Segala puji hanya bagi Allah, Rabb pemelihara alam semesta, satu-satunya Ilah yang Haq untuk disembah, yang tiada sekutu bagi-Nya baik dalam nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum dan ibadah kepada-Nya, yang mengutus para nabi untuk menegakkan haq-Nya, yang menurunkan al-Kitab sebagai bayyinah atas keesaan-Nya, yang menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan menjadikan segala maksud dan tujuan hanyalah untuk-Nya. Amma Ba’du:
Sesungguhnya, sejak zaman dahulu hingga sekarang, sejak manusia pertama diciptakan hingga manusia terakhir akan binasa, Tauhid merupakan pondasi dasar ubudiyah seorang hamba, haq Rabb yang harus dipenuhi hamba-Nya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam keadaan suka maupun duka. Bahkan, tiadalah diutus para anbiya’ dimuka buni ini kecuali mengembalikan fitrah manusia pada kesuciannya, dalam mengabdi dan beribadah kepada penciptanya semata.
Namun, sungguh sayang, ketika kelompok-kelompok islam yang parsial/juz’iyyat dalam gerakannya bermunculan, mereka membangun bangunan yang dimulai dari atapnya, sedangkan pondasinya keropos dan kosong dari pilar-pilar aqidah, maka bagaimana mungkin bangunan tersebut akan berdiri, sedangkan pondasinya tidak ada, dan mereka mencurahkan segala daya dan upaya mencari cara untuk membangun atap bangunan yang tak berpondasi dan berpilar tersebut. Mereka berfikir, jika mereka membangun pondasi terlebih dahulu, akan memerlukan waktu yang lama, biaya dan tenaga yang besar, sedangkan hujan, badai dan terik telah menyiksa, maka atap untuk berlindung lebih diperlukan, karena mereka tak kuat lagi tertimpa hujan dan panas terik…
Namun sungguh malang, karena upaya mereka itu adalah mustahil dan bodoh, karena biar bagaimanapun, pondasi adalah penting dalam membangun infra-struktur suatu bangunan, tanpa pondasi, maka kita seolah-olah hanya mengharap sesuatu yang tak mungkin tegak, bak hendak meraih bulan dan bintang di tengah malam, padahal tangan tak sampai. Pun seandainya berdiri atap tersebut, dan mereka beranggapan telah aman dari hujan dan terik yang mendera, namun bangunan itu sangat lemah, hanya dengan tiupan angin sedikit saja, maka akan hancur berkeping-keping bangunan dan usaha mereka yang sia-sia tersebut. Inilah perumpaan mereka, penyeru-penyeru islam yang senantiasa menggembar-gemborkan khilafah islamiyyah, namun mereka jahil dan acuh terhadap aqidah dan manhaj yang benar di dalam islam.
Inilah fenomena nyata saat ini, dimana banyak sekali kelompok yang mengklaim sebagai kelompok penegak syariat islamiyyah dan pelanggeng hukum-hukum islam, berkoar-koar ke sana kemari, meneriakkan dan memekikkan tathbiqus syarii’ah (penegakkan syariat), namun sekali lagi sungguh sayang, pekikan mereka tampak begitu parsial, seolah-olah syariat islam yang dimaksud hanyalah seputar hukum-hukum siyasiyyah saja, hanya penyelenggaraan hukum had, qishash, dan lain sebagainya, mereka melalaikan suatu hal yang lebih penting dari itu semua, yang merupakan dasar dan pijakan dari hukum-hukum lainnya, dan merupakan syariat terbesar di dalam islam, yang seharusnya kita tegakkan dan kita prioitaskan, sebagai pengejawantahan penegakkan syariat secara integral dan kaafah, yakni penegakkan haqqullah (hak Allah) yang wajib dipenuhi hamba-Nya, yaitu mentauhidkan-Nya di dalam uluhiyah/ubudiyyah. Karena inilah metode rasululullah ShallaLlahu 'alaihi wa Sallam dalam da’wahnya, manhajnya seluruh rasul dan nabi, karena Allah Ta'ala’ala telah menandaskannya secara gamblang di dalam firman-Nya surat An-Nahl ayat 36, “Dan sungguh telah kami utus pada tiap-tiap ummat seorang rasul, (yang menyeru) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut.”
Mereka menyatakan bahwa menegakkan daulah merupakan ghoyah (tujuan) da’wah, dan daulah khilafah Islamiyyah adalah suatu hal yang niscaya dan wajib, mereka berdalil dengan qoidah ushul fiqh, Maa Laa Yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajibun, Suatu hal yang jika tanpanya tidak akan sempurna suatu kewajiban, maka hukumnya adalah wajib, karena tidaklah akan tegak syariat Islam kecuali jika ada perangkatnya, sedangkan daulah khilafah adalah perangkat syar’i untuk meng-implementasikannya. Maka daulah khilafah hukumnya wajib, dan tidak menegakannya termasuk dosa.
Mereka juga berdalil dengan hadits baiat, bersabda nabi ShallaLlahu 'alaihi wa Sallam, “Man maata walaysa fi unuqihi baa’iatan, fa maata miytaatan jaahilayatan” (barangsiapa yang mati sedangkan tidak ada baiat di pundaknya, maka matinya bagaikan bangkai jahiliah). Anggapan mereka, bahwa baiat wajib atas kholifah/imamul a’dham, namun sekarang saat tak ada imamul a’dham, maka dengan kembali ke qoidah awal tadi, makai baiat adalah wajib, karena jika tak ada baiat maka mati kita adalah mati jahiliah, sehingga wajib atas kita untuk membaiat seorang imamul a’dham, padahal ba’iat takkan bisa ditegakkan jika tak ada daulah, maka menegakkan daulah hukumnya wajib, sehingga menurut anggapan mereka, orang-orang yang menegakkan daulah tidak terkena ancaman hadits tersebut, namun orang islam yang tak ada keinginan untuk menegakkan daulah terkena ancaman matinya dalam keadaan jahiliah.
Maka, kami katakan pada mereka, wahai para pengklaim penegak hukum islam dan perindu daulah khilafah islamiyyah, dengan cara apakah antum memenuhi harapan antum tersebut? Dengan metode bagaimanakah antum menegakkannya? Na’am!!! Tidak dipungkiri bahwa syariat islam takkan bisa tegak secara sempurna jika tidak didukung oleh hukama’ atau daulah islamiyyah. Sungguh merupakan suatu dambaan bagi kami dan antum akan tegaknya daulah khilafah Islamiyyah ‘ala manhaj nubuwwah, namun ingatlah, bahwa islam ini adalah agama yang sempurna, yang tak butuh pengurangan terlebih lagi penambahan, telah terang metode da’wah al-haq di al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa tidaklah para nabi dan rasul (QS 16:36, 21:25), baik itu nabi Nuh kepada kaumnya (QS 7:59), Hud kepada kaum ‘Aad (QS. 7:65), Sholih kepada kaum Tsamud (QS. 7:73), Nabi Syuaib kepada Madyan (QS. 7:85), dan seluruh nabi hingga nabi terakhir kita Muhammad ShallaLlahu 'alaihi wa Sallam (39:65-66,dan masih banyak ayat pada tempat lain) melainkan adalah mereka semua diutus untuk menegakkan peribadatan hanyalah untuk Allah semata, baik dalam ibadah dan ahkam. Lantas, mengapa gaung dan gema pekikan tathbiq syariiatil islaamiyyah yang antum tabu kosong dari syariat islamiyyah yang paling tinggi ini, yakni da’wah kepada tauhidul uluhiyyah/ibaadah? Kenapa antum konsentrasikan, fokuskan dan curahkan segala daya dan upaya antum pada bagian yang parsial/juz’iyyah saja, yakni penegakkan daulah khilafah semata, penegakan syariat had, qishahsh dan yang semisalnya, sedangkan tidak pernah kami lihat antum mengajak manusia kepada Aqidah yang benar secara tafshil (teperinci), kepada sunnah nabi yang mulia yang shohihah, kepada dien yang murni sebagaimana awalnya.
Maka kami katakan lagi kepada mereka mengenai dalil-dalil parsial mereka tentang ghoyah da’wah mereka yang mereka orientasikan kepada daulah, maka kami jawab :
1. Likulli maqool maqoom wa likulli maqoom maqool (tiap-tiap ucapan ada tempatnya dan tiap tempat juga ada ucapannya), qoidah yang antum gembar-gemborkan, Laa yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib, tentulah ada konteksnya, dan memang kami membenarkan bahwa daulah adalah suatu hal yang niscaya sebagai perangkat penegakkan syariat islamiyyah, dan ini adalah ideal keinginan tiap muslim, jika ada muslim yang tak menghendaki akan adanya daulah islamiyyah maka patutlah dipertanyakan keimanannya, namun satu hal yang harus diingat, metode apakah yang kita tempuh dalam menuju daulah Islamiyyah, inilah yang membedakan antara kami dengan antum, antum lebih fokus kepada upaya parsial dengan pengopinian kepada masyarakat pentingnya daulah islamiyyah dan penegakkan syariat (walau banyak dari antum jahil terhadap syariat itu sendiri) sedangkan kita mengajak ummat secara integral dari metode yang digariskan Allah dan Rasul-Nya, yang kita berpijak dan berangkat darinya. Maka wahai antum yang berjuang dengan orientasi daulah, kita katakan, maa laa yutimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib, dengan qoidah ini kita sepakat bahwa menegakkan daulah adalah suatu hal yang niscaya, maka mari kita juga bersepakat, dengan qoidah itu pula, tidak akan bisa tegak daulah jika kita tidak meniti dengan metodenya para anbiya’ dan rusul yang telah ma’tsur di dalam kitabain, yakni memulai da’wah ini dari tauhid dan aqidah shohihah.
2. Allah Ta'ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah” (Al-Hujurat : 1), dari ayat ini maka wajib bagi tiap mu’min untuk mendahulukan al-Qur’an dan as-Sunnah dari lainnya, dan wajib berhujjah dengan keduanya, maka apakah layak bagi kita mendahulukan qoidah ushul fiqh di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal ushul fiqh merupakan istinbath para ulama’ yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah,.
3. Allah Ta'ala berfirman, “Kemudian jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah)” (An-Nisaa’ : 59), dari ayat ini wajib atas mu’min jika berselisih untuk mengembalikan kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Sekarang kita berselisih terhadap orientasi da’wah, antum mengatakan daulah prioritas pertama saat ini sedangkan kami menyatakan tauhid dan aqidah islamiyyah yang terpenting, maka merupakan kewajiban atas kita untuk mengembalikan perselisihan kita ini kepada kitabain, maka wahai antum yang berorientasi kepada daulah dan tathbiqusy syarii’at, tunjukkan dalil-dalil antum dari al-Qur’an dan as-Sunnah, di ayat mana para anbiya’ dan rusul memulai da’wahnya dan memprioritaskan da’wahnya kepada kekuasaan, di hadits mana?? Apakah qoth’i ad-Dilalah (pasti penunjukannya)??, maka ketahuilah!!! kami dapat menunjukkan berpuluh-puluh ayat dari al-Qur’an dan beratus-ratus hadits tentang manhaj kami yang qoth’i ad-Dilalah, bahwa metode haq dari kitabain adalah tauhid, prioritas pertama dan utama!!!
4. Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya Allah takkan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka.” (ar-Ra’du : 11), kita beristifaadah dengan ayat ini bahwa keadaan ummat ini takkan berubah hingga ummat ini yang merubah keadaan mereka, tentunya dengan cara/ikhtiyar yang masyru’ (disyariatkan), maka kita sama-sama sepakat dan sering menggunakan ayat ini, namun kita berbeda dalam pemahamannya, antum sering menggunakan ayat ini sebagai hujjah wajibnya menerapkan syariat islamiyyah dan dorongan untuk menegakkannya sebagai solusi dari semua krisis ummat saat ini, namun antum lupa, bahwa ikhtiyar manusia itu juga tak lepas dari Irodah syar’iyyah Allah, yakni Allah takkan menolong hamba-Nya yang tak menolong agama-Nya, Intanshurullahu yanshurkum wa yutsabbit aqdaamakum, mafhum muwaafaqoh (pemahaman tekstual) dari ayat ini adalah, jika kita menolong agama Allah niscaya Allah akan menolong kita, namun mafhum mukhalafah (pemahaman berkebalikan) dari ayat ini adalah, jika kita tidak menolong agama Allah dengan cara yang digariskan Allah dan rasul-Nya, maka bagaimana mungkin Allah akan menolong kita dan memperteguh kedudukan kita, walaupun kita sudah berusaha untuk merubah keadaan kita, namun jika Allah tak menghendaki, yang disebabkan oleh faktor penghalang turunnya nashrullah, maka keadaan kita akan tetap demikian, dan ingatlah bahwa cara perubahan yang paling masyru’ adalah inqilabiyyah yakni dengan tashfiyah (pensucian/pemurnian) dari syirik, bid’ah, maksiat, dan tarbiyah (pembinaan) dengan aqidah yang benar, sunnah yang shohihah, dan amal yang sholih. Inilah metode yang haq itu, inilah perubahan yang akan membawa kepada kemenangan, yakni at-Tashfiyah wat-Tarbiyah!!!
5. Allah Ta'ala berfirman, “Dan Allah telah bejanji dengan orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholeh, bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadikanmu berkuasa di bumi (dengan kekhilafahan), sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelummu berkuasa, dan sungguh ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka, dan Ia benar-benar merubah keadaan mereka setelah mereka dala keadaan ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan suatu apapun.” (an-Nur : 55), ayat ini bagi orang-orang yang berakal pasti akan menunjukkan banyak faidah, dari tekstual ayat telah nyata bahwa merupakan janji Allah untuk memberikan kekuasaan bagi ummatnya yang beriman dan beramal sholih, iman kepada Allah secara ijmal (global) dan tafshil (terperinci), yang mana keimanan ini hanya dimiliki oleh ahlus sunnah wal jama’ah, dan beramal sholih, yang ikhlash lillahi Ta'ala dan ittiba’ rosul ShallaLlahu 'alaihi wa Sallam, inilah syarat kemenangan itu, bahkan pada akhir ayat Allah menjelaskan syarat yang lain, yakni mentauhidkan-Nya semata dan tak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Lantas, bagaimana mungkin Allah Ta'ala akan mmberikan kekuasaan jika ummat ini masih jahil terhadap aqidah yang benar, mereka tak bisa membedakan mana syirik mana tauhid, mana sunnah mana bid’ah, mereka masih menyembah kuburan-kuburan, bertawassul dengan wali-wali dan orang sholih yang telah meninggal, menyeru mayat-mayat, membangun kubah di kuburan, ghuluw terhadap nenek moyang mereka, lantas bagaimana mungkin Allah akan memenuhi janji-Nya. Maka berfikirlah!!! Inilah yang ditinggalkan oleh hampir kebanyakan kelompok islam, yakni metode da’wah integral/kulliyat yang ittiba’ terhadap metode da’wah anbiya’ dan rusul, yang ma’tsur di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang tidaklah jika ummat ini berpijak dan berangkat dainya kecuali hanyalah kemenangan yang akan didapatnya. Maka berfikirlah sekali lagi wahai antum yang berjuang menatap ke langit namun kepalamu tak mampu mendongak ke atas apalagi meraihnya.
6. Al-Ghoyah laa tubirrul washilah, Tujuan tak membenarkan segala cara, karena, al-ashlu fil ‘ibaadah al-ittiba’, asal dari ibadah adalah ittiba’ rasul, dan islam itu tauqifiyyah, laa yutsbitu illa bid’dalil, tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, dan da’wah termasuk bagian dari islam, dan ia adalah da’wah, sedangkan da’wah itu adalah tauqifiyyah, maka wajib untuk ittiba’ terhadap metode rasul, maka kami tanyakan kepada mereka, ittiba’ terhadap siapakah antum dalam metode da’wah antum? Tidakkah antum telah melakukan bid’ah fi manhajid da’wah, bid’ah dalam metode da’wah? Maka dimanakah hujjahmu wahai orang yang berakal???
Sungguh, kami dapat menunjukkan kepada mereka berpuluh hujjah akan lemahnya pemahaman mereka terhadap manhaj da’wah bid’iyyah mereka, banyak kitab yang telah ditulis para ulama’ mengenainya, namun kami cukupkan hanya sampai di sini, semoga dapat mengambil pelajaran orang-orang yang berakal, dan semoga impian mereka yang hanya isapan jempol semata itu dapat sirna dan mereka akhirnya tersedarkan bahwa kita takkan dapat meraih kekuasaan dengan pemahaman parsial, dan bersumber dari pemahaman mu’tazilah, khowarij dan kelompok sempalan islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar