BAB I
PENDAHULUAN
Dalam surat Al-Lahab terdapat bukti-bukti yang sangat banyak dan jelas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kebenaran. Beliau tidak mengajak demi mendapatkan kekuasaan, kehormatan dan jabatan di kalangan kaummnya. Dalam mensikapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para paman beliau terbagi menjadi tiga kelompok.
[a]. Kelompok yang beriman, berjihad bersama beliau dan tunduk kepada Allah Rabb sekalian alam.
[b]. Kelompok yang mendukung dan menolong beliau, namun tetap kafir.
[c]. Kelompok yang ingkar dan berpaling. Mereka ini kafir terhadap agama beliau.
BAB II
TAFSIR SURAT AL-LAHAB
1. binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa.
2. tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
3. kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
4. dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
5. yang di lehernya ada tali dari sabut.
Abu Lahab adalah paman dari Nabi Muhammad sendiri, saudara dari ayah beliau. Nam kecilnya Abdul ‘Uzza. Sebagaimana kita tahu, Uzza adalah nama sebuah berhala yang di puja orang Quraisy.
Seperti yang dijelaskan tadi bahwa dalam mensikapi Rasulullah para Pamannya terpecah menjadi 3 kelompok.
Adapun kelompok pertama, seperti Al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Hamzah lebih afdhal dari pada Abbas, karena beliau dijuluki sebagai syuhada yang terbaik disisi Allah Azza wa Jalla, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya gelar asadullah dan asudarasuluhu (singa Allah dan rasulNya). Beliau terbunuh pada perang Uhud di tahun kedua hijrah.
Adapun yang mendukung serta menolong tetapi masih tetap dalam kekafiran, seperti Abu Thalib. Dia telah bersikap baik kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta membela dan mendukung beliau, namun –wal ‘iyaadzu billah- Allah telah menentukan adzab untuknya, tidak memeluk agama Islam sampai akhir hayatnya. Di detik-detik akhir kehidupannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya masuk Islam tetapi ia tetap enggan dan meninggal dengan pernyataannya bahwa ia berada di atas agamanya Abdul Muthalib. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya syafaat untuknya (untuk meringankan adzab) hingga diadzab di naar dengan cara dipakaikan sandal lalu menggelegak isi otaknya.
Ketiga yaitu yang ingkar dan berpaling, seperti Abu Lahab. Allah menurunkan satu surat penuh, yang dibaca di dalam shalat wajib dan sunnah, shalt sir (yang bacaannya pelan) dan jahar (yang bacaannya terang) diberi pahala orang yang membacanya, setiap huruf sepuluh kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” [Al-Lahab : 1] Ini merupakan bantahan terhadap Abu Lahab, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka ke jalan Allah, mengingatkan dan memberi mereka kabar gembira. Berkata Abu Lahab : “Celakalah engkau! Hanya untuk inikah engkau kumpulkan kami? Perkataan “hanya untuk inikah engkau kumpulkan kami” adalah untuk meremehkan. Artinya, ini adalah perkara sepele, sehingga tidak perlu mengumpulkan para pemimpin Quraisy.
Yang demikian ini sama seperti firman Allah Ta’ala. “Artinya : Apakah ini orang yang mencela ilah-ilah kalian?” [Al-Anbiyaa: 36]
Yaitu meremehkannya. Tidak acuh dan tidak peduli. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan mengapa mereka berkata : “Mengapa Al-Qut’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah danThaif) ini?’ [Az-Zukhruf : 31]
Wal hasil, Abu Lahab berkata : “Celakalah engkau, hanya untuk inikah engkau kumpulkan kami?” Maka Allah Ta’ala membantah dengan menurunkan surat ini “Tabbat yadaa abii lahabiw watabb”, Al-Tabaab artinya Al-Khasaar yaitu kerugian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala. “Artinya : … Dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian” [Al-Mu’min : 37]
Dan Allah memulai dengan menyebutkan tangan sebelum yang lainnya, karena kedua tanganlah yang sering bekerja dan bergerak, mengambil dan memberi dan lain-lain. Dan gelar Abu Lahab adalah gelar yang pantas dan sesuai dengan kondisi dan tempat kembalinya. Gelar ini pantas untuknya karena ia akan dimasukkan ke dalam naar yang menyala-nyala yang mengeluarkan lidah api yang dahsyat.
Berkata seorang penyair. Katakan, tidaklah matamu melihat seorang yang punya gelar. Kecuali kamu akan berfikir makna dari gelarnya. Ketika Suhail bin Amr datang pada perang Hudaibiyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Ini adalah Suhail bin Amr, aku tidak melihat kecuali ia telah mudahkan urusan kalian”
Karena nama tersebut sesuai dengan perbuatannya. Allah berfirman. “Artinya : Tidaklah berpelajaran kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” [Al-Lahab : 2]
-Ma- berkemungkinan mempunyai makna istifham (pertanyaan) yang berarti : Manfaat apa yang ia dapatkan dari hartanya dan apa yang ia usahakan? Jawabnya : Tidak ada sama sekali. Atau bermakna naïf (penolakan), berarti maknanya : Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kedua makna tersebut saling berkaitan, yaitu ; bahwa harta dan apa yang ia usahakan tidak bermanfaat sedikitpun untuknya ? Padahal menurut kebiasaan, harta itu bermanfaat. Harta dapat dijadikan alat penebus jika seseorang ditawan musuh. Ia katakana : “Jika engkau membebaskanku maka aku akan memberimu uang sekian-sekian”. Dengan meminta harta sedikit atau banyak, musuhnya akan membebaskannya. Jika seseorang, sakit atau lapar dapat memanfaatkan hartanya. Harta sangatlah bermanfaat, namun dikatakan tidak bermanfaat jika tidak dapat menyelamatkan pemiliknya dari naar.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman “ Maa agnaa anhu maaluhu” yakni hartanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksaan Allah Ta’ala. FirmanNya “Wamaa kasab” dikatakan maknanya adalah anaknya. Yakni, tidak bermanfaat baginya harta dan anaknya. Sebagaimana yang dikatakan Nabi Nuh ‘Alaihis salam “Artinya : …. Dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka…” [Al-Ma’aarij : 21]
Maka mereka artikan “wamaa kasab” ialah anak. Pendapat ini juga didukung dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Sebaik-baik hasil yang kamu makan adalah hasil dari jerih payahmu, dan anak-anakmu tersebut termasuk dari hasil jerih payahmu”
Pendapat yang benar adalah ayat tersebut lebih umum dari yang demikian. Ayat di atas mencakup anak. Juga mencakup harta yang sedang ia usahakan untuk ia dapatkan, juga mencakup apa yang ia usahakan untuk meraih kemuliaan dan kehormatan. Setiap usaha yang dilakukan untuk menambah kemualian dan kehormatan, tidak bermanfaat untuknya sedikitpun “ Maa agnaa anhu maaluhu wamaa kasab” = Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” Firman Allah. “Artinya : Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak” [Al-Lahab : 3]
Huruf –sin- pada “sayashla” untuk ‘at-tanfis’ yang menunjukkan ‘al-haqiqah’ (hakiki) dan al-qurb (waktu dekat). Yakni, Allah Ta’ala mengancamnya dalam waktu dekat dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Karena kemewahan dunia, dan bagaimanapun lamanya tinggal di dunia, tetap saja dikatakan akhirat itu dekat. Sehingga manusia yang ada di alam barzakh merasa sebentar walaupun tahun demi tahun yang panjang telah berlalu.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : … mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik”[Al-Ahqaaf : 35] Sesaat yang ada di siang hari tentunya waktu yang sangat singkat.
Firman Allah “Artinya : Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar” [Al-Lahab : 4] Yaitu wanita (istri) yang yang ada bersamanya. Dia adalah wanita terhormat di kalangan suku Quraisy, yaitu Ummu Jamil. Namanya Arwa Binti Harb Bin Umayyah. Dia saudara perempuan Abu Sufyan. Namun kehormatan tersebut tidak bermanfaat untuknya karena ikut membantu suaminya dalam permusuhan dan dosa serta tetap di dalam kekafiran. Firman Allah : “Hammaa latal hathab” = pembawa kayu bakar, dibaca nashab (fathah) atau rafa (dhamah). Adapun jika dibaca nasab, maka menunjukkan keadaan istrinya. Yaitu, keadaan istrinya membawa kayu bakar. Atau manshub dengan arti celaan. Karena na’at yang terputus boleh dinashabkan dengan maksud pencelaan. Artinya, Aku mencela si pembawa kayu bakar. Adapun jika dibaca rafa’ menunjukan sifat si wanita tersebut, -Hammaalah- bentuk mubalaghah, artinya banyak membawa. Disebutkan bahwa ia membawa kayu yang berduri kemudian ia letakkan di jalan yang dilalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Firman Allah. “Artinya : Yang di lehernya ada tali dari sabut” [Al-Lahab : 5] Al-jid ialah al-‘unuq artinya leher. Habl ialah tali, al-masad : sabut. Yakni, ia pergi ke gurun dengan membawa tali untuk mengikat kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan yang dilalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, na’udzubillah min dzalik. Hal ini mengisyaratkan rendahnya cara berfikir, karena ia menghinakan dirinya sendiri. Seorang wanita dari kabilah yang terkemuka dari kalangan suku Quraisy pergi ke gurun dengan melilitkan tali sabut di lehernya. Tetapi demi untuk menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia rela melakukannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam surat Al-Lahab terdapat bukti-bukti yang sangat banyak dan jelas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kebenaran. Beliau tidak mengajak demi mendapatkan kekuasaan, kehormatan dan jabatan di kalangan kaummnya.
Abu Lahab adalah paman dari Nabi Muhammad sendiri, saudara dari ayah beliau. Nam kecilnya Abdul ‘Uzza. Sebagaimana kita tahu, Uzza adalah nama sebuah berhala yang di puja orang Quraisy
Dalam mensikapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para paman beliau terbagi menjadi tiga kelompok. [a]. Kelompok yang beriman, [b]. Kelompok yang mendukung dan menolong beliau, namun tetap kafir. [c]. Kelompok yang ingkar dan berpaling.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Kamil dan Terjemahan. Pustaka Darus Sunnah. 2008
Alu Syaikh, Abdullah Bin Muhammad: Tafsir Ibnu Katsir. Pustaka Imam Syafii. Jakarta. 2008
Al-Mubarakfuri,Syafiyurrahman: Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Pustaka Ibnu Katsir. Jakarta. 2007
Prof. Dr. Hamka: Tafsir al-Azhar Juzu’ XXIX-XXX. Pustaka Islam. Surabaya. 1983
Utsaimin, Syaikh Muhammad Shalih: Tafsir Juz ‘Amma. Penerbit At-Tibyan. Solo. 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar