : telah berkata kepadaku atau telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits.
• Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya : Al-Ardl
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.
Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh : aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya.
Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti : haddatsana qira’atan ‘alaih (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
• Al-Ijazah
Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :
• Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
• Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,“Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
• Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”.
• Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
• Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
• Al-Munaawalah atau menyerahkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
• Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
• Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.
• Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
• Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
• Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
• Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
• Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
• Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,“Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh.
Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu
o as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh;
o al-qira’ah atau membaca kepada syaikh;
o al-ijazah,
o al-munawalah,
o al-kitabah,
o al-I’lam,
o al-washiyyah,
o dan al-wijadah.
Al-Ijazah Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan.
Al-Kitabah Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
Al-I’lam (memberitahu) Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.
Al-Washiyyah (mewasiati) Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Al-Wijaadah (mendapat) Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
24 Juni 2008
Syarat Hadits Shahih 2
BAB I PENDAHULUAN
Ada beberapa hal yang sangt penting dan mesti kita ketahui dalam masalah hadits yaitu :
1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu hammad.
6. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.
Dan disini kami akan coba menjelaskan mengenai syarat-syarat hadits shohih dan yang berkaitan dengannya.
BAB II SYARAT HADITS SHOHIH (DITERIMA) ATAU TIDAK
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai Hujjah ( dasar hukum ) adalah: Hadits Shohih adalah hadits yang diriwayat-kan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits
A. Syarat-syarat hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
• Rawinya bersifat Adil
• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan
• Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai Adil, yaitu :
• Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
• Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
• Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan
• Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
Hadits Makbul adalah hadits- hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Hadits Dlaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan.
Hadits Dlaif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan
yang tidak dipenuhinya.
B. Klasifikasi hadits Dlaif berdasarkan kecacatan perawinya
• Hadits Maudlu' : adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka bangsakan ( katakan Sabda nabi SAW ) secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
• Hadits Matruk : adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.
• Hadits Munkar : adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada diriwayatkan dua hadits lemah yang berlawanan sedang yang satu lemah sanadnya Sedang yang lain lebih lemah sanadnya maka yang lemah sanadnya dinamakan Hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
• Hadits Mu'allal ( Ma'lul, Mu'all ) : adalah hadits yang setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan tampak adanya salah sangka dari rawinya dengan menganggap sanadnya bersambung (padahal tidak). Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
• Hadits Mudraj ( saduran ) : adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
• Hadits Maqlub : adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
• Hadits Mudltharrib : adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
• Hadits Muharraf : adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
• Hadits Mushahhaf : adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
• Hadits Mubham : adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
• Hadits Syadz (kejanggalan) : adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
• Hadits Mukhtalith : adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
C. Klasifikasi hadits dlaif berdasarkan gugurnya rawi
• Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
• Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.
• Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
• Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
• Hadits Mu'dlal : adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'iy, tabi'iy bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum shahaby dan tabi'iy.
D. Klasifikasi hadits dlaif berdasarkan sifat matannya
• Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
• Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak. Sumber pengambilan hukum bagi orang Islam adalah Al-Qur'an dan Hadist. Mengambil rujukan Al-Qur'an dengan mengikari keberadaan Hadist shoheh adalah tindakan mengingkari Al-Qur'an itu sendiri.
Diatas sebelumnya dikatakan bahwa suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
1. Rawinya bersifat Adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berillat dan
5. Hadits itu tidak janggal
KESIMPULAN
Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai Hujjah ( dasar hukum ) adalah: Hadits Shohih adalah hadits yang diriwayat-kan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits
Syarat-syarat hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
• Rawinya bersifat Adil
• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan
• Hadits itu tidak janggal
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul
DAFTAR REFERENSI
Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany;
Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah;
Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy;
Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany);
Kitab Mushtholahul Hadits - A. Hassan
Ada beberapa hal yang sangt penting dan mesti kita ketahui dalam masalah hadits yaitu :
1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu hammad.
6. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.
Dan disini kami akan coba menjelaskan mengenai syarat-syarat hadits shohih dan yang berkaitan dengannya.
BAB II SYARAT HADITS SHOHIH (DITERIMA) ATAU TIDAK
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai Hujjah ( dasar hukum ) adalah: Hadits Shohih adalah hadits yang diriwayat-kan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits
A. Syarat-syarat hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
• Rawinya bersifat Adil
• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan
• Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai Adil, yaitu :
• Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
• Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
• Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan
• Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
Hadits Makbul adalah hadits- hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Hadits Dlaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan.
Hadits Dlaif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan
yang tidak dipenuhinya.
B. Klasifikasi hadits Dlaif berdasarkan kecacatan perawinya
• Hadits Maudlu' : adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka bangsakan ( katakan Sabda nabi SAW ) secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
• Hadits Matruk : adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.
• Hadits Munkar : adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada diriwayatkan dua hadits lemah yang berlawanan sedang yang satu lemah sanadnya Sedang yang lain lebih lemah sanadnya maka yang lemah sanadnya dinamakan Hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
• Hadits Mu'allal ( Ma'lul, Mu'all ) : adalah hadits yang setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan tampak adanya salah sangka dari rawinya dengan menganggap sanadnya bersambung (padahal tidak). Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
• Hadits Mudraj ( saduran ) : adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
• Hadits Maqlub : adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
• Hadits Mudltharrib : adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
• Hadits Muharraf : adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
• Hadits Mushahhaf : adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
• Hadits Mubham : adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
• Hadits Syadz (kejanggalan) : adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
• Hadits Mukhtalith : adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
C. Klasifikasi hadits dlaif berdasarkan gugurnya rawi
• Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
• Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.
• Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
• Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
• Hadits Mu'dlal : adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'iy, tabi'iy bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum shahaby dan tabi'iy.
D. Klasifikasi hadits dlaif berdasarkan sifat matannya
• Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
• Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak. Sumber pengambilan hukum bagi orang Islam adalah Al-Qur'an dan Hadist. Mengambil rujukan Al-Qur'an dengan mengikari keberadaan Hadist shoheh adalah tindakan mengingkari Al-Qur'an itu sendiri.
Diatas sebelumnya dikatakan bahwa suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
1. Rawinya bersifat Adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berillat dan
5. Hadits itu tidak janggal
KESIMPULAN
Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai Hujjah ( dasar hukum ) adalah: Hadits Shohih adalah hadits yang diriwayat-kan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits
Syarat-syarat hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
• Rawinya bersifat Adil
• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan
• Hadits itu tidak janggal
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul
DAFTAR REFERENSI
Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany;
Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah;
Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy;
Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany);
Kitab Mushtholahul Hadits - A. Hassan
Faktor-Faktor Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk hidup yang diciptakan dengan memiliki kelebihan, dari mahluk hidup yang lain yaitu diberikannya akal untuk berpikir. Maka sebab itu dia selalu berpikir untuk bisa lebih baik dari sebelumnya.
Pendidikan adalah salah satu upaya manusia untuk bisa menggapai cita-citanya, sebagaimana defenisi pendidikan itu sendiri adalah aktifitas atau usaha manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan untuk memperoleh hasil dan potensi.
Dengan pendidikan ini pula manusia berpikir lebih maju dan ingin selalu mengetahui sesuatu yang semula sebelum tahu menjadi tahu, karena penemuan-penemuan itu pula maka terjadilah yang namanya inovasi. Dan guna efesiensi, relevansi, kualitas dan efektivitas.
BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENDIDIKAN
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah aktivitas atau usaha manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani untuk memperoleh hasil dan prestasi.
Dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradapan bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri ( nilai dan norma masyarakat ) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya karenanya bagaimanapun peradaban suatu masyarakat, didalamnya berlangsung dan terjadi suatu proses pendidikan sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya.
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan inspirasinya (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
2. Faktor-Faktor Pendidikan
Dalam aktivitas ada enam faktor pendidikan yang dapat membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi. Adapun keenam faktor pendidikan tersebut, meliputi :
a. faktor tujuan
Adalah usaha pencapaian oleh peserta didik tentang hasil praktek pendidikan baik dilingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat secara luas.
b. faktor pendidikan
Dalam hal ini kita dapat membedakan pendidikan itu menjadi 2 kategori, yaitu:
1. Pendidik menurut kodrati, yaitu orang tua dan
2. Pendidik menurut jabatan yaitu guru.
Pendidik yang bersifat kodrati dan sebagai orang tua wajib pertama sekali memberikan didikan kepada anaknya, selain asuhan, kasih sayang, perhatian dan sebagainya.
Sedangkan pendidikan menurut jabatan, yaitu guru. Guru adalah sebagai pendidik yang menerima tanggung jawab dari tiga pihak yaitu orang tua, masyarakat dan Negara. Tanggung jawab dari orang tua diterima guru atas kepercayaan yang mampu memberikan pendidikan dan pengajaran dan diharapkan pula dari pribadi guru dapat memancarkan sikap-sikap yang normatif baik, sebagai kelanjutan dari sikap dan sifat orang tua pada umumnya.
c. faktor peserta didik
Adalah orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Peserta didik sebagai manusia yang belum dewasa merasa tergantung kepada pendidikannya, peserta didik merasa bahwa ia memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, ia menyadari bahwa kemampuan masih sangat terbatas dibandingkan denga kemampuan pendidiknya.
d. faktor isi / materi pendidikan
yang termasuk dalam arti / materi pendidikan ialah segala sesuatu oleh penddidk yang akan langsung disampaikan kepada peserta didik.
e. faktor metode pendidikan
Agar interaksi dapat berlangsung baik dan tercapai tujuan, maka disamping dibutuhkan pemilihan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula. Metode adalah cara menyampaikan materi untuk mencapai tujuan pendidikan.
f. faktor lingkungan
Adalah yamg meliputi kondisi dan alam dunia yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan manusia.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Pendidikan adalah aktifitas atau usaha manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan untuk memperoleh hasil dan potensi.
Faktor yang mendukung terjadinya pendidikan secara maksimal, yaitu :
a. faktor tujuan
b. faktor pendidikan
c. faktor peserta didik
d. faktor isi/ materi pendidikan
e. faktor metode pendidikan
f. faktor lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
- Dra Samsinar Siregar. Pengantar pendidikan Labuhan Batu, 2007.
- Arifin, Prof . H. Ed, Dasar-Dasar Kependidikan, Universitas Terbuka, Jakarta , 1991.
PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk hidup yang diciptakan dengan memiliki kelebihan, dari mahluk hidup yang lain yaitu diberikannya akal untuk berpikir. Maka sebab itu dia selalu berpikir untuk bisa lebih baik dari sebelumnya.
Pendidikan adalah salah satu upaya manusia untuk bisa menggapai cita-citanya, sebagaimana defenisi pendidikan itu sendiri adalah aktifitas atau usaha manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan untuk memperoleh hasil dan potensi.
Dengan pendidikan ini pula manusia berpikir lebih maju dan ingin selalu mengetahui sesuatu yang semula sebelum tahu menjadi tahu, karena penemuan-penemuan itu pula maka terjadilah yang namanya inovasi. Dan guna efesiensi, relevansi, kualitas dan efektivitas.
BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENDIDIKAN
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah aktivitas atau usaha manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani untuk memperoleh hasil dan prestasi.
Dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradapan bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri ( nilai dan norma masyarakat ) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya karenanya bagaimanapun peradaban suatu masyarakat, didalamnya berlangsung dan terjadi suatu proses pendidikan sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya.
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan inspirasinya (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
2. Faktor-Faktor Pendidikan
Dalam aktivitas ada enam faktor pendidikan yang dapat membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi. Adapun keenam faktor pendidikan tersebut, meliputi :
a. faktor tujuan
Adalah usaha pencapaian oleh peserta didik tentang hasil praktek pendidikan baik dilingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat secara luas.
b. faktor pendidikan
Dalam hal ini kita dapat membedakan pendidikan itu menjadi 2 kategori, yaitu:
1. Pendidik menurut kodrati, yaitu orang tua dan
2. Pendidik menurut jabatan yaitu guru.
Pendidik yang bersifat kodrati dan sebagai orang tua wajib pertama sekali memberikan didikan kepada anaknya, selain asuhan, kasih sayang, perhatian dan sebagainya.
Sedangkan pendidikan menurut jabatan, yaitu guru. Guru adalah sebagai pendidik yang menerima tanggung jawab dari tiga pihak yaitu orang tua, masyarakat dan Negara. Tanggung jawab dari orang tua diterima guru atas kepercayaan yang mampu memberikan pendidikan dan pengajaran dan diharapkan pula dari pribadi guru dapat memancarkan sikap-sikap yang normatif baik, sebagai kelanjutan dari sikap dan sifat orang tua pada umumnya.
c. faktor peserta didik
Adalah orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Peserta didik sebagai manusia yang belum dewasa merasa tergantung kepada pendidikannya, peserta didik merasa bahwa ia memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, ia menyadari bahwa kemampuan masih sangat terbatas dibandingkan denga kemampuan pendidiknya.
d. faktor isi / materi pendidikan
yang termasuk dalam arti / materi pendidikan ialah segala sesuatu oleh penddidk yang akan langsung disampaikan kepada peserta didik.
e. faktor metode pendidikan
Agar interaksi dapat berlangsung baik dan tercapai tujuan, maka disamping dibutuhkan pemilihan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula. Metode adalah cara menyampaikan materi untuk mencapai tujuan pendidikan.
f. faktor lingkungan
Adalah yamg meliputi kondisi dan alam dunia yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan manusia.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Pendidikan adalah aktifitas atau usaha manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan untuk memperoleh hasil dan potensi.
Faktor yang mendukung terjadinya pendidikan secara maksimal, yaitu :
a. faktor tujuan
b. faktor pendidikan
c. faktor peserta didik
d. faktor isi/ materi pendidikan
e. faktor metode pendidikan
f. faktor lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
- Dra Samsinar Siregar. Pengantar pendidikan Labuhan Batu, 2007.
- Arifin, Prof . H. Ed, Dasar-Dasar Kependidikan, Universitas Terbuka, Jakarta , 1991.
Ilmu Al-Jahru Wa Ta'dil
BAB I PENDAHULUAN
Ilmu Musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditoleknya. Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Buah dari ilmu ini : membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.
Al-Musnad : secara bahasa berarti yang disandarkan kepadanya. Sedangkan Al-Musnad menurut istilah ilmu hadits mempunyai beberapa arti :
a. Setiap buku yang berisi kumpulan riwayat setiap shahabat secara tersendiri.
b. Hadits marfu’ yang sanadnya bersambung.
c. Yang dimaksud dengan Al-Musnad adalah sanad, maka dengan makna ini menjadi mashdar yang diawali dengan huruf mim (mashdar miimi.
Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dengan ilmu hadits riwayah dan dirayah dan meneliti riwayat-riwayat dan keadaan para perawinya.
Al-hafidh adalah :
a. Menurut kebanyakan ahli hadits sepadan dengan Al-Muhaddits.
b. Pendapat yang lain mengatakan bahwa Al-Hafidh derajatnya lebih tinggi dari Al-Muhaddits karena yang diketahuinya pada setiap thabaqah (tingkat generasi) lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya.
Al-Hakim menurut sebagian ulama adalah orang yang menguasai semua hadits kecuali sebagian kecil saja yang tidak diketahuinya.
BAB II
ILMU ALJAHR WA AT-TA’DIL
A. Pengertian Al-Jahr
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”).
Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
B. Perkembangan Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut
1. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :
ﺓﺮﻴﺸﻌﻟﺍ ﻮﺧﺃ ﺲﺌﺑ
”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya :
”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).
Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan.
3. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
ﺍﻮﻌﻤﺴﺗ ﻢﻟ ﺎﻣ ﻢﻜﻧﻮﺛﺪﺤﻳ ﺱﺎﻧﺃ ﻲﺘﻣﺃ ﺮﺧﺁ ﻲﻓ ﻥﻮﻜﻴﺳ
ﻢﻫﺎﻳﻭ ﻢﻛﺎﻳﺈﻓ ﻢﻜﺋﺎﺑﺁ ﻻﻭ ﻢﺘﻧﺃ
”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,”Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata,”Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?”
C. Perbedaan Tingkat Para Perawi
Tingkatan perawi itu berbeda-beda : Diantara mereka Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafidh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang shalih/hati-hati), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits). Yang mendapatkan predikat demikian ini tidak lagi diperselisihkan, dan dijadikan pegangan atas Jarh dan Ta’dil-nya, dan pendapatnya tentang para perawi dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di antara mereka ada yang memiliki sifat Al-‘Adl dalam dirinya, tsabt teguh dalam periwayatannya, shaduq jujur dan benar dalam penyampaiannya, wara’ dalam agamanya, hafidh dan mutqin pada haditsnya. Demikian itu adalah perawi yang ‘adil yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya, dan dipercaya pribadinya.
Di antara mereka ada yang shaduq, wara’, shalih dan bertaqwa, dan tsabt; namun terkadang salah periwayatannya. Para ulama peneliti hadits masih menerimanya dan ia dapat dijadikan sebagai hujjah dalam haditsnya.
Di antara mereka ada yang shaduq, wara’, bertaqwa, namun seringkali lali, ragu, salah, dan lupa. Yang demikian ini boleh ditulis haditsnya bila terkait dengan targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman), kezuhudan, dan adab. Adapun untuk masalah halal dan haram tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.
Adapun orang yang nampak darinya kebohongan, maka haditsnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang.
D. Lafal Tingkatan-Tangkatan Al-Jahr Wa At-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
D.1. Tingkatan At-Ta’dil
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh.
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
5. Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6. Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).
D. 2. Hukum Tingkatan-Tingkatan At-Ta’dil
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
D.3. Tingkatan Al-Jarh
1. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2. Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5. Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).
6. Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
D.4.Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
E. Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
F. Beberapa Kaidah Penyusun Kitab Al-Jahr Wa At-Ta’dil
Para penyusun mempunyai metode yang berlainan :
a. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya..
b. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
c. dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada kita :
1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India.
3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitaab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi ahdits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :
9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
10. Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.
11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
16. Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini.
Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.
24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.
26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.
27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.
30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
31. Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).
Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.
BAB III
KESIMPULAN
• Ilmu Musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditoleknya. Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Buah dari ilmu ini : membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.
• Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
• At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
• Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
• Tingkatan perawi itu berbeda-beda : Diantara mereka Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafidh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang shalih/hati-hati), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits).
• Para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
• Para ulama’ menetapkan tingkatan lafadh Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
• Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang dalam menulis kitab al-Jahr wa at-Ta’dil adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam).
DAFTAR REFERENSI
www.abusalma.wordpress.com
www.abul-jauzaa.blogspot.com/
www.almanhaj.or.id/content/2457/slash/0
www.ibnuakhir.wordpress.com
www.khairuddinhsb.blogspot.com
www.myquran.org/forum/index.php/topic,626.msg564021/topicseen.html#msg56 4021
www.myquran.org/forum/index.php/topic,34334.0.html
Ilmu Musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditoleknya. Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Buah dari ilmu ini : membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.
Al-Musnad : secara bahasa berarti yang disandarkan kepadanya. Sedangkan Al-Musnad menurut istilah ilmu hadits mempunyai beberapa arti :
a. Setiap buku yang berisi kumpulan riwayat setiap shahabat secara tersendiri.
b. Hadits marfu’ yang sanadnya bersambung.
c. Yang dimaksud dengan Al-Musnad adalah sanad, maka dengan makna ini menjadi mashdar yang diawali dengan huruf mim (mashdar miimi.
Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dengan ilmu hadits riwayah dan dirayah dan meneliti riwayat-riwayat dan keadaan para perawinya.
Al-hafidh adalah :
a. Menurut kebanyakan ahli hadits sepadan dengan Al-Muhaddits.
b. Pendapat yang lain mengatakan bahwa Al-Hafidh derajatnya lebih tinggi dari Al-Muhaddits karena yang diketahuinya pada setiap thabaqah (tingkat generasi) lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya.
Al-Hakim menurut sebagian ulama adalah orang yang menguasai semua hadits kecuali sebagian kecil saja yang tidak diketahuinya.
BAB II
ILMU ALJAHR WA AT-TA’DIL
A. Pengertian Al-Jahr
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”).
Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
B. Perkembangan Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut
1. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :
ﺓﺮﻴﺸﻌﻟﺍ ﻮﺧﺃ ﺲﺌﺑ
”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya :
”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).
Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan.
3. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
ﺍﻮﻌﻤﺴﺗ ﻢﻟ ﺎﻣ ﻢﻜﻧﻮﺛﺪﺤﻳ ﺱﺎﻧﺃ ﻲﺘﻣﺃ ﺮﺧﺁ ﻲﻓ ﻥﻮﻜﻴﺳ
ﻢﻫﺎﻳﻭ ﻢﻛﺎﻳﺈﻓ ﻢﻜﺋﺎﺑﺁ ﻻﻭ ﻢﺘﻧﺃ
”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,”Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata,”Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?”
C. Perbedaan Tingkat Para Perawi
Tingkatan perawi itu berbeda-beda : Diantara mereka Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafidh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang shalih/hati-hati), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits). Yang mendapatkan predikat demikian ini tidak lagi diperselisihkan, dan dijadikan pegangan atas Jarh dan Ta’dil-nya, dan pendapatnya tentang para perawi dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di antara mereka ada yang memiliki sifat Al-‘Adl dalam dirinya, tsabt teguh dalam periwayatannya, shaduq jujur dan benar dalam penyampaiannya, wara’ dalam agamanya, hafidh dan mutqin pada haditsnya. Demikian itu adalah perawi yang ‘adil yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya, dan dipercaya pribadinya.
Di antara mereka ada yang shaduq, wara’, shalih dan bertaqwa, dan tsabt; namun terkadang salah periwayatannya. Para ulama peneliti hadits masih menerimanya dan ia dapat dijadikan sebagai hujjah dalam haditsnya.
Di antara mereka ada yang shaduq, wara’, bertaqwa, namun seringkali lali, ragu, salah, dan lupa. Yang demikian ini boleh ditulis haditsnya bila terkait dengan targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman), kezuhudan, dan adab. Adapun untuk masalah halal dan haram tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.
Adapun orang yang nampak darinya kebohongan, maka haditsnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang.
D. Lafal Tingkatan-Tangkatan Al-Jahr Wa At-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
D.1. Tingkatan At-Ta’dil
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh.
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
5. Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6. Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).
D. 2. Hukum Tingkatan-Tingkatan At-Ta’dil
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
D.3. Tingkatan Al-Jarh
1. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2. Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5. Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).
6. Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
D.4.Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
E. Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
F. Beberapa Kaidah Penyusun Kitab Al-Jahr Wa At-Ta’dil
Para penyusun mempunyai metode yang berlainan :
a. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya..
b. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
c. dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada kita :
1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India.
3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitaab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi ahdits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :
9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
10. Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.
11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
16. Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini.
Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.
24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.
26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.
27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.
30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
31. Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).
Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.
BAB III
KESIMPULAN
• Ilmu Musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditoleknya. Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Buah dari ilmu ini : membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.
• Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
• At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
• Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
• Tingkatan perawi itu berbeda-beda : Diantara mereka Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafidh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang shalih/hati-hati), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits).
• Para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
• Para ulama’ menetapkan tingkatan lafadh Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
• Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang dalam menulis kitab al-Jahr wa at-Ta’dil adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam).
DAFTAR REFERENSI
www.abusalma.wordpress.com
www.abul-jauzaa.blogspot.com/
www.almanhaj.or.id/content/2457/slash/0
www.ibnuakhir.wordpress.com
www.khairuddinhsb.blogspot.com
www.myquran.org/forum/index.php/topic,626.msg564021/topicseen.html#msg56 4021
www.myquran.org/forum/index.php/topic,34334.0.html
Agama Sebagai Metode Psikoterapi
BAB I PENDAHULUAN
Psikologi membahas motivasi beragama atau penyebab yang mendorong maupun menarik manusia menganut suatu agama berdasarkan dinamika psikologis serta peranan fungsi kejiwaan dalam perilaku keagamaan. Pembahasan mengenai agama sebagai salah satu metode psikoterapi, tidak akan terlepas dari kehidupan motivasi beragama. Psikologi sebagai sains tidak mampu menganalisis penyebab yang paling mendasar dari tingkah laku keagamaan, karena analisis psikologis itu terbatas pada fakta empiris. Teori-teori psikologis, instink, konflik, frustasi baik disebabkan faktor biologis, psikologis, sosial, kematian maupun frustasi moral ataupun teori psikologi lainnya mengenai penyebab prilaku keagamaan hanya mampu menerangkan motivasi beragama secara fungsional. Artinya teori-teori tersebut menerangkan perilaku keagamaan berdasarkan peranan dan kegunaan agama bagi kehidupan psikis manusia yaitu :
a. sebagai efek, akibat atau kelanjutan proses kimiawi dan faali tubuh
b. penyalur suatu instink ;
c. pelarian untuk mengatasi konflik ;
d. jawaban atau pemenuhan kebutuhan yang tidak terpuaskan karena adanya frustasi yang dialami manusia pada berbagai bidang kehidupannya.
BAB II
AGAMA SEBAGAI METODE PSIKOTERAPI
Manusia bertingkah laku keagamaan karena ia mengalami frustasi dan berusaha untuk mengatasi.
Setiap teori mengenai motivasi perilaku keagamaan yang tidak melibatkan filsafat hidup dan kehidupan rohaniah, akan selalu memliki kelemahan-kelemahan yang dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku manusia tidak terlepas dari filsafat an kerohanian. Kita harus menganalisis manusia sebagai suatu kesatuan psikosomatis, sebagai kesatuan jasmani rohanih atau jiwa raga dan mencari motivasi perilaku keagamaan secara lebih mendalam dam lebih mendasar daripada sekedar berlandaskan fakta empiris belaka. Penyebab itu harus dicari bukan hanya berdasarkan fakta empiris objektif saja, akan tetapi harus mencakup pula perilaku keagamaan yang subjektif dan rohaniah. Pada umumnya penyebab perilaku keagamaan manusia merupakan campuran antara berbagai faktor, baik faktor lingkungan, biologis, psikologis rohaniah, unsur fungsional, unsur asli, fitrah ataupun karunia Tuhan. Studi yang mampu membahas masalah empiris, nonempiris dan rohaniah adalah agama. Agama berwenang mencari hakikat yang terdalam mengenai fitrah, takdir, kematian, hiayat, taufik, keimanan, malaikat, syetan, dosa, jiwa, roh, wahyu, kehadiran Tuhan, dan realitas nonempiris maupun rohaniah. Filsafat mampu membahas masalah nonempiris dan mencari penyebab yang terdalam dari prilaku keagamaan, namun pembahasan filsafat itu terbatas pada fakta nonempiris yang logis dan rasional. Filsafat tidak berwenang membahas masalah nonempiris yang bersifat emosional dan subjektif yang seperti “Kehadiran Tuhan”.
Kalau psikoterapi membatasi diri pada fakta empiris objektif saja, maka psikoterapi hanya mampu menangani kasus-kasus gangguan mental secara terbatas. Padahal psikoterapi harus menangani manusia secara utuh. Oleh karena itu psikoterapi harus terbuka dan menerima pembahasan, analisis, asumsi, hipotesis, dan teori mengenai gangguan mental dan filsafat dan agama. Kehidupan menusia yang kompleks tidak akan terpecahkan dengan tepat kalau hanya melalui pendekatan metode sains saja.
A. Peranan Agama
Pada mulanya psikoterapi di Barat berusaha mendekati masalah gangguan mental secara ilmiah murni, seperti yang dilaksanakan oleh para dokter pada abad ke-19. Para ahli yang berasal dari disiplin Ilmu Kedokteran kurang puas terhadap keterbatasan disiplin ilmiahnya dalam membahas kasus gangguan mental sehingga mereka memasuki bidang psikologi. Namun demikian cara bekerja mereka dipengaruhi oleh Ilmu Alam yang berkembang pesat dengan metode eksperimen. Para dokter yang mengamalkan psikoterapi itu akhirnya menjadi peletak dasar psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat itu masyarakat Barat lebih condong mengatasi gangguan mentalnya dengan meminta bantuan para psikiater daripada pastor. Masyarakat cenderung mencari sebab-sebab jasmaniah dari segala macam penyakit. Ini berarti mengabaikan peranan agama dalam mengatasi gangguan mental. Disamping itu kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ditemukan teori-teori ilmiah yang kadang-kadang bertentangan dengan agama Kristen, menambah kepercayaian masyarakat terhadap sains dan menganggap para dokter lebih maju, modern dan up-to-date dibandingkan dengan para pastor. Padahal psikoterapi dan agama sama-sama memandang manusia secara utuh sebagai terapi. Pada pasal ini akan ditunjukkan beberapa kasus gangguan mental yang dapat disembuhkan melalui perilaku keagamaan. Walaupun agama tidak identik dengan psikoterapi, namun perilaku keagamaan mempunyai peran sangat besar untuk mengatasi gangguan mental. Bahkan agama dapat dijadikan landasan untuk membina kesehatan mental serta mampu membentuk dan mengembangkan kepribadian seseorang melalui kegiatan peribadatan.
B. Pengalaman Keagamaan
Pengalaman keagamaan dapat merupakan pengalaman kerohanian, orang mengalami dunia sampai batasnya seakan-akan menyentuh apa yang berada diseberang duniawi atau yang diluar profan. Pengalaman keagamaan yang khas itu merupakan tanda adnya Tuhan dan sifat-sifatNya. Akan tetapi karena pengalaman itu dirasakan oleh manusia, akan sering kali pengalaman yang kudus bercampur dengan hal-hal yang duniawi sehingga kekudusannya menjadi dangkal. Kesyahduan memandang Ka’bah, kelezatan bergelantungan di Multazam, kekhusyukan shalat atau keasyikan bertawaf merupakan pengalaman keagamaan yang kudus. Kekudusan pengalaman nan-illahi itu akan menjadi dangkal dengan timbulnya kesadaran bahwa Ka’bah itu bangunan batu berbentuk kubus dan gantungan di Multazam adalah tambang Ka’bah atau kiswah. Tanda-tanda keagunan Tuhan kadang kala dianggap sebagai Tuhan itu sendiri. Hal inilah yang sering kali menyesatkan manusia untuk memuja dan menyembah kepada selain Allah. Kalau yang suci bercampur benda-benda alam atau kosmos seperti gunung Ciremai, goa tempat bertapa, pohon, batu, kuncen, maka benda alam atau mahluk itu oleh beberapa orang mungkin dijadikan pujaan, sesembahan atau berhala. Menurut Vergote (1967) yang kudua dapat pula bercampur dengan yang erotis atau seksual sehingga dapat terjadi pemujaan pada seks. Dapat pula tanda-tanda yang kudus melekat pada mahluk halus seperti setan, sehingga si Centring dan Merakayangan menjadi pujaan. Bentuk campuran hanya dapat dihindari kalau manusia sungguh-sungguh sadar akan transendensi Allah, yaitu keyakinan bahwa Allah bukan duniawi, tidak dikenai ruang dan waktu, tiada sesuatu yang menyerupaiNya serta tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia. Setiap kali manusia membayangkan Allah atau sifat-sifatNya, setiap kali pula yang terbayang bukan Allah dan bukan sifat yang sebenarnya. Walaupun demikian tanda-tanda Allah bahkan Yang Maha Suci itu sendiri dapat dirasakan atau dihayati kehadiranNya oleh orang yang beriman.
Peribadatan seperti shalat dan dzikir ternyata merupakan suatu metode atau teknik psikoterapi yang dapat menghilangkan dendam kesumat, kebejatan moral, sifat nekad, frustasi dan gangguan mental lainnya. Bahkan peribadatan atau perilaku keagamaan mampu membentuk, mengubah, mengembangkan, memperkaya, dan memantapkan kepribadian S.J. Subjek mampu menjadi Asisten Ny. G, bersedia memberikan ceramah keagamaan, mengadakan hubungan social, berani membuka diri dan meninggalkan kantor PR dengan sebuah senyum serta suara alam yang merdu.
BAB III
TERMINOLOGI AGAMA
Gangguan mental, baik berat maupun ringan, menunjukkan adanya konflik dalam kepribadian klien. Dalam mengutarakan fakta tersebut, psikologi dan agama menggunakan bahasa, pernyataan atau terminologi yang berbeda, namun memiliki isi atau pengertian yang sama.
Bandingkan rumusan kalimat dibawah ini :
“Ego dan superego tidak mau kerja sama,” kata psikolog.
“Nafsu hewani berlawanan dengan jiwa rohani,” kata ulama.
“Pemecahan frustasi yang positif merupakan pelajaran yang dapat mematangkan kepribadian. Sedangkan frustasi yang tidak dapat diselesaikan dapat mengakibatkan putus asa, psikosis atau neurosis,” kata psikolog.
“Setiap kali manusia mau berbuat kebaikan selalu setan hadir menggodanya. Makin alim manusia, makin pandai setan menggodanya,” kata ulama.
Maksudnya, setiap kali manusia melangkah pada kebaikan (kemajuan) selalu ada rintangan (setan) yang dapat menimbulkan frustasi. Apabila manusia tergoda oleh setan atau tidak mampu menyelesaikan frustasi, ia akan jetuh bergelimang dosa atau jatuh ke jurang kesengsaraan, putus asa, psikosis atau neurosis. Sedangkan kalau ia mampu mengatasi godaan setan atau mampu menyelesaikan frustasi secara positif, maka kepribadiannya makin metang atau menemukan kebahagiaan dalam nernuat kebaikan.
“Perasaan bersalah menunjukkan kepribadian yang kurang utuh,” kata psikolog.
“Bersihkan hatimu dari kemunafikan!” kata ulama.
Kemunafikan menunjukkan sikap luar yang berbeda dengan sikap dalam, menunjukkan kepribadian yang kurang utuh. Kebanyakan konflik yang mengganggu mental disebabkan karena adanya keinginan atau dorongan yang tidak terkendali oleh individu serta tidak sesuai dengan norma masyarakat atau moral. Penghayatan terhadap moral selalu berperan dalam konfilk yang mendalam. Psikologi menyebut penghayatan moral itu superego, sedangkan agama menyebutnya jiwa rohani, hati nurani, basirah atau afi’dah. Istilah jiwa rohanih, hati nurani, basirah atau afi’dah mempunyai perbedaan derajat atau gradasi dalam pengertiannya, namun semuanya menunjukkan kehidupan rohaniah atau spiritual. Pelanggaran terhadap hati nurani (norma illihi) disebut “dosa” sedangkan pelanggaran terhadap superego disebut “guilty feeling” atau rasa bersalah.
Apakah hati nurani itu pembawaan? Ada ahli yang menjawab ya, ada pula yang mengatakan tidak. Memang pada waktu bayi lahir, ia belum memiliki hati nurani, namun telah memiliki potensi dasar untuk berhati nurani. Seperti juga indera penglihatan. Pada waktu bayi lahir, ia belum berpenglihatan, tetapi telah memiliki potensi untuk melihat. Setelah kurang lebih 40 hari, penglihatan si bayi mulai berfungsi. Pemunculan hati nurani lebih lambat dan lebih belakangan dibandingkan dengan penglihatan. Orang tua dengan susah payah mendidik dan mmbimbing anak agar memahami apa dan bagaimana perilaku yang baik dan benar, serta mana dan bagaimana perilaku yang salah dan buruk. Hati nurani diwarnai, diolah dan dimatangkan oleh lingkungan serta perkembangannya mengikuti kematangan perkembangan kepribadian. Sedikit demi sedikit pengaruh lingkungan, norma yang ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat menjadi bagian kepribadiannya. Hanya merupakan suatu pengecualian yang sangat jarang, hati nurani itu tidak nampak pada orang-orang psikopat atau oramg yang nampaknya tidak mempunyai perasaan bersalah.
Psikologi membahas motivasi beragama atau penyebab yang mendorong maupun menarik manusia menganut suatu agama berdasarkan dinamika psikologis serta peranan fungsi kejiwaan dalam perilaku keagamaan. Pembahasan mengenai agama sebagai salah satu metode psikoterapi, tidak akan terlepas dari kehidupan motivasi beragama. Psikologi sebagai sains tidak mampu menganalisis penyebab yang paling mendasar dari tingkah laku keagamaan, karena analisis psikologis itu terbatas pada fakta empiris. Teori-teori psikologis, instink, konflik, frustasi baik disebabkan faktor biologis, psikologis, sosial, kematian maupun frustasi moral ataupun teori psikologi lainnya mengenai penyebab prilaku keagamaan hanya mampu menerangkan motivasi beragama secara fungsional. Artinya teori-teori tersebut menerangkan perilaku keagamaan berdasarkan peranan dan kegunaan agama bagi kehidupan psikis manusia yaitu :
a. sebagai efek, akibat atau kelanjutan proses kimiawi dan faali tubuh
b. penyalur suatu instink ;
c. pelarian untuk mengatasi konflik ;
d. jawaban atau pemenuhan kebutuhan yang tidak terpuaskan karena adanya frustasi yang dialami manusia pada berbagai bidang kehidupannya.
BAB II
AGAMA SEBAGAI METODE PSIKOTERAPI
Manusia bertingkah laku keagamaan karena ia mengalami frustasi dan berusaha untuk mengatasi.
Setiap teori mengenai motivasi perilaku keagamaan yang tidak melibatkan filsafat hidup dan kehidupan rohaniah, akan selalu memliki kelemahan-kelemahan yang dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku manusia tidak terlepas dari filsafat an kerohanian. Kita harus menganalisis manusia sebagai suatu kesatuan psikosomatis, sebagai kesatuan jasmani rohanih atau jiwa raga dan mencari motivasi perilaku keagamaan secara lebih mendalam dam lebih mendasar daripada sekedar berlandaskan fakta empiris belaka. Penyebab itu harus dicari bukan hanya berdasarkan fakta empiris objektif saja, akan tetapi harus mencakup pula perilaku keagamaan yang subjektif dan rohaniah. Pada umumnya penyebab perilaku keagamaan manusia merupakan campuran antara berbagai faktor, baik faktor lingkungan, biologis, psikologis rohaniah, unsur fungsional, unsur asli, fitrah ataupun karunia Tuhan. Studi yang mampu membahas masalah empiris, nonempiris dan rohaniah adalah agama. Agama berwenang mencari hakikat yang terdalam mengenai fitrah, takdir, kematian, hiayat, taufik, keimanan, malaikat, syetan, dosa, jiwa, roh, wahyu, kehadiran Tuhan, dan realitas nonempiris maupun rohaniah. Filsafat mampu membahas masalah nonempiris dan mencari penyebab yang terdalam dari prilaku keagamaan, namun pembahasan filsafat itu terbatas pada fakta nonempiris yang logis dan rasional. Filsafat tidak berwenang membahas masalah nonempiris yang bersifat emosional dan subjektif yang seperti “Kehadiran Tuhan”.
Kalau psikoterapi membatasi diri pada fakta empiris objektif saja, maka psikoterapi hanya mampu menangani kasus-kasus gangguan mental secara terbatas. Padahal psikoterapi harus menangani manusia secara utuh. Oleh karena itu psikoterapi harus terbuka dan menerima pembahasan, analisis, asumsi, hipotesis, dan teori mengenai gangguan mental dan filsafat dan agama. Kehidupan menusia yang kompleks tidak akan terpecahkan dengan tepat kalau hanya melalui pendekatan metode sains saja.
A. Peranan Agama
Pada mulanya psikoterapi di Barat berusaha mendekati masalah gangguan mental secara ilmiah murni, seperti yang dilaksanakan oleh para dokter pada abad ke-19. Para ahli yang berasal dari disiplin Ilmu Kedokteran kurang puas terhadap keterbatasan disiplin ilmiahnya dalam membahas kasus gangguan mental sehingga mereka memasuki bidang psikologi. Namun demikian cara bekerja mereka dipengaruhi oleh Ilmu Alam yang berkembang pesat dengan metode eksperimen. Para dokter yang mengamalkan psikoterapi itu akhirnya menjadi peletak dasar psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat itu masyarakat Barat lebih condong mengatasi gangguan mentalnya dengan meminta bantuan para psikiater daripada pastor. Masyarakat cenderung mencari sebab-sebab jasmaniah dari segala macam penyakit. Ini berarti mengabaikan peranan agama dalam mengatasi gangguan mental. Disamping itu kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ditemukan teori-teori ilmiah yang kadang-kadang bertentangan dengan agama Kristen, menambah kepercayaian masyarakat terhadap sains dan menganggap para dokter lebih maju, modern dan up-to-date dibandingkan dengan para pastor. Padahal psikoterapi dan agama sama-sama memandang manusia secara utuh sebagai terapi. Pada pasal ini akan ditunjukkan beberapa kasus gangguan mental yang dapat disembuhkan melalui perilaku keagamaan. Walaupun agama tidak identik dengan psikoterapi, namun perilaku keagamaan mempunyai peran sangat besar untuk mengatasi gangguan mental. Bahkan agama dapat dijadikan landasan untuk membina kesehatan mental serta mampu membentuk dan mengembangkan kepribadian seseorang melalui kegiatan peribadatan.
B. Pengalaman Keagamaan
Pengalaman keagamaan dapat merupakan pengalaman kerohanian, orang mengalami dunia sampai batasnya seakan-akan menyentuh apa yang berada diseberang duniawi atau yang diluar profan. Pengalaman keagamaan yang khas itu merupakan tanda adnya Tuhan dan sifat-sifatNya. Akan tetapi karena pengalaman itu dirasakan oleh manusia, akan sering kali pengalaman yang kudus bercampur dengan hal-hal yang duniawi sehingga kekudusannya menjadi dangkal. Kesyahduan memandang Ka’bah, kelezatan bergelantungan di Multazam, kekhusyukan shalat atau keasyikan bertawaf merupakan pengalaman keagamaan yang kudus. Kekudusan pengalaman nan-illahi itu akan menjadi dangkal dengan timbulnya kesadaran bahwa Ka’bah itu bangunan batu berbentuk kubus dan gantungan di Multazam adalah tambang Ka’bah atau kiswah. Tanda-tanda keagunan Tuhan kadang kala dianggap sebagai Tuhan itu sendiri. Hal inilah yang sering kali menyesatkan manusia untuk memuja dan menyembah kepada selain Allah. Kalau yang suci bercampur benda-benda alam atau kosmos seperti gunung Ciremai, goa tempat bertapa, pohon, batu, kuncen, maka benda alam atau mahluk itu oleh beberapa orang mungkin dijadikan pujaan, sesembahan atau berhala. Menurut Vergote (1967) yang kudua dapat pula bercampur dengan yang erotis atau seksual sehingga dapat terjadi pemujaan pada seks. Dapat pula tanda-tanda yang kudus melekat pada mahluk halus seperti setan, sehingga si Centring dan Merakayangan menjadi pujaan. Bentuk campuran hanya dapat dihindari kalau manusia sungguh-sungguh sadar akan transendensi Allah, yaitu keyakinan bahwa Allah bukan duniawi, tidak dikenai ruang dan waktu, tiada sesuatu yang menyerupaiNya serta tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia. Setiap kali manusia membayangkan Allah atau sifat-sifatNya, setiap kali pula yang terbayang bukan Allah dan bukan sifat yang sebenarnya. Walaupun demikian tanda-tanda Allah bahkan Yang Maha Suci itu sendiri dapat dirasakan atau dihayati kehadiranNya oleh orang yang beriman.
Peribadatan seperti shalat dan dzikir ternyata merupakan suatu metode atau teknik psikoterapi yang dapat menghilangkan dendam kesumat, kebejatan moral, sifat nekad, frustasi dan gangguan mental lainnya. Bahkan peribadatan atau perilaku keagamaan mampu membentuk, mengubah, mengembangkan, memperkaya, dan memantapkan kepribadian S.J. Subjek mampu menjadi Asisten Ny. G, bersedia memberikan ceramah keagamaan, mengadakan hubungan social, berani membuka diri dan meninggalkan kantor PR dengan sebuah senyum serta suara alam yang merdu.
BAB III
TERMINOLOGI AGAMA
Gangguan mental, baik berat maupun ringan, menunjukkan adanya konflik dalam kepribadian klien. Dalam mengutarakan fakta tersebut, psikologi dan agama menggunakan bahasa, pernyataan atau terminologi yang berbeda, namun memiliki isi atau pengertian yang sama.
Bandingkan rumusan kalimat dibawah ini :
“Ego dan superego tidak mau kerja sama,” kata psikolog.
“Nafsu hewani berlawanan dengan jiwa rohani,” kata ulama.
“Pemecahan frustasi yang positif merupakan pelajaran yang dapat mematangkan kepribadian. Sedangkan frustasi yang tidak dapat diselesaikan dapat mengakibatkan putus asa, psikosis atau neurosis,” kata psikolog.
“Setiap kali manusia mau berbuat kebaikan selalu setan hadir menggodanya. Makin alim manusia, makin pandai setan menggodanya,” kata ulama.
Maksudnya, setiap kali manusia melangkah pada kebaikan (kemajuan) selalu ada rintangan (setan) yang dapat menimbulkan frustasi. Apabila manusia tergoda oleh setan atau tidak mampu menyelesaikan frustasi, ia akan jetuh bergelimang dosa atau jatuh ke jurang kesengsaraan, putus asa, psikosis atau neurosis. Sedangkan kalau ia mampu mengatasi godaan setan atau mampu menyelesaikan frustasi secara positif, maka kepribadiannya makin metang atau menemukan kebahagiaan dalam nernuat kebaikan.
“Perasaan bersalah menunjukkan kepribadian yang kurang utuh,” kata psikolog.
“Bersihkan hatimu dari kemunafikan!” kata ulama.
Kemunafikan menunjukkan sikap luar yang berbeda dengan sikap dalam, menunjukkan kepribadian yang kurang utuh. Kebanyakan konflik yang mengganggu mental disebabkan karena adanya keinginan atau dorongan yang tidak terkendali oleh individu serta tidak sesuai dengan norma masyarakat atau moral. Penghayatan terhadap moral selalu berperan dalam konfilk yang mendalam. Psikologi menyebut penghayatan moral itu superego, sedangkan agama menyebutnya jiwa rohani, hati nurani, basirah atau afi’dah. Istilah jiwa rohanih, hati nurani, basirah atau afi’dah mempunyai perbedaan derajat atau gradasi dalam pengertiannya, namun semuanya menunjukkan kehidupan rohaniah atau spiritual. Pelanggaran terhadap hati nurani (norma illihi) disebut “dosa” sedangkan pelanggaran terhadap superego disebut “guilty feeling” atau rasa bersalah.
Apakah hati nurani itu pembawaan? Ada ahli yang menjawab ya, ada pula yang mengatakan tidak. Memang pada waktu bayi lahir, ia belum memiliki hati nurani, namun telah memiliki potensi dasar untuk berhati nurani. Seperti juga indera penglihatan. Pada waktu bayi lahir, ia belum berpenglihatan, tetapi telah memiliki potensi untuk melihat. Setelah kurang lebih 40 hari, penglihatan si bayi mulai berfungsi. Pemunculan hati nurani lebih lambat dan lebih belakangan dibandingkan dengan penglihatan. Orang tua dengan susah payah mendidik dan mmbimbing anak agar memahami apa dan bagaimana perilaku yang baik dan benar, serta mana dan bagaimana perilaku yang salah dan buruk. Hati nurani diwarnai, diolah dan dimatangkan oleh lingkungan serta perkembangannya mengikuti kematangan perkembangan kepribadian. Sedikit demi sedikit pengaruh lingkungan, norma yang ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat menjadi bagian kepribadiannya. Hanya merupakan suatu pengecualian yang sangat jarang, hati nurani itu tidak nampak pada orang-orang psikopat atau oramg yang nampaknya tidak mempunyai perasaan bersalah.
Ciri-Ciri Kepribadian Muslim
BAB I PENDAHULUAN
Kepribadian bukanlah penjumlahan beberapa aspek dalam bentuk mozaik. Vitalitas, temperamen, hasrat, alam perasaan, bakat, kemampuan, psikomotorik dan aspek kepribadian lainnya merupakan satu kesatuan utuh dalam diri seseorang. Keutuhan itu merupakan keseluruhan aspek yang menyatu (gestalt)dan segera dihayati dalam pertemuan dengan orang lain. Perilaku atau gejala kejiwaan yang nampak pada orang lain itu merupakan ciri psikolologik yang sering disebut sifat-sifat kepribadian. Kita berusaha mengenal, memahami dan menghayati kepribadian orang lain melalui sifat yang menonjol dan tripkal (typis).
Karena adanya pertumbuhan dan pengalaman baru, maka nempak adanya perubahan, penghilang, penambahan dan perkembangan pada proses kejiwaan itu. Walaupun demikian ditemukan pula adanya pernyataan, reaksi, respons, perbuatan, sikap dan perilaku yang secara relatife menetap pada seseorang bila berada pada situasi yang sama. Tingkah laku yang relative menetap itu merupakan cirri khas atau sifat bagi orang itu. Mungkin juga ciri atu sifat yang serupa itu dimiliki oleh orang lain. Segala cirri psikologik yang relatife menetap itu kadang-kaang sangat menonjol, sehingga kita dapat menentukan sebelumnya bagaimana orang itu bertingkah laku dalam menghadapilingkungan tertentu. Ciri psikologik atau sifat yang relatife menetap itu merupakan disposisi, kecenderungan, sikap atau cara orang itu bertingkah laku. Sifat-sifat merupakan satu keseluruhan yang tersusun secara teratur dan teringtegrasi dalam kepribadian seseorang sebagai sesuatu gestalt.
BAB II
CIRI-CIRI KEPRIBADIAN MUSLIM
A. Sifat Kepribadian
Segala peristiwa kejiwaan merupakan arus yang mengalir terus-menerus, merupakan suatu proses berlanjut (kontinu). Pikiran-pikiran timbul dan berlalu. Hasrat meningkat dan setelah menemukan pemuasnya menghilang lagi, kemudian timbul hasrat baru dan seterusnya.
Ciri-ciri psikologik yang individual ialah ciri kepribadian yang khas, unik dan hanya terdapat pada diri individu itu sendiri dan tidak terdapat pada individu lainnya. Ciri individual berupa isi atau proses kejiwaan yang aktual seperti kualitas dan intensitas rasa keTuhanan, isi pemikiran atau buah pikiran seseorang pada saat tertentu. Ciri individual tidak mungkin dapat dikenali atau dipahami oleh orang lain karena bersifat unik dan tidak ada duanya (yang menyamainya). Kita hanya dapat mendekati yang individual tetapi tidak pernah sampai pada yang individual itu. Al-Ghozali menyatakan bahwa menggambarkan rasa kehadiran Tuhan (sebagai suatu proses, isis atau akta kejiwaan) kepada orang lain sama saja sukarnya seperti halnya menerangkan cahaya kepada orang yang buta.
Ciri kepribadian yang dapat dipahami dari orang lain ialah ciri yang tipikal (tipe) yaitu ciri kepribadian yang tidak umumdan juga tidak individual, akan tetapi ciri yang ada pada sekelompok orang secara bersama memiliki ciri tersebut seperti rasional, pemikir, emosional, perasa, ekstravert, introvert, pemarah, pemalu, pendendam, pemaaf, penipu, politokus, ekonomis, dan ciri lain yang sejenis. Ciri-ciri tersebut sering disebut sifat-sifat kepribadian. Ciri yang tipikal itu bukan berupa isi atau proses kejiwaan aktual akan tetapi berupa disposisi atau kecenderungan yang bersifat habitual dan secara relatife menetap pada pribadi individu tersebut.
B. Tipologi Kepribadian
Tipe merupakan sifat-sifat kepribadian yang menonjol pada sekelompok orang yang sejenis (satu golongan tipe). Sifat kepribadian itu demikian menonjol sehingga mewarnai semua prilaku orang yang memilikinya. Seorang tipe pemikir akan dilandasi perilakunya dengan pertimbangan dan kesimpulan-kesimpulan intelektual atau rasional. Kesimpulan itu berorientasi pada hal-hal yang obyektif berupa fakta atau ide yang umum berlaku. Sedangkan perilaku tipe orang perasa akan diwarnai oleh alam perasaannya yang mengutamakan keharmonisan hubungannya dengan orang lain. Perilaku itu sering bersifat spontan dan kurang dilandasi oleh pertimbangan intelektual.
Tipe kepribadian sama dengan sifat kepribadian, yaitu merupakan ciri yang terletak diantara ciriumum dan ciri individual, artinya sesuatu ciri psikologik yang secara relatife bersifat umum pada sekelompok individu. Kalau kita membedakan antara sifat dan tipe kepribadian kita hanya dapat menunjukkan bahwa tipe tidak terpisah satu sama lain oleh batas-batas yang tegas. Antara tipe pemikir dan tipe perasa, keduanya memiliki pikiran dan perasaan. Perbedaan antara keduanya ialah pada tipe pemikir alam pemikiran lebih dominan sehingga mewarnai semua prilakunya, sedangkan pada tipe perasa, alam perasaanlah yang lebih dominan dan mewarnai perilakunya. Antara kedua tipe itu terdapat satu tali penghubung yang terdiri orang-orang yang terletak lebih sedikit dominasi pemikiran dan lebih banyak dominasi perasaan serta di tengah-tengahnya terletak bentuk antara atau bentuk campuran yang sulit digolongkan kedalam salah satu tipe tersebut.
Tipologi ialah penggolongan manusia berdasarkan tipe atau pola kepribadian yang masing-masing tipe diwarnai oleh sejumlah sifat, ciri atau karakter tertentu. Tipologi merupakan suatu upaya untuk menjelaskan manusia, menafsirkan dan meramalkan perilakunya.
Dasar penggolongan itu bermacam-macam, antara lain :
a. Kretchmer mengklasifikasikan manusia berdasarkan penampilan perawakan seseorang yang meliputi faktor morfologik (bentuknya) dan fisiologik(proses faali) menjadi tipe piknis(serba bulat dan lebar), leptosome (langsing), asthenis(kurus lemah), atletis (bentuk atlet),dan displastis (perawakan kurang porposional dan kurang harmonis karena gangguan kelenjar endoktrin). Cirri perawakan tersebut oleh Kretchmer dihubungkan dengan sifat kepribadian dan kecendrungan penyakit kejiwaan yang mungkin dialaminya.
b. Pada zaman yunani, tipologi itu didasarkan pada anggapan adanya pengaruh cairan penghidupan ke dalam prilaku, sehingga orang yang didominasi oleh cairan darah, disebut tipe sanguinicus(periang) , cairan lendir tipe melancholikus (pemuram atau pemurung), cairan empedu hitam tipe chloricus (pemarah) dan empedu kuning tipe phlekmaticus (lamban dan “nrimo’).
c. C.G. Yung menggolongkan tipe kepribadian berdasarkan sikap pokok individu terhadap dirinya sendiri dn terhadap dunia luar. Orang yang sikapnya lebih dominant terarah kedunia- dalamnya sendiri disebut tipe introvert., sedangkan yang sikapnya terarah kedunia- luar disebut ekstravert. Kedua tipe itu masing-masing dibagi lagi kedalam subtype berdasarkan pendapatnya mengenia fungsi pokok kejiwaan yaitu tipe pemikir, perasa , intuisi, dan tipe indria. Dengan demikian ada sub tipe ekstravert pemikir, introvert pemikir, ekstravert perasa, introvert perasa, dan seterusnya.
d. E.Spranger menggolongkan kepribadian berdasarkan lapisan kejiwaan yang tertinggi, yaitu ide-ide abstrak, nilai- nilai rohaniah dan realisasinya dalam hidup kebudayaan. Ia mengklerifikasikan kepribadian kedalam tipe teoritis, ekonomis, estetis, social, religius, politikus, teknikus, hokum dan pendidik.
Ciri kepribadian dapat berupa tipe maupun sifat. William James (1961) membagi tipe perkembangan kematangan kesadaran beragama kedalam dua tipe yaitu :
a. Tipe periang ( the healthy mindedness).
b. Tipe penyedih ( the sich soul ).
C. Tipe Periang
Pada perkembangan kesadaaran beragama tipe periang akan ditemukan sifat-sifat sebagai berikut:
1. Optimis dan riang gembira
Tipe periang menghayati hidup beragama yang dialaminya secara natural sebagaimana adanya, mudah, gampang, penuh kelapangan, kejembaran, memberi keluwasan wawasan, menambah variasi, dan kekayaan alam perasaan serta merupakan pegangan hidup yang menggembirakan. Mungkin juga ia mengalaami kebimbangan, keragu-raguan, godaan dan konflik batin, akan tetapi dengan karakternya yang optimis ia cepat dapat memecahkan permasalahannya. Ia dengan mudah menyadari bahwa Tuhan Maha Pemurah, Pemberi Ampun , pengasih dan Penyayang. Tuhan dipandang sebagai kekuatan yang mengharmoniskan dunia, merahmati alam semesta, menjadikan burung berkicau, bernyanyi , bunga- bunga mekar dan harum, anak- anak bergembira –ria, menjadikan angina bertiup sepoi basah, keindahan pemandangan, kesegaran pagi hari, kesejukan sore hari serta hal lain yang serba menggembirakan. Ia pun mengetahui bahwa Tuhan Maha Adil,Maha Penghukum, Maha Kuat, Maha Dahsyat, Maha Perkasa, Maha Pemaksa; namun pandangan terang Tuhan demikian itu tidak mewarnai sikap dan perilakunya.
Salah satu rahasia kegembiraan hidup seseorang adalah kelincahannya dalam menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi di luar dirinya, dengan kejadian di dunia luar, dengan situasi dan kondisi lingkungan serta kurang menghiraukan atu meninjau proses dan dinamika yang terjadi dalam diri pribadinya.
Alfred Adler (1937), seornang sarjana psikologi menggunakan teknik penyembuhan (therapy) dengan menyuruh para klien/ pasiennya mengarahkan perhatian kedunia luar dan menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat.
Pertumbuhan dan perkembangan kesadaran beragama tipe periang berjalan secara setapak dan setapak, makin lama makin kuat dan akhirnya menjadi matang. Permasalahan yang dihadapinya dipecahkan satu demi satu dengan melalui jalan yang rata. Kematangan kepribadiannya berkembang sedikit demi sedikit seperti anak yang dibimbing berjalan oleh orang tuanya, sehingga ia akhirnya dapat lari sendiri. Perkembangan kehidupan agamanya secara beralasan, terkendalikan, dapat diperkirakan dan bersifat rational. Pertobatan yang dilakukan biasanya tidak secara mendalam, tidak serius secara dangkal. Berbedah dengan tipe penyedih yang perkembangan kematangan agamanya melalui penderitaan dan pertobatan yang mendalam.
D. Tipe Penyedih
Tipe penyedih biasanya kurang mendapatkan perhatian masyarakat umum maupun para sarjana Ilmu Sosial terutama pada masa perkembangan kematangan kehidupan agamanya. Salah satu ciri tipe ini adalah tidak menyenangi popularitas, tidak mau menonjolkan diri, ada kecenderungan mengadakan perenungan tentang rahasia keTuhanan secara mendalam, mengadakan uzlah, menyendiri, betapa, zuhud, menghindari kenikmatan duniawi, mensucihkan hati dan menjauhi godaan syetan atau dosa. Tipe inilah yang sering mendapatkan sinar illahi atau semacam penghayatan “Kehadiran Tuhan”. Bila kesadaran beragamanya telah matang seringkali tipe ini mampu mengubah kehidupan masyarakat menuju kematangan beragama serta mengadakan kemajuan-kemajuan yang mengagumkan seperti Al-Ghozali, Abdul Qadir, Al Jailani, Syekh Junaidi Al Baghadadi, Wali Songo dan Pangeran Diponegoro. Ide-ide yng banyak orisinal, tidak mengambil ide orang lain tetapi berasal dari dirinya sendiri. Ia tidak puas dengan hanya melaksanakan kehidupan praktis sehari-hari dan berusaha mengolah fakta yang dihadapinya sebagai alat untuk membuktikan atau menjelaskan suatu teori. Bila pemikirannya disokong oleh intuisi maka akan timbul ide baru yang bersifat kreatif. Ia berani mempertahankan idenya walaupun pada mulanya mungkin bertentangan dengan pendapat dan pandagan masyarakat. Ia berpegang teguh pada norma-norma etis yang telah diselidiki kebenarannya, walaupun mungkin tidak sejalan dengan norma yang berlaku disekitarnya. Secara positif ia tidak mudah terkena penyakit zamannya bahkan ia berani mengadakan pemikiran dan tindakan revolusioner dalam mempertahankan kebenaran yang dipercayainya. Ia tidak pernah meragukan kebenaran pendapatnya bila telah sampai pada kehidupan agama yang mantap. Ia yakin bahwa kebenaran itu pada akhirnya diakui oleh orang lain dan masyarakat umum. Ia berana mengorbankan dan mengarahkan seluruh kemampuannya untuk membelah kebenaran. Semangat juangnya yang meluap belum tentu ditampilkan ke luar namun kadang-kadang terlihat korsluiting dengan masyarakatnya yang menunjukkan kehebatan perasaan kenikmatan beribadah yang menggelora di dalam dirinya (majdzub). Ia mempunyai pandangan khas dalam mengantisipasi masa depan dan memiliki ketajaman meramalkan sesuatu. Tipe ini banyak ditemukan pada ahli Ilmu Kalam, Ushuluddin, pendiri tariqat, kaum sufi dan pujangga.
Kepribadian bukanlah penjumlahan beberapa aspek dalam bentuk mozaik. Vitalitas, temperamen, hasrat, alam perasaan, bakat, kemampuan, psikomotorik dan aspek kepribadian lainnya merupakan satu kesatuan utuh dalam diri seseorang. Keutuhan itu merupakan keseluruhan aspek yang menyatu (gestalt)dan segera dihayati dalam pertemuan dengan orang lain. Perilaku atau gejala kejiwaan yang nampak pada orang lain itu merupakan ciri psikolologik yang sering disebut sifat-sifat kepribadian. Kita berusaha mengenal, memahami dan menghayati kepribadian orang lain melalui sifat yang menonjol dan tripkal (typis).
Karena adanya pertumbuhan dan pengalaman baru, maka nempak adanya perubahan, penghilang, penambahan dan perkembangan pada proses kejiwaan itu. Walaupun demikian ditemukan pula adanya pernyataan, reaksi, respons, perbuatan, sikap dan perilaku yang secara relatife menetap pada seseorang bila berada pada situasi yang sama. Tingkah laku yang relative menetap itu merupakan cirri khas atau sifat bagi orang itu. Mungkin juga ciri atu sifat yang serupa itu dimiliki oleh orang lain. Segala cirri psikologik yang relatife menetap itu kadang-kaang sangat menonjol, sehingga kita dapat menentukan sebelumnya bagaimana orang itu bertingkah laku dalam menghadapilingkungan tertentu. Ciri psikologik atau sifat yang relatife menetap itu merupakan disposisi, kecenderungan, sikap atau cara orang itu bertingkah laku. Sifat-sifat merupakan satu keseluruhan yang tersusun secara teratur dan teringtegrasi dalam kepribadian seseorang sebagai sesuatu gestalt.
BAB II
CIRI-CIRI KEPRIBADIAN MUSLIM
A. Sifat Kepribadian
Segala peristiwa kejiwaan merupakan arus yang mengalir terus-menerus, merupakan suatu proses berlanjut (kontinu). Pikiran-pikiran timbul dan berlalu. Hasrat meningkat dan setelah menemukan pemuasnya menghilang lagi, kemudian timbul hasrat baru dan seterusnya.
Ciri-ciri psikologik yang individual ialah ciri kepribadian yang khas, unik dan hanya terdapat pada diri individu itu sendiri dan tidak terdapat pada individu lainnya. Ciri individual berupa isi atau proses kejiwaan yang aktual seperti kualitas dan intensitas rasa keTuhanan, isi pemikiran atau buah pikiran seseorang pada saat tertentu. Ciri individual tidak mungkin dapat dikenali atau dipahami oleh orang lain karena bersifat unik dan tidak ada duanya (yang menyamainya). Kita hanya dapat mendekati yang individual tetapi tidak pernah sampai pada yang individual itu. Al-Ghozali menyatakan bahwa menggambarkan rasa kehadiran Tuhan (sebagai suatu proses, isis atau akta kejiwaan) kepada orang lain sama saja sukarnya seperti halnya menerangkan cahaya kepada orang yang buta.
Ciri kepribadian yang dapat dipahami dari orang lain ialah ciri yang tipikal (tipe) yaitu ciri kepribadian yang tidak umumdan juga tidak individual, akan tetapi ciri yang ada pada sekelompok orang secara bersama memiliki ciri tersebut seperti rasional, pemikir, emosional, perasa, ekstravert, introvert, pemarah, pemalu, pendendam, pemaaf, penipu, politokus, ekonomis, dan ciri lain yang sejenis. Ciri-ciri tersebut sering disebut sifat-sifat kepribadian. Ciri yang tipikal itu bukan berupa isi atau proses kejiwaan aktual akan tetapi berupa disposisi atau kecenderungan yang bersifat habitual dan secara relatife menetap pada pribadi individu tersebut.
B. Tipologi Kepribadian
Tipe merupakan sifat-sifat kepribadian yang menonjol pada sekelompok orang yang sejenis (satu golongan tipe). Sifat kepribadian itu demikian menonjol sehingga mewarnai semua prilaku orang yang memilikinya. Seorang tipe pemikir akan dilandasi perilakunya dengan pertimbangan dan kesimpulan-kesimpulan intelektual atau rasional. Kesimpulan itu berorientasi pada hal-hal yang obyektif berupa fakta atau ide yang umum berlaku. Sedangkan perilaku tipe orang perasa akan diwarnai oleh alam perasaannya yang mengutamakan keharmonisan hubungannya dengan orang lain. Perilaku itu sering bersifat spontan dan kurang dilandasi oleh pertimbangan intelektual.
Tipe kepribadian sama dengan sifat kepribadian, yaitu merupakan ciri yang terletak diantara ciriumum dan ciri individual, artinya sesuatu ciri psikologik yang secara relatife bersifat umum pada sekelompok individu. Kalau kita membedakan antara sifat dan tipe kepribadian kita hanya dapat menunjukkan bahwa tipe tidak terpisah satu sama lain oleh batas-batas yang tegas. Antara tipe pemikir dan tipe perasa, keduanya memiliki pikiran dan perasaan. Perbedaan antara keduanya ialah pada tipe pemikir alam pemikiran lebih dominan sehingga mewarnai semua prilakunya, sedangkan pada tipe perasa, alam perasaanlah yang lebih dominan dan mewarnai perilakunya. Antara kedua tipe itu terdapat satu tali penghubung yang terdiri orang-orang yang terletak lebih sedikit dominasi pemikiran dan lebih banyak dominasi perasaan serta di tengah-tengahnya terletak bentuk antara atau bentuk campuran yang sulit digolongkan kedalam salah satu tipe tersebut.
Tipologi ialah penggolongan manusia berdasarkan tipe atau pola kepribadian yang masing-masing tipe diwarnai oleh sejumlah sifat, ciri atau karakter tertentu. Tipologi merupakan suatu upaya untuk menjelaskan manusia, menafsirkan dan meramalkan perilakunya.
Dasar penggolongan itu bermacam-macam, antara lain :
a. Kretchmer mengklasifikasikan manusia berdasarkan penampilan perawakan seseorang yang meliputi faktor morfologik (bentuknya) dan fisiologik(proses faali) menjadi tipe piknis(serba bulat dan lebar), leptosome (langsing), asthenis(kurus lemah), atletis (bentuk atlet),dan displastis (perawakan kurang porposional dan kurang harmonis karena gangguan kelenjar endoktrin). Cirri perawakan tersebut oleh Kretchmer dihubungkan dengan sifat kepribadian dan kecendrungan penyakit kejiwaan yang mungkin dialaminya.
b. Pada zaman yunani, tipologi itu didasarkan pada anggapan adanya pengaruh cairan penghidupan ke dalam prilaku, sehingga orang yang didominasi oleh cairan darah, disebut tipe sanguinicus(periang) , cairan lendir tipe melancholikus (pemuram atau pemurung), cairan empedu hitam tipe chloricus (pemarah) dan empedu kuning tipe phlekmaticus (lamban dan “nrimo’).
c. C.G. Yung menggolongkan tipe kepribadian berdasarkan sikap pokok individu terhadap dirinya sendiri dn terhadap dunia luar. Orang yang sikapnya lebih dominant terarah kedunia- dalamnya sendiri disebut tipe introvert., sedangkan yang sikapnya terarah kedunia- luar disebut ekstravert. Kedua tipe itu masing-masing dibagi lagi kedalam subtype berdasarkan pendapatnya mengenia fungsi pokok kejiwaan yaitu tipe pemikir, perasa , intuisi, dan tipe indria. Dengan demikian ada sub tipe ekstravert pemikir, introvert pemikir, ekstravert perasa, introvert perasa, dan seterusnya.
d. E.Spranger menggolongkan kepribadian berdasarkan lapisan kejiwaan yang tertinggi, yaitu ide-ide abstrak, nilai- nilai rohaniah dan realisasinya dalam hidup kebudayaan. Ia mengklerifikasikan kepribadian kedalam tipe teoritis, ekonomis, estetis, social, religius, politikus, teknikus, hokum dan pendidik.
Ciri kepribadian dapat berupa tipe maupun sifat. William James (1961) membagi tipe perkembangan kematangan kesadaran beragama kedalam dua tipe yaitu :
a. Tipe periang ( the healthy mindedness).
b. Tipe penyedih ( the sich soul ).
C. Tipe Periang
Pada perkembangan kesadaaran beragama tipe periang akan ditemukan sifat-sifat sebagai berikut:
1. Optimis dan riang gembira
Tipe periang menghayati hidup beragama yang dialaminya secara natural sebagaimana adanya, mudah, gampang, penuh kelapangan, kejembaran, memberi keluwasan wawasan, menambah variasi, dan kekayaan alam perasaan serta merupakan pegangan hidup yang menggembirakan. Mungkin juga ia mengalaami kebimbangan, keragu-raguan, godaan dan konflik batin, akan tetapi dengan karakternya yang optimis ia cepat dapat memecahkan permasalahannya. Ia dengan mudah menyadari bahwa Tuhan Maha Pemurah, Pemberi Ampun , pengasih dan Penyayang. Tuhan dipandang sebagai kekuatan yang mengharmoniskan dunia, merahmati alam semesta, menjadikan burung berkicau, bernyanyi , bunga- bunga mekar dan harum, anak- anak bergembira –ria, menjadikan angina bertiup sepoi basah, keindahan pemandangan, kesegaran pagi hari, kesejukan sore hari serta hal lain yang serba menggembirakan. Ia pun mengetahui bahwa Tuhan Maha Adil,Maha Penghukum, Maha Kuat, Maha Dahsyat, Maha Perkasa, Maha Pemaksa; namun pandangan terang Tuhan demikian itu tidak mewarnai sikap dan perilakunya.
Salah satu rahasia kegembiraan hidup seseorang adalah kelincahannya dalam menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi di luar dirinya, dengan kejadian di dunia luar, dengan situasi dan kondisi lingkungan serta kurang menghiraukan atu meninjau proses dan dinamika yang terjadi dalam diri pribadinya.
Alfred Adler (1937), seornang sarjana psikologi menggunakan teknik penyembuhan (therapy) dengan menyuruh para klien/ pasiennya mengarahkan perhatian kedunia luar dan menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat.
Pertumbuhan dan perkembangan kesadaran beragama tipe periang berjalan secara setapak dan setapak, makin lama makin kuat dan akhirnya menjadi matang. Permasalahan yang dihadapinya dipecahkan satu demi satu dengan melalui jalan yang rata. Kematangan kepribadiannya berkembang sedikit demi sedikit seperti anak yang dibimbing berjalan oleh orang tuanya, sehingga ia akhirnya dapat lari sendiri. Perkembangan kehidupan agamanya secara beralasan, terkendalikan, dapat diperkirakan dan bersifat rational. Pertobatan yang dilakukan biasanya tidak secara mendalam, tidak serius secara dangkal. Berbedah dengan tipe penyedih yang perkembangan kematangan agamanya melalui penderitaan dan pertobatan yang mendalam.
D. Tipe Penyedih
Tipe penyedih biasanya kurang mendapatkan perhatian masyarakat umum maupun para sarjana Ilmu Sosial terutama pada masa perkembangan kematangan kehidupan agamanya. Salah satu ciri tipe ini adalah tidak menyenangi popularitas, tidak mau menonjolkan diri, ada kecenderungan mengadakan perenungan tentang rahasia keTuhanan secara mendalam, mengadakan uzlah, menyendiri, betapa, zuhud, menghindari kenikmatan duniawi, mensucihkan hati dan menjauhi godaan syetan atau dosa. Tipe inilah yang sering mendapatkan sinar illahi atau semacam penghayatan “Kehadiran Tuhan”. Bila kesadaran beragamanya telah matang seringkali tipe ini mampu mengubah kehidupan masyarakat menuju kematangan beragama serta mengadakan kemajuan-kemajuan yang mengagumkan seperti Al-Ghozali, Abdul Qadir, Al Jailani, Syekh Junaidi Al Baghadadi, Wali Songo dan Pangeran Diponegoro. Ide-ide yng banyak orisinal, tidak mengambil ide orang lain tetapi berasal dari dirinya sendiri. Ia tidak puas dengan hanya melaksanakan kehidupan praktis sehari-hari dan berusaha mengolah fakta yang dihadapinya sebagai alat untuk membuktikan atau menjelaskan suatu teori. Bila pemikirannya disokong oleh intuisi maka akan timbul ide baru yang bersifat kreatif. Ia berani mempertahankan idenya walaupun pada mulanya mungkin bertentangan dengan pendapat dan pandagan masyarakat. Ia berpegang teguh pada norma-norma etis yang telah diselidiki kebenarannya, walaupun mungkin tidak sejalan dengan norma yang berlaku disekitarnya. Secara positif ia tidak mudah terkena penyakit zamannya bahkan ia berani mengadakan pemikiran dan tindakan revolusioner dalam mempertahankan kebenaran yang dipercayainya. Ia tidak pernah meragukan kebenaran pendapatnya bila telah sampai pada kehidupan agama yang mantap. Ia yakin bahwa kebenaran itu pada akhirnya diakui oleh orang lain dan masyarakat umum. Ia berana mengorbankan dan mengarahkan seluruh kemampuannya untuk membelah kebenaran. Semangat juangnya yang meluap belum tentu ditampilkan ke luar namun kadang-kadang terlihat korsluiting dengan masyarakatnya yang menunjukkan kehebatan perasaan kenikmatan beribadah yang menggelora di dalam dirinya (majdzub). Ia mempunyai pandangan khas dalam mengantisipasi masa depan dan memiliki ketajaman meramalkan sesuatu. Tipe ini banyak ditemukan pada ahli Ilmu Kalam, Ushuluddin, pendiri tariqat, kaum sufi dan pujangga.
Kesadaran Beragama
BAB I
PENDAHULUAN
Orang dewasa yang berumur 45 tahun belum tentu memiliki kesadaran beragama yang mantap, bahkan mungkin kpribadiannya masih belum dewasa atau masih “immature”. Untuk kelender atau umur seseorang yang menggunakan umur ukuran waktu almanak belum tentu sejalan dengan kedewasaan kepribadiannya, kematangan mental atau kemantapan kesadaran beragama. Banyak orang yang telah melewati 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut kelender, namun kehidupan agamanya masih belum matang. Ada pula remaja yang berumur dibawah 23 tahun telah memiliki kesadaran beragama yang cukup dewasa. Pada orang dewasa masih sering ditemukan cirri-ciri kesadaran beragama yang hanya mencapai fase anak-anak. Tercapainya kematangan kesadaran beragama seseorang bergantung pada kecerdasan, kematangan alam perasaan, kehidupan motivasi, pengalaman hidup, dan keadaan lingkungan sosial budaya.
BAB II
KESADARAN BERAGAMA
Penulis menyadari bahwa pembahasan mengenai kematangan kesadaran beragama penuh dengan asumsi, karena keimanan dan pengalaman ke-Tuhanan sangat sukar diukur atau dinilai secara ilmiah. Kita hanya dapat mengamati kehidupan keagamaan melalui tingkah laku yang nampak sebagai pernyataan dari kehidupan dunia seseorang.
Pengertian kesadaran beragama dalam tulisan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam system mental dari kepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa-raga manusia, maka kesadaran beragama pun mencakup aspek-aspek afektif, konotif, kognitif, dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif konotif terlihat di dalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan kerinduan kepada Tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek tersebut sukar dipisah-pisahkan karena merupakan suatu system kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang.
Penggambaran tentang kemantapan kesadaran beragama tidak dapat terlepas dari kriteria kematangan kepribadian. Kesadaran beragama yang mantap hanya terdapat pada orang yang memiliki kepribadian yang matang. Akan tetapi kepribadian yang matang belum tentu disertai kesadaran beragama yang mantap. Seseorang yang tidak beragama (atheis) mungkin saja memiliki kepribadian yang matang walaupun ia tidak memiliki kesadaran beragama. Sebaliknya, sukar untuk dibayangkan adanya kesadaran beragama yang mantap pada kepribadian yang belum matang. Kemantapan kesadaran beragama merupakan dinamisator, warna, dan corak serta memperkaya kepribadian seseorang.
Carl Gustav Yung (1875-1961) seorang ahki psikologi menyimpulkan pengalamannya sebagai berikut :
“Pada tiga tahun terakhir ini, banyak orang yang meminta kepada saya, dari Negara-negara maju, untuk meneliti sebab-sebab timbulnya penyakit jiwa. Ternyata pangkal persoalan dari para penderita penyakit tersebut yang telah melewati separuh dari kehidupan mereka, yaitu setelah berumur tiga puluh tahun tidak lain adalah karena hati mereka tertutup dari doktrin agama. Merupakan hal yang mungkin dapat dikatakan penyakit mereka tidak lain karena mereka kehilangan sesuatu yang telah diberikan oleh agama kepada orang yang mempercayainya pada setiap masa. Tidak ada seorang pun diantara mereka itu yang sembuh melainkan setelah mereka kembali pada konsepsi-konsepsi keagamaan yang ada”.
Kematangan kepribadian yang dilandasi oleh kehidupan agama akan menunjukan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat ; terbuka terhadap semua realitas atau fakta empiris, realitas filosofis dan realitas rohaniah ; serta mempunyai arah tujuan yang jelas dalan cakrawala hidup. Kepribadian yang tidak matang menunjukkan kurangnya pengendalian terhadap dorongan biologis, keinginan, aspirasi, dan hayalan-hayalan. Aspek kejiwaannya kurang berkembang (kurang terdifferensiasikan). Hal tersebut nampak pada sikap yang impulsif, egosentris, dan fanatik. Dalam memandang permasalahan hidup ia hanya menekankan pada fragmen-fragmen dan bagian-bagian tertentu saja. Seorang muslim yang fregmentaris akan memandang permasalahan hidup hanya dari satu sudut pandangan saja atau memecahkan permasalahan itu hanya berdasarkan tujuan dan makna ajaran itu, hubungan dengan ayat-ayat lain, sebab-sebab turunnya ayat, sunnah Nabi yang berhubungan dengan ayat itu, pendapat atau penafsiran para ulama serta kemungkinan pelaksanaannya dalan kehidupan bermasyarakat. Kepribadian yang tidak matang kurang mampu mrlihat dirinya sendiri, sehingga prilakunya kurang memperhitungkan kemampuan diri dan keadaan lingkungan sekitarnya.
A. Kesadaran Beragama Pada Masa Anak-Anak
Pada waktu lahir, anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan berTuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin dalam kandungan.
Selaras dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontiniuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran itu berlanjut, namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya cirri-ciri tertentu. Cirri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kemesraan antara orangtua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap dan prilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan di ikuti oleh anaknya. Si anak menghayati tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yang bersipat agosentris, pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri, kepentingan , keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan biologisnya. Si anak kalau disuruh berdoa ia akan memohon kepada Tuhan untuk diberi mainan, permen, kue, buah-buahan atau alat pemuas kebutuhan biologis lainnya yang bersifat konkret dan segera. Oleh karena itu penanaman kesadaran beragama kepada si anak yang berhubungan pengalaman ke-Tuhanan hendaknya menekankan pada pemuasan kebutuhan efektif. Usahakanlah agar si anak dapat menghayati dan merasakan bahwa Tuhan itu adlah Pemberi mainan, kue, makanan dan kenikmatan lain. Tuhan adalah Pengasih, Penyayang, Pelindung, Pemberi rasa aman, tenteram dan Pemuas kebutuhan alam perasaan lainnya. Untuk itu orang tua harus bersikap sebagai pengasih, penyayang, pelindung dan pemuas kebutuhan emosional anak.
B. Kesadaran Beragama Pada Masa Remaja
Selaras dengan jiwa remaja yang berada dalam transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa beragama berada dalam keadaan peralihan dari kehidipan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Disamping keadaan jiwanya yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pemikiran abstrak, logik dan kritik mulai berkembang. Emosinya semakin berkembang, motivasinya mulai otonom dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata. Keadaan jiwa remaja yang demikian itu nampak pula dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan dan konflik batin. Disamping itu remaja mulai menemukan pengalaman dan penghayatan ke-Tuhanan yang bersifat individual dan sukar digambarkan kepada orang lain seperti dalam pertobatan. Keimanannya mulai otonom, hubungan dengan Tuhan makin disertai kesadaran dan kegiatannya dalam bermasyarakat makin diwarnai oleh rasa keagamaan. Ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja ialah :
a. Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat individual
Remaja makin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya bukan hanya sekedar badan jasmanih, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa “Pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya. Ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya. Pemikiran, perasaan, keinginan, citi-citi dan kehidipan psikiligis rohaniah lainnya adlah milik pribadinya. Penghayatan penemuan diri pribadi ini di namakan “individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri sebdiri, antara aku dan bukan aku, antara subjek dan dunia sekitar.
Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadinya. Dalam rasa kesendiriannya, si remaja memerlukan kawan setia atau pribadi yang mampu menampung keluhan-keluhannya, melindungi, membimbing, mendorong dan memberi petunjuk jalan yang dapat mengenbangkan kepribadiannya. Pribadi yang demikian sempurna itu sukar ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pencariannya itu si remaja mungkin menemukan tokoh ideal, akan tetapi tokoh ideal ini pun tidak sempurna. Akhirnya si remaja mencari dunia ideal, dunia filosofis dan cita-cita. Ia berusaha mencari hakikat, makna dan tujuan hidupnya. Si remaja dapat menemukan berbagai macam pandangan, ide, dan filsefat hidup yang mungkin bertentangan dengan keimanan yang telah menjadi bagian pribadinya. Hal ini dapat menimbulkan keimbangan dan konflik batin yang merupakan suatu penderitaan. Bagi remaja yang sensitive penderitaan ini dirasakan lebih akut dan lebih mendalam. Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah labil. Ia sangat menderita dalam keadaan demikian, sehingga pada umumnya suasana jiwa dalam keadaan murung dan risau.
b. Keimanan makin menuju realitas yang sebenarnya
Terarahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecenderungan yang besar untuk merenungkan, mengkritik dan menilai diri sendiri. Intropeksi diri ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang dirinya, tentang keimanan dan kenidupan agamanya. Si remaja mulai mengerti bahwa kehidupan ini tidak hanya seperti yang dijumpainya secara konkret, tetapi mempunyai makna yang lebih dalam.
Ia mulai memilki pengertian yang diperlukan untuk menangkap dan mengolah dunia rohaniah. Ia menghayati dan mengetahui tentang agama dan makna kehidupan beragama. Ia melihat adanya bermacam-macam filsafat dan pandangan hidup. Hal ini dapat menimbulkan usaha untuk menganalisis pandangan agamanya serta mengolahnya dalam perspektif yang lebih luas dan kritis, sehingga pandangan hidupnya menjadi lebih otonom. Mungkin pula ia berkesempatan berdialog dan adu argumentasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan hidup yang berbeda. Pengalaman baru ini dapat menimbulkan konflik batin, kebimbangan dan penderitaann. Proses penyelesaian konflik batin itu menimbulkan terjadinya rekonstuksi, restrukturalisasi dan reorganisasi konsep lama dari keimanannya.
Dengan berkembangnya kemampuan berfikir secara abstrak, si remaja mampu pula menerima dan memahami ajran agama yang berhubungan dengan masalah gaib, abstrk dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan, sorga, neraka, bidadari, malaikat, jin, syetan dan sebagainya. Penggambaran anthropomorphic atau memanusiakan Tuhan dan sifat-sifatNya, lambat laun diganti dengan pemikiran yang lebih sesuai dengan realitas. Perubahan pemahaman itu melalui pemikiran yang lebih kritis. Pengertian tentang sifat-sifat Tuhan seperti Maha Adil, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya ; yang tadinya oleh remaja disejajarkan dengan sifat-sifat manusia berubah menjadi lebih abstrak dan lebih mendalam. Maha Adilnya Tuhan tidak dapat diukur, dinilai atau dibandingkan dengan sifat adilnya manusia ditambah kata “Maha”. Kasih sayang Tuhan adalah kasih sayang yang jauh lebih mendasar dan lebih luas daripada kasih sayang orang tua.
Pikiran. Perasaan, kemauan, dan daya upaya manusia sangat terbatas sedangkan Tuhan tidak. Kita sama sekali tidak dapat membayangkan sesuatu diluar waktu dan ruang, sedangkan Tuhan justru tidak dikenai dimensi ruang dan waktu.
BAB III
KESIMPULAN
Pengertian kesadaran beragama dalam tulisan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam system mental dari kepribadian.
Kematangan kepribadian yang dilandasi oleh kehidupan agama akan menunjukan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Pada waktu lahir, anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan berTuhan.
Penanaman kesadaran beragama kepada si anak yang berhubungan pengalaman ke-Tuhanan hendaknya menekankan pada pemuasan kebutuhan efektif.
Dalam rasa kesendiriannya, si remaja memerlukan kawan setia atau pribadi yang mampu menampung keluhan-keluhannya, melindungi, membimbing, mendorong dan memberi petunjuk jalan yang dapat mengenbangkan kepribadiannya. Pribadi yang demikian sempurna itu sukar ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan berkembangnya kemampuan berfikir secara abstrak, si remaja mampu pula menerima dan memahami ajran agama yang berhubungan dengan masalah gaib, abstrk dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan, sorga, neraka, bidadari, malaikat, jin, syetan dan sebagainya.
PENDAHULUAN
Orang dewasa yang berumur 45 tahun belum tentu memiliki kesadaran beragama yang mantap, bahkan mungkin kpribadiannya masih belum dewasa atau masih “immature”. Untuk kelender atau umur seseorang yang menggunakan umur ukuran waktu almanak belum tentu sejalan dengan kedewasaan kepribadiannya, kematangan mental atau kemantapan kesadaran beragama. Banyak orang yang telah melewati 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut kelender, namun kehidupan agamanya masih belum matang. Ada pula remaja yang berumur dibawah 23 tahun telah memiliki kesadaran beragama yang cukup dewasa. Pada orang dewasa masih sering ditemukan cirri-ciri kesadaran beragama yang hanya mencapai fase anak-anak. Tercapainya kematangan kesadaran beragama seseorang bergantung pada kecerdasan, kematangan alam perasaan, kehidupan motivasi, pengalaman hidup, dan keadaan lingkungan sosial budaya.
BAB II
KESADARAN BERAGAMA
Penulis menyadari bahwa pembahasan mengenai kematangan kesadaran beragama penuh dengan asumsi, karena keimanan dan pengalaman ke-Tuhanan sangat sukar diukur atau dinilai secara ilmiah. Kita hanya dapat mengamati kehidupan keagamaan melalui tingkah laku yang nampak sebagai pernyataan dari kehidupan dunia seseorang.
Pengertian kesadaran beragama dalam tulisan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam system mental dari kepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa-raga manusia, maka kesadaran beragama pun mencakup aspek-aspek afektif, konotif, kognitif, dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif konotif terlihat di dalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan kerinduan kepada Tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek tersebut sukar dipisah-pisahkan karena merupakan suatu system kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang.
Penggambaran tentang kemantapan kesadaran beragama tidak dapat terlepas dari kriteria kematangan kepribadian. Kesadaran beragama yang mantap hanya terdapat pada orang yang memiliki kepribadian yang matang. Akan tetapi kepribadian yang matang belum tentu disertai kesadaran beragama yang mantap. Seseorang yang tidak beragama (atheis) mungkin saja memiliki kepribadian yang matang walaupun ia tidak memiliki kesadaran beragama. Sebaliknya, sukar untuk dibayangkan adanya kesadaran beragama yang mantap pada kepribadian yang belum matang. Kemantapan kesadaran beragama merupakan dinamisator, warna, dan corak serta memperkaya kepribadian seseorang.
Carl Gustav Yung (1875-1961) seorang ahki psikologi menyimpulkan pengalamannya sebagai berikut :
“Pada tiga tahun terakhir ini, banyak orang yang meminta kepada saya, dari Negara-negara maju, untuk meneliti sebab-sebab timbulnya penyakit jiwa. Ternyata pangkal persoalan dari para penderita penyakit tersebut yang telah melewati separuh dari kehidupan mereka, yaitu setelah berumur tiga puluh tahun tidak lain adalah karena hati mereka tertutup dari doktrin agama. Merupakan hal yang mungkin dapat dikatakan penyakit mereka tidak lain karena mereka kehilangan sesuatu yang telah diberikan oleh agama kepada orang yang mempercayainya pada setiap masa. Tidak ada seorang pun diantara mereka itu yang sembuh melainkan setelah mereka kembali pada konsepsi-konsepsi keagamaan yang ada”.
Kematangan kepribadian yang dilandasi oleh kehidupan agama akan menunjukan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat ; terbuka terhadap semua realitas atau fakta empiris, realitas filosofis dan realitas rohaniah ; serta mempunyai arah tujuan yang jelas dalan cakrawala hidup. Kepribadian yang tidak matang menunjukkan kurangnya pengendalian terhadap dorongan biologis, keinginan, aspirasi, dan hayalan-hayalan. Aspek kejiwaannya kurang berkembang (kurang terdifferensiasikan). Hal tersebut nampak pada sikap yang impulsif, egosentris, dan fanatik. Dalam memandang permasalahan hidup ia hanya menekankan pada fragmen-fragmen dan bagian-bagian tertentu saja. Seorang muslim yang fregmentaris akan memandang permasalahan hidup hanya dari satu sudut pandangan saja atau memecahkan permasalahan itu hanya berdasarkan tujuan dan makna ajaran itu, hubungan dengan ayat-ayat lain, sebab-sebab turunnya ayat, sunnah Nabi yang berhubungan dengan ayat itu, pendapat atau penafsiran para ulama serta kemungkinan pelaksanaannya dalan kehidupan bermasyarakat. Kepribadian yang tidak matang kurang mampu mrlihat dirinya sendiri, sehingga prilakunya kurang memperhitungkan kemampuan diri dan keadaan lingkungan sekitarnya.
A. Kesadaran Beragama Pada Masa Anak-Anak
Pada waktu lahir, anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan berTuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin dalam kandungan.
Selaras dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontiniuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran itu berlanjut, namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya cirri-ciri tertentu. Cirri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kemesraan antara orangtua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap dan prilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan di ikuti oleh anaknya. Si anak menghayati tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yang bersipat agosentris, pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri, kepentingan , keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan biologisnya. Si anak kalau disuruh berdoa ia akan memohon kepada Tuhan untuk diberi mainan, permen, kue, buah-buahan atau alat pemuas kebutuhan biologis lainnya yang bersifat konkret dan segera. Oleh karena itu penanaman kesadaran beragama kepada si anak yang berhubungan pengalaman ke-Tuhanan hendaknya menekankan pada pemuasan kebutuhan efektif. Usahakanlah agar si anak dapat menghayati dan merasakan bahwa Tuhan itu adlah Pemberi mainan, kue, makanan dan kenikmatan lain. Tuhan adalah Pengasih, Penyayang, Pelindung, Pemberi rasa aman, tenteram dan Pemuas kebutuhan alam perasaan lainnya. Untuk itu orang tua harus bersikap sebagai pengasih, penyayang, pelindung dan pemuas kebutuhan emosional anak.
B. Kesadaran Beragama Pada Masa Remaja
Selaras dengan jiwa remaja yang berada dalam transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa beragama berada dalam keadaan peralihan dari kehidipan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Disamping keadaan jiwanya yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pemikiran abstrak, logik dan kritik mulai berkembang. Emosinya semakin berkembang, motivasinya mulai otonom dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata. Keadaan jiwa remaja yang demikian itu nampak pula dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan dan konflik batin. Disamping itu remaja mulai menemukan pengalaman dan penghayatan ke-Tuhanan yang bersifat individual dan sukar digambarkan kepada orang lain seperti dalam pertobatan. Keimanannya mulai otonom, hubungan dengan Tuhan makin disertai kesadaran dan kegiatannya dalam bermasyarakat makin diwarnai oleh rasa keagamaan. Ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja ialah :
a. Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat individual
Remaja makin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya bukan hanya sekedar badan jasmanih, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa “Pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya. Ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya. Pemikiran, perasaan, keinginan, citi-citi dan kehidipan psikiligis rohaniah lainnya adlah milik pribadinya. Penghayatan penemuan diri pribadi ini di namakan “individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri sebdiri, antara aku dan bukan aku, antara subjek dan dunia sekitar.
Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadinya. Dalam rasa kesendiriannya, si remaja memerlukan kawan setia atau pribadi yang mampu menampung keluhan-keluhannya, melindungi, membimbing, mendorong dan memberi petunjuk jalan yang dapat mengenbangkan kepribadiannya. Pribadi yang demikian sempurna itu sukar ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pencariannya itu si remaja mungkin menemukan tokoh ideal, akan tetapi tokoh ideal ini pun tidak sempurna. Akhirnya si remaja mencari dunia ideal, dunia filosofis dan cita-cita. Ia berusaha mencari hakikat, makna dan tujuan hidupnya. Si remaja dapat menemukan berbagai macam pandangan, ide, dan filsefat hidup yang mungkin bertentangan dengan keimanan yang telah menjadi bagian pribadinya. Hal ini dapat menimbulkan keimbangan dan konflik batin yang merupakan suatu penderitaan. Bagi remaja yang sensitive penderitaan ini dirasakan lebih akut dan lebih mendalam. Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah labil. Ia sangat menderita dalam keadaan demikian, sehingga pada umumnya suasana jiwa dalam keadaan murung dan risau.
b. Keimanan makin menuju realitas yang sebenarnya
Terarahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecenderungan yang besar untuk merenungkan, mengkritik dan menilai diri sendiri. Intropeksi diri ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang dirinya, tentang keimanan dan kenidupan agamanya. Si remaja mulai mengerti bahwa kehidupan ini tidak hanya seperti yang dijumpainya secara konkret, tetapi mempunyai makna yang lebih dalam.
Ia mulai memilki pengertian yang diperlukan untuk menangkap dan mengolah dunia rohaniah. Ia menghayati dan mengetahui tentang agama dan makna kehidupan beragama. Ia melihat adanya bermacam-macam filsafat dan pandangan hidup. Hal ini dapat menimbulkan usaha untuk menganalisis pandangan agamanya serta mengolahnya dalam perspektif yang lebih luas dan kritis, sehingga pandangan hidupnya menjadi lebih otonom. Mungkin pula ia berkesempatan berdialog dan adu argumentasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan hidup yang berbeda. Pengalaman baru ini dapat menimbulkan konflik batin, kebimbangan dan penderitaann. Proses penyelesaian konflik batin itu menimbulkan terjadinya rekonstuksi, restrukturalisasi dan reorganisasi konsep lama dari keimanannya.
Dengan berkembangnya kemampuan berfikir secara abstrak, si remaja mampu pula menerima dan memahami ajran agama yang berhubungan dengan masalah gaib, abstrk dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan, sorga, neraka, bidadari, malaikat, jin, syetan dan sebagainya. Penggambaran anthropomorphic atau memanusiakan Tuhan dan sifat-sifatNya, lambat laun diganti dengan pemikiran yang lebih sesuai dengan realitas. Perubahan pemahaman itu melalui pemikiran yang lebih kritis. Pengertian tentang sifat-sifat Tuhan seperti Maha Adil, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya ; yang tadinya oleh remaja disejajarkan dengan sifat-sifat manusia berubah menjadi lebih abstrak dan lebih mendalam. Maha Adilnya Tuhan tidak dapat diukur, dinilai atau dibandingkan dengan sifat adilnya manusia ditambah kata “Maha”. Kasih sayang Tuhan adalah kasih sayang yang jauh lebih mendasar dan lebih luas daripada kasih sayang orang tua.
Pikiran. Perasaan, kemauan, dan daya upaya manusia sangat terbatas sedangkan Tuhan tidak. Kita sama sekali tidak dapat membayangkan sesuatu diluar waktu dan ruang, sedangkan Tuhan justru tidak dikenai dimensi ruang dan waktu.
BAB III
KESIMPULAN
Pengertian kesadaran beragama dalam tulisan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam system mental dari kepribadian.
Kematangan kepribadian yang dilandasi oleh kehidupan agama akan menunjukan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Pada waktu lahir, anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan berTuhan.
Penanaman kesadaran beragama kepada si anak yang berhubungan pengalaman ke-Tuhanan hendaknya menekankan pada pemuasan kebutuhan efektif.
Dalam rasa kesendiriannya, si remaja memerlukan kawan setia atau pribadi yang mampu menampung keluhan-keluhannya, melindungi, membimbing, mendorong dan memberi petunjuk jalan yang dapat mengenbangkan kepribadiannya. Pribadi yang demikian sempurna itu sukar ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan berkembangnya kemampuan berfikir secara abstrak, si remaja mampu pula menerima dan memahami ajran agama yang berhubungan dengan masalah gaib, abstrk dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan, sorga, neraka, bidadari, malaikat, jin, syetan dan sebagainya.
Khawarij
BAB I
PENDAHULUAN
Khawarij, tahukah Anda apa pemahaman Khawarij itu? Pemahaman Khawarij adalah pemahaman yang sesat! Pemahamannya telah memakan banyak korban. Yang menjadi korbannya adalah orang-orang jahil, tidak berilmu, dan berlagak punya ilmu atau berilmu tapi masih sedikit pemahamnya tentang Din ini.
Para pemuda banyak menjadi korban. Dengan hanya bermodal semangat semu mereka mengkafirkan kaum Muslimin. Mereka kafirkan ayah, ibu, dan saudara-saudara mereka yang tidak sealiran atau tidak sepengajian dengan mereka. Sebaliknya, mereka
BAB II
K H A W A R I J
Imam Al Barbahari berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawarij. Dan berarti dia telah memecah kesatuan kaum Muslimin dan menentang sunnah. Dan matinya seperti mati jahiliyah.”
Asy Syahrastani berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam yang disepakati kaum Muslimin disebut Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa shahabat kepada imam yang rasyidin atau setelah mereka di masa para tabi’in dan para imam di setiap jaman.”
Khawarij adalah juga orang-orang yang mengkafirkan kaum Muslimin hanya karena mereka melakukan dosa-dosa, sebagaimana yang akan kita paparkan nanti.
A. Khawarij dan Asal-Muasalnya
Imam Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya, Talbis Iblis : [ Khawarij yang pertama dan yang paling jelek adalah Dzul Khuwaishirah. Abu Sa'id berkata : Ali pernah mengirim dari Yaman kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sepotong emas dalam kantung kulit yang telah disamak dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi membagikannya kepada empat orang : Zaid Al Kahil, Al Aqra' bin Habis, 'Uyainah bin Hishn, dan Alqamah Watshah atau 'Amir bin Ath Thufail. Maka sebagian para shahabatnya, kaum Anshar, serta selain mereka merasa kurang senang. Maka Nabi berkata :
"Apakah kalian tidak percaya kepadaku padahal wahyu turun kepadaku dari langit di waktu pagi dan sore?!"
Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol dahinya, lebat jenggotnya, tergulung sarungnya, dan botak kepalanya. Orang itu berkata : "Takutlah kepada Allah, wahai Rasulullah!" Maka Nabi mengangkat kepalanya dan melihat orang itu kemudian berkata : "Celaka engkau, bukankah aku manusia yang paling takut kepada Allah?" Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid berkata : "Wahai Rasulullah, bolehkah aku penggal lehernya?" Nabi berkata : "Mungkin dia masih shalat." Khalid berkata : "Berapa banyak orang yang shalat dan berucap dengan lisannya (syahadat) ternyata bertentangan dengan isi hatinya?" Nabi berkata : "Aku tidak disuruh untuk meneliti isi hati manusia dan membelah dada mereka."
Kemudian Nabi melihat kepada orang itu dalam keadaan berdiri karena takut sambil berkata :
"Sesungguhnya akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca Al Qur'an yang tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari buruannya." (HR. Bukhari nomor 4351 dan Muslim nomor 1064) ]
Dalam riwayat lain bahwa orang ini berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berbuat adillah!” Maka Nabi berkata : “Celaka engkau, siapa lagi yang dapat berbuat adil kalau aku tidak adil?!” (HR. Bukhari nomor 3610 dan Muslim nomor 1064)
Imam Ibnul Jauzi berkata : [ Orang itu dikenal dengan nama Dzul Khuwaishirah At Tamimi. Dia adalah yang Khawarij yang pertama dalam Islam. Penyebab kebinasaannya adalah karena dia merasa puas dengan pendapatnya sendiri. Kalau dia berilmu, tentu ia akan tahu bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
B. Mengapa Disebut Khawarij
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) :jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah
“Akan keluar dari diri orang ini…” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145) Al-Hafid’ Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t berkata: “Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.” (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296)
Mereka juga biasa disebut dengan Al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Iraq dekat kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para shahabat ). (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145) Disebut pula dengan Al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq-nya (keluarnya) mereka dari din (agama). Disebut pula dengan Al-Muhakkimah, karena mereka selalu mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali ), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannyauntuk Allah kebatilan. Disebut pula dengan An-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib ‘. (Firaq Mu’ashirah, 1/68-69, Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji, secara ringkas)
C. Tanda-Tanda Khawarij
C.1. Jahil Terhadap Fiqih dan Syari’at Islam
Ini tampak dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Mereka membaca Al Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka.” (HR. Bukhari nomor 3610 dan Muslim nomor 4351)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka banyak membaca Al Qur’an tetapi beliau sendiri mencela mereka, mengapa demikian? Karena mereka tidak paham tentang Al Qur’an. Mereka mencoba memahami sendiri Al Qur’an dengan akal-akal mereka. Mereka enggan belajar kepada para shahabat. Maka dari itu Ibnu Abbas berkata : “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Nabi. Al Qur’an turun kepada mereka. Dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya dari kalian.” Dan : “Al Qur’an turun kepada mereka, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian, sedangkan mereka adalah orang yang paling tahu tentang tafsirnya.”
Maka hendaknya seseorang itu merasa takut kepada Allah kalau dia menafsirkan ayat seenak perutnya tanpa di dasari keterangan dari para ulama Ahli Tafsir yang berpemahaman Salaf.
Dan penangkal penyakit ini adalah dengan belajar. Bukan dengan berlagak pintar. Maka belajarlah, karena para Shalafush Shalih adalah orang-orang yang rajin belajar. Alangkah celakanya orang yang baru belajar beberapa saat kemudian menyatakan dirinya sebagai ulama, ahli hadits, faqih, mujtahid, … dan seterusnya.
C.2. Mereka Adalah Orang-Orang Yang Melampaui Batas Dalam Beribadah
Ini tampak dari keterangan Ibnu Abbas tentang mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang hitam jidatnya, pucat wajahnya karena seringnya begadang di waktu malam, … dan seterusnya.
Dan juga diterangkan oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Akan datang suatu kaum pada kalian yang kalian akan merendah bila shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dibandingkan dengan puasa mereka, amal-amal kalian dibanding dengan amal-amal mereka. Mereka membaca Al Qur’an (tapi) tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama ini seperti lepasnya anak panah dari buruan.” (HR. Bukhari nomor 5058 dan Muslim nomor 147/1064)
Mereka melampaui batas dalam beribadah hingga terjerumus ke dalam bid’ah. Mereka tidak tahu bahwa : “Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.”
“Ini adalah ucapan emas. Telah shahih dari beberapa shahabat di antaranya : Abu Darda’ dan Ibnu Mas’ud.
Ubay bin Ka’ab berkata : ‘Sesungguhnya sederhana di jalan ini dan (di atas) sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh tapi menentang jalan ini dan sunnah. Maka lihatlah amalan kalian jika dalam keadaan bersungguh-sungguh atau sederhana hendaknya di atas manhaj (cara pemahaman dan pengamalan) para Nabi dan sunnah mereka.’
Ini adalah ucapan yang memberikan keagungan bagi seorang Muslim yang ittiba’ (mengikuti) secara benar dalam amalan-amalan dan ucapan-ucapannya sehari-hari.
Ucapan ini diambil dari beberapa hadits di antaranya :
‘Janganlah kalian melampaui batas dalam agama ini.’
‘Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinyu (terus-menerus) walau sedikit’.” (HR. Bukhari 1/109 dan Muslim nomor 782) [Ilmu Ushulil Bida', Syaikh Ali Hasan halaman 55-56]
Seorang Alim Ahli Al Qur’an, Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata dalam Adlwa’ul Bayan 1/494 : “Para ulama telah menyatakan bahwa kebenaran itu berada di antara sikap melampaui batas dan sikap meremehkan. Dan itu adalah makna ucapan Mutharrif bin Abdullah :
‘Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah. Kebaikan itu terletak antara dua kejelekan.’
C.3. Menghalalkan Darah Kaum Muslimin dan Menuduh Mereka Sebagai Orang Yang Telah Kafir
Sifat ini sudah melekat kental pada mereka. Tapi yang mengherankan, mereka malah bersikap adil terhadap orang-orang kafir. Imam Ibnul Jauzi berkata di perjalanan, orang-orang Khawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabbab maka mereka berkata : “Apakah engkau pernah mendengar dari ayahmu sebuah hadits yang dia dengar dari Rasulullah?” Dia menjawab : “Ya, aku mendengar ayahku berkata : ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbicara tentang firnah. Yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Dan yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Maka jika engkau mendapati masa seperti itu, jadilah engkau seorang hamba Allah yang terbunuh’.” (HR. Ahmad 5/110, Ath Thabrani nomor 3630, dan hadits ini memiliki beberapa syawahid) Mereka berkata : “Apakah engkau mendengar ini dari ayahmu yang dia sampaikan dari Rasulullah?” Dia menjawab : “Ya.” Maka mereka membawanya ke tepi sungai kemudian mereka penggal lehernya. Maka muncratlah darahnya seakan-akan dua tali sandal. Kemudian mereka membelah perut budak wanitanya yang sedang hamil.
Dan ketika mereka melewati sebuah kebun kurma di Nahrawan, jatuhlah sebuah. Maka salah seorang mereka mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka temannya berkata : “Engkau telah mengambilnya dengan cara yang tidak benar dan tanpa membayar.” Kemudian dia memuntahkannya. Dan salah seorang mereka ada yang menghunuskan pedangnya dan mengibaskannya, kemudian lewatlah seekor babi milik ahli dzimmah (kafir yang membayar jizyah) dan dia membunuhnya. Mereka berkata : “Ini adalah perbuatan merusak di muka bumi.” Kemudian dia menemui pemiliknya dan membayar harga babi itu. (Talbis Iblis halaman 120-121)
C.4. Pelaku Dosa Besar Tidak Menjadi Kafir
Ini adalah i’tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan Khawarij dalam hal ini menyelisihi Ahlus Sunnah. Mereka menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, minum khamr, dan sejenisnya telah kafir. Ini bertentangan dengan ayat :
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan Allah. Dan Dia mengampuni yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An Nisa’ : 48)
“Dan Allah mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuni dosa itu (syirik) bagi orang yang belum bertaubat darinya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Shalih Fauzan halaman 9)
“Dalam ayat ini ada bantahan kepada orang-orang Khawarij yang menganggap kafir karena melakukan dosa-dosa. Dan juga bantahan bagi Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar itu kekal di dalam neraka. Dan mereka (para pelaku dosa besar) menurut mereka (Mu’tazilah) bukan Mukmin dan bukan kafir.” (Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman halaman 78)
C.5. Mereka Adalah Orang Yang Muda dan Buruk Pemahamannya
Ini diambil dari hadits :
“Akan keluar di akhir jaman suatu kaum yang muda-muda umurnya. Pendek akalnya. Mereka mengatakan ucapan sebaik-baik manusia. Mereka membaca Al Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari buruannya.” (HR. Bukhari nomor 3611 dan Muslim nomor 1066)
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : “Ahdatsu Asnan artinya bahwa mereka itu para pemuda. Dan Sufaha’ul Ahlam artinya akal mereka jelek.” Imam An Nawawi berkata : “Kemantapan dan bashirah yang kuat akan muncul ketika usia mencapai kesempurnaan.” (Fathul Bari 12/287)
Dibunuhnya Ibnu Muljam (Tokoh Khawarij Yang Membunuh Ali)
Imam Ibnul Jauzi berkata : “Ketika Ali telah wafat dikeluarkanlah Ibnu Muljam untuk dibunuh. Maka Abdullah bin Ja’far memotong kedua tangannya dan kakinya, tapi dia tidak berteriak dan tidak berbicara, kemudian matanya dipaku dengan paku panas, dia juga tetap tidak berteriak bahkan dia membaca surat Al ‘Alaq sampai habis dalam keadaan darah mengalir dari dua matanya. Dan ketika lidahnya akan dipotong barulah dia berteriak, maka ditanyakan kepadanya : ‘Mengapa engkau berteriak?’ Dia berkata : ‘Aku tidak suka kalau aku mati di dunia dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah.’ Dan dia adalah orang yang keningnya berwarna kecoklatan karena bekas sujud. Semoga Allah melaknatnya.” (Talbis Iblis halaman 122)
Beliau berkata lagi : “Mereka memiliki kisah-kisah yang panjang dan madzhab-madzhab yang aneh. Aku tidak ingin memperpanjangnya karena yang dimaukan di sini adalah untuk melihat bagaimana iblis menipu orang-orang yang dungu itu. Yang mereka beramal dengan keadaan mereka dan mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pihak yang salah dan orang-orang yang bersama dengannya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Dan hanya mereka saja yang berada di atas kebenaran.
Mereka menghalalkan darah anak-anak tetapi menganggap tidak boleh memakan buah tanpa membayar harganya. Mereka bersusah-susah dalam ibadah dan begadang. Ibnu Muljam berteriak ketika akan dipotong lidahnya karena takut tidak berdzikir. Mereka menganggap halal untuk memerangi Ali.
Kemudian mereka menghunuskan pedang-pedang mereka kepada kaum Muslimin. Dan tidak ada yang mengherankan dari merasa cukupnya mereka dengan ilmu mereka dan meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali.
Dzul Khuwaishirah telah berkata kepada Nabi : ‘Berbuat adillah, karena engkau tidak adil.’ Dan iblislah yang menunjuki mereka kepada kehinaan ini. Kita berlindung kepada Allah dari ketergelinciran.” (Talbis Iblis halaman 123)
D. Firqah-Firqah Khawarij
Imam Ibnul Jauzi berkata : Haruriyah (nama lain dari Khawarij, pent.) terbagi menjadi dua belas kelompok.
Pertama, Al Azraqiyah, mereka berkata : “Kami tidak tahu seorang pun yang Mukmin.” Dan mereka mengkafirkan kaum Muslimin (Ahli Qiblat) kecuali orang yang sepaham dengan mereka.
Kedua, Ibadhiyah, mereka berkata : “Siapa yang menerima pendapat kita adalah orang yang Mukmin dan siapa yang berpaling adalah orang munafik.”
Ketiga, Ats Tsa’labiyah, mereka berkata : “Sesungguhnya Allah tidak ada menetapkan Qadha dan Qadar.”
Keempat, Al Hazimiyah, mereka berkata : “Kami tidak tahu apa iman itu. Dan semua makhluk akan diberi udzur.“
Kelima, Khalafiyah, mereka berkata : “Pria atau wanita yang meninggalkan jihad berarti telah kafir.”
Keenam, Al Mujarramiyah, mereka berpendapat : “Seseorang tidak boleh menyentuh orang lain, karena dia tidak tahu yang suci dengan yang najis. Dan janganlah dia makan bersama orang itu hingga orang itu bertaubat dan mandi.”
Ketujuh, Al Kanziyah, mereka berpendapat : “Tidak pantas bagi seseorang untuk memberikan hartanya kepada orang lain karena mungkin dia bukan orang yang berhak menerimanya. Dan hendaklah dia menyimpan harta itu hingga muncul para pengikut kebenaran.”
Kedelapan, Asy Syimrakhiyah, mereka berpendapat : “Tidak mengapa menyentuh wanita ajnabi (yang bukan mahram) karena mereka adalah rahmat.”
Kesembilan, Al Akhnashiyah, mereka berpendapat : “Orang yang mati tidak akan mendapat kebaikan dan kejelekan setelah matinya.”
Kesepuluh, Al Muhakkimiyah, mereka berkata : “Siapa yang berhukum kepada makhluk adalah kafir.”
Kesebelas, Mu’tazilah dari kalangan Khawarij, mereka berkata : “Samar bagi kami masalah Ali dan Mu’awiyah maka kami berlepas diri dari dua kelompok itu.”
Kedua belas, Al Maimuniyah, mereka berpendapat : “Tidak ada iman, kecuali dengan restu orang-orang yang kami cintai.” (Talbis Iblis halaman 32-33)
Harakah-harakah Islam dewasa ini juga banyak terkena fikrah (pemikiran) seperti ini. Mereka menganggap kaum Muslimin yang tidak sepaham dengan mereka sebagai orang-orang yang telah murtad dari agama Allah. Dan yang parahnya juga mereka membolehkan untuk mencuri barang milik selain kelompok mereka dengan alasan “ini harta orang kafir (fa’i).”
Maka hendaknya seseorang itu melihat kembali dan mengoreksi langkah dakwah yang dia tempuh selama ini. Dan hendaknya dia kembali kepada manhaj Salaf dalam Aqidah dan Manhaj. Dan itu akan didapat dengan belajar serta memohon bimbingan dari Allah. Atau kalau tidak, dia akan menjadi seperti yang dikatakan oleh Allah :
Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi : 103-104)
Dan amalannya hanya akan menjadi amalan yang meletihkan saja, sebagaimana firman Allah :
“Amalan yang meletihkan.” (QS. Al Ghasyiyah : 3)
Maka hendaknya seseorang itu berhati-hati dalam bekerja. Hendaknya dia sadar kalau amalannya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna. Dan jadilah dia orang yang merugi di akhirat. Mari kita ajak mereka dengan tegas : “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para Salaf umat ini.”
E. Bolehkah Seseorang Memerangi Khawarij
Imam Al Barbahari berkata : “Dihalalkan memerangi Khawarij bila mereka menyerang kaum Muslimin, membunuh mereka, merampas harta, dan mengganggu keluarga mereka.” (Halaman 78)
BAB III
PENUTUP /NASEHAT & PERINGATAN
Sebagai penutup pembicaraan tentang Khawarij, Kami akan membawakan sebuah kisah tentang taubatnya seorang Khawarij. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i, setelah beliau membawakan sanadnya, beliau berkata : Muhammad bin Ya’qub Al Asham berkata : “Pernah ada dua orang Khawarij thawaf di Baitullah maka salah seorang berkata kepada temannya : ‘Tidak ada yang masuk Surga dari semua yang ada ini kecuali hanya aku dan engkau saja.‘ Maka temannya berkata : ‘Apakah Surga yang diciptakan Allah seluas langit dan bumi hanya akan ditempati oleh aku dan engkau?‘ Temannya berkata : ‘Betul.’ Maka temannya tadi berkata : ‘Kalau begitu, ambillah Surga itu untukmu.’ Maka orang itu pun meninggalkan paham Khawarijnya.”
Mad’hab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak aqidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fau’an Al-Fau’an hafi’hahullah menasehatkan: “Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati mad’hab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka.”
DAFTAR PUSTAKA
http://asysyariah.com/index.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Sejarah_Islam
http://khairuddinhsb.blogspot.com
http://salafiindo.wordpress.com/
http://tauhidku.wordpress.com/tag/firqah-firqah/
PENDAHULUAN
Khawarij, tahukah Anda apa pemahaman Khawarij itu? Pemahaman Khawarij adalah pemahaman yang sesat! Pemahamannya telah memakan banyak korban. Yang menjadi korbannya adalah orang-orang jahil, tidak berilmu, dan berlagak punya ilmu atau berilmu tapi masih sedikit pemahamnya tentang Din ini.
Para pemuda banyak menjadi korban. Dengan hanya bermodal semangat semu mereka mengkafirkan kaum Muslimin. Mereka kafirkan ayah, ibu, dan saudara-saudara mereka yang tidak sealiran atau tidak sepengajian dengan mereka. Sebaliknya, mereka
BAB II
K H A W A R I J
Imam Al Barbahari berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawarij. Dan berarti dia telah memecah kesatuan kaum Muslimin dan menentang sunnah. Dan matinya seperti mati jahiliyah.”
Asy Syahrastani berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam yang disepakati kaum Muslimin disebut Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa shahabat kepada imam yang rasyidin atau setelah mereka di masa para tabi’in dan para imam di setiap jaman.”
Khawarij adalah juga orang-orang yang mengkafirkan kaum Muslimin hanya karena mereka melakukan dosa-dosa, sebagaimana yang akan kita paparkan nanti.
A. Khawarij dan Asal-Muasalnya
Imam Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya, Talbis Iblis : [ Khawarij yang pertama dan yang paling jelek adalah Dzul Khuwaishirah. Abu Sa'id berkata : Ali pernah mengirim dari Yaman kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sepotong emas dalam kantung kulit yang telah disamak dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi membagikannya kepada empat orang : Zaid Al Kahil, Al Aqra' bin Habis, 'Uyainah bin Hishn, dan Alqamah Watshah atau 'Amir bin Ath Thufail. Maka sebagian para shahabatnya, kaum Anshar, serta selain mereka merasa kurang senang. Maka Nabi berkata :
"Apakah kalian tidak percaya kepadaku padahal wahyu turun kepadaku dari langit di waktu pagi dan sore?!"
Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol dahinya, lebat jenggotnya, tergulung sarungnya, dan botak kepalanya. Orang itu berkata : "Takutlah kepada Allah, wahai Rasulullah!" Maka Nabi mengangkat kepalanya dan melihat orang itu kemudian berkata : "Celaka engkau, bukankah aku manusia yang paling takut kepada Allah?" Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid berkata : "Wahai Rasulullah, bolehkah aku penggal lehernya?" Nabi berkata : "Mungkin dia masih shalat." Khalid berkata : "Berapa banyak orang yang shalat dan berucap dengan lisannya (syahadat) ternyata bertentangan dengan isi hatinya?" Nabi berkata : "Aku tidak disuruh untuk meneliti isi hati manusia dan membelah dada mereka."
Kemudian Nabi melihat kepada orang itu dalam keadaan berdiri karena takut sambil berkata :
"Sesungguhnya akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca Al Qur'an yang tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari buruannya." (HR. Bukhari nomor 4351 dan Muslim nomor 1064) ]
Dalam riwayat lain bahwa orang ini berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berbuat adillah!” Maka Nabi berkata : “Celaka engkau, siapa lagi yang dapat berbuat adil kalau aku tidak adil?!” (HR. Bukhari nomor 3610 dan Muslim nomor 1064)
Imam Ibnul Jauzi berkata : [ Orang itu dikenal dengan nama Dzul Khuwaishirah At Tamimi. Dia adalah yang Khawarij yang pertama dalam Islam. Penyebab kebinasaannya adalah karena dia merasa puas dengan pendapatnya sendiri. Kalau dia berilmu, tentu ia akan tahu bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
B. Mengapa Disebut Khawarij
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) :jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah
“Akan keluar dari diri orang ini…” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145) Al-Hafid’ Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t berkata: “Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.” (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296)
Mereka juga biasa disebut dengan Al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Iraq dekat kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para shahabat ). (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145) Disebut pula dengan Al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq-nya (keluarnya) mereka dari din (agama). Disebut pula dengan Al-Muhakkimah, karena mereka selalu mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali ), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannyauntuk Allah kebatilan. Disebut pula dengan An-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib ‘. (Firaq Mu’ashirah, 1/68-69, Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji, secara ringkas)
C. Tanda-Tanda Khawarij
C.1. Jahil Terhadap Fiqih dan Syari’at Islam
Ini tampak dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Mereka membaca Al Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka.” (HR. Bukhari nomor 3610 dan Muslim nomor 4351)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka banyak membaca Al Qur’an tetapi beliau sendiri mencela mereka, mengapa demikian? Karena mereka tidak paham tentang Al Qur’an. Mereka mencoba memahami sendiri Al Qur’an dengan akal-akal mereka. Mereka enggan belajar kepada para shahabat. Maka dari itu Ibnu Abbas berkata : “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Nabi. Al Qur’an turun kepada mereka. Dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya dari kalian.” Dan : “Al Qur’an turun kepada mereka, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian, sedangkan mereka adalah orang yang paling tahu tentang tafsirnya.”
Maka hendaknya seseorang itu merasa takut kepada Allah kalau dia menafsirkan ayat seenak perutnya tanpa di dasari keterangan dari para ulama Ahli Tafsir yang berpemahaman Salaf.
Dan penangkal penyakit ini adalah dengan belajar. Bukan dengan berlagak pintar. Maka belajarlah, karena para Shalafush Shalih adalah orang-orang yang rajin belajar. Alangkah celakanya orang yang baru belajar beberapa saat kemudian menyatakan dirinya sebagai ulama, ahli hadits, faqih, mujtahid, … dan seterusnya.
C.2. Mereka Adalah Orang-Orang Yang Melampaui Batas Dalam Beribadah
Ini tampak dari keterangan Ibnu Abbas tentang mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang hitam jidatnya, pucat wajahnya karena seringnya begadang di waktu malam, … dan seterusnya.
Dan juga diterangkan oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Akan datang suatu kaum pada kalian yang kalian akan merendah bila shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dibandingkan dengan puasa mereka, amal-amal kalian dibanding dengan amal-amal mereka. Mereka membaca Al Qur’an (tapi) tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama ini seperti lepasnya anak panah dari buruan.” (HR. Bukhari nomor 5058 dan Muslim nomor 147/1064)
Mereka melampaui batas dalam beribadah hingga terjerumus ke dalam bid’ah. Mereka tidak tahu bahwa : “Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.”
“Ini adalah ucapan emas. Telah shahih dari beberapa shahabat di antaranya : Abu Darda’ dan Ibnu Mas’ud.
Ubay bin Ka’ab berkata : ‘Sesungguhnya sederhana di jalan ini dan (di atas) sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh tapi menentang jalan ini dan sunnah. Maka lihatlah amalan kalian jika dalam keadaan bersungguh-sungguh atau sederhana hendaknya di atas manhaj (cara pemahaman dan pengamalan) para Nabi dan sunnah mereka.’
Ini adalah ucapan yang memberikan keagungan bagi seorang Muslim yang ittiba’ (mengikuti) secara benar dalam amalan-amalan dan ucapan-ucapannya sehari-hari.
Ucapan ini diambil dari beberapa hadits di antaranya :
‘Janganlah kalian melampaui batas dalam agama ini.’
‘Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinyu (terus-menerus) walau sedikit’.” (HR. Bukhari 1/109 dan Muslim nomor 782) [Ilmu Ushulil Bida', Syaikh Ali Hasan halaman 55-56]
Seorang Alim Ahli Al Qur’an, Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata dalam Adlwa’ul Bayan 1/494 : “Para ulama telah menyatakan bahwa kebenaran itu berada di antara sikap melampaui batas dan sikap meremehkan. Dan itu adalah makna ucapan Mutharrif bin Abdullah :
‘Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah. Kebaikan itu terletak antara dua kejelekan.’
C.3. Menghalalkan Darah Kaum Muslimin dan Menuduh Mereka Sebagai Orang Yang Telah Kafir
Sifat ini sudah melekat kental pada mereka. Tapi yang mengherankan, mereka malah bersikap adil terhadap orang-orang kafir. Imam Ibnul Jauzi berkata di perjalanan, orang-orang Khawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabbab maka mereka berkata : “Apakah engkau pernah mendengar dari ayahmu sebuah hadits yang dia dengar dari Rasulullah?” Dia menjawab : “Ya, aku mendengar ayahku berkata : ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbicara tentang firnah. Yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Dan yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Maka jika engkau mendapati masa seperti itu, jadilah engkau seorang hamba Allah yang terbunuh’.” (HR. Ahmad 5/110, Ath Thabrani nomor 3630, dan hadits ini memiliki beberapa syawahid) Mereka berkata : “Apakah engkau mendengar ini dari ayahmu yang dia sampaikan dari Rasulullah?” Dia menjawab : “Ya.” Maka mereka membawanya ke tepi sungai kemudian mereka penggal lehernya. Maka muncratlah darahnya seakan-akan dua tali sandal. Kemudian mereka membelah perut budak wanitanya yang sedang hamil.
Dan ketika mereka melewati sebuah kebun kurma di Nahrawan, jatuhlah sebuah. Maka salah seorang mereka mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka temannya berkata : “Engkau telah mengambilnya dengan cara yang tidak benar dan tanpa membayar.” Kemudian dia memuntahkannya. Dan salah seorang mereka ada yang menghunuskan pedangnya dan mengibaskannya, kemudian lewatlah seekor babi milik ahli dzimmah (kafir yang membayar jizyah) dan dia membunuhnya. Mereka berkata : “Ini adalah perbuatan merusak di muka bumi.” Kemudian dia menemui pemiliknya dan membayar harga babi itu. (Talbis Iblis halaman 120-121)
C.4. Pelaku Dosa Besar Tidak Menjadi Kafir
Ini adalah i’tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan Khawarij dalam hal ini menyelisihi Ahlus Sunnah. Mereka menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, minum khamr, dan sejenisnya telah kafir. Ini bertentangan dengan ayat :
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan Allah. Dan Dia mengampuni yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An Nisa’ : 48)
“Dan Allah mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuni dosa itu (syirik) bagi orang yang belum bertaubat darinya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Shalih Fauzan halaman 9)
“Dalam ayat ini ada bantahan kepada orang-orang Khawarij yang menganggap kafir karena melakukan dosa-dosa. Dan juga bantahan bagi Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar itu kekal di dalam neraka. Dan mereka (para pelaku dosa besar) menurut mereka (Mu’tazilah) bukan Mukmin dan bukan kafir.” (Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman halaman 78)
C.5. Mereka Adalah Orang Yang Muda dan Buruk Pemahamannya
Ini diambil dari hadits :
“Akan keluar di akhir jaman suatu kaum yang muda-muda umurnya. Pendek akalnya. Mereka mengatakan ucapan sebaik-baik manusia. Mereka membaca Al Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari buruannya.” (HR. Bukhari nomor 3611 dan Muslim nomor 1066)
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : “Ahdatsu Asnan artinya bahwa mereka itu para pemuda. Dan Sufaha’ul Ahlam artinya akal mereka jelek.” Imam An Nawawi berkata : “Kemantapan dan bashirah yang kuat akan muncul ketika usia mencapai kesempurnaan.” (Fathul Bari 12/287)
Dibunuhnya Ibnu Muljam (Tokoh Khawarij Yang Membunuh Ali)
Imam Ibnul Jauzi berkata : “Ketika Ali telah wafat dikeluarkanlah Ibnu Muljam untuk dibunuh. Maka Abdullah bin Ja’far memotong kedua tangannya dan kakinya, tapi dia tidak berteriak dan tidak berbicara, kemudian matanya dipaku dengan paku panas, dia juga tetap tidak berteriak bahkan dia membaca surat Al ‘Alaq sampai habis dalam keadaan darah mengalir dari dua matanya. Dan ketika lidahnya akan dipotong barulah dia berteriak, maka ditanyakan kepadanya : ‘Mengapa engkau berteriak?’ Dia berkata : ‘Aku tidak suka kalau aku mati di dunia dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah.’ Dan dia adalah orang yang keningnya berwarna kecoklatan karena bekas sujud. Semoga Allah melaknatnya.” (Talbis Iblis halaman 122)
Beliau berkata lagi : “Mereka memiliki kisah-kisah yang panjang dan madzhab-madzhab yang aneh. Aku tidak ingin memperpanjangnya karena yang dimaukan di sini adalah untuk melihat bagaimana iblis menipu orang-orang yang dungu itu. Yang mereka beramal dengan keadaan mereka dan mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pihak yang salah dan orang-orang yang bersama dengannya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Dan hanya mereka saja yang berada di atas kebenaran.
Mereka menghalalkan darah anak-anak tetapi menganggap tidak boleh memakan buah tanpa membayar harganya. Mereka bersusah-susah dalam ibadah dan begadang. Ibnu Muljam berteriak ketika akan dipotong lidahnya karena takut tidak berdzikir. Mereka menganggap halal untuk memerangi Ali.
Kemudian mereka menghunuskan pedang-pedang mereka kepada kaum Muslimin. Dan tidak ada yang mengherankan dari merasa cukupnya mereka dengan ilmu mereka dan meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali.
Dzul Khuwaishirah telah berkata kepada Nabi : ‘Berbuat adillah, karena engkau tidak adil.’ Dan iblislah yang menunjuki mereka kepada kehinaan ini. Kita berlindung kepada Allah dari ketergelinciran.” (Talbis Iblis halaman 123)
D. Firqah-Firqah Khawarij
Imam Ibnul Jauzi berkata : Haruriyah (nama lain dari Khawarij, pent.) terbagi menjadi dua belas kelompok.
Pertama, Al Azraqiyah, mereka berkata : “Kami tidak tahu seorang pun yang Mukmin.” Dan mereka mengkafirkan kaum Muslimin (Ahli Qiblat) kecuali orang yang sepaham dengan mereka.
Kedua, Ibadhiyah, mereka berkata : “Siapa yang menerima pendapat kita adalah orang yang Mukmin dan siapa yang berpaling adalah orang munafik.”
Ketiga, Ats Tsa’labiyah, mereka berkata : “Sesungguhnya Allah tidak ada menetapkan Qadha dan Qadar.”
Keempat, Al Hazimiyah, mereka berkata : “Kami tidak tahu apa iman itu. Dan semua makhluk akan diberi udzur.“
Kelima, Khalafiyah, mereka berkata : “Pria atau wanita yang meninggalkan jihad berarti telah kafir.”
Keenam, Al Mujarramiyah, mereka berpendapat : “Seseorang tidak boleh menyentuh orang lain, karena dia tidak tahu yang suci dengan yang najis. Dan janganlah dia makan bersama orang itu hingga orang itu bertaubat dan mandi.”
Ketujuh, Al Kanziyah, mereka berpendapat : “Tidak pantas bagi seseorang untuk memberikan hartanya kepada orang lain karena mungkin dia bukan orang yang berhak menerimanya. Dan hendaklah dia menyimpan harta itu hingga muncul para pengikut kebenaran.”
Kedelapan, Asy Syimrakhiyah, mereka berpendapat : “Tidak mengapa menyentuh wanita ajnabi (yang bukan mahram) karena mereka adalah rahmat.”
Kesembilan, Al Akhnashiyah, mereka berpendapat : “Orang yang mati tidak akan mendapat kebaikan dan kejelekan setelah matinya.”
Kesepuluh, Al Muhakkimiyah, mereka berkata : “Siapa yang berhukum kepada makhluk adalah kafir.”
Kesebelas, Mu’tazilah dari kalangan Khawarij, mereka berkata : “Samar bagi kami masalah Ali dan Mu’awiyah maka kami berlepas diri dari dua kelompok itu.”
Kedua belas, Al Maimuniyah, mereka berpendapat : “Tidak ada iman, kecuali dengan restu orang-orang yang kami cintai.” (Talbis Iblis halaman 32-33)
Harakah-harakah Islam dewasa ini juga banyak terkena fikrah (pemikiran) seperti ini. Mereka menganggap kaum Muslimin yang tidak sepaham dengan mereka sebagai orang-orang yang telah murtad dari agama Allah. Dan yang parahnya juga mereka membolehkan untuk mencuri barang milik selain kelompok mereka dengan alasan “ini harta orang kafir (fa’i).”
Maka hendaknya seseorang itu melihat kembali dan mengoreksi langkah dakwah yang dia tempuh selama ini. Dan hendaknya dia kembali kepada manhaj Salaf dalam Aqidah dan Manhaj. Dan itu akan didapat dengan belajar serta memohon bimbingan dari Allah. Atau kalau tidak, dia akan menjadi seperti yang dikatakan oleh Allah :
Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi : 103-104)
Dan amalannya hanya akan menjadi amalan yang meletihkan saja, sebagaimana firman Allah :
“Amalan yang meletihkan.” (QS. Al Ghasyiyah : 3)
Maka hendaknya seseorang itu berhati-hati dalam bekerja. Hendaknya dia sadar kalau amalannya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna. Dan jadilah dia orang yang merugi di akhirat. Mari kita ajak mereka dengan tegas : “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para Salaf umat ini.”
E. Bolehkah Seseorang Memerangi Khawarij
Imam Al Barbahari berkata : “Dihalalkan memerangi Khawarij bila mereka menyerang kaum Muslimin, membunuh mereka, merampas harta, dan mengganggu keluarga mereka.” (Halaman 78)
BAB III
PENUTUP /NASEHAT & PERINGATAN
Sebagai penutup pembicaraan tentang Khawarij, Kami akan membawakan sebuah kisah tentang taubatnya seorang Khawarij. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i, setelah beliau membawakan sanadnya, beliau berkata : Muhammad bin Ya’qub Al Asham berkata : “Pernah ada dua orang Khawarij thawaf di Baitullah maka salah seorang berkata kepada temannya : ‘Tidak ada yang masuk Surga dari semua yang ada ini kecuali hanya aku dan engkau saja.‘ Maka temannya berkata : ‘Apakah Surga yang diciptakan Allah seluas langit dan bumi hanya akan ditempati oleh aku dan engkau?‘ Temannya berkata : ‘Betul.’ Maka temannya tadi berkata : ‘Kalau begitu, ambillah Surga itu untukmu.’ Maka orang itu pun meninggalkan paham Khawarijnya.”
Mad’hab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak aqidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fau’an Al-Fau’an hafi’hahullah menasehatkan: “Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati mad’hab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka.”
DAFTAR PUSTAKA
http://asysyariah.com/index.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Sejarah_Islam
http://khairuddinhsb.blogspot.com
http://salafiindo.wordpress.com/
http://tauhidku.wordpress.com/tag/firqah-firqah/
Langganan:
Postingan (Atom)