BAB II MASA KEKHALIFAHAN ALI BIN ABI THALIB
A. Latar Belakang Ali Bin Abi Thalib
Ali Bin Abi Tholib Dilahirkan di Mekkah 32 tahun sejak kelahiran Rasulullah dan 10 tahun sebelum kenabian Muhammad bin Abdullah (Rasulullah). Nama lengkapnya Ali bin Abu Tholib bin Abdul Mutholib bin Hasyim al-Qursy al-Hasyimy. Satu kakek dengan Rasulullah, yaitu kakek pertama; Abdul Mutholib. Nama panggilannya Abul Hasan, kemudian Rasulullah memberikan nama panggilan lain, yaitu Abu Turob. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf al-Qursyiah al Hasyimiah.
Mengenai pribadinya, wajahnya tampan, beliau berkulit sawo matang, kepalanya botak kecuali bagian belakang, matanya lebar dan hitam, pundaknya lebar (kuat), tangan dan lengannya kuat, badanya besar hampir-hampir gemuk dan tubuhnya tidak tinggi dan tidak pendek (sedang). Beliau adalah sosok laki-laki ceria dan banyak tertawa.
Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari akhir, karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.
Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.
Ali, adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.
Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata, "Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"
Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.
Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlal Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.
Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.
Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.
Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war (perang gila-gilaan). Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu.
Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini.
Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.
Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.
Pada tahun 2 Hijriah, Rasulullah menikahkan dengan putrinya, Fatimah. Beliau belum pernah menikah ketika menikahi Fatimah hingga wafatnya Fatimah. Fatimah wafat 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah. Selama hidupnya beliau menikahi 9 wanita dengan 29 anak; 14 laki-laki dan 15 perempuan. Diantara putra beliau yang terkenal adalah Hasan, Husain, Muhammad bin al-Hanifah, Abbas dan Umar.
Pada masa jahiliyah (zaman sebelum kedatangan Islam), beliau belum pernah melakukan kemusyrikan dan perbuatan yang dilarang oleh Islam. Dalam sejarah kemunculan Islam, beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari anak-anak. Umurnya waktu itu 10 tahun. Pada waktu terjadi peristiwa hijrah umurnya 23 tahun dan ikut berhijrah bersama Rasulullah.
B. Proses Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abi Tholib
Pengangkatan Ali menjadi khalifah keempat dari khulafa’ ar-rasyidin terjadi pada tahun 35H/656 M, berawal dengan wafatnya khalifah ketiga Utsman bin Affan, yang terbunuh oleh sekelompok pemberontak dari Mesir yang bertepatan dengan tanggal 17 Juni 656 M, yang mana mereka tidak puas terhadap kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan. Pembunuhan itu menandakan suatu titik balik dalam sejarah Islam. Pembunuhan terhadap seorang khalifah oleh pemberontak yang dilakukan oleh orang-orang Islam sendiri, menimbulkan preseden yang buruk dan sungguh-sungguh memperlemah pengaruh agama dan moral kekhalifahan sebagai suatu ikatan persatuan dalam Islam .
Setelah Utsman bin Affan wafat, penduduk Madinah dengan didukung sekelompok pasukan dari Mesir, Basrah dan Kufah mencari siapa yang mau menjadi khalifah. Mereka meminta Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqash, dan ibnu Umar, pada awalnya tidak satupun dari mereka yang mau menjadi khalifah menggantikan Utsman. Setelah mereka berunding, akhirnya mereka mendatangi penduduk Madinah agar mereka mengambil keputusan, karena merekalah yang dianggap ahli syura, yang berhak memutuskan pengangkatan khalifah, kreadibilitas mereka diakui umat. Kelompok-kelompok ini mengancam kalau tidak ada salah satu dari mereka yang mau dipilih menjadi khalifah, mereka akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan masyarakat lainnya. Akhirnya dengan geram mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia. Karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran perang Badar. Menurut Ali, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Dengan berbagai argument yang diajukan oleh berbagai kelompok tersebut, demi Islam dan menghindari fitnah, akhirnya Ali bersedia dibai’at.
Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan bai’at dan diikuti keesokan harinya oleh sahabat-sahabat besar seperti Thalhah, dan Zubair, walaupun sebenarnya mereka membai’at secara terpaksa, dan keduanya mengajukan syarat dalam bai’at tersebut supaya Ali menegaklkan keadilan terhadap pembunuh Utsman. Namun Ali tidak langsung menjawab kesanggupannya, karena situasi pada waktu itu belum memungkinkan untuk mengambil tindakan dan para pembunuh Utsman tidak diketahui satu persatunya. Akibat sikap Ali yang demikian, setelah pembai’atan tersebut keduanya keluar dari Madinah menuju Mekah bersama Aisyah Ummul Mukminin janda Nabi, menyusun kekuatan untuk mengangkat senjata melawan Ali, sehingga kemudian terjadilah ’perang unta’ (waq’ah al-jamal). Setelah pelantikan selesai, Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid Nabawi, setelah memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka ambillah ynag baik dan tinggal;kan keburukan. Allah telah menetapkan segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang haram dengan jelas, memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya, menekankan keikhlasan dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi kepentingan umum,..........bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja, dari sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan ambillah, dan bila melihat keburukan tinggalkanlah. Kemudian Ali mengakhiri pidatonya dengan membacakan al-Qur’an surat al-Anfal ayat 26”.
C. Permasalahan Pada Masa Ali Bin Abi Tholib
a. Perang Jamal
Dinamakan perang unta, karena dalam peristiwa tersebut, janda Nabi Muhammad SAW dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan dengan mengendarai unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul Akhir tahun 36H/657M. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan.
‘Aisyah ra. maju ke depan di atas sedekupnya. la memberi Mushaf kepada Ka'ab bin Sur Qadhi Bashrah dan berkata," Ajaklah mereka kepada Kitabullah!" Ka'ab bin Sur pun maju ke depan dengan membawa Mushaf dan mengajak mereka kepadanya. la disambut oleh bagian depan pasukan Kufah. Pada saat yang bersamaan Abdullah bin Saba' dan para pengikutnya berada di depan pasukan membunuh siapa saja dari pasukan Bashrah yang dapat mereka bunuh.
Mereka tidak membiarkan seorang pun. Ketika mereka meli-hat Ka'ab bin Sur mengangkat mushaf mereka menghujaninya dengan anak panah hingga tewas. Kemudian anak panah mulai menghujani sekedup Aisyah ra.. Ummul Mukminin , Aisyah ra.. berteriak, "Allah! Allah! Ya bunayya, ingatlah Hari Hisab!" la mengangkat tangannya dan melaknat para pembu-nuh Utsman ra.. Orang-orang pun bergemuruh bersamanya dalam doa, hingga gemuruh tersebut sampai telinga Ali ra. ia berkata, "Suara apa itu?" Mereka berkata, "Ummul Mukminin melaknat para pembunuh Utsman ra. dan pendukungnya!" Ali ra. berkata, "Ya Allah laknatlah para pembunuh Utsman ra.!" Mereka terus menghujani sekedup Aisyah ra. dengan anak panah sehingga bentuk sekedup itu tak ubahnya seperti seekor landak. Aisyah ra. terus memotivasi pasukan untuk mempertahankan diri dan menghentikan serangan mereka. Mereka terus mendesak hingga medan per-tempuran sampai ke tempat Ali bin Abi Thalib ra. berada. Ali ra. berkata kepada puteranya, Muhammad bin al- Hanafiyah, "Cepat maju dengan membawa panji ini!" Namun Muhammad bin al-Hanafiyah tidak sanggup. Maka Ali ra. mengambil panji itu dengan tangannya lalu maju ke depan. Peperangan semakin seru, kadang kala pasukan Bashrah di atas angin dan kadang kala pula pasukan Kufah berada di atas angin. Banyak sekali pasukan yang gugur.
Belum pernah ditemukan pertempuran yang banyak menimbulkan korban yang putus tangan dan kakinya selain dalam peperangan ini. ‘Aisyah ra. ra.. terus mendorong pasukannya untuk mengejar para pembunuh Utsman ra.. Prajurit-prajurit yang bertempur mendekati unta (yakni unta yang mem-bawa ‘Aisyah ra. ra..), mereka berkata, "Peperangan ini akan terus berlanjut selagi unta ini masih tegak di sini!" Tali kekang unta pada saat itu ada di tangan Umairah bin Yatsribi, ia termasuk salah seorang jagoan yang kesohor. la tetap mempertahankan tali kekang unta itu hingga tewas terbunuh.
Prajurit yang pemberani dan gagah berani mengkhawatirkan kese-lamatan ‘Aisyah ra. ra... Saat itu panji dan tali kekang unta hanya dipegang oleh jagoan jagoan gagah berani yang terkenal keberaniannya. Ia membunuh sia-pa saja yang mendekat ke unta lalu akhirnya terbunuh. Pada saat itu sebagian dari mereka mencederai salah satu mata Adi bin Hatim. Abdullah bin az-Zubair menderita luka sebanyak tiga puluh tujuh liang pada peperangan Jamal ini. Marwan bin al-Hakam juga terluka. Kemudian seorang lelaki menebas kaki unta lalu membunuhnya, akhirnya unta itu roboh di atas tanah. Ada yang mengatakan bahwa yang mengisyaratkan agar membunuh unta itu adalah Ali bin Abi Thalib ra.. Ada yang mengatakan al-Qa'qa' bin Amru. Tujuannya agar Ummul Mukminin tidak terkena lemparan panah, ka-rena saat itu ia menjadi sasaran tembak oleh para pemanah. Dan agar ia dapat keluar dari medan pertempuran yang telah menelan korban sangat banyak. Ketika unta tersebut roboh ke tanah, orang-orang yang berada di dekat-nya mundur. Lalu sekedup Aisyah ra.. dibawa, bentuknya sudah seperti duri-duri landak karena saking banyak anak panah yang menancap padanya.
Diakhir peperangan Ali bin Abi Thalib ra. bermalam di Bashrah selama tiga hari. Beliau menshalatkan korban yang gugur dari kedua belah pihak. Kemudian beliau mengumpulkan barang-barang yang dirampas dari pasukan ‘Aisyah ra.. di markas dan memerintahkan agar dibawa ke Masjid Bashrah. Bagi yang mengenali barangnya ia boleh mengambilnya kembali. Kecuali senjata berlambang kha-lifah yang terdapat di gudang. Total korban yang gugur pada peperangan Jamal dari kedua belah pihak berjumlah sepuluh ribu jiwa. Lima ribu dari pasukan Ali dan lima ribu dari pasukan ‘Aisyah ra. ra.. . Semoga Allah merahmati mereka dan meridhai para sahabat yang gugur. Beberapa rekan Ali ra. meminta agar membagibagikan harta rampasan yang mereka peroleh dari pasukan Thalhah dan az-Zubair. Namun Ali ra. menolaknya. Sebagian pengikut as-Sakziyyah mencela beliau, mereka berkata, "Bagaimana mungkin engkau halalkan kepada kami darah mereka namun tidak engkau halalkan bagi kami harta-harta mereka?" Sampailah perkataan mereka itu kepada Ali ra., beliau berkata, "Siapakah di antara kalian yang bersedia Ummul Mukminin masuk ke dalam bagiannya?" Maka diamlah mereka mendengar ucapan beliau tersebut.
b. Perang Shiffin
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. berangkat dari Kufah bertujuan menduduki Syam. Beliau mempersiapkan pasukan di Nukhailah. Beliau menunjuk Abu Mas'ud Uqbah bin Amru al-Badri al-Anshari sebagai amir sementara di Kufah. Sebetulnya sejumlah orang menganjurkan agar beliau tetap tinggal di Kufah dan cukup mengirim pasukan ke sana, namun bebe-rapa orang lainnya menganjurkan agar beliau turut keluar bersama pasukan.
Disebut perang shiffin karean perang yang menghadapkan pasukan pendukung Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin dekat tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan Shafar tahun 37H/658M.
Ali ra. mengirim surat khalifah ini bersama pasukan detasemen yang dipimpin oleh al-Harits bin Jumhan al-Ju'fi. Ketika al-Asytar tiba dan bergabung bersama pasukan detasemen di depan, ia melaksanakan apa yang telah diinstruksikan oleh Ali ra.. Lalu ia maju berhadapan dengan Abul A'war asSulami, pemimpin detasemen pasukan Mu'awiyah. Kedua pasukan saling berhadapan seharian penuh. Di penghujung siang, Abul A'war as-Sulami menyerang mereka namun mereka berhasil menghadangnya maka terjadilah pertempuran kecil selama beberapa saat. Sore harinya pasukan Syam kembali.
Keesokan harinya kedua pasukan saling berhadapan kembali. Mereka saling menunggu. Tiba-tiba al-Asytar maju menyerang, sehingga gugurlah Abdullah bin al-Mundzir At-Tannukhi -ia adalah salah seorang penungang kuda yang handal dari pasukan Syam-. Ia dibunuh oleh salah seorang pasukan deta-semen Iraq bernama Zhibyan bin Umarah at-Tamimi. Melihat hal itu, Abul A'war bersama pasukannya menyerang pasukan Iraq. Ia bersama pasukan maju menghadang mereka.
Saat berhadapan al-Asytar menantang Abul A'war berduel satu lawan satu. Namun Abul A'war tidak meladeninya. Sepertinya ia memandang al-Asytar bukanlah lawan yang seimbang. Ketika malam tiba kedua pasukan menghentikan peperangan pada hari kedua ini. Keesokan paginya pada hari ketiga, Ali bin Abi Thalib ra. tiba bersama pasukannya. Kemudian Mu'awiyah juga tiba bersama pasukannya. Lalu kedua pasukan saling berhadapan di tempat yang bernama Shiffin dekat sungai Eufrat sebelah timur wilayah Syam. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Dzulhijjah tahun 36 H. Kemudian Ali ra. berhenti dan mengambil tempat bermalam bagi pasukannya. Akan tetapi Mu'awiyah bersama pasukannya telah lebih dahulu mengambil tempat, mereka mengambil tempat di sumber air, tempat yang paling strategis dan luas. Lalu pasukan Iraq datang untuk mengambil air. Namun pasukan Syam menghalanginya. Lalu terjadilah pertempuran kecil disebabkan masalah air tersebut. Masing-masing pasukan meminta bantuan kepada rekannya.
Kemudian kedua belah pihak sepakat berdamai dalam masalah air ini. Sehingga mereka berdesak-desakan di sumber mata air tersebut, mereka tidak saling bicara dan tidak saling mengganggu satu sama lain. Ali ra. berdiam selama dua hari di tempat itu tanpa mengirim sepucuk surat pun kepada Mu'awiyah dan Mu'awiyah juga tidak mengirim sepucuk surat pun kepada beliau. Kemudian Ali ra. mengirim seorang utusan kepada Mu'awiyah namun kesepakatan belum juga tercapai. Mu'awiyah tetap bersi-keras menuntut darah Utsman ra. yang telah dibunuh secara zhalim. Karena kebuntuan tersebut pecahlah pertempuran antara kedua belah pihak. Setiap hari Ali ra. mengirim seorang amir pasukan untuk maju bertempur.
Demikian pula Mu'awiyah, setiap hari ia mengirim seorang amir untuk maju bertempur. Kadang kala dalam satu hari kedua belah pihak terlibat dua kali pertempuran. Peristiwa itu terjadi sebulan penuh pada bulan Dzulhijjah. Lepas bulan Dzulhijjah dan masuk bulan Muharram pada tahun tiga puluh tujuh hijriyah, kedua belah pihak meminta agar perang dihentikan, dengan harapan semoga Allah mendamaikan mereka di atas satu kesepakatan yang dapat menghentikan pertumpahan darah di antara mereka.
Kemudian juru runding terus bolak balik menemui Ali dan Mu'awiyah sementara kedua belah pihak menahart diri dari pertempuran, demikian kondisinya hingga berakhir bulan Muharram tahun itu tanpa tercapai satupun kesepakatan. Ali bin Abi Thalib ra. menyuruh Martsad bin al-Harits al-Jasymi untuk mengumumkan kepada pasukan Syam saat terbenam matahari, "Ketahuilah, sesungguhnya Amirul Mukminin mengumumkan kepada kalian, 'Sesungguhnya aku telah bersabar menunggu kalian kembali kepada kebe-naran. Dan aku telah menegakkan hujjah atas kalian namun kalian tidak menyambutnya. Dan sesungguhnya aku telah memberi udzur kepada kalian dan telah memperlakukan kalian dengan adil. Sesungguhnya Allah tidak me-nyukai orang-orang yang berkhianat."
Mendengar pengumuman pasukan Syam segera menemui para amir mereka dan menyampaikan pengumuman yang mereka dengar tadi. Maka bangkitlah Mu'awiyah dan Amru, keduanya segera menyiapkan pasukan di sayap kanan dan di sayap kiri. Demikian pula Ali ra., ia menyiapkan pasukan pada malam itu.
Beliau menempatkan al-Asytar an-Nakha'i sebagai pemim-pin pasukan berkuda Kufah, pasukan infantri Kufah dipimpin oleh Ammar bin Yasir, pasukan berkuda Bashrah dipimpin oleh Sahal bin Hunaif dan pasukan infantri Bashrah dipimpin oleh Qais bin Sa'ad dan Hasyim bin Utbah, dan pemimpin para qari adalah Mis'ar bin Fadaki at-Tamimi. Ali ra. maju menghadap pasukan dan menyerukan supaya jangan seorang pun memulai pertempuran hingga merekalah yang memulainya dan menyerang kalian, jangan membunuh orang yang terluka, jangan mengejar orang yang melari-kan diri, jangan menyingkap tirai kaum wanita dan jangan melakukan pelecehan terhadap kaum wanita, meskipun kaum wanita itu mencaci maki pemimpin dan orang-orang shalih kalian!"
Pagi harinya Mu'awiyah muncul, di sebelah kanan pasukannya berdiri Ibnu Dzil Kala' al-Himyari, di sebelah kiri pasukannya berdiri Habibbin Maslamah al-Fihri, di depan pasukan berdiri Abul A'war as-Sulami. Sedang-kan pasukan berkuda Damaskus dipimpin oleh Amru bin al-'Ash, dan pasukan infantry Damaskus dipimpin oleh Adh-Dhahhak bin Qais.1026 Jabir al-Ju'fi1027 meriwayatkan dari Abu Ja'far al-Baqir dan Zaid bin al- Hasan serta yang lainnya, mereka berkata, "Ali bin Abi Thalib ra. Bergerak menuju Syam dengan kekuatan seratus lima puluh ribu personil yang berasal dari penduduk Iraq. Dan Mu'awiyah bergerak dengan jumlah personil seba-nyak itu juga yang berasal dari penduduk Syam. Yang lain mengatakan, Ali ra. Berangkat dengan membawa seratus ribu lebih personil. Sedang Mu'awiyah berangkat dengan membawa seratus tiga puluh ribu personil. Sejumlah orang dari pasukan Syam bersumpah untuk tidak lari dari medan perang, mereka mengikat diri mereka dengan sorban-sorban mereka. Mereka berjumlah lima barisan dan diikuti enam barisan yang lain. Demikian pula halnya pasukan Iraq, mereka berjumlah sebelas shaf yang melakukan hal serupa. Mereka saling berhadapan dengan kondisi seperti itu pada hari pertama di bulan Shafar tahun 37 H bertepatan pada hari Rabu. Panglima perang pasukan Iraq adalah al-Asytar an-Nakha'i, sedangkan panglima perang pasukan Syam pada saat itu adalah Habib bin Maslamah. Kedua pasukan terlibat dalam pertempuran yang sangat sengit pada hari itu, kemu-dian kedua pasukan menarik diri pada petang hari. Pertempuran pada hari itu berlangsung seimbang. Pada keesokan harinya -yakni hari Kamis-, panglima perang pasukan Iraq pada hari itu adalah Hasyim bin Utbah dan panglima perang pasukan Syam adalah Abul A'war as-Sulami. Pada hari itu kedua pasukan terlibat lagi dalam pertempuran yang sangat sengit, pasukan berkuda bertempur dengan pasukan berkuda dan pasukan infantri bertempur dengan pasukan infantri.
Pada petang hari kedua belah pihak menarik diri dari medan pertempuran. Kedua pasukan samasama bertahan dan pertempuran antara keduanya berimbang. Kemudian pada hari ketiga -yakni pada hari Jum'at- Ammar bin Yasir memimpin pasukan Iraq sementara Amru bin al-'Ash memimpin pasukan Syam. Selanjutnya kedua pasukan terlibat dalam pertempuran yang sangat sengit Amar menyerang Amru bin al-'Ash beserta pasukannya hingga mereka terpukul mundur.
Pada peperangan ini Ziyad bin an-Nadhar al-Haritsi berduel dengan seorang lelaki. Ketika keduanya telah saling berhadapan ternyata keduanya telah saling mengenal. Ternyata pula keduanya adalah saudara seibu. Maka keduanyapun menarik diri dan kembali ke pasukan masing-masing. Demikianlah peperangan terus berlanjut dengan kondisi seperti itu selama tujuh hari. Sore hari kedua belah pihak menarik diri dari medan pertempuran. Kedua belah pihak sama-sama bertahan selama tujuh hari ini, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah akan tetapi ketika Ammar terbunuh Ali ra. maju menyerang dan ikut menyerang juga sejumlah anggota pasukan beliau bersama beliau. Tidak tersisa satupun barisan pasukan Syam melainkan tercerai berai dan mereka (Ali ra. dan pasukannya) membunuh setiap orang yang mendekat kepada mereka."
Kemudian Ali ra. memerintahkan puteranya, Muhammad, untuk maju bersama sejumlah pasukan. Mereka terlibat dalam pertempuran yang sangat hebat. Kemudian Ali ra. mengirim pasukan berikutnya untuk maju menyerang sehingga jatuhlah korban yang sangat banyak dari kedua belah pihak yang hanya Allah yang tahu berapa jumlahnya. Banyak sekali tangan dan perge-langan yang putus dan kepala yang melayang, semoga Allah merahmati mereka semua. Kemudian tibalah waktu shalat Maghrib. Orang-orang tidak bisa mengerjakan shalat melainkan dengan isyarat menjamak shalat Maghrib dengan Isya’, Lalu peperangan berlanjut hingga malam hari.
Sejumlah ulama sejarah menyebutkan bahwa mereka berperang dengan tombak hingga tombak-tombak itu pecah, dengan panah hingga anak panah habis, dengan pedang hingga pedang-pedang itu hancur, kemudian kedua belah pihak terlibat baku hantam dengan tangan dan saling melempar batu, inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Begitulah kondisi pada malam itu hingga pagi, yakni pagi hari Jum'at mereka masih terlibat dalam pertempuran. Sehingga orang-orang mengerjakan shalat Subuh dengan isyarat sementara mereka terus bertempur sampai menjelang waktu dhuha. Kemenangan hampir berada di tangan pasukan Iraq atas pasukan Syam. Pada saat-saat seperti itulah pasukan Syam mengangkat mushaf al-Qur'an. Mereka berkata, "Ini hakim antara kami dan kalian, sudah terlalu banyak korban yang jatuh, siapakah lagi yang akan menjaga per-batasan wilayah Islam? Siapakah lagi yang akan berjihad melawan kaum musyrikin dan kaum kafir?"
Abdurrahman bin Ziyad bin An'am berkata -beliau menceritakan ten-tang pasukan yang terlibat dalam peperangan Shiffin-, "Mereka adalah orang-orangArab yang saling mengenal satu sama lain pada masa jahiliyah dahulu. Lalu mereka bertemu dalam naungan Islam. Mereka saling bertahan dan malu untuk melarikan diri. Apabila mereka menghentikan pertempuran, maka sebagian orang dari pasukan Iraq berkunjung ke pasukan Syam demikian pula sebaliknya. Mereka sama-sama menguburkan prajurit yang gugur dari kedua belah pihak." Asy-Sya'bi berkata, "Mereka adalah penghuni surga, saling bertemu satu sama lain. Seseorang dari mereka tidaklah menghindar atau lari dari yang lain."
c. Perang Nahrwan
Abu Mikhnaf meriwayatkan dari Abdul Malik bin Abi Hurrah bahwa ketika Ali ra. mengirim Abu Musa untuk bertahkim (berunding), kaum Khawarij berkumpul di rumah Abdullah bin Wahab ar-Rasibi. la menyampaikan pidato yang berapi-api, mengajak mereka zuhud di dunia dan mengejar akhirat dan surga. Ia juga mendorong mereka untuk menegakkan amar ma'ruf nahi mung-kar. Kemudian ia berkata, "Keluarkanlah saudara-saudara kita dari negeri yang zhalim penduduknya ke balik gunung ini di puncak-puncaknya atau di beberapa negeri lainnya, demi mengingkari tahkim (perundingan) yang zhalim ini." Kemudian bangkitlah Hurqush bin Zuhair, setelah mengucapkan puja dan puji ia berkata, "Sesungguhnya kesenangan dunia ini sedikit, perpisahan dengannya sudah di ambang pintu, janganlah keindahan dan perhiasannya menahan kalian di atas dunia ini, janganlah hal itu menghalangi kalian dari mencari kebenaran dan mengingkari kezhaliman, sesungguhnya Allah SWT. berfirman: 'Sesungguhnya Allah SWT. beserta orang-orang yang bertakwa dan orangorang yang berbuat kebaikan.' (An-Nahl: 128)."
Ibnu Katsir berkata, "Mereka ini adalah golongan manusia yang paling aneh bentuknya. Mahasuci Allah SWT. yang telah menciptakan keragaman bentuk makhluk-makhlukNya seperti yang Dia kehendaki dan ketentuanNya telah mendahului segala sesuatu.
Jalannya peperangan. Mereka maju menyerbu ke arah pasukan Ali. Ali memerintahkan pasukan berkuda untuk maju ke depan, lalu memerintahkan agar pasukan pemanah mengambil tempat di belakang pasukan berkuda. Kemudian menempatkan pasukan infanteri di belakang pasukan berkuda. Beliau berkata kepada pasukan, "Tahanlah, hingga merekalah yang memulainya!" Pasukan Khawarij maju seraya meneriakkan kata-kata, "Tidak ada hukum melainkan milik Allah SWT., marilah bersegera menuju surga!" Mereka menyerang pasukan berkuda yang dimajukan oleh Ali. Mereka membelah pasukan berkuda hingga sebagian dari pasukan berkuda menyingkir ke kanan dan sebagian lagi menyingkir ke kiri. Lalu mereka disambut oleh pasukan pemanah dengan panah-panah mereka. Pasukan pemanah memanahi wajah-wajah mereka kemudian pasukan berkuda mengurung mereka dari kanan dan dari kiri. Lalu pasukan infanteri menyerbu mereka dengan tombak dan pedang. Mereka menghabisi pasukan Khawarij sehingga korban yang gugur terinjak-injak oleh kaki kuda. Turut tewas pula pada peperangan itu pemimpin mereka, Abdullah bin Wahab, Hurqush bin Zuhair, Syuraih bin Aufa dan Abdullah bin Syajarah as-Sulami. Sementara dari pasukan Ali hanya terbunuh tujuh orang saja.
Ali berjalan di antara korban-korban yang tewas sembari berkata, "Celakalah kalian, kalian telah dibinasakan oleh yang menipu kalian!" Orang-orang berkata, "Wahai Amirul Mulamnin, siapakah yang telah menipu mereka?" Ali menjawab, "Setan dan jiwa yang selalu menyuruh berbuat jahat. Mereka telah ditipu oleh angan-angan dan terlihat indah oleh mereka perbuatan maksiat dan membisiki mereka seolah mereka telah menang!"
Kemudian Ali memerintahkan untuk mengumpulkan orang-orang yang terluka dari mereka, ternyata jumlahnya empat ratus orang. Ali menyerahkan mereka kepada kabilah-kabilah mereka untuk diobati. Lalu membagikan senjata dan barang yang dirampas kepada mereka. Al-Haitsam bin Adi berkata, "Ali tidak membagi-bagikan harta rampasan perang yang dirampas dari kaum Khawarij pada peperangan Nahrawan. Namun beliau mengembalikan seluruhnya kepada keluarga-keluarga mereka. Sampaisampai sebuah periuk beliau menolaknya dan mengembalikan kepada keluarga siempunya.
Al-Haitsam bin Adi berkata, "Ismail bin Abi Khalid telah menyampaikan kepada kami dari Hakim bin Jabir, ia berkata, 'Ali ditanya tentang pasukan Khawarij dalam perang Nahrawan, apakah mereka termasuk kaum musyrikin?’ Ali menjawab, 'Justru mereka menghindar dari kemusyrikan.’ Ada lagi yang bertanya, 'Apakah mereka termasuk kaum munafikin?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya kaum munafikin tidak mengingat Allah SWT. kecuali sedikit' Kemudian ada yang bertanya, 'Lalu bagaimanakah kedudukan mereka wahai Amirul Mukminin?' Ali menjawab, 'Mereka adalah saudara-saudara kita yang membangkang terhadap kita. Kita memerangi mereka karena pembangkangan mereka itu'."
BAB III KESIMPULAN/RINGKASAN
Banyak hikmah yang dapat dipetik, namun salah satu hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut adalah dilarang untuk memprovokasi, menghujat dan memfitnah penguasa muslim secara terang – terangan sehingga banyak orang yang tanpa memeriksa dahulu kebenaran yang ada, termakan dengan provokasi, hujatan dan celaan yang kesemuanya itu akan berakibat pada kekacauan dan kehancuran.
Maka dari itu Rasulullah SAW pernah bersabda (dari sahabat Iyadh bin Ghunaim ra.),”Barang siapa hendak menasehati penguasa maka janganlah secara terang – terangan, melainkan ambil tangannya dan berdua dengannya. Apabila ia menerimanya maka itu adalah untukmu, kecuali apabila ia enggan maka apa yang ada padanya adalah baginya sendiri” (HR Ahmad, hadits hasan) dan pada hadits yang lain Rasulullah juga bersabda; Dari Ummul Mukminin Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah ra dari Nabi SAW beliau bersabda, ”Sesungguhnya akan diangkat untuk kalian beberapa penguasa dan kalian akan mengetahui kemunkarannya. Maka siapa saja yang benci bebaslah ia, dan siapa saja yang mengingkarinya, maka selamatlah ia, tetapi orang yang senang dan mengikutinya maka tersesatlah ia” Para sahabat bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kita memerangi mereka ?” Beliau bersabda, “Jangan ! Selama mereka masih mengerjakan shalat bersamamu” (HR. Muslim)
Maka dari itu Usamah bin Zaid ra. ketika menasehati Khalifah Islam Utsman bin Affan dilakukannya dengan secara diam – diam sebagaimana atsar sahabat berikut ini : Dari Ubaidilah bin Khiyar berkata, “Aku mendatangi Usamah bin Zaid ra. dan aku katakana kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak menasehati Utsman bin Affan untuk menegakan hukum had atas Al Walid ?’. Maka Usamah bin Zaid ra. menjawab, ‘Apakah kamu mengira aku tidak menasehatinya kecuali harus dihadapanmu ? demi Allah, sungguh aku telah menasehatinya secara sembunyi – sembunyi antara aku dan ia saja. Dan aku tidak ingin membuka pintu kejelekan dan aku bukanlah orang yang pertama kali membukanya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu bagaimana dengan demonstrasi – demonstrasi yang marak dilakukan terhadap pemerintah yang penuh dengan provokasi, hujatan dan celaan !?
DAFTAR PUSTAKA
Al-Akkad, Abbas Mahmoud. 1979. Ketakwaan Khlaifah Ali bin Abi Thalib (terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad) Jakarta: Bulan Bintang.
Katsir, Ibnu. 2004. Al Bidayah Wan Nihayah (terj.Abu Ihsan Al-Atsari) Jakarta : Darul Haq.
Lewis, Bernard. 1988. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah; dari segi Geografi, Sosial, Budaya dan Persatuan Islam (terj. Said Jamhuri) Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.
Mahzum, Muhammad.1994. Meluruskan Sejarah Islam; Studi Kritis Peristiwa Tahkim (terj. Rosihan Anwar) Bandung:Pustaka Setia.
Syalabi, Ahmad. 1992. Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid I (terj: Mukhtarv Yahya) Jakarta : Pustaka al-Husna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar