Segala puji hanya bagi Allah, Rabb pemelihara alam semesta, yang mengutus nabi-Nya dengan agama yang Haq, yang akan dimenangkan dari agama seluruhnya. Dialah Allah yang mengutus manusia yang paling sempurna kepribadiannya, yang paling mulia suluk (akhlak)nya, dan manusia yang terbaik dibandingkan lainnya. Dialah Muhammad bin Abdullah ‘alaihi sholaatu wa salaam, yang diutus oleh Rabbul ‘alamin sebagai rahmatan lil ‘alamin, yang menunjukkan manusia kepada jalan yang diridhai Allah, yang mengajak manusia kepada kebahagiaan abadi, menyeru manusia kepada penghambaan hanya semata-mata kepada Allah. Maka berbahagialah siapa saja yang mentaatinya, membenarkan apa-apa yang diberitakan olehnya, menjauhi apa-apa yang dilarangnya, dan beribadah kepada Allah dengan apa-apa yang dituntunkannya. Sebaliknya, sungguh celaka dan binasa orang-orang yang memaksiatinya, mengingkari berita-beritanya baik sebagian maupun seluruhnya dan mengadakan bid’ah di dalam agama ini.
Sungguh, merupakan suatu malapetaka, tatkala muncul manusia yang memilah-milah khabar (berita) yang telah jelas ma’tsur (sampai) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan metode yang tak dikenal oleh para salaf terdahulu. Ya, mereka dengan mengatasnamakan islam, menolak khobar-khobar yang disampaikan rasulullah jika khobar itu ahad sebagai landasan dalam masalah i’tiqodiyyah (keimanan). Mereka menolaknya dengan tanpa dasar ilmu dan tanpa dasar argumentasi yang terang dan nyata dari kitabain (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Mereka menolaknya karena berpijak dari akal mereka yang terbatas dan dari filosofi filsafat yang tak pernah dikenal oleh islam. Berikut ini akan kami sampaikan penjelasannya dan bantahannya, semoga bermanfaat.
TA’RIF HADITS AHAD
Hadits ahad adalah hadits yang derajatnya tak mencapai derajat Mutawattir, sedangkan hadits mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah (kumpulan banyak) shahabat sehingga dinyatakan menurut ‘adat tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta ataupun melakukan kesalahan. Hadits mutawattir jumlahnya amat sangat sedikit dibandingkan dengan hadits ahad. Hadits ahad sendiri dibagi menjadi hadits gharib jika diriwayatkan oleh seorang saja pada tiap tingkatannya, hadits aziz jika diriwayatkan oleh dua orang pada tiap tingkatannya, dan hadits masyhur jika diriwayatkan oleh lebih dari 2 orang pada tiap jenjangnya namun tak mencapai derajat mutawattir.
Menurut muhadditsin hadits ahad itu yufiidud dhon (membuahkan dhon/dugaan), berbeda dengan hadits mutawattir yang yufiidul yaqiin (membuahkan keyakinan) sehingga hadits mutawattir pasti shohih, dan menolaknya adalah kekufuran yang nyata. Sebagian kelompok islam yang mengusung pemahaman aqlaniyy (pengagug akal) dan mu’taziliy, menolak hadits ahad dalam masalah aqo’id (keyakinan) karena sifatnya yang dhon itu. Menurut falasafah mereka aqidah itu harus memiliki 2 syarat, yaitu :
1. Qoth’i ats-Tsubut (pasti periwayatannya)
2. Qoth’i ad-Dilaalah (pasti penunjukannya)
Pemahaman ini diusung oleh Taqiyyudiin Nabhani dalam kitabnya Syakhisyah Islamiyyah jilid III, dan menjadi mabda’ resmi Hizbut Tahrir. Beberapa ulama’ yang mutaaham (tertuduh) aqlaniy juga menggunakan pendapat ini seperti Sayyid Qutb, Muhammad Al-Ghozaly, dan semisalnya. Namun telah banyak para ulama’ sunnah membantahnya. Dengan falsafah ini, mereka menetapkan bahwa hadits ahad itu dhonni ats-Tsubut (meragukan peiwayatannya) sehingga laa yufiidul yaqin (tidak membuahkan keyakinan), jadi mana mungkin suatu hal yang tak membuahkan keyakinan akan berfaidah dalam menetapkan aqidah yang harus ditetapkan dengan keyakinan. Mereka juga menolak ayat-ayat shifat Allah di dalam al-Qur’an dikarenakan dhonni ad-Dilaalah (meragukan penunjukannya sehingga bisa menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam). Lantas jika demikian falsafah mereka, betapa banyak ayat dan dalil yang harus dipinggirkan dikarenakan tidak sesuai dengan falsafah tersebut, padahal qoidah islamiyyah yang ma’lum, dalah al-Qur’an dan as-Sunnah harus didahulukan daripada lainnya, lantas apakah layak kita mendahulukan qiyas, falsafah, dan lain sebagainya yang bersumber dari akal kita yang serba terbatas ini ketimbang al-Qur’an dan as-Sunnah?
Berikut ini adalah bantahannya :
Pertama, hadits ahad pada awalnya adalah bersifat dhonn (tidak pasti), hal ini sebagaimana dalam QS Al-Hujuraat ayat 6 berfirman Allah Subhahanhu wa Ta'ala : “Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka tabayyunlah (periksalah dengan teliti).” Dari ayat ini Allah memerintahkan kepada mu’min untuk bertabayyun terhadap orang fasiq apabila menyampaikan berita, berarti mafhum mukhalafahnya (pemahaman berkebalikan dengan dhahir lafadh) apabila sang pembawa berita tersebut adalah ‘adil maka hujjah akan tegak besertanya. Dari sini para ulama’ mewajibkan untuk memeriksa khobar ahad dari segi riwayatnya, yakni memeriksa para perawinya, maka dari sini pula muncul ilmu riwaayatul hadiits, ilmu jarh wa ta’dil, ilmu riaalul hadits, dan lain sebagainya. Dengan perangkat ilmu alat inilah para muhaddits mampu memilah mana hadits maqbul (hadits yang wajib diterima) dan hadits mardud (hadits yang harus ditolak). Maka, jika telah tsabat (tetap) suatu khobar itu shohih dengan ketsiqahan, kedhabitan dan ke’adilan perawinya, maka wajib diterima dan dibenarkan, serta haram untuk ditolak, demikian sebaliknya, jika telah nyata bahwa hadits tersebut adalah dhaif bahkan maudhu’, bukan dari Rasulullah maka wajib ditolak. Dari sini jumhur muhadditsin menyatakan bahwa hadits ahad itu yufiidul ‘ilmal yaqin (membuahkan ilmu yakin/pasti).
Lantas, atas dasar apakah mereka menolak hadits ahad sebagai landasan aqidah jika ‘ilat (penyakit) pada hadits tersebut telah dihilangkan dengan tabayyun ilmiyyah metode muhadidtsin? Maka jikalau mereka tetap menolak hadits ahad dalam masalah aqidah berarti, baik disadari maupun tidak disadari, mereka telah merusak bangunan ilmu hadits, bahkan mereka menyatakan ilmu hadits itu tidak bermanfaat, ilmu rijaalul hadits, ilmu jarh wa ta’dil itu sia-sia!!! Bagaimana tidak, walaupun hadits itu telah ditelaah oleh para muhadditsin akan keabsahannya tetap menurut mereka tidak yufiidul yaqin dan tak bisa ditetapkan sebagai landasan aqidah!!! Maka, lihatlah wahai saudaraku, inilah ciri para inkarus sunnah sejati!!!
Kedua, mereka mungkin akan mengatakan, kami tidak menolak hadits ahad secara mutlak, kami hanya meyakini keabsahannya dalam masalah ahkam dan ibadah, namun kami memang tidak menggunakannya sebagai landasan dalam aqidah. Ini adalah pemahaman yang sangat aneh, bid’ah, tak dikenal para salaf terdahulu dan tak berdalil. Allah Ta’ala berfirman di dalam QS Al-Ahzab ayat 36, “Dan tidaklah patut bagi mukmin dan mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan lain tentang urusan mereka.” Maka darimanakah mereka mendatangkan pernyataan aneh ini? Apakah berhak bagi mereka jika telah tsabat suatu perintah dari Allah dan Rasul-Nya lantas mereka dengan seenaknya memilah-milah, ini khobar ahad, boleh diamalkan dalam masalah ibadah namun tidak boleh dijadikan dalil dalam aqidah! Maka tampaklah kebodohan dan kebingungan mereka takala dihadapkan pada hadits tentang do’a isti’adzah dari siksa kubur, Dajjal, fitnah mati dan adzab neraka yang dibaca saat tahiyyatul akhir. Menurut mereka hadits ini boleh diamalkan namun beritanya tidak diimani, bagaimana bisa mereka mengamalkan do’a tersebut sedangkan mereka tak mengimani isi dari do’a tersebut..!!! Wallahul Muwaafiq.
Ketiga, di tengah keterpurukan dan kebingungan akan madzhab aqlaniy-nya, mereka sedikit merevisi madzhab mereka dengan menyatakan ‘Kami menerima khobar ahad dalam masalah aqidah, kami benarkan berita-beritanya namun tidak kami imani” atau “kami mengimani tidak 100%”, karena menurut mereka tashdiq (membenarkan) adalah dibawah derajat ‘iman. Iman membutuhkan dalil yang yakin sedangkan tashdiq hanya memerlukan dhonn gholib (dugaan yang kuat), mereka menyatakan bahwa walaupun hadits ahad telah diteliti keabsahannya dengan ilmu hadits tetap tidak yufiidul yaqin, namun hanya yufiidu dhon gholib (membuahkan dugaan yang mendekati kebenaran namun tidak mencapai derajat yakin, karena masih adanya ‘illat dari wurud (periwayatan) yang memungkinkan terjadinya kesalahan ataupun misinformasi dari pemberi khobar). Dari sinilah muncul falsafah baru di atas, membenarkan namun tidak mengimani, jadi mereka membenarkan siksa kubur namun tidak mengimaninya, mereka membenarkan turunnya Isa al-Masih, Dajjal, adanya shirath, dan lain sebagainya namun mereka tidak mengimaninya. Sungguh falsafah yang jauh lebih aneh dari sebelumnya, mereka menetapkan yang demikian ini untuk kesekian kalinya tidak berlandaskan nash, tidak dikenal oleh salaf terdahulu, dan kebid’ahannya melebihi bid’ah-bid’ah sebelumnya. Bagaimana mungkin, mereka yang juga telah menyepakati bahwa berita-berita yang tidak dapat diindera dan merupakan berita sam’iyyat adalah merupakan masalah keimanan, namun di sisi lain mereka menolak khobar siksa kubur, Dajjal, dls. Sebagai hal yang tidak wajib diimani, namun cukup dibenarkan. Bagaimana bisa akal mereka menerima kontradiksi ini, membenarkan berita sam’iyyat namun tidak mengimaninya, maka sungguh kami katakan, tidaklah mereka mengucapkan pernyataan aneh ini kecuali untuk melanggengkan penyimpangan mereka dan keengganan mereka untuk meninggalkan madzhab sesat mereka ini.
Keempat, Sesungguhnya, telah banyak para ulama baik salaf maupun kholaf yang telah membahas permasalahan ini, dan pendapat ini (hadits ahad dalil untuk hukum dan aqidah) adalah pendapat jumhur kaum muslimin, madzhabnya para salaf ash-sholih, dan pemahamannya orang yang lurus. Penolakan terhadap hadits ahad berarti:
- Menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana Allah berfirman, “Barangsiapa mentaati Rasul maka sesungguhnya ia mentaati Allah” (An-Nisa’ : 80). Karena pada hakikatnya, menolak hadits ahad dalam masalah aqidah sama dengan menolak khobar dari Rasulullah, dan bagaimana mungkin mereka menerima khobar ahad dalam masalah ahkam namun menolaknya dalam masalah aqidah, sedangkan aqidah adalah landasan ahkam dan ibadah. Maka bagaimana mungkin pula mereka menolak landasannya karena tidak yufiidul yaqin namun menerimanya dalam masalah ahkam yang berdiri dan bercabang dari aqidah tersebut. Sehingga mereka pada hakikatnya dikatakan tidak mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebagian hal yang implikasinya ketaktaatan pada seluruhnya.
- Menyelisihi Aqidah dan Ijma’ Ahlus Sunnah. Dengan madzhab tersebut, mereka tidak memiliki aqidah sebagaimana aqidahnya para salaf, mereka tak mengimani pokok-pokok yang telah ditetapkan oleh ijma’ ulama’ salaf baik terdahulu maupun sekarang. Mereka tidak yakin akan adanya siksa kubur, adanya Dajjal, turunnya Isa al-Masih, dls.
- Menyelisihi madzhab ulama’ ahlus sunnah dan madzhab al-Arbi’ah. yang meyakini hadits ahad yufiidul ilmal yaqin, seperti As-Sarjhasy dan Abu Bakar Ar-Razy dari Hanafiyah, Abu Thayyib dan Abu Ishaq dari Syafi’iyyah, Ibnu Khuwaiz dari Malikiyah, dan Qadhi Abu Ya’la dari Hanabilah.
Maka ya ayyuhal Ikhwah, adalah wajib bagi seorang muslim mengimani apa-apa yang telah tsabat dari Rasulullah, baik itu dari khobar mutaawattir ataupun ahad, baik dari dalil yang yufiidul yaqin atau yang yufiidu dhonn gholib, selama syarat-syaratnya memenuhi kesahahihan suatu hadits, lantas apakah yang menghalangi kita untuk menolaknya? “Mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikanmu ya Muhammad sebagai hakim terhadap perselisihan yang terjadi pada mereka, kemudian tidaklah terdapat pada mereka rasa berat hati akan keputusanmu dan mereka menerimanya dengan sebenar-benarnya taslim” (QS An-Nisa’ 65). Inilah buah keimanan itu, mengimani apa-apa yang disampaikan oleh Rasulullah tanpa berat hati walau bertentangan dengan akal mereka dan menyelisihi madzhab kelompoknya dan ulama’nya, mereka tetap berserah diri dengan sebenar-benarnya taslim, tanpa memilah ini yang diimani dan ini yang cukup dibenarkan saja, tanpa memilah ini untuk masalah ahkam dan ini untuk masalah aqidah, yang mana pemilahan ini tak bersumber dari hujjatain (al-Qur’an dan as-Sunnah) satupun. “Maka tak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan!!!” (Yunus :32)
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar