19 Oktober 2008

Terorisme Dalam Tinjauan Psikologi Agama

BAB I
Pendahuluan

Setahun yang lalu Pemerintah Australia meminta warganya untuk mempertimbangkan masak-masak sebelum memutuskan masuk ke wilayah Indonesia. Australia meyakini bahwa dalam waktu dekat kemungkinan besar akan kembali terjadi serangan teroris di Indonesia (Kompas, 9/7). Kekhawatiran ini dilatari oleh beberapa peristiwa teror yang terjadi di Indonesia, dimana warga negara Australia seringkali menjadi korbannya.
Psikologi agama memiliki peranan penting dalam menyikapi hal ini, maka disinilah saya mencoba menjabarkannya

BAB II
Terorisme dalam Tinjauan Psikologi Agama

A. Mengalami Kemajuan
Sebenarnya, upaya pengungkapan jaringan terorisme di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup berarti. Tewasnya Azahari dan tertangkapnya beberapa anggota jaringannya, paling tidak, menggambarkan bahwa pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk menumpas gerakan terorisme, selain itu hal tersebut juga berdampak pada melemahnya barisan kekuatan mereka. Bukan hanya kekuatan mereka yang berkurang, melainkan juga timbulnya efek psikologis ketakutan.
Keberhasilan melacak dan melumpuhkan jaringan teroris itu akan dimaknai oleh anggota teroris yang lain bahwa masa depan gerakan terorisme cukup suram. Paling tidak, hal itu akan membuat mereka mempertimbangkan pendekatan teror atau bahkan merubahnya dengan strategi lain dalam menyuarakan kepentingan politik ataupun idealisme ideologis mereka, yakni dengan cara-cara yang lebih sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan keislaman.
Namun bisa jadi pula, tertangkapnya para tokoh dan pimpinan gerakan terorisme itu justru meningkatkan resiko eskalasi teror. Sebagaimana dikatakan oleh seorang anggota kelompok teroris kepada stasiun TV al-Jazeera bahwa tidak adanya kepemimpinan di Jamaah Islamiyah (JI) justru membuat organisasi itu semakin berbahaya (Kompas, 9/7 2007). Lebih lanjut ia mengatakan, “situasinya bisa menjadi lebih berbahaya sekarang karena pasti akan ada beberapa anggota yang akan semakin tidak sabar dan bisa menahan tindakannya tanpa ada perintah yang jelas dari pimpinan”. Dengan demikian langkah maju yang telah dicapai pemerintah Indonesia tidak serta merta menurunkan kualitas resiko aksi teror. Oleh sebab itu, peringatan dari pemerintah Australia sejatinya disikapi secara bijaksana.
Melihat fenomena terorisme di beberapa negara, pemimpin sebenarnya bukan faktor determinan terhadap bertahannya aksi teror. Pesona terorisme terletak pada pandangan ideologisnya, yang cenderung melihat problem sosial, ekonomi, dan politik harus—bahkan menilainya sebagai satu-satunya cara yang paling ideal—diselesaikan dengan cara mengganti tatanan yang ada. Pandangan ideologis ini semacam itu akan tumbuh subur pada masyarakat yang mengalami “luka narsistik”.
B. Beban Psikologis
Menurut Jerrold M Post, seorang guru besar psikologi politik di George Washington University, “luka narsistik” berpengaruh terhadap perilaku anarkis dan teror. Psikologi yang terbelah yang dicerminkan dari sikap selalu melihat kesalahan diakibatkan oleh pihak lain—bukan dirinya—berdampak pada arogansi dan merasa selalu paling benar ketika berhadapan dengan pihak lain.
“Luka narsistik” merupakan cermin dari budaya tidak terbuka terhadap kritik diri (self introspection). Sehingga pengidapnya terbiasa melihat kelemahan dirinya diakibatkan oleh orang lain. kemudian orang lain yang diidentifikasi sebagai penyebab itu akan ditetapkan sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Pada masyarakat yang mitologis, di mana realitas masih dijelaskan dengan perspektif mitos, “luka narsistik” ini mudah tumbuh. Absennya rasionalitas kritis terhadap fenomena di sekitarnya akan berdampak pada simplifikasi bahwa segala peristiwa digerakkan oleh sesuatu di luar manusia. Jadi kekurangan diri pun akan dipahami bukan sebagai kesalahan diri sendiri, melainkan disebabkan oleh pihak lain.
Relasi hamba dan Tuhan dalam masyarakat mitologis tidak berarti Tuhan dituding sebagai pihak yang bersalah. Tuhan tetap dianggap sebagai sosok yang agung. Tetapi keagungan Tuhan dan penghambaan kepada Tuhan itu menggambarkan relasi antara “sosok kuat” dan “lemah” yang cenderung negative.
Sehingga dalam konteks yang berbeda masyarakat senantiasa menuduh ada kekuatan jahat yang mengganggu jika ada anggota mereka yang sakit atau terjadinya bencana alam.
“Luka narsistik” menggambarkan adanya problem paradigma yang berefek pada psikologi manusia. Dalam masyarakat beragama kecenderungan menuduh umat agama lain sebagai sumber kerusakan merupakan cermin dari paradigma narsistik. Dengan paradigma bahwa semua yang berasal dari “kelompok saya” merepresentasikan kebenaran, sedangkan pada kelompok lain merepresentasikan hal sebaliknya, masyarakat terbiasa menyalahkan pihak lain, dan memandang kelompok sendiri sebagai serba sempurna.
Atas dasar itu, penyembuhan “luka narsistik” bisa disembuhkan sepanjang paradigma klaim kebenaran kelompok sendiri dieliminasi. Sejatinya, umat beragama dan masyarakat umumnya mulai belajar untuk bersikap bijaksana dalam memandang relasi antara “kita” dan “mereka”.

Kesimpulan

 Upaya pengungkapan jaringan terorisme di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup berarti. Tewasnya Azahari dan tertangkapnya beberapa anggota jaringannya, paling tidak, menggambarkan bahwa pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk menumpas gerakan terorisme,
 Melihat fenomena terorisme di beberapa negara, pemimpin sebenarnya bukan faktor determinan terhadap bertahannya aksi teror. Pesona terorisme terletak pada pandangan ideologisnya, yang cenderung melihat problem sosial, ekonomi, dan politik harus—bahkan menilainya sebagai satu-satunya cara yang paling ideal—diselesaikan dengan cara mengganti tatanan yang ada.
 Menurut Jerrold M Post, seorang guru besar psikologi politik di George Washington University, “luka narsistik” berpengaruh terhadap perilaku anarkis dan terror.
 “Luka narsistik” menggambarkan adanya problem paradigma yang berefek pada psikologi manusia. Dalam masyarakat beragama kecenderungan menuduh umat agama lain sebagai sumber kerusakan merupakan cermin dari paradigma narsistik.

Daftar Referensi

http://www.cmm.or.id/cmm-ind.php?id=C0_14_3
http://doctorliza.blogspot.com/2007/11/psikologi-agama.html

Tidak ada komentar: