12 Agustus 2009

SOSIOLOGI DAN BAGIAN-BAGIANNYA

BAB I. PENGERTIAN SOSIOLOGI

A. Pengertian Sosiologi
Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi merupakan cabang Ilmu sosial yang mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. sebagai cabang Ilmu, Sosiologi dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, August Comte. Comte kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Namun demikian, sejarah mencatat bahwa Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. sebagai sebuah ilmu, Sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum
Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.


B. Perkembangan Ilmu Sosiologi
Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.
Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu adalah :
1. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara Sosiologi statis dan Sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.
Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang Sosiologi. Mereka antara lain Pitirim Sorokin, Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, George Simmel, dan Max Weber (semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.
• Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
• Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
• Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.
• Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.


C. Beberapa Defenisi Sosiologi
Berikut ini definisi-definisi Sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli.
• Pitirim Sorokin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
• Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
• William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
• J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
• Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
• Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
• Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
• Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
• William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
• Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
| Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum















BAB II. BAHASAN UTAMA SOSIOLOGI
A. Pokok bahasan Sosiologi
1. Fakta sosial
Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).
2. Tindakan sosial
Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.
3. Khayalan Sosiologis
Khayalan Sosiologis diperlukan untuk dapat memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan Sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya. Alat untuk melakukan khayalan Sosiologis adalah troubles dan issues. Troubles adalah permasalahan pribadi individu dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Issues merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah trouble. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan issue, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
4. Realitas sosial
Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normative
B. Subdisiplin Sosiologi
Sosiologi sebagai ilmu sosial semula ajaran filosofi yang berorientasi Helenisme/ Yunani kemudian dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857) menjadi ilmu Sosiologi sociologie, sociology merupakan ilmu pengetahuan yang tugasnya mempelajari pelbagai persekutuan hidup, pranata/ institusi sosial, hubungan antaranggota dan antarkelompok masyarakat, beserta tenaga/kekuatan yang menimbulkan perubahan masyarakat. Pada intinya mengkaji makhluk sosial dalam peri kehidupannya.
Pertumbuhan pesat telah menghasilkan sub-subdisiplin Sosiologi hukum, Sosiologi ilmu, Sosiologi bahasa yang kerap disebut sosiolingustik, Sosiologi perkotaan 'urban sociology', Sosiologi pedesaan rural sociology dan akhirnya Sosiologi sastra yang termuda.
Dari sekian objek telaahnya mengenai masalah kemasyarakatan adalah (1) masalah perburuhan/ ketenagakerjaan yang bersangkut-paut dengan faktor sumber daya manusia 'human resources' dan (b) masalah human relation demi tercapainya hubungan yang harmonis, kerukunan, ketertiban. Visi itulah yang sedang digagas dalam masyarakat modern












BAB III. AGAMA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL

A. Fenomena Pesantren
Ada dua fenomena di antara sejumlah fenomena Sosiologis di Indonesia yang dapat dengan relatif mudah dijadikan contoh agama dan fenomena sosial. Contoh pertama adalah lembaga pesantren. Lembaga ini dipilih karena di dalamnya dipelajari sumber-sumber informasi mengenai keniscayaan kebenaran absolut (kitab suci, sabda-sabda nabi, dan karya tulis para ulama sebagai pemegang akses otoritatif terhadap sumber-sumber tersebut). dalam hal itu, pesantren adalah sebuah lembaga yang memainkan peranan penting dalam masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari kenyataan bahwa pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
Seperti dikatakan Abdurrahman Wahid, pesantren juga berperan sebagai pembimbing spiritual masyarakat, dalam arti adanya sejumlah anggota masyarakat yang datang ke pesantren dengan maksud menanyakan masalah yang sedang dihadapinya, seperti dalam soal-soal perdata-agama; masalah-masalah keluarga, seperti hukum perkawinan, waris, dan wakaf; seringkali diajukan masyarakat kepada pesantren untuk diketahui bagaimana status hukumnya. Bahkan, masalah yang lebih dari itu pun bisa saja diajukan ke pesantren. Seperti ketika menghadapi pemilu beberapa waktu yang lalu, meski dilakukan dengan berbisik-bisik, ada sekelompok masyarakat yang bertanya mulai dari apakah harus ikut berpartisipasi dalam pemilu atau tidak, sampai kepada partai apa yang harus dipilih (atau partai apa yang didukung pesantren tersebut).
Hal seperti itu telah menunjukkan cukup terbukanya peluang pesantren untuk turut serta menciptakan dinamika masyarakat. Artinya, pengaruh pesantren terhadap masyarakat di sekitarnya yang cukup besar itu, tinggal dimanfaatkan sebagi-baiknya sehingga bisa saja pesantren berfungsi sebagai tranformer nilai-nilai ideal pada masyarakat tersebut. Yang pada akhirnya akan mewujudkan suatu proses dinamisasi sinergis kontinum yang terjadi pada masyarakat pedesaan itu.
Selanjutnya Gus Dur mengatakan, dalam batas identifikasi Sosiologis, pesantren juga merupakan sebuah subkultur. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek-aspek kehidupan dalam pesantren itu sendiri. Di antara aspek kehidupan tersebut adalah: eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan, meski pesantren berada di tengah masyarakat, sedikit banyak berbeda dari pola kehidupan masyarakat pada umumnya; terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses tata nilai yang tersendiri dalam pesantren lengkap dengan simbol-simbolnya; adanya daya tarik ke luar sehingga memungkinkan masyarakat sekitarnya menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup masyarakat itu; dan berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi antara pesantren dan masyarakat di sekitarnya yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima kedua belah pihak.
Demikian halnya pesantren dipandang sebagai sebuah fenomena sosial karena di dalamnya telah terdapat realitas subkultur yang apabila disederhanakan, dapat terlihat sebagai mana berikut ini: pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti; cara hidup yang dianut; dan hierarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya.
Dari uraian tersebut, paling tidak, terdapat dua hal yang menarik untuk di tempatkan dalam kerangka diskursus agama dan perubahan sosial. Pertama, pesantren adalah sebuah lembaga yang dapat berfungsi sebagai media untuk memunculkan dinamika masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini terlihat dari aspek-aspek kehidupan subkultur di atas. Hal inilah yang kemudian melandasi pemikiran bahwa harus adanya refungsionalisasi pesantren dari hanya sekadar lembaga pendidikan agama menjadi salah satu pusat penting pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas inilah, menurut Azyumardi Azra, pesantren diharapkan menjadi suatu alternatif model pembangunan pada skala yang lebih besar yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered developmentt) karena pesantren berada di tengah masyarakat dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan masyarakat yang berorientasi pada nilai (value oriented development).
Kedua, dari realitasnya sebagai sebuah fenomena sosial, mekanisme kehidupan pesantren sebetulnya terletak pada pimpinannya yang kemudian terlihat pada pandangan dan cara hidup yang bersumber pada nilai-nilai yang terdapat pada pesantren itu. Di lain pihak, pimpinan pesantren itu pun seringkali memiliki karisma yang begitu besar di mata masyarakat. Dengan demikian, dua hal itu bisa diformulasikan dalam wujud sinergi-sosiologis untuk melahirkan dinamika masyarakat yang berada di sekitar pesentren tersebut dengan nilai-nilai kehidupan ideal yang menjadi titik ¬awal pembentukannya.
B. Contoh Pendayagunaan Islam dalam Pengembangan Syariat.
Contoh kedua adalah optimalisasi pendayagunaan ZIS (zakat, infak, dan sadaqah). Contoh ini didasarkan pada pemikiran bahwa pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan usaha mendorong masyarakat miskin/masyarakat prasejahtera menjadi masyarakat sejahtera. Di Jawa Barat, juga di provinsi lain di Indonesia, masyarakat miskin pada umumnya adalah penduduk daerah pedesaan. Namun demikian, di daerah perkotaan pun dewasa ini sering ditemukan lokasi atau wilayah dengan kelompok masyarakat miskin ditemukan. Persoalan anak jalanan, tuna wisma, dan fenomena Sosiologis lainnya, telah menjadi bagian potret masyarakat perkotaan. Hal ini berarti, persoalan kemiskinan masyarakat telah menjadi persoalan regional, bahkan nasional karena sebarannya tampak merata, mulai dari pedesaan hingga perkotaan.
Jika jumlah penduduk di Jawa Barat tahun ini diperkirakan sekitar 50 juta jiwa, sementara dilaporkan bahwa hingga tahun 1990 jumlah penduduk miskin di provinsi ini adalah 4.786.478 jiwa dan dengan adalnya krismon jumlah ini dipastikan bertambah, diperkirakan lebih dari 10 % penduduk Jawa Barat hidup dalam keadaan miskin. Sementara dari jumlah tersebut juga dilaporkan bahwa 98 %-nya adalah beragama Islam sehingga persoalan kemiskinan di Jawa Barat ini adalah persoalan ummat Islam.
Islam, dengan ajarannya yang universal, telah menawarkan solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Zakat, infak, sadaqah, dan term-term sosioreligius lainnya adalah wujud solusi tersebut, yang dipadukan dengan semangat-semangat keagamaan lainnya secara historis telah berhasil mengubah kehidupan masyarakat Arab pada masa awal Islam yang pada umumnya mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Jika semangat religiohistoris tersebut ditarik ke dalam kehidupan masa kini, tidaklah mustahil, zakat, infak, dan sadaqah itu akan menjadi problem solver yang efektif.
Dengan asumsi bahwa validitas laporan angka-angka tersebut dapat dipertanggungjawabkan, maka terdapat tiga puluh juta jiwa lebih muzakki-fitrah per tahun dan dengan perhitungan satu kepala keluarga sama dengan lima jiwa, maka terdapat enam juta keluarga muzakki nonfitrah. Jika ditambah dengan infak, sadaqah, dan aksi-aksi religio-expenditure lainnya, potensi agama sebagai problem solver semakin tampak terlihat. Untuk zakat fitrah saja, perkiraan angka yang bisa diperoleh adalah (misalnya) 30.000.000 jiwa x Rp 6000,00 = Rp 180.000.000.000,00. Persoalannya sekarang, di samping mekanisme pengumpulannya yang terletak pada upaya optimalisasi pengelolaannya, langkah awalnya adalah memformulasikan sistem dan pola penggalian potensi sumber-sumber zakat, infak, dan sadaqah tersebut.











BAB IV.PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM PEMBENTUKAN ISLAM

Islam diturunkan Allah untuk menyusun kehidupan manusia di peringkat individu dan masyarakat. Ini untuk mencapai kemakmuran dan kecemerlangan hidup di dunia dan akhirat. Penumpuan kepada usaha mendidik individu dan menyusun masyarakat di peringkat awal bagi melahirkan insan berguna dan mengatur sistem hidup masyarakat supaya berfungsi dengan baik.
A. Pendekatan Islam
Pendekatan Islam bukan hanya dengan mencari penyelesaian kepada akibat daripada suatu permasalahan. Malah, Allah dari awal lagi mengarahkan manusia supaya dididik dan disusun untuk kecemerlangan dengan berasaskan prinsip yang menepati fitrah kemanusiaan.
Proses penyusunan baik mengikut Islam memerlukan kepada suatu sistem pengurusan diri, keluarga, organisasi dan negara yang mantap demi membawa kepada wujudnya sebuah tamadun mulia serta progresif. Di peringkat pengurusan organisasi, Islam menganjurkan kepada metodologi pendekatan sesuai dan praktikal. Islam tidak mengesyorkan semoga bentuk, mekanisme dan kegiatan pengurusan organisasi yang sedang beroperasi secara cemerlang oleh masyarakat bukan Islam dihapuskan, melainkan kegiatan itu jelas bertentangan dengan falsafah Islam.
Islam hanya mengutarakan garis panduan dan mengambil kira suasana serta budaya persekitaran. Justeru, proses perubahan ke arah mencapai kejayaan hendaklah melalui penerapan nilai tauhid kepada falsafah dan roh sistem sedia ada yang terbukti berfungsi.
Dalam proses pengurusan, pekerja yang menganggotai sesebuah organisasi hendaklah diberi keutamaan. Manusia pada fitrahnya memiliki sifat makhluk individu dan sosial. Untuk mencapai kejayaan dan kecemerlangan dalam ke semua usaha, memahami hakikat ini sangat perlu.
Sifat makhluk individu menonjolkan bahawa setiap orang ingin menjaga
kepentingan dan kecapaian diri. Di samping itu, sebagai makhluk
sosial manusia saling memerlukan dalam mengatur tugas dalam organisasi.
Islam mengemukakan pendekatan usaha dan tindakan yang mengharmonikan kepentingan individu serta bermuafakat melaksana tugas dalam organisasi. Ini penting demi mencapai matlamat organisasi.
Untuk menjayakan keharmonian ini di peringkat individu, Islam mengutamakan kepada pembentukan pandangan hidup dan menghayati pendidikan akhlak. Ini semoga sahsiah seseorang dapat dibentuk dengan memiliki sikap positif serta progresif dan mengamal peri laku mulia. Usaha ini perlu kepada pendidikan yang dapat meningkat kefahaman dan berusaha menjalani latihan kerohanian semoga tindak tanduk yang negatif dapat dikurangkan. Akhlak dan peri laku seseorang sepatutnya mengarah kepada tanggungjawab dan prestasi kerja.
Memahami suasana semasa juga keperluan penting. Justeru, menguasai ilmu Sosiologi, ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya adalah sesuatu yang penting. Islam turut memberi tumpuan kepada peningkatan daya kemahiran dan kepakaran individu pekerja dalam sesebuah organisasi. Organisasi dengan itu mesti menganggap pekerja sebagai sumber terpenting dan sanggup melabur kepada peningkatan kepakaran mereka.
Individu yang hendak dibangun mesti memiliki ciri tertentu. Ini seperti sikap positif dan progresif, akhlak murni, memahami realiti dan budaya masyarakat serta daya kepakaran tinggi di peringkat tahap pekerjaan masing-masing. Tanpa ciri ini, kejayaan sesebuah organisasi akan berada pada tahap rendah. Bahkan, hanya memiliki di antara ciri ini tidak mungkin membawa kepada kejayaan membanggakan.
Sifat mementing diri adalah daya penggerak yang dapat memberi sumbangan positif kepada kemajuan sesebuah organisasi. Ini jika sifat itu dapat dididik dan diletak pada tempatnya. Tanpa sifat ini tidak mungkin manusia akan berusaha dengan gigih demi mencapai kejayaan diri. Bahkan sifat itu pada fitrah wujud dalam diri manusia.
Justeru, bagi Islam daya usaha dan kreativiti seseorang akan dapat dijayakan jika sistem organisasi memberi ruang secukupnya kepada kebebasan usaha individu. Islam hanya memberi panduan melalui tanggungjawab keagamaan yang perlu dilaksanakan demi pencapaian matlamat organisasi. Di samping itu, Islam memberi penekanan kepada pendidikan dan latihan spiritual semoga sifat mementing diri dapat diletak pada tempat sebenar.
Dengan pendekatan ini Islam berkeyakinan bahawa, sikap serta peri laku individu akan berbentuk positif dan optimis. Hasil keyakinan kepada peranan individu dalam sistem penyusunan organisasi Islam, dapat memberi keutamaan kepada pembangunan sumber manusia secara menyeluruh. Ini dapat meningkatkan daya kemahiran dan kepakaran dengan disertai nilai akhlak mulia. Dalam sistem penyusunan organisasi, ruang untuk individu berusaha serta membuat keputusan perlu diperluaskan. Struktur membuat keputusan organisasi dengan itu akan diagihkan ke bahagian dan unit tertentu mengikut keperluan dan bidang tugas relevan.
Semangat tolong menolong dan budaya bekerja berpasukan perlu diwujudkan. Ini dapat melaksanakan semangat syura atau perbincangan dalam menangani sesuatu tugas. Ia juga dapat mengurang kerenah pekerja dalam menjalani tugas organisasi.
Kecemerlangan dalam menghasilkan produktiviti dan kualiti tugas adalah natijah daripada memiliki pandangan hidup itu, yang dapat diterjemahkan dalam prinsip pengurusan dan penyusunan organisasi.
Hasil menerajui pengurusan mengikut perspektif di atas semangat keadilan akan dapat diterapkan dalam pengurusan organisasi. Pelaksanaan roh keadilan dalam pengurusan akan mengukuhkan suasana dan budaya muafakat dalam segala bentuk urusan tugas dan tanggungjawab. Bahkan kemuncak wujudnya prinsip keadilan akan menghasil kejayaan cemerlang dalam bentuk produktiviti dan kualiti kerja pekerja.

Tidak ada komentar: