30 Oktober 2008

Mewujudkan Pendidikan Berkualitas

BENARKAH pendidikan di Tanah Air belum berkualitas? Pertanyaan sederhana itu cukup tepat guna mengawali perbincangan kondisi pendidikan Indonesia terkini. Memang diakui, pendidikan kita masih dilingkupi banyak persoalan. Secara umum, dikatakan pendidikan kita mengalami penurunan kualitas. Hal itu terlihat dari menurunnya kualitas dan penghargaan terhadap riset, serta penurunan kualitas sumber daya manusia.

Seperti disinggung Prof Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta), potret penurunan kualitas pendidikan tidak lepas dari sejarah. Yakni, ketika bangsa Indonesia kehilangan momentum penting guna membangun dunia pendidikannya. Setelah merdeka, Indonesia sibuk dengan persoalan politik.

Padahal, di negara lain, seperti Jepang, selepas perang justru dimanfaatkan guna membangun sistem pendidikannya, terutama kualitas para gurunya.
Di tataran itu, kita bisa katakan kebijakan politik telah menjadi penyebab menurunnya kualitas pendidikan. Jelasnya, pada masa Orde Baru (Orba), hal penting yang lebih diperhatikan ialah eksploitasi sumber daya alam (SDA) ketimbang pembangunan intelektual melalui pendidikan. Akibatnya, pendidikan Indonesia kurang diperhatikan. Pada gilirannya, kelak terjadi pula kemandekan (stagnasi) pemikiran pendidikan.

Mandeknya pemikiran tersebut disebabkan banyak faktor. Di antaranya, karena pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat lebih dikedepankan, baik dalam pembuatan kebijakan maupun praktik pendidikan. Misalnya, penerapan paradigma belajar yang lebih memusat ke guru (teacher center learning), padahal dalam Ki Hadjar Dewantara telah dikenal konsep guru yang ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Selama ini, disadari atau tidak, pemikiran-pemikiran pendidikan dari budaya Timur tidak kita perhatikan. Ironisnya, kita justru bangga dengan menerima barang jadi dari Amerika, Eropa, atau Australia. Padahal, pemikiran-pemikiran dari budaya Timur, seperti Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa-Yogyakarta), Mohammad Sjafei (INS Kayutanam-Padang), KH Imam Zarkasyi (Pondok Modern Gontor-Ponorogo), atau lainnya cukup bagus.

Itu terbukti bahwa UNESCO kini justru mulai memakai pemikiran-pemikiran seperti yang digagas-bangun Ki Hadjar atau Sjafei. Untuk itulah, tanpa adanya keberpihakan politik (political will), pemikiran dari tokoh-tokoh lokal ataupun ide-ide pendidikan yang bersumber dari khasanah budaya sendiri tidak mungkin berkembang. Jika hal itu tidak direspon, kelak fenomena kemandekan pemikiran pendidikan masih terjadi di masa-masa mendatang.

Mengutip pendapat Bedjo Sujanto (2006), gagasan-gagasan orisinal dalam pendidikan sebenarnya terus bermunculan, termasuk dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Akan tetapi, eksperimen tersebut tidak bisa berkembang menjadi pemikiran pendidikan karena keberadaan mereka belum diterima dengan lapang dada. Itu terbukti dari masih minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap sekolah-sekolah alternatif.

Padahal, sekolah-sekolah tersebut cenderung lebih bisa memberdayakan masyarakat kelas bawah ketimbang sekolah-sekolah formal. Dengan segala upayanya, para pengelola sekolah-sekolah alternatif berusaha sedemikian rupa, agar pendidikan bisa terjangkau bagi semua kalangan. Pasalnya, tidak semua anak-anak merasa nyaman belajar di sekolah formal. Untuk itulah, akan sangat baik jika pemerintah mulai memperhatikannya.

Apalagi sejak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Wajib Belajar itu terbit, pemerintah pusat maupun daerah dituntut harus mampu memberikan perhatian selain pendidikan formal, yakni pendidikan informal dan nonformal. Dalam hal ini, pendidikan seyogianya juga melibatkan pihak keluarga dan masyarakat. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan itu bersifat terbuka dan komponen pelaksananya ialah sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Ketiganya, pada hemat saya, perlu bersinergi dalam membenahi kondisi pendidikan yang belakangan sudah melenceng dari jalur idealnya. Betapa tidak, saat ini masyarakat cenderung melimpahkan tugas mendidik anak-anak kepada pihak sekolah. Padahal, pihak sekolah (dalam hal ini guru di kelas) tidak sepenuhnya sanggup melaksanakan tugas tersebut. Kondisi yang demikian, jelas pada umumnya sangat merugikan pihak sekolah.

Idealnya, pendidikan di sekolah berjalan efektif; dan pada gilirannya akan menciptakan kondisi pembelajaran kreatif. Murid akan aktif dan guru menjadi fasilitator. Adapun sumber belajar tak lagi terbatas pada buku pelajaran atau hanya di dalam ruang kelas. Kelak, dengan pola tersebut diharapkan terjadi proses produksi pengetahuan sehingga prinsip penyelenggaraan pendidikan yang membaharui seperti diatur dalam UU Sisdiknas, dapat terlaksana.

Namun, kondisi objektif berkata lain. Meskipun berkali-kali ganti kurikulum, pendidikan kita masih terjebak pada fakta lama, bukan fakta baru. Maksudnya, konsep penguasaan yang dibidik pendidikan kita masih mengacu pada temuan pakar terdahulu. Sementara penemuan fakta baru yang sesungguhnya lebih bisa membuat siswa menjadi kreatif tidak digunakan. Akibatnya, mutu pendidikan cenderung menurun dan menurun.

Ironis, konsep tersebut masih banyak diterapkan hingga saat ini, sejak dari jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) hingga perguruan tinggi (PT). Suatu konsep di mana siswa (juga mahasiswa) terus dimasuki berbagai ilmu tanpa berusaha mengajak mereka mencari sesuatu yang baru. Dalam filsafat kuno, siswa (juga mahasiswa) lebih banyak diberikan ikan ketimbang kail. Akibatnya, mereka cenderung pasif dan menunggu tambahan ilmu dari guru (juga dosen).

Jika demikian halnya, tugas untuk mengubah konsep pendidikan dari yang semula tradisional menjadi modern ialah menjadi kewajiban semua pihak. Guru menjadi faktor penggerak utama, yakni dengan menjadi inspirator bagi siswanya. Ini sulit karena guru-guru kita sudah terbiasa patuh pada aneka peraturan, seperti juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis). Bagaimanapun, guru tetap perlu didorong untuk melakukan perubahan tersebut.

Dengan begitu, kualitas pendidikan di Tanah Air perlahan namun pasti akan menjadi lebih baik. Jika pemerintah memang memiliki komitmen, segeralah wujudkan komitmen itu dalam bentuk strategi ekstrem yang lebih mengedepankan proses dan perbaikan infrastruktur. Program pendidikan gratis dan peningkatan kesejahteraan guru ialah salah satu contohnya. Keduanya amat penting dalam mewujudkan kualitas pendidikan kita saat ini.[]

Tidak ada komentar: