29 Januari 2008

Dakwah dalam pandangan Islam

BAB I
Pendahuluan

Dalam Munas Majelis Ulama Indonesia tahun 1985 dan dalam rakernya tahun 1987, telah mengambil keputusan tentang program dakwah bi al-hal. Salah satu rumusannya disebutkan bahwa tujuan dakwah bi al-hal antara lain untuk meningkatkan harkat dan martabat umat, terutama kaum dhu’afa atau kaum berpenghasilan rendah.1 Begitu juga halnya dengan Quraish Shihab, dalam bukunya "Membumikan al-Qur’an" beliau menyarankan agar pada masa sekarang ini (tahun 2000-an) gerakan dakwah yang harus segera digalakkan adalah dakwah bi al-hal atau dakwah pembangunan.
Realitanya konsep dakwah model ini kurang begitu menjadi pijakan bagi gerakan-gerakan dakwah yang dilakukan oleh lembaga maupun organisasi dakwah Islamiyah. Kalaupun ada gerakannya belum begitu massif dan radikal serta belum menyentuh tatanan sosial masyarakat yang membutuhkan. dakwah yang dilakukan sifatnya masih menoton bahkan bisa dikatakan sudah melenceng dari apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Sebagaimana yang dikatakan oleh Munir Mulkhan bahwa dakwah selama ini terlalu sibuk mengurusi Tuhan, bukan manusia. Akibatnya dakwah gagal mengembangkan daya rasional dan sikap empiris, kecuali memaksa orang dan dunia sosial menyesuaikan doktrin dan mengancam memasukkan ke dalam neraka.
Berangkat dari wacana diataslah dalam tulisan ini akan sedikit diulas hal ihwal tentang dakwah bi al-hal, baik dari konsep maupun keefektifannya dalam masa kini ketika dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sosial. Seperti pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya.













BAB II
Makna dakwah

Dakwah ibarat bolam (bola lampu) kehidupan, yang memberikan cahaya dan menerangi jalan kehidupan yang lebih baik, dari kegelapan menuju terang benderang, dari keserakahan menuju kedermawanan. dakwah merupakan bagian yang cukup terpenting dalam bagi umat saat ini tatkala manusia dilanda kegersangan spiritual, rapuhnya akhlak, maraknya korupsi, kolusi dan manipulasi, ketimpangan sosial, kerusuhan, kecurangan dan sederet tindakan-tindakan lainnya. Jelas bahwa dakwah merupakan seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah situasi yang buruk kepada situasi yang lebih baik dan sempurna.
Muhammad Natsir dalam bukunya "Fiqhud dakwah" mengatakan bahwa ada tiga metode dakwah yang relevan disampaikan ditengah masyarakat yakni dakwah bi al- lisan, bi al-kalam, dan yang terakhir bi al-hal.2 Dalam prakteknya dewasa ini, baru dakwah bi al-lisan yang sering dilakukan. Sementara dakwah bi al-kalam dan bi al-hal masih jauh dari harapan. Biarpun demikian, dewasa ini banyak organisasi/lembaga dakwah Islam mengambil peran dalam program dakwah bi al-hal seperti Muhammadiyah. Hal ini bisa dilihat pada produk-produk yang dikembangkan oleh Muhammadiyah sebagai konsekuensi dakwahnya seperti sekolah, madrasah, panti asuhan, yatim, koperasi dan sebagainya. Dari dakwah model Muhammadiyah tersebut kita dapat melihat bahwa dakwah tidak hanya dengan cara penyampaian secara lisan, tetapi juga dengan keteladanan dengan perbuatan nyata.
A. Muhammad SAW dan dakwah bi al-Hal
Kalau kita mau melihat sejarah Muhammad SAW dalam menyampaikan dakwahnya, ia tidak hanya bertabligh, mengajar, atau mendidik dan membimbing, tetapi juga sebagai uswatun hasanah. Ia juga memberikan contoh dalam pelaksanaanya, sangat memperhatikan dan memberikan arahan terhadap kehidupan sosial, ekonomi seperti pertanian, peternakan, perdagangan dan sebagainya.3
dakwah Nabi pun dalam periode Mekkah penuh dengan pengorbanan-pengorbanan baik raga, harta benda, bahkan jiwanya terancam akibat percobaan pembunuhan serta yang lebih berat lagi adalah korban perasaan, dari pada fitnah berupa ejekan, cemooh, cerca, penderitaan karena dikucilkan dan sebagainya. Demikian pula dalam periode Madinah para sahabat dan para pengikut Nabi, mereka bekerja keras dalam berbagai sektor kehidupan sosial, ekonomi dan sebagainya, orang-orang dari Anshor sebagian memberikan tanahnya, ternaknya, hartanya, kepada orang-orang Muhajirin yang telah kehabisan bekal. Rasul menghimpun harta benda untuk kepentingan pertahanan negara dan sebagainya.4
Jelaslah bahwa kalau kita mau bercermin pada sejarah Nabi, telah memberikan suritauladan dalam hidup dan melakukan dakwahnya beliau senantiasa menunjukkan satunya kata dengan tindakan. Nabi menunjukkan adanya kesatuan antara ucapan dan dengan perbuatan. Beliau tidak hanya hidup berdo’a dan berkhutbah, tanpa melakukan aksi sosial kemasyarakatan.
B. Reformasi Paradigma dakwah
Dari teladan dakwah yang demikian, maka sesungguhnya dakwah bukanlah sekedar retorika belaka, tetapi harus menjadi teladan tindakan sebagai dakwah pembangunan secara nyata. Ini dikarenakan akibat semakin meluasnya dan semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat yang perlu menerima dakwah, jadi dakwah harus menjadi “komunikasi non verbal” atau dakwah bi al-hal. Dalam artian bahwa, lembaga tidak hanya berpusat di masjid-masjid, di forum-forum diskusi, pengajian, dan semacamnya. dakwah harus mengalami desentralisasi kegiatan. Ia harus berada di bawah, di pemukiman kumuh, di rumah-rumah sakit, di teater-teater, di studio-studio film, musik, di kapal laut, kapal terbang, di pusat-pusat perdagangan, ketenagakerjaan, di pabrik-pabrik, di tempat-tempat gedung pencakar langit, di bank-bank, di pengadilan dan sebagainya.5
Model dakwah yang dilakukan secara verbal, oratorik dengan teks-teks al Qur’an dan Sunnah menempatkan dakwah dan pelakunya eksklusif selain menyimpang dari rahmatan lil ‘alamin dan juga dari tradisi kenabian Muhammad SAW. Hal itu meyebabkan kegagalan menampilkan Islam sebagai sesuatu yang menarik dan baik bagi semua orang dalam ragam hirarki keagamaan (santri abangan) faham keagamaan, golongan dan kelas. Bahkan merangkap Islam menjadi agama elit yang tidak terbuka bagi orang awam dan si miskin serta hanya beredar di dalam dirinya sendiri.6
Karenanya dakwah penting mempertimbangkan tujuan lebih luas yang bisa diperankan hampir semua orang yang berminat menebarkan praksis, dan praktik kebaikan, keadilan, kesejahteraan, dan kecerdasan. dakwah adalah kegiatan seni-budaya, politik, penelitian dan pengembangan iptek, produksi, pemasaran, jasa dan perdagangan, pendidikan, dan pers serta pembelaan mereka yang tertindas, melarat dan kelaparan. dakwah bukan hanya khutbah, pengajian dan kepesantrenan atau hanya bagi lembaga dengan nama resmi Islam yang hanya melibatkan suatau kelas keagamaan (santri).7
dakwah seyogyanya diletakkan di atas fondasi promosi kemanusiaan sehingga memperoleh kemajuan empiris di bidang kesehatan mental dan jasmani, ekonomi, hak politik, cita rasa budaya, kecerdasan emosi dan pikiran, kekayaan informasi serta sikap kritis. Dengan dakwah orang bisa melampaui batas dan perangkap materialisasi sistem, negara dan syari’ah, untuk sampai ke suatu fase spiritual dan metafisis yang bebas di antara sesama dan dihadapan Tuhan.8






BAB III
Peran Organisasi/ Lembaga dakwah dan Optimalisasi dakwah bil Hal

Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 104 Allah menyebutkan, “Adakanlah di antara kamu umat yan mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang baik dan melarang untuk berbuat kemungkaran. Mereka itulah orang-orang beruntung”. Ayat ini dijadikan landasan bagi bagi banyak organisasi/lembaga dakwah, dalam mendirikan organisasi/lembaga dakwah, dan bagi menyusun strategi dakwah. Dalam ayat ini umat Islam di perintahkan untuk mengadakan suatu badan/kelompok yang mengambil tugas mengerjakan dakwah.
Tetapi hingga kini kegiatan lembaga-lembaga dakwah Islam yang dikelola oleh kalangan cendikiawan masih memberikan kesan adanya ciri-ciri intelektual salon. Masih kebanyakan diantara kegiatan itu berbentuk serasehan, diskusi, seminar dan pernyataan dan pernyataan-pernyataan yang politis atau kegiatan publisitas. Sedangkan kegiatan di lapangan masih relatif sedikit. Banyak diantara lembaga dakwah kurang terjun ke bawah. Semuanya masih memberikan kesan yang elitis. Kalaupun ada kegiatan yang merakyat sifatnya masih memberi kesan amat politis. Program-progam dakwah yang dijalankan masih kurang nyambung dengan lapisan masyarakat bawah.9
Oleh karena itu sudah tiba waktunya bagi lembaga-lembaga dakwah Islamiyah untuk memulai program pembaharuan dakwah meyeluruh dan program masuk desa secara besar-besaran. Disini perlu ada beberapa langkah dan orientasi gerakan dakwah yang perlu dirumuskan ulang. Pertama, setiap gerakan dakwah perlu merumuskan orientasi yang lebih spesifik dalam memadukan dakwah bi al-lisan dengan bi al-hal bagi daerah atau masyarakat di pedesan. Hal itu diperlukan kekhususan potensi, masalah dan tantangan yang dihadapi tidak sama dengan penduduk dan daerah perkotaan.
Kedua, setiap gerakan dakwah perlu merumuskan perencanaan dakwah yang muatan misinya tetap sesuai dengan ajaran Islam yang dipesankan al-Qur’an dan al-Sunnah, namun orientasi programnya perlu perlu berdasarkan data empirik dari potensi, masalah, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi masyarakat. Ketiga, berkaitan dengan bentuk dan jenis program. Program dan kegiatan dakwah bagi masyarakat pedesaan harus dirumuskan secara lebih bervariasi dan lebih kongkrit berdasarkan kebutuhan, permasalahan, dan tuntutan konkrit masyarakat dakwah setempat.10
Sesuai dengan tuntutan pembangunan umat, maka gerakan dakwah hendaknya tidak hanya terfokus pada masalah-masalah Agama semata, tetapi mampu memberikan jawaban dari tuntutan realitas yang dihadapi masyarakat saat ini. Umat Islam pada lapisan bawah, tak sanggup menghubungkan secara tepat isi dakwah yang sering didengar melalui dakwah bi al-lisan dengan realitas yang begitu sulitnya kehidupan ekonomi sehari-hari. Untuk gerakan dakwah dituntut secara maksimal agar mampu melakukan dakwah bi al-hal (dalam bentuk nyata).11 dakwah harus mencakup perbuatan nyata (bi al-hal) yang berupa uluran tangan oleh si kaya kepada si miskin, pengayoman hukum, dan sebagainya. Perluasan kegiatan dakwah (desentralisasi) yang dibarengi oleh verifikasi mubaligh, akan sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat kita, yang juga semakin beragam, serta meluasnya diverensiasi sosial.12
Dakwah dengan tindakan nyata berupa bantuan materi: pangan gratis, susu gratis, pakaian gratis, pengobatan cuma-cuma, modal untuk membentuk koperasi kecil-kecilan, dana untuk pembuatan sumur-sumur bersih, memperbaiki gubuk tempat tinggal, membiayai sekolah anak-anak mereka, dan sebagainya. Pembangunan masjid juga merupakan bentuk dakwah nyata, tetapi dakwah pembangunan masjid ini tidak terlalu penting apabila jumlah jamaahnya semakin menipis.
Konsep dakwah juga adalah dakwah yang tidak menyempitkan cakrawala umat dalam emosi keagamaan dan keterpencilan sosial. dakwah yang diperlukan adalah dakwah yang mendorong perluasan partisipasi sosial. dakwah demikian juga akan memenuhi tuntutan individual misalnya, untuk saling menolong dalam mengatasi perkembangan atau perubahan sosial yang kian cepat.
Dalam persiapan untuk mulai melaksanakan dakwah bi al-hal diperlukan:
1. adanya badan atau kelompok orang yang terorganisasi, walaupun kecil dan sederhana.
2. adanya tenaga potensial, terdiri dari beberapa orang dengan pembagian tugas sesuai kemampuan masing-masing seperti: tenaga pengelola/koordinator tenaga pelaksana di lapangan yang akrab dengan pekerja-pekerja sosial, tenaga yang berpengetahuan, tentang kesehatan, gizi, pertanian, koperasi dan sebagainya, dan tenaga mubaligh atau guru agama, dan yang terakhir tetapi sangat penting ialah tenaga penghimpun dana.
3. adanya dana dan sarana-sarana yang diperlukan.
4. adanya program walaupun sederhana, yang disusun berdasarkan data-data tentang sasaran yang dituju dan sebagainya.
5. adanya kontak-kontak terlebih dahulu dengan sasaran yang dituju, dengan instansi-instansi dan orang orang yang terkait.
Setelah persiapan matang, maka sesuai dengan hari tanggal yang telah ditentukan, mulai operasional, dengan cara selangkah, dari tepi-tepi mulai masuk ke tengah, dari yang sangat rendah dan ringan hingga yang lebih kompleks. Setelah tiap-tiap langkah diayunkan, perlu diadakan evaluasi, dalam rangka untuk memperbaiki langkah-langkah lebih lanjut.
Dalam membina dan membimbing masyarakat, digunakan asas, memberi pancing agar mereka dapat mencari ikan sendiri, dan bukannya selalu memberi ikan yang sudah matang kepada mereka. Pada dasarnya rakyat mau bekerja, suka kerja, yang perlu adalah diberikan bimbingan dan contoh bekerja yang berdaya guna, misalnya dalam bercocok tanam, beternak dan sebagainya. Petani miskin, sering kesulitan dalam mendapatkan bibit unggul, pupuk dan modal untuk mulai bercocok tanam, diberi modal dan teknik menanam yang baik. Kerja mencangkul itu pekerjaan yang berat, memerlukan energi yang cukup, sehingga orang lapar jelas tidak mampu mencangkul. Pemberian sekedar bahan makanan sebagai modal kerja, sering sangat diperluan.
Di Desa banyak tenaga anak-anak, remaja, pemuda, wanita yang menganggur, tetapi kerena tidak ada yang dikerjakan. Mereka akan senang jika diberi bibit ternak, diajak bekerja gotong royong, diberi bimbingan kerajinan dan sebagainya.
Mereka membutuhkan bantuan seperti tersebut di atas, mereka akan menjadi akrab dengan siapa yang membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan mereka itu. Tabu bagi mereka untuk meminta-minta, tetapi mereka dengan senang hati menerima uluran tangan dari orang-orang yang mereka percayai. Demikianlah cara pendekatan dakwah bi al-hal, didekati kebutuhannya, didekati hatinya menjadi akrablah mereka. Dalam kondisi yang demikian mereka tidak akan sungkan-sungkan untuk diajak membangun desanya, membangun pribadinya dengan iman dan taqwa.





BAB IV
Adab Bermuzakarah (berdakwah) Dalam Islam

Syariat Islam telah menggariskan prinsip-prinsip serta adab untuk bermuzakarah, berdialog dan berbincang dalam sesuatu perkara. Perbincangan tersebut berteraskan kepada akal yang sihat, pemikiran yang bernas serta berdebatan yang dilakukan dengan sebaik-baiknya. Kesemua ini bertujuan untuk mencari kebenaran, kebaikan dan manfaat manusia seluruhnya. Perbezaan pendapat manusia sama ada dalam perkara agama atau dunia merupakan merupakan lumrah hidup dan tabie manusia.
Antara sebab-sebab timbulnya perbezaan pendapat ialah kefahaman terhadap sesuatu nas dan dalil yang dipegang atau perbezaan istilah bahasa. Di samping itu, berpegang kepada taklid semata-mata tanpa ada ilmu pengetahuan., kefanatikan terhadap pandangannya, hasad dengki dan mengikut hawa nafsu. Al-Quran telah menegaskan kerasulan nabi Muhammad dan setengah daripada golongaan musyrikin itu mengakui kebenaran Rasul. Oleh kerana perasaan fanatik, hasad dengki dan sombong menyebabkan mereka mengingkari kerasulan Muhammad s.a.w.
Di samping mengakui adanya perbezaan pendapat, Islam juga menggariskan panduan untuk umatnya bermuzakarah dan berdialog. Dalam tradisi keilmuan Islam, ada puluhan buah buku yang menulis mengenai perkara ini atas berbagai tajuk seperti Ilmu al-Jidal (Ilmu Berdebat), Adab al-Iktilaf (Adab Perbezaan Pendapat) dan Adab al-Hiwar (Adab Berdialog). Antara buku tersebut ialah al-Kifayah fi fann al-Jidal oleh Imam al-Haramain (m,. 478H ), al-Ma’unah fi al-Jidal oleh Syirazi (m. 476H) dan Tarikh al-Jidal oleh Muhammad Abu Zahrah, Adab al-Iktilaf oleh Dr. Taha Jabir al-Alwani dan Adab al-Hiwar oleh Syeikh Sayyid Muhammad al-Tantawi.
Antara adab-adab bermuzakarah yang digariskan oleh syariat Islam ialah muzakarah itu mestilah berprinsipkan kebenaran, jauh dari pembohongan dan waham. Al-Quran telah merakamkan dialog antara nabi Musa dengan firaun ketika mana nabi Musa mengadap firaun atas perintah Allah. Nabi Musa memperkenalkan dirinya sebagai seorang rasul dan membawa bukti keesaan Tuhan dari kejadian alam. Tetapi firaun yang tidak dapat menjawab hujah-hujah nabi Musa menganggap nabi Musa sebagai gila dan ahli sihir. Perbicaraan firaun adalah untuk menegakkan kebatilan. Akhirnya beliau mengugut nabi Musa untuk memenjarakannya. (Taha 42-69, al-Syu’ara 10-48). Perkara yang penting di sini ialah jawapan serta hujah nabi Musa adalah untuk mencari kebenaran yang lahir dari hati yang bersih, jauh daripada penipuan.
Muzakarah itu hendaklah berpegang kepada tajuk yang dibincangkan iaitu tidak keluar dari tema yang mereka perselisihkan. Al-Quran menceritakan kisah kaum nabi Nuh yang menyatakan kepadanya

“ Berkata dari golongan bangsawan kaumnya, sesungguhnya kami melihat engkau dalam kesesatan yang nyata.” (al-Araf 60).

Lalu dijawab oleh nabi Nuh, “Wahai kaumku, sesunguhnya aku bukan berada dalam keadaan kesesatan tetapi aku adalah rasul yang diutuskan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan kepada kamu risalah Tuhanku dan menasihati kamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu tidak mengetahui” (al-Araf 61-62)
Ternyata ayat diatas, jawapan yang diberikan oleh nabi Nuh berteraskan kepada tema persoalan yang ditimbulkan oleh kaumnya dan tidak lari dari tajuk perbincangan.
Muzakarah itu hendaklah mengemukakan hujah-hujah yang jelas dan benar sehingga mereka tidak mampu berhujah lagi. Setelah terbukti kebenaran mereka hendaklah kembali kepada ajaran yang sebenar sebagaimana kisah ahli sihir firaun yang beriman kepada nabi Musa setelah terbukti kebenaran kerasulannya. Begitu juga kita hendaklah kembali kepada kebenaran walaupun orang yang benar itu adalah orang bawahan kita dan kita sanggup menyatakan saya silap dan engkau betul.
Ahli-ahli muzakarah tersebut mestilah bersifat merendah diri dan menjauhkan diri dari sifat sombong serta banga diri. Lihatlah kisah nabi Sulaiman bersama-sama burung Hud-Hud. Walaupun nabi Sulaiman memiliki kerajaan yang besar namun ia menerima hujah burung itu dengan rendah diri dan bercakap secara hikmah dan lembut. (al-Naml 20-44)
Ahli muzakarah itu hendaklah memberi peluang kepada orang lain memberi pendapat atau hujah sama ada dari pihaknya atau pihak pembangkang. Ia tidak boleh memotong percakapan orang lain atau menyakitinya. Ini terbukti melalui dialog Allah dengan Iblis yang tidak mahu sujud kepada nabi Adam. Allah memberi seluas-luasnya peluang kepada Iblis untuk berhujah dan Iblis menyatakan ia lebih mulia dari Adam kerana Adam dijadikan dari tanah sedangkan dirinya dijadikan dari api.
Setelah Allah menjatuhkan hukuman dengan mengeluarkan Iblis dari Syurga, ia masih lagi mengutarakan hujah-hujah sehingga akhirnya ia bersumpah untuk menyesatkan seluruh manusia kecuali orang yang ikhlas beribadat kepada Allah. Akhirnya Allah menyebutkan bahawa Iblis akan dinantikan di akhirat kelak untuk menerima balasan. (al-Baqarah 34, al-Hijr 30-42, al-Isra’ 61-65, al-Araf 16-17) Di sini Allah memberi peluang kepadanya untuk mengatakan isi hatinya dan keinginan hawa nafsu untuk menyesatkan manusia.
Ahli-ahli muzakarah mestilah menghormati pandangan orang lain yang bercakap baik ketika memberi hujah-hujah yang bernas walaupun berbeza dengan pandangannya. Ini terbukti melalui peristiwa muzakarah Abu Bakar dengan Umar bin Khattab mengenai pengumpulan al-Quran selepas perang Yamamah. Abu Bakar pada mulanya enggan menerima tetapi apabila berlaku muzakarah dengan Umar, maka Abu Bakar mengakui kebenaran Umar dalam mengumpul dan menulis al-Quran. Begitu juga kisah Umar bin Khattab mengakui kebenaran Abu Bakar ketika mengisytiharkan perang terhadap orang murtad dan orang yang enggan mengeluarkan zakat yang pada mulanya dipersetujui oleh
Ahli-ahli muzakarah tidak boleh menghukum secara umum dan hendaklah sentiasa berhati-hati dalam kata-kata. Di samping itu, hendaklah meneliti sesuatu masalah dengan penelitian yang rapi. Tidak menggunakan sesuatu istilah atau lafaz kecuali pada tempat yang betul. Ia perlu berdasarkan maklumat yang tepat dan bukan berdasarkan berita angin.
Firman Allah yang bermaksud : “ Wahai orang yang beriman, apabila datang kepada kamu orang fasik membawa sesuatu berita hendaklah kamu selidiki terlebih dahulu dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan kamu itu.” (al-Hujarat 6)
Perkara yang penting ialah setiap perkataan dan perbuatan merupakan amanah dan tanggungjawab yang akan disoal di Akhirat kelak. Manusia bertanggungjawab atas apa yang dicakapkannya.
Imam Abdullah bin Mubarak menceritakan kisah seorang wanita tua yang ditemui pada musim haji di Madinah al-Munawwarah selepas menziarahi makam Rasulullah s.a.w. yang mana ia tidak bercakap kecuali dengan jawapan dari ayat-ayat al-Quran. Ketika Abdullah memberi salam maka dijawabnya dengan ayat 58 surah Yassin “ Salam sejahtera dari Tuhan yang Maha Penyayang”. Apabila ditanya ke mana ia hendak pergi dijawabnya dengan ayat 1 dalam surah al-Isra’ , “ Maha Suci Allah yang memperjalankan hambanya pada waktu malam dari Masjid al-Haram ke Majid al-Aqsa yang diberkati sekelilingnya.” Begitulah seterusnya dialog antara mereka dan apabila ditanya apakah menyebabkan beliau menjawab dengan ayat-ayat al-Quran, lalu dijawabnya bahawa setiap perkataan merupakan amanah dan beliau telah berbuat demikian lebih dari empat puluh tahun.
Islam juga menyuruh umatnya supaya berdialog dan bermuzakarah dengan orang bukan Islam dengan sebaik-baiknya : Firman Allah yang bermaksud
“ Janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara paling baik kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.” (al-Ankabut 46) Dalam hadis terdapat sabda Rasulullah yang bermaksud :“ sesiapa yang menyakiti orang kafir zimmi maka ia menyakiti aku, dan sesiapa yang menyakiti aku maka ia menyakiti Allah.”
Dalam konteks sekarang adab bermuzakarah perlu difahami oleh setiap individu masyarakat kerana perkara ini sentiasa dihadapi oleh kita dalam setiap masa dan tempat. Sementara itu, dialog peradaban dan agama amat penting dalam memastikan tamadun yang dibina itu benar-benar mantap. Oleh demikian, adab-adab yang telah digariskan oleh syariat Islam sewajibnya dipatuhi supaya ia menghasilkan natijah yang terbaik dalam setiap perbincangan dan dialog.
Sikap fanatik kepada kumpulannya sebelum berlakunya muzakarah dan dialog tidak akan membawa kebenaran yang diharapkan malah mungkin akan menimbulkan keadaan yang lebih parah lagi,. Sikap keterbukaan amat perlu kepada setiap individu ahli muzakarah dan dialog untuk mencari kebenaran dan keadilan terbaik.
Bermuzakarah dan berdialog ini bukan tertumpu kepada soal pemerintahan tetapi ia juga berlaku antara suami isteri, anak dan bapa, jiran tetanga dan masyarakat. Pendek kata, ia berlaku dalam semua peringkat masyarakat dan adab-adab tersebut mestilah dipatuhi. Apabila adab-adab tersebut dipatuhi dan dihormati nescaya lahirnya masyarakat yang makmur dan dirahmati Allah.




Penutup

 Dakwah bil hal diharapkan menunjang segi-segi kehidupan masyarakat, sehingga pada akhirnya setiap komunitas memiliki kemampuan untuk mengatasi kebutuhan dan kepentingan anggotanya, khususnya dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebagai catatan akhir ketika masyarakat sekarang ini sedang dilanda berbagai ketimpangan, kesenjangan baik sosial, politik maupun ekonomi maka gerakan-gerakan dakwah Islam dituntut untuk lebih tampil sebagai pemandu dan pembimbing masyarakat dan pengayom.
 Muhammad Natsir dalam bukunya "Fiqhud dakwah" mengatakan bahwa ada tiga metode dakwah yang relevan disampaikan ditengah masyarakat yakni dakwah bi al- lisan, bi al-kalam, dan yang terakhir bi al-hal.
 Dakwah seyogyanya diletakkan di atas fondasi promosi kemanusiaan sehingga memperoleh kemajuan empiris di bidang kesehatan mental dan jasmani, ekonomi, hak politik, cita rasa budaya, kecerdasan emosi dan pikiran, kekayaan informasi serta sikap kritis.
 Setiap gerakan dakwah perlu merumuskan perencanaan dakwah yang muatan misinya tetap sesuai dengan ajaran Islam yang dipesankan al-Qur’an dan al-Sunnah, namun orientasi programnya perlu perlu berdasarkan data empirik dari potensi, masalah, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi masyarakat.
 Muzakarah itu hendaklah mengemukakan hujah-hujah yang jelas dan benar sehingga mereka tidak mampu berhujah lagi. Setelah terbukti kebenaran mereka hendaklah kembali kepada ajaran yang sebenar sebagaimana kisah ahli sihir firaun yang beriman kepada nabi Musa setelah terbukti kebenaran kerasulannya.
 Konsep dakwah juga adalah dakwah yang tidak menyempitkan cakrawala umat dalam emosi keagamaan dan keterpencilan sosial. dakwah yang diperlukan adalah dakwah yang mendorong perluasan partisipasi sosial. dakwah demikian juga akan memenuhi tuntutan individual misalnya, untuk saling menolong dalam mengatasi perkembangan atau perubahan sosial yang kian cepat.
 Sesuai dengan tuntutan pembangunan umat, maka gerakan dakwah hendaknya tidak hanya terfokus pada masalah-masalah Agama semata, tetapi mampu memberikan jawaban dari tuntutan realitas yang dihadapi masyarakat saat ini. Umat Islam pada lapisan bawah, tak sanggup menghubungkan secara tepat isi dakwah yang sering didengar melalui dakwah bi al-lisan dengan realitas yang begitu sulitnya kehidupan ekonomi sehari-hari.
 Untuk gerakan dakwah dituntut secara maksimal agar mampu melakukan dakwah bi al-hal (dalam bentuk nyata). dakwah harus mencakup perbuatan nyata (bi al-hal) yang berupa uluran tangan oleh si kaya kepada si miskin, pengayoman hukum, dan sebagainya.
DAFTAR REFERENSI
http://www.shiar-islam.com/doc3.htm
http://www.uii.ac.id/index.asp?u=1341&b=I&v=1&id=2
http://www.eramuslim.com/ustadz/dll/7526102957-apa-prioritas-dakwah-dalam-islam-shahih.htm
http://walausetitik.blogspot.com/2007/05/apa-prioritas-dakwah-dalam-islam-yang.html
http://khairuddinhsb.blogspot.com/
http://mesejdakwah.blogspot.com/2008/01/dakwah-dalam-islam.html
http://www.alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=176&Itemid=37
http://dakwah2u.blogspot.com/2007/08/konsep-dharurat-dalam-islam.html

Tidak ada komentar: