28 Mei 2009

Bahaya Sekularisme

(Pelajaran dari Prancis)

Parlemen Prancis telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) tentang larangan jilbab. Setelah dilakukan voting yang dilakukan pada Selasa (11/02/2004) malam (Rabu dinihari WIB), 494 anggota majelis rendah menyetujui RUU tersebut, sedangkan 36 anggota menolak. Dukungan tersebut berasal dari partai berkuasa pimpinan Presiden Jacques Chirac dan partai oposisi, Partai Sosialis. Selanjutnya, RUU ini akan diserahkan kepada majelis tinggi parlemen (Senat) yang dikuasai oleh Partai UMP pimpinan Chirac, pengusul RUU itu. Meskipun tidak merinci benda-benda yang dilarang, menurut para pakar, hal tersebut bukan hanya dimaknai sebagai jilbab dan janggut, tetapi juga dapat dimaknai tutup kepala Yahudi, salib besar, dan sorban kaum Sikh.

Islam Sasaran Utama
RUU ini sebenarnya lebih ditujukan pada Islam dan umatnya. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal. Pertama, penyebab disusunnya RUU ini merupakan respon atas meningkatnya penggunaan jilbab di kalangan umat Islam negeri tersebut yang jumlahnya mencapai lima juta orang, bukan respon terhadap pemakaian tutup kepala Yahudi atau salib. Jelas sekali, yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir adalah pelarangan jilbab di sekolah. Barulah pada tanggal 11 Desember 2003, Presiden Prancis Jacques Chirac menunjuk tim beranggotakan 20 orang untuk menyusun RUU dan pada tanggal 17 Desember 2003 menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap RUU yang akhirnya disetujui oleh 93,2% anggota parlemen tersebut. Supaya tidak tampak sebagai pengebirian atas keyakinan kaum Muslim, dalam RUU tersebut dipakai kalimat umum: penggunaan pakaian atau simbol-simbol yang menunjukkan pada suatu agama adalah illegal, termasuk jilbab. Pelarangannya bukan hanya di sekolah melainkan di institusi-institusi publik dan tempat umum.
Kedua, dalam al-Quran dan as-Sunnah, jilbab bukanlah sekadar simbol, melainkan kewajiban. Jilbab dan khimar (penutup kepala hingga dada) merupakan pakaian yang diperintahan Allah SWT. Allah SWT berfirman: Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak padanya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-dada mereka. (QS an-Nur [24]: 31).
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzab [33]: 59).
Sejak ayat ini turun, yang biasa tampak pada diri wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Berdasarkan hal ini, pelarangan jilbab merupakan penentangan terhadap kewajiban dari Allah SWT sekaligus merupakan pemerkosaan terhadap hak kaum Muslim untuk menaati Penciptanya.

Bahaya Sekularisme
Dasar dari keluarnya RUU pelarangan jilbab adalah sekularisme. Pada tanggal 17 Desember 2003, Presiden Prancis Jacques Chirac menegaskan bahwa pelarangan tersebut didasarkan pada prinsip sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan bermasyarakat dan negara) yang menjamin kemerdekaan (liberty), persamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity). Hal ini memberikan penegasan bahwa RUU itu lahir dari sekularisme, sekaligus menjelaskan hakikat dari sekularisme tersebut.
Di antara hakikat sekularisme yang tampak nyata dalam kasus RUU tersebut antara lain:
Pertama, kebebasan yang dimaksud dalam sekularisme adalah kebebasan yang dasarnya bukan agama, sedangkan dalam penampakkan keyakinan agama, kebebasan tidak ada. Menutup aurat di sekolah dan tempat-tempat publik dilarang, sebaliknya membuka aurat di tempat-tempat tersebut bebas. Mengapa? Sebab, memamerkan atau menjajakan aurat tidak lahir dari keyakinan agama, sementara menutup aurat lahir dari keyakinan agama. Mengapa pula janggut termasuk yang dilarang, sementara kumis atau bentuk rambut tidak? Alasannya sama, janggut itu lahir dari kepercayaan bahwa itu diajarkan oleh Islam (sekalipun ulama berbeda pendapat tentang hukumnya; ada yang menyatakan mubah, ada pula yang menyatakan sunnah), sementara kumis dan rambut tidak. Jelaslah, kebebasan yang ada dalam sekularisme adalah kebebasan yang antiagama.
Kedua, sekularisme tidak konsisten. Secara rasional, jika membuka aurat bebas semestinya menutupnya pun boleh. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian; membuka aurat bebas sedangkan menutupnya dilarang. Ini menunjukkan ketidakkonsistenan sekularisme. Berbeda dengan Islam. Islam mengajarkan bahwa menutup aurat adalah wajib dan mempertontonkannya adalah haram.
Sekularisme juga menempatkan agama hanya sebagai urusan pribadi dalam masalah spirit, etika, dan moral. Negara, kata mereka, tidak boleh mencampuri urusan agama. Akan tetapi, ketika keyakinan agama itu dimunculkan oleh umat Islam dalam sikapnya, justru negara turut campur; bahkan melalui perundang-undangan. Lagi-lagi, ketidakkonsistenan terjadi. Ketika agama itu sebatas ritual, ia dibiarkan. Sebaliknya, jika agama yang dimaksud adalah Islam sebagai keyakinan hidup, maka prinsip sekularisme pun dilanggar. Bukankah ini menunjukkan bahwa jargon ‘negara tidak mencampuri agama’ tidak berlaku untuk menghadapi keimanan kaum Muslim?
Ketiga, hak asasi manusia (HAM) juga tidak berlaku untuk Islam. Salah satu yang digembar-gemborkan tentang HAM dalam sekularisme adalah kebebasan beragama. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa penampakkan yang didasarkan pada keyakinan agama, khususnya Islam, justru dilarang. Apalagi jika dihubungkan dengan sikap standar ganda negara-negara yang menyebut dirinya sebagai pengusung HAM terhadap Dunia Islam seperti dalam kasus Palestina, Bosnia, Chechnya, Afganistan, Irak, Timika, kasus Timor Timur, dan sebagainya.
Dari sini teranglah bahwa kebebasan beragama dalam sekularisme sebatas pada bebas menganut agama atau tidak menganut agama, tetapi tidak bebas mengimplementasikan keyakinannya itu. Padahal, Islam mengajarkan bahwa iman dan amal harus menyatu; keyakinan harus dibuktikan dalam perbuatan. Dengan demikian, sekularisme sesungguhnya tidak akan pernah memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menjalankan keyakinannya, kecuali hanya sebatas dalam masalah ritual semata.
Keempat, pengambilan keputusan dalam sekularisme dengan sistem politik demokratisnya terbukti sering menjungkirbalikkan hukum Islam. Dalam kasus pelarangan jilbab, hal ini tegas sekali. Dalam keyakinan Mukmin, jilbab adalah perintah yang diwajibkan Allah SWT. Akan tetapi, dalam aturan demokrasi, penetapan hukum tersebut diambil dengan voting. Hasilnya, karena lebih banyak anggota parlemen (93,2%) yang menyetujui pelarangan, hijab/jilbab yang sejatinya wajib menjadi terlarang. Inilah penetapan hukum demokrasi, yang telah menjadikan manusia sebagai penetap halal-haram. Padahal, Allah SWT menegaskan: Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (QS Yusuf [12]: 40).
Itulah sekularisme. Siapapun yang menelaah akidah sekularisme tersebut akan melihat bahwa hal tersebut bersifat umum, bukan hanya khas Prancis.
Berdasarkan kenyataan ini, kaum Muslim seyogyanya semakin memahami bahaya sekularisme terhadap akidah umat dan kehidupannya; juga memahami ketidaklayakan sekularisme sebagai dasar kehidupan. Sekularisme terbukti telah menghalangi kaum Muslim menaati Allah SWT dan menjegal setiap upaya penerapan syariat Islam secara total. Dalam sistem sekularisme umat Islam tidak akan pernah dapat menerapkan Islam secara kaffâh. Bukankan ikan hanya akan dapat hidup dengan bebas, tenang, tenteram dan semestinya di dalam air? Begitu pula kaum Muslim; mereka hanya akan hidup dengan bebas, tenang, dan tenteram dalam ketaatan kepada Allah SWT secara total jika lingkungan dan sistem hidupnya adalah Islam. Sebaliknya, jika keadaannya tetap sekular seperti sekarang, kebebasan, ketenangan, dan ketenteraman dalam menjalankan ketaatan secara total kepada Allah SWT hanyalah angan-angan yang sulit diwujudkan. Karena itu, sudah saatnya sistem kehidupan sekular diganti dengan sistem kehidupan Islam yang menerapkan syariat Islam.

Wahai kaum Muslim,
Ingatlah, Allah Yang Mahagagah telah berfirman: Mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka dapat mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekufuran)—seandainya mereka sanggup. (QS. Al-Baqarah [2]: 217).
Ayat tersebut menginformasikan kepada kita untuk memiliki kepekaan terhadap upaya yang hendak menggiring kita dan anak cucu kita pada kekufuran. Kelalaian terhadap masalah ini menyebabkan kita berdosa di sisi Allah SWT. Karena itu, Rasulullah saw. mengajarkan agar kita menjadi penjaga setiap celah Islam pada posisi masing-masing.

Wahai kaum Muslim,
Hanya dengan Islamlah hidup akan bahagia di dunia dan di akhirat. Hanya dengan Islamlah manusia, baik Muslim maupun non-Muslim dihargai kedudukannya, termasuk terjamin pelaksanaan agamanya. Kita, kaum Muslim, diperintahkan oleh Allah SWT untuk membangun kehidupan ini atas dasar Islam dan ketakwaan. Sebaliknya, kita dilarang membangun kehidupan ini di atas selainnya. Allah SWT mengisyaratkan hal ini: Apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (QS at-Taubah [9]: 109).
Kini jelaslah bahaya sekulerisme, masihkah umat ini diam?

'Islam Berhak Diperlakukan Adil'. (Republika Online , 24/2/2004).
Musuh-musuh Islam tak mungkin bersikap adil pada Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 120 dan 217 ).

Tidak ada komentar: