Seperti yang telah luas diberitakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, pada hari Selasa 16 Desember 2003 minggu lalu telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).
Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath‘î itu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.
Akan tetapi, alih-alih mendapat dukungan, fatwa itu justru mendapat kecaman dari para "tokoh Islam" sendiri. Ada yang menyatakan bahwa jika bunga bank masih setara angka inflasi, tidak bisa disebut riba karena ia menjadi kompensasi adanya inflasi. Ada pula yang menyatakan bahwa fatwa itu kontraproduktif dan ditetapkan pada saat yang tidak tepat, karena perbankan syariah belum ada di seluruh pelosok negeri. Bahkan ada yang menuduh bahwa fatwa itu penuh dengan konflik kepentingan mengingat para pelaku fatwa sebagiannya adalah anggota dewan syariah dari bank-bank syariah yang ada.
Menata Kebijakan Perbankan Nasional
Fatwa ini semestinya bisa menjadi pangkal dari penataan menyeluruh dari kebijakan perbankan dan lembaga keuangan lain di Indonesia yang selama ini dalam dunia perbankan dikenal dengan istilah dual banking. Maksudnya, di samping bank konvensional, setelah terbit UU Nomer 10 tahun 1998, juga dikembangkan bank syariah yang dilakukan tidak dengan cara mematikan atau menghentikan bank konvensional.
Kebijakan yang melahirkan koeksistensi antara bank konvensional dan bank syariah tentu saja menimbulkan masalah. Secara idealistik, kebijakan itu jelas bukan pilihan yang terbaik. Persoalannya bukan terletak pada sisi teknis administratif, melainkan pada problema paradigmatik. Secara substansial, pengakuan terhadap keberadaan bank syariah yang anti bunga sebenarnya merupakan penegasian terhadap keberadaan bank konvensional yang berintikan bunga. Apa yang dicari oleh bank konvensional adalah apa yang paling dibenci oleh bank syariah. Nah, bagaimana mungkin dua lembaga yang sama sekali berbeda sifatnya bisa hidup berdampingan dalam sebuah sistem? Pasti harus salah satu yang dipilih.
Di sisi lain, mempertahankan keberadaan bank konvensional sebenarnya juga merupakan kebijakan yang sangat patut dipertanyakan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional. Akibat krisis itu, 16 bank dilikuidasi pemerintah, 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997, dan 13 bank diambil alih (BTO). Langkah ini menciutkan secara drastis jumlah bank dari 237 pada akhir Juni 1997 menjadi 151 bank pada akhir Desember 2000. Jumlah bank swasta menciut dari 160 bank menjadi hanya 81 bank. Bank pemerintah dari 7 menjadi 5. Kondisi perbankan nasional saat ini, ibarat pasien, memang belum jadi mayat, tetapi sudah terbaring koma di Unit Gawat Darurat, dan sewaktu-waktu bisa kritis lagi.
Jika bank diidealkan sebagai lokomotif penarik laju kegiatan usaha masyarakat, kini lokomotif itu justru harus didorong dan ditarik untuk bisa melaju dengan energi yang sangat besar. Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi ‘sumber darah’ bagi perputaran roda perekonomian nasional, hingga Desember 2000 pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 triliun. (Kompas, 29/7/2001).
Untuk membiayai itu semua, pemerintah terpaksa harus mengeluarkan obligasi senilai Rp 659 triliun. Akibatnya, utang pemerintah yang sebelum krisis hanya 55 miliar dolar AS, kini membengkak menjadi 77 miliar dolar AS (utang luar negeri) ditambah Rp 695 triliun (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi rekapitalisasi) dalam waktu tidak sampai 4 tahun terakhir. Utang sebesar itu membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas 100 persen pada akhir 2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia pada 10-25 tahun ke depan akan terus mengalami proses destabilisasi. Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja pemerintah harus mengeluarkan sekitar 4 persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001. Kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12,9 triliun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73,98 triliun pada tahun 2007 dan Rp 138 triliun pada 2018. Biaya ini dibebankan pada APBN, yang berarti rakyat juga yang menanggungnya. Beban bunga obligasi akan semakin menjadi-jadi dengan terus naiknya suku bunga. Untuk diketahui, alokasi dana APBN tahun 2003 untuk membayar bunga saja sudah sebesar Rp 68,5 triliun, lebih besar daripada dana untuk pembangunan yang hanya Rp 68,1 triliun.
Sampai kapan pemerintah akan terus menerus mem-back-up bank-bank konvensional yang nyata-nyata memang telah demikian terpuruk, yang ibarat lokomotif tadi, jangankan untuk menghela gerbong panjang perekonomian nasional, untuk menarik tubuhnya sendiri saja rasanya berat sekali? Berapa banyak lagi uang yang harus digelontorkan untuk itu semua, sementara untuk sekadar menghemat dana subsidi BBM yang paling banyak berjumlah Rp 15 triliun, pemerintah tega menaikkan 30% harga BBM beberapa waktu lalu yang dampaknya sangat memukul perekonomian masyarakat secara keseluruhan?
Argumen yang diajukan biasanya adalah bahwa itu semua merupakan program penyehatan perbankan yang sangat diperlukan sebagai salah satu unsur penting dalam perbaikan ekonomi nasional. Memang, dalam paradigma sistem ekonomi kapitalis, perbankan ribawi itu dianggap sebagai lembaga yang sangat penting dalam menggerakkan sektor usaha. Jika perbankan macet, dunia usaha juga akan macet. Akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi tersendat, pengangguran meningkat karena tidak ada pembukaan lapangan pekerjaan baru, pendapatan masyarakat menurun, dan daya beli menurun. Secara keseluruhan, itu semua akan membuat ekonomi masyarakat juga akan menurun dengan segala dampak buruk ikutannya.
Memang, dalam perekonomian modern seperti saat ini diperlukan lembaga intermediari yang menghubungkan antara unit ecsess of fund dan unit lack of fund untuk berbagai kepentingan transaksi ekonomi. Masalahnya, lembaga intermediari seperti apa? Logikanya, sebagai intermediari, lembaga itu semestinya haruslah cukup kuat, stabil, dan yang paling penting tidak malah menimbulkan atau menambah problem, karena ia hadir justru untuk membantu menyelesaikan problem. Apakah harus berupa bank dengan pola konvensional yang berbasis bunga seperti saat ini? Fakta emprik yang dialami oleh dunia perbankan mutakhir menunjukkan bahwa perbankan konvensional tidak memiliki karakter-karakter seperti yang disebut. Ia ternyata sangat labil dan mudah sekali terserang problem. Negatif-spread yang dialami oleh perbankan nasional hingga membuat sejumlah bank ‘berdarah-darah’ beberapa waktu lalu jelas bukan karena faktor moral hazard semata, tetapi yang utama adalah karena ia bertumpu pada sistem ribawi yang memang bersifat self-destructive. Tegasnya, sistem ribawi itulah yang membuat dunia perbankan terus terpuruk dan tidak pernah stabil. Bagaimana ekonomi akan berjalan baik jika bertumpu pada lembaga intermediari yang tidak stabil?
Ketidakstabilan ini sering disebut dengan random walk, satu istilah statistik yang mengambarkan langkah-langkah yang tidak berpola, persis seperti langkah orang yang sedang mabuk berat. Fenomena seperti ini disebut dalam al-Quran: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. (QS al-Baqarah [2]: 275).
Bukankah orang yang kemasukan setan dan orang yang gila berjalan seperti orang yang mabuk? Artinya, al-Quran ingin mengabarkan bahwa sesungguhnya riba adalah sumber labilitas ekonomi; tidak menolong, tetapi justru memperpuruk perekonomian.
Oleh karena itu, demi tercapainya kondisi perekonomian pada umumnya dan dunia perbankan pada khususnya secara lebih baik, pengelolaan lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah semestinya bukan merupakan salah satu pilihan, melainkan satu-satunya pilihan. Dengan demikian, dalam setiap regulasi, kebijakan pemerintah dan struktur bank sentral hanya tersedia satu pilihan: bank syariah. Artinya, bank syariahlah anak tunggal dunia perbankan Indonesia, menggantikan bank konvensional yang secara normatif jelas terlarang dan secara empirik telah terbukti mempurukkan kita semua.
Khatimah
Walhasil, fatwa MUI tentang haramnya bunga sudah tepat. Sekali lagi, semestinya fatwa MUI ini dijadikan sebagai momentum untuk menata secara mendasar kebijakan perbankan dan lembaga keuangan lainnya di Indonesia. Kalau mau disebut ada yang tidak tepat dari fatwa itu adalah justru masih ditoleransinya keberadaan perbankan konvensional. Dengan melarang semua transaksi ribawi di semua bentuk lembaga keuangan, berarti telah menghilangkan faktor utama penyebab labilitas moneter. Sebaliknya, tetap membiarkan bank-bank konvensional berjalan (sekalipun pada saat yang sama juga beroperasi bank-bank syariah) sama saja memelihara penyakit yang sewaktu-waktu akan memporak-porandakan kembali bangunan tubuh ekonomi Indonesia.
Dengan demikian, tuduhan bahwa fatwa MUI itu kontraproduktif tidaklah tepat. Yang kontraproduktif justru kebijakan yang tetap membolehkan beroperasinya perbankan dan lembaga keuangan konvensional berbasis riba. Tuduhan bahwa fatwa itu dikeluarkan pada saat yang tidak tepat juga tidak benar, karena ini hanya bersifat penegasan dari apa yang diharamkan secara gamblang dalam al-Quran. Bahkan sebenarnya fatwa ini terlambat. Mestinya sejak dulu. Mestinya juga sejak dulu dikembangkan perbankan syariah saja untuk menggantikan bank konvensional sehingga kita tidak perlu mengalami krisis perbankan yang hampir saja menenggelamkan ekonomi negeri ini. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar