24 April 2008

MENJUAL BARANG SECARA KREDIT, TETAPI BARANG TERSEBUT BELUM MENJADI MILIK SIPENJUAL KETIKA MENJUALNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Perlu dicermati bahwa ada sebagian perusahaan yang bila seseorang datang untuk membeli suatu keperluan seperti peralatan rumah tangga, mobil, rumah dan sebagainya, ia membelikan keperluan tersebut kemudian menjualnya kepada orang tersebut secara kredit plus bunga darinya padahal barang tersebut belum menjadi milik perusahaan itu. Atau trik lainnya, perusahaan tadi menyuruh orang tersebut membelinya sendiri kemudian ia membayarkan harganya terlebih dahulu berdasarkan kwitansi lalu mengambil bunga dari orang ini, bagaimana hukum jual-beli seperti ini?

Jawaban
Sebagaimana telah diketahui, bahwa siapa saja yang meminjam sejumlah 100.000 riyal, misalnya, untuk kemudian melunasinya secara angsuran (kredit) plus 8% untuk setiap angsurannya dan presentase ini semakin bertambah atau bisa juga tidak bertambah manakala temponya diperpanjang (jatuh tempo), maka ini adalah bagian dari riba, yaitu Riba Nasi’ah dan Fadhl. Hal ini semakin buruk manakala persentase tersebut semakin bertambah bila temponya diperpanjang, dan ini adalah riba Jahiliyah yang telah dilansir oleh Allah dalam firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawakalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat” [Ali-Imran : 130-132]

Seperti telah diketahui bawha pengelabuan (menyiasati secara licik) terhadap transaksi seperti ini sama artinya mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, berbuat makar dan berkhianat terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui pandangan mata yang khianat (pandangan yang terlarang seperti melihat kepada wanita bukan mahram, -pent) dan apa yang disembunyikan oleh hati.

Demikian pula, bahwa mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah tidak akan dapat menjadikannya halal hanya sekedar lahiriyahnya saja yang halal sementara tujuannya haram. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah ini hanya akan menjadikannya bertambah buruk, karena si pelakunya telah terjatuh kedalam dua larangan.

Pertama : Menipu, makar dan mempermainkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua : Kerusakan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang diharamkan dan didapat dengan cara pengelabuan tersebut, sebab akibat dari pengelabuan itu berarti kerusakan tersebut menjadi semakin terealisir. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah berarti keterjerumusan ke dalam hal yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Dengan begitu, si pelakunya berarti telah menyerupai mereka dalam hal itu. Oleh karenanya pula, dalam sebuah hadits disebutkan.

“Artinya : Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kamu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) siasat licik” [Ibnu Baththah dalam kitabnya Ibthalul Hiyal hal. 24, lihat juga Irwa’ul Ghalil 1535]

Sebagaimana dimaklumi oleh orang yang mau merenung dan dapat melepaskan dirinya dari kungkungan hawa nafsu, bahwa siapa yang mengatakan kepada seseorang yang ingin membeli mobil, “pergilah ke pameran mobil dan pilihlah mobil yang adan inginkan, saya akan membelinya dari pameran mobil itu kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”, atau mengatakan kepada seseorang yang ingin membeli tanah, “pergilah ke pemilik usaha property dan pilihlah tanah yang anda inginkan, saya akan membeli darinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”.

Atau dia mengatakan kepada orang yang ingin mendirikan bangunan dan membutuhkan besi, “pergilah ke toko alat-alat bangunan (material) si fulan dan pilihlah jenis besi yang anda sukai, saya akan membelinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”. Atau mengatakan kepada orang yang sama tetapi membutuhkan semen, “pergilah ke toko alat-alat bangunan si fulan dan pilihlah jenis semen yang anda inginkan, saya akan membelinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”.

Saya tegaskan, sebagaimana telah diketahui oleh orang yang mau merenung, bersikap adil (objektif) dan dapat melepaskan dirinya dari kungkungan hawa nafsu, bahwa transaksi seperti ini adalah termasuk pengelabuan terhadap riba. Hal ini, karena pedagang yang membeli barang tadi, dari semula tidak bermaksud untuk membelinya dan tidak pernah terpikirkan di otaknya untuk membelinya. Demikian pula, dia tidak pernah membelinya untuk si pencari barang tersebut karena ingin berbuat baik kepadanya, tetapi dia membelinya karena tergiur oleh nilai tambah yang didapatnya dari proses penangguhan (kredit) tersebut. Oleh karena itulah, setiap kali tempo diperpanjang, maka bertambah pula prosentase bunganya.

Sebenarnya hal ini sama seperti ucapan seseorang, “Saya pinjamkan kepadamu harga dari semua barang-barang ini plus ribanya sebagai imbalan dari penangguhan (kredit) akan tetapi saya juga akan memasukkan barang di sela kedua hal tersebut”. Dalam hal ini, telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bawhasanya dia pernah ditanyai tentang seorang yang menjual sutera dari orang lain seharga seratus kemudian menjulannya seharga lima puluh? Beliau menjawab, “itu sama saja dengan beberapa dirham plus beberapa dirham secara berlebih (riba) termasuk di sela-sela keduanya sutera tersebut”.

Ibn Al-Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Tahdzibus Sunan (V : 103), “Pengharaman terhadap riba seperti ini adalah berdasarkan makan (esensi) dan hakikat (substansi)nya, sehingga ia tidak akan surut berlaku dikarenakan perubahan nama dalam teknis penjualannya” –selesai ucapan beliau-

Bila membandingkan antara masalah jual-beli Inah dengan masalah tersebut, anda akan mendapatkan hukum masalah tersebut lebih dekat kepada pengelabuan terhadap riba ada sebagian gambaran yang ada dalam masalah Inah, sebab Inah tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli fikih bahwa (gambarannya) ; seorang menjual barang kepada seseorang dengan harga tangguh (kredit) kemudian membeli lagi darinya secara cash (kontan) dengan harga yang kurang dari itu padahal ketika menjualnya,si penjual terkadang tidak berniat untuk membelinya. Sekalipun demikian, hal itu tetap haram baginya. Ucapan si penjual yang suka mengelabui, “saya tidak memaksanya untuk mengambil barang yang telah saya belikan untuknya”, tidaklah dapat mentolerir (kebolehan) transaksi seperti ini.

Hal tersebut, karena sebagaimana telah diketahui bahwa seorang pembeli tidak mencari barang tersebut kecuali karena dia memang membutuhkannya dan dia tidak akan membatalkan niat untuk membelinya. Tentunya, kita tidak pernah mendengar ada seseorang yang membeli barang-barang dengan cara seperti itu (secara kredit) membatalkan niatnya untuk membelinya sebab seorang pedagang yang suka mengelabui seperti itu sudah mempertimbangkan untung ruginya bagi dirinya dengan mengetahui pasti bahwa si pembeli tersebut tidak akan membatalkan niatnya, kecuali bila dia mendapatkan cacat pada barang tersebut atau criteria yang disebutkan kepadanya ternyata kurang.

Jika ada yang mengatakan, “Bilamana tindakan seperti ini termasuk pengelabuan untuk melakukan riba, apakah ada jalan lain yang dapat ditempuh sehingga tindakan seperti ini dapat bermanfaat tanpa harus melakukan pengelabuan terhadap riba?”

Jawabannya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berkat hikmah dan rahmatNya tidak pernah mengunci pintu-pintu maslahat bagi para hambaNya. Jadi, bila dia mengharamkan sesuatu atas mereka karena terdapat kemudharatannya, maka Dia akan membukakan pintu-pintu bagi mereka yang mencakup semua maslahat tanpa menimbulkan kemudharatan.

Jalan yang terbebas dari tindakan seperti itu adalah dengan adanya barang-barang tersebut pada si pedagang, lalu dia menjualnya kepada para pembeli dengan harga tangguh (kredit), sekalipun dengan tambahan harga atas harga kontan (cash).

Saya kira, tidak ada pedagang besar (konglomerat) yang tidak mampu membeli barang-barang yang dia lihat prosfektif untuk diserbu para konsumen untuk kemudian menjualnya dengan harga yang dia tentukan sendiri. Dengan demikian, dia akan mendapatkan keuntungan yang dia inginkan plus terbebas dari tindakan pengelabuan untuk melakukan riba. Bahkan barangkali dia malah mendapatkan pahala di akhirat kelak bila diniatkan untuk memberikan kemudahan kepada orang-orang yang tidak mampu membelinya dengan harga kontan (cash). Bukankah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda.

“Artinya : Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang tergantung kepada apa yang dia niatkan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, kitab Bad’il Wahyi (1), Muslim, kitab Al-Imarah (1907)]

Terkait dengan apa yang disinggung oleh si penanya bahwa perusahaan tersebut membebankan kepada pembeli agar membeli barang yang diinginkan ; jika melalui hak itu, ia (perusahaan tersebut) ingin agar si pembeli tersebut menjadi perantaranya, maka inilah masalah yang telah kita bicarakan di atas. Dan jika yang diinginkan oleh perusahaan tersebut adalah membeli barang tersebut untuk kepentingan sendiri, maka ini namanya Qardlun Jarra Naf’an (pinjaman yang diembel-embeli tambahan). Dan ini tidak ada masalah lagi bahwa ia adalah jelas-jelas riba.

[Fatawa Mu’ashirah, hal. 47-52,dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]



Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2078/slash/0

Tidak ada komentar: