29 Desember 2007

al-Quran sumber ajaran islam

ahlan wasahlan

BAB I. ALQUR'AN SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM

Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain.

Seperti kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya. Al-Qur’an juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut.

1. Pengertian Al-Qur’an

Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Al-Qur’an baik dari bahasa maupun istilah. As-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim dipergunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAMSementara Al-Farra berpendapat bahwa lafadz Al-Qur’an berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan ; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Al-Qur’an itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz Al-Qur’an diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.

Pengertian-pengertian kebahasaan yang berkaitan dengan Al-Qur’an tersebut sungguh pun berbeda tetapi masih dapat ditampung oleh sifat dan karakteristik Al-Qur’an itu sendiri, yang antara lain ayat-ayatnya saling berkaitan satu dan lainnya. Oleh karena itu penulis mencoba pula untuk memaparkan pengertian Al-Qur’an secara etimologis dan terminologis berdasarkan pendapat beberapa ahli.

Secara etimologis, Al-Qur’an merupakan Masdar dari kata kerja “Qoroa” yang berarti bacaan atau yang ditulis, sedang menurut Quraish Shihab berarti bacaan yang sempurna.

Secara terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut :

Safi’ Hasan Abu Thalib menyebutkan :

القران هو الكتاب منزل بالفاظه العربية ومعانيه من عند الله تعالى عن طريق الوحي الى النبي محمد عليه الصلاة والسلام و هو اسا س الشريعة واصلها الاول

Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SUBHANAHU WA TAALA melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syariat.

Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :

انا انزلنه قرانا عربيا لعلكم تعقلون

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)]

Sedangkan menurut Zakaria Al-Birri], yang dimaksud Al-Qur’an adalah : Al-Kitab yang disebut Al-Qur’an dalah kalam Allah SUBHANAHU WA TAALA, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM dengan lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf.

Sementara Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasfa menjelaskan bahwa yang dimaksud Al-Quran adalah:

"Al-Quran yaitu merupakan firman Allah SUBHANAHU WA TAALA”.

Dari ketiga definisi di atas, pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama. Definisi pertama dan kedua sama-sama menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa Al-Qur’an dinukil secara mutawatir. Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya menyebutkan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah SUBHANAHU WA TAALA, akan tetapi , Al-Ghazali dalam uraian selanjutnya menyebutkan bahwa Al-Qur’an bukanlah perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagai orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah SUBHANAHU WA TAALA

Nabi hanya berfungsi pembawa atau penyampai apa-apa yang diterima dari Allah, bahwa Allah menetapkan hukum-hukum.

Untuk lebih memperjelas definisi Al-Qur’an ini penulis juga nukilkan pula pendapat Dawud Al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara mutawatir

Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut :

a. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi.

b. Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari Allah sendiri.

c. Al-Qur’an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur’an tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.

d. Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur’an disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.

Sebetulnya masih terdapat sejumlah definisi lain yang dirumuskan oleh para Ulama, tetapi kelihatannya mengandung maksud yang sama meskipun secara redaksional berbeda.

Dalam kaitannya dengan sumber dalil, Al-Qur’an oleh ulama ushul sering disebut dengan Al-Kitab. Umumnya di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut Al-Quran dengan Al-Kitab.

Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab di dalam Al-Qur’an sendiri sering disebut Al-Kitab –yang dimaksud adalah Al-Qur’an. Seperti firman Allah :

Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 1 )

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini, Penukilan Al-Qur’an dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan Al-Qur’an dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam firman-Nya :

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)

2. Kehujjahan Al-Qur’an sebagai Sumber Agama

Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf], bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Sebagai sumber ajaran Islam yang utama Al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan Al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan Al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Bagi Mu’tazilah Al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam Al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk Al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula Al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam Al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.

Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.

3. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, Al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. Al-Qur’an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi’ Hasan Abi Thalib menegaskan :

al-Qur’an dipandang sebagai sumber utama bagi hukum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari Al-Qur’an. Dan dari sini, jelas bahwa Al-Qur’an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari Al-Qur’an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada Al-Qur’an. Al-Ghazali bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SUBHANAHU WA TAALA. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SUBHANAHU WA TAALA.

Dari uraian di atas jelas bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya.

BAB II. FUNGSI AL-QUR’AN

Adapun beberapa fungsi Al-Qur’an adalah sebagai berikut

1.(كلام الله) Kalam Allah.

Bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang Allah ucapkan kepada Rasulullah SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM melalui perantaraan malaikat Jibril as. Firman Allah merupakan kalam (perkataan), yang tentu saja tetap berbeda dengan kalam manusia, kalam hewan ataupun kalam para malaikat. Allah berfirman (QS. 53 : 4) :
إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

2. (المعجز) Mu’jizat.

Kemu’jizaan Al-Qur’an merupakan suatu hal yang sudah terbukti dari semejak zaman Rasulullah SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM hingga zaman kita dan hingga akhir zaman kelak. Dari segi susunan bahasanya, sejak dahulu hingga kini, Al-Qur’an dijadikan rujukan oleh para pakar-pakar bahasa. Dari segi isi kandungannya, Al-Qur’an juga sudah menunjukkan mu’jizat, mencakup bidang ilmu alam, matematika, astronomi bahkan juga ‘prediksi’ (sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Rum mengenai bangsa Romawi yang mendapatkan kemenangan setelah kekalahan), dsb. Salah satu bukti bahwa Al-Qur’an itu merupakan mu’jizat adalah bahwa Al-Qur’an sejak diturunkan senantiasa memberikan tantangan kepada umat manusia untuk membuat semisal al-Qur’an tandingan, jika mereka memiliki keraguan bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah. Allah SUBHANAHU WA TAALA berfirman (QS. 2 : 23 - 24):

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”

Bahkan dalam ayat lainnya, Allah menantang mereka-mereka yang ingkar terhadap Al-Qur’an untuk membuat semisal Al-Qur’an, meskipun mereka mengumpulkan seluruh umat manusia dan seluruh bangsa jin sekaligus (QS. 17 : 88):

“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".

3.Diturunkan kepada Nabi Muhammad

Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah SUBHANAHU WA TAALA langsung kepada Rasulullah SALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM melalui perantaraan malaikat Jibril as. Allah SUBHANAHU WA TAALA menjelaskan dalam Al-Qur’an (QS. 26 : 192 – 195)

“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”

4. Pegangan Hukum yang Pasti

Semua umat muslim yang benar-benar beriman didunia mengimani bahwa al-Qur’an adalah pengambilan hukum yang pertama dan utama. Untuk itulah disini fuingsi al-Qur’an sebagai pegangan hukum yang sudah pasti dan harus diimani dan diamalkan oleh seluruh umat Islam

BAB III. PENDEKATAN MEMAHAMI ALQUR’AN

  1. Dalalah Al-Qur’an

Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad Al-Jurjani dalam kitab Al-Ta’rifat disebut dengan Kaifiyah dalalah Al-lafdz ‘ala Al-ma’na.

Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.

a. Terma Qat’iy

Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :

  1. Qat’iy Al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
  2. Qat’iy Al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.

b. Terma Zanniy

Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :

1. Zanniy Al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir

2. Zanniy Al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.

Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan Al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy Al-Wurud karena Al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila Al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.

Umumnya nash-nash Al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy Al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.

Salah satu contoh ayat yang qat’iy Al-dalalah :

ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...

Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12)

Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.

Kemudian , nash Al-Qur’an di samping qat’iy Al-dalalah ada juga yang zanniy Al-dalalah. Nash-nash Al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash Al-Qur’an yang dikategorikan zanniy Al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :

و المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...

Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228) Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci) dan kadang-kadang diartikan pula Al-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.

Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).

Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu Al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.

Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy Al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda.

BAB IV AL-QUR’AN SEBAGAI KALAMULLAH

Kitab suci Al-Quran atau kalam Allah diturunkan kepada Baginda Rasulullah s.a.w. melalui perantaraan Malaikat Jibril a.s. secara berperingkat-peringkat selama 23 tahun. Penurunannya adalah mengikut suasana semasa yang berlaku ketika itu atau mengisahkan peristiwa yang memerlukan istinbat hukum. Kandungan Al-Quran itu merangkumi ayat-ayat yang menyentuh pelbagai aspek kehidupan manusia seperti mengatur cara hidup bermasyarakat, cara beribadah, pembahagian harta pusaka, urusan kekeluargaan, urusan pentadbiran dan pembangunan negara, urusan pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Kesemua kandungan ini tetap menjadi sumber rujukan yang unggul dan abadi sehingga ke hari kiamat .

Al-Quran merupakan wahyu dan mukjizat kepada Baginda Rasulullah s.a.w., ia juga merupakan kitab yang terakhir yang diturunkan ke dunia ini, manakala membaca dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah kepada Allah s.w.t. Selain daripada itu, Al-Quran juga mempunyai rahsia dan hikmah yang tinggi. Kunci kerahsiaannya perlu digali, pintu hikmahnya perlu diterokai supaya arah tuju perjalanan hidup kita sentiasa dalam keredhaan Allah s.w.t. Lebih-lebih lagi kita wajib mempercayai kitab Al-Quran kerana ia merupakan pelengkap kepada kesempurnaan rukun Iman seseorang Muslim

BAB V. ULUMUL QUR’AN

  1. Qur’an di Jaman Rasul dan Sahabat

Para sahabat nabi adalah orang-orang Arab murni, mampu mencerna kesusasteraan bermutu tinggi. Mereka dapat memahami ayat-ayat al-Qur'an yang turun kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallamJika menghadapi kesukaran dalam memahami sesuatu mengenai al- Qur'an, mereka menanyakannya langsung kepada beliau. Misa1nya, pertanyaan mereka1. ketika turun ayat: "dan tidak mencampur iman mereka dengan kedzaliman" (al-An'am, 82). Mereka bertanya kepada beliau: "Siapakah di antara kita yang tidak pernah dzalim terhadap diri sendiri". ? Rasulullah dalam jawabannya menafsirkan kata "kedzaliman" pada ayat tersebut dengan "syirik", dan sebagai da1il beliau menunjuk firman A11ah Subhanahu wa Taala dalam surah Luqman, 13 yang menegaskan: "Sungguhlah bahwa syirik adalah kedzaliman yang amat besar".

Kepada beliau Allah Subhanahu wa Taala te1ah menurunkan Kitab suci a1-Qur'an dan mengajar dan kepada beliau segala sesuatu yang tidak beliau ketahui sebelumnya. Karunia Allah kepada beliau sungguh teramat besar. Pada masa hidup Rasulullah dan masa berikutnya, pada zaman generasi para sahabat Nabi, tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis atau mengarang buku-buku tentang i1mu al-Qur'an2..

Sebagian besar para sahabat Nabi terdiri dari orang-orang buta huruf, dan alat tulis-menulis pun tidak dapat mereka peroleh dengan mudah. Itu merupakan halangan bagi kegiatan menulis buku tentang i1mu al-Qur'an. Selain itu Rasulul1ah sendiri melarang para sahabatnya menulis sesuatu yang bukan al-Qur'an. Pada masa permulaan turunnya wahyu be1iau mewanti-wanti: "Janganlah kalian menulis sesuatu tentang diriku. Siapa yang sudah menulis tentang diriku, bukan al-Qur'an, hendaklah menghapusnya. Tak ada salahnya bila kalian berbicara mengenai diriku. Namun, siapa yang sengaja berbicara bohong mengenai diriku, hendaknya ia siap menempali tempatnya didalam neraka"3.
Larangan beliau itu didorong kekhawatiran akan terjadinya pencampuran al-Qur'an dengan hal-hal lain yang bukan dari al-Qur'an.

Pada zaman hidupnya Rasulullah maupun pada zaman berikutnya, yakni zaman kekhalifahan Abubakar dan 'Umar radhiyallahu 'anhuma, i1mu al-Qur'an masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan. Ketika zaman kekha1ifahan 'Utsman ra dimana orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non Arab, pada saat itu 'Utsman memerintahkan supaya kaum mus1imin berpegang pada mushaf induk dan membuat reproduksi menjadi beberapa buah naskah untuk dikirim ke daerah-daerah. Bersamaan dengan itu ia memerintahkan supaya membakar semua mushaf lainnya yang ditulis orang menurut caranya masing-masing. Riwayat terinci mengenai hal itu dan sebab-sebab pendorongnya te1ah kami kemukakan pada bagian tedahulu. Yang perlu kita ketahui sekarang, dengan memerintahkan reproduksi naskah al-Qur'an berarti 'Utsman ra meletakkan dasar yang di kemudian hari terkenal dengan nama 'Ilmu Rasmil al-Qur'an atau 'Ilmu-Rasmil- 'Utsmani (ilmu tentang penulisan al-Qur'an).

B. Perkembangan Ulumul Qur’an

Dapatlah kami katakan, para perintis i1mu ulumul Qur’an adalah:

1. Empat orang Khalifah Rasyidun (Abubakar, 'Umar, 'Utsman dai'Ali), Ibnu "Abbas, Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka'ab, Abu Musa al-Asy'ari dan 'Abdullah bin Zubair5. Mereka itu dari ka1angan para sahabat Nabi.

2. Mujahid, 'Atha bin Yassar, 'Ikrimah, Qatadah, Hasan Bashri, Sa'id bin Jubair, dan Zaid bin Aslam dari kaun Tabi 'in di Madinah.

3. Malik bin Anas dari kaum Tabi'it-Tabi'in (generasi ketiga kaum muslimin). la memperoleh i1munya dari Zaid bin Aslam.

Mereka itulah orang-orang yang meletakkan apa yang sekarang kita kenal dengan i1mu Tafsir, ilmu Asbabun-Nuzul, i1mu tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah dan yang turun di Madinah, i1mu tentang Nasikh dan Mansukh dan i1mu gharibul-Qur' an (soal-soal yang memerlukan penta'wilan dan penggalian maknanya).

Pada masa kodifikasi Al-Qur'an, i1mu Tafsir berada di atas segala ilmu yang lain, karena ia dipandang sebagai induk i1mu al-Quran. Di antara orang-orang yang sibuk menekuni dan menulis buku mengenai bidang ilmu tersebut ialah:

Dari kalangan ulama abad ke-2 H.: Syu'bah bin Al-Hajjaj6, Sufyan bin 'Uyainah7 dan Waki'" bin Al-Jarrah8. Kitab-kitab Tafsir yang mereka tulis pada umumnya memuat pendapat -pendapat dan apa yang dikatakan oleh para sahabat Nabi dan kaum Tabi'in. Kemudian muncul pada zaman berikutnya. Ibnu Jarir At-Thabari. wafat lahun 310 H. Kitabnya merupakan kitab yang paling bennutu. karena banyak berisi riwayat-riwayat Hadits shahih ditu1is dengan rumusan yang baik

Dalam abad ke-3 H: 'A1i bin Al-Madani, guru Imam Bukhari, menu1is kitab tentang asbabun-nuzul. Abu 'Ubaid al-Qasim bin Salam menulis tentang nasikh dan mansukh, qira'at dan fadha'ilul Qur'an (keutamaan dan keistimewaan al-Qur.an). Muhammad bin Ayyub adh-Dharis (wafat 294 H) menulis tentang kandungan ayat-ayat yang turun di Mekkah dan di Madinah1o; dan Muhammad bin Kha1af bin Murzaban (wafat 309 H) menulis kitab berjudu1 Al-Hawi Fi 'Ulumil Qur'an11 (Yang Terkandung Dalam Ilmu al-Qur'an).

Kemudian kegiatan karang mengarang dalam hal ilmu-ilmu qur'an tetap

berlangsung sesudah itu.

Abu Bakar al Baqalani ( wafat 403 H ) menyusun I'jazul Qur'an, dan Ali

bin Ibrahim bin Sa'id al Hufi ( wafat 430 H )menulis mengenai I'rabul

Qur'an. Al Mawardi ( wafat 450 H ) menegenai tamsil-tamsil dalam Qur'an (

'Amsalul Qur'an ). Al Izz bin Abdussalam ( wafat 660 H ) tentang majaz

dalam Qur'an.'alamuddin Askhawi ( wafat 643 H ) menulis mengenai ilmu

Qira'at ( cara membaca Qur'an ) dan Aqsamul Qur'an. Setiap penulis dalam

karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan

dengan ilmu-ilmu qur'an.

Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai

ilmu-ilmu Quran semua atau sebagian besarnya dalam satu karangan, maka

syaikh Muhammada 'Abdul 'azim az-Zarqani menyebutkan didalam kitabnya

Manahilul Irfan fi Ulumil Qur'an bahwa ia telah menemukan didalam

perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Ibrahim bin

Sa'id yang terkenal dengan Al-Hufi, judulnya al- Burhan fi 'Ulumil Qur'an

yang terdiri atas tiga puluh jilid. Dari ketiga puluh jilid itu terdapat

lima belas jilid yang tidak berurutan dan tidak tersusun. Pengarang

membicarakan ayat-ayat Qur'an menurut tertib mushaf, dia membicarakan

ilmu-ilmu Qur'an yang dikandung ayat itu secara tersendiri. Masing-masing

diberi judul sendiri pula. Dan judul yang umum disebutkan dalam ayat,

dengan menuliskan al Qaul fi Qaulihi 'Azza wajalla ( pendapat mengenai

firman Allah Azza wa jalla ), lalu disebutnya ayat itu, kemudian dibawah

judul itu dicantumkan al Qaul fil I'rab ( pendapat mengenai morfologi )

dibagian ini ia membicarakan ayat dari segi nahwu dan bahasa. Selanjutnya

Al Qaul fil Ma'na wat Tafsir ( pendapat mengenai makna dan tafsirannya )

disini ia jelaskan ayat itu berdasarkan riwayat ( hadis ) dan penalaran.

Setelah itu al Qaul fil Waqfi wat Tamam ( pendapat mengenai tanda

berhenti dabn tidak) disini ia menjelaskan mengenai waqf ( berhenti )

yang diperbolehkan dan yang tidak. Terkadang qira'at diletakkan dalam

judul tersendiri. Yang disebutnya dengan al Qaul fil Qira'at ( pendapat

mengenai qira'at ) terkadang ia berbicara tentang hukum-hukum yang

diambil dari ayat ketika ayat itu dibacakan.

Dengan metode seperti ini, al Hufi dianggap sebagai orang pertama yang

membukukan 'Ulumul Qur'an, ilmu-ilmu Qur'an, meskipun pmebukuannya

memakai cara tertentu seperti yang disebutka tadi. Ia wafat pada tahun

330 H.

Kemudian Ibnul Jauzi ( wafat 597 H ) mengikutinya denga menulis sebuah

kitab berjudul fununul Afnan fi 'Aja'ibi 'ulumil Qur'an.

Lalu tampil Badruddin az-Zarkasyi ( wafat 794 H ) menulis sebuah kitab

lengkap dengan judul Al-Burhan fii ulumilQur`an .

Jalaluddin Al-Balqini (wafat 824 H) memberikan beberapa tambahan atas

Al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi`ul u`luum min mawaaqi`innujuum.

Jalaluddin As-Suyuti ( wafat 911 H ) juga kemudian menyusun sebuah kitab

yang terkenal Al-Itqaan fii u`luumil qur`an.

Kepustakaan ilmu-ilmu Quran pada masa kebamgkitan modern tidaklah lebih

kecil dari pada nasib ilmu-ilmu yang lain.Orang-orang yang menghubungkan

diri dengan gerakan pemikiran Islam telah mengambil langkah yang positif

dalam mmembahas kandungan Qur`an dengan metode baru pula,seperti kitab

i`jaazul quran yang ditulis oleh Musthafa Shadiq Ar-Rafi`i, kitab

At-Tashwirul fanni fiil qu`an dan masyaahidul qiyaamah fil qur`an oleh

Sayyid Qutb, tarjamatul qur`an oleh syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi

yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-hatib, masalatu

tarjamatil qur`an Musthafa Sabri, An-naba`ul adziim oleh DR Muhammad

Abdullah Daraz dan muqaddimah tafsir Mahaasilu ta`wil oleh Jamaluddin

Al-qasimi.

Syaikh Thahir Al-jazaairy menyusun sebuah kitab dengan judul At-tibyaan

fii u`luumil qur`an. Syaikh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhajul

furqan fii u`luumil qur`an yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan

untuk fakultas ushuluddin di Mesir dengan spesialisasi da`wah dan

bimbingan masyarakat dan diikuti oleh muridnya, Muhammad Abdul a`dzim

az-zarqani yang menyusun manaahilul i`rfaan fii u`lumil qur`an. Kemudian

Syaikh Ahmad Ali menulis muzakkiraat u`lumil qur`an yang disampaikan

kepada mahasiswanya di fakultas ushuluddin jurusan dakwah dan bumbingan

masyarakan.

Akhirnya muncul mahaabisu fii u`lumil qur`an oleh DR Subhi As-Shalih.Juga

ustadz Ahmad Muhammad Jamal menulis beberapa studi sekitar masalah

"ma`idah" dalam Qur`an.

Pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan u`luumul qur`an, dan kata ini

kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.

Kata u`lum jamak dari kata i`lmu.i`lmu berarti al-fahmu wal idraak (faham

dan menguasai).Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah

yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.

Jadi, yang dimaksud dengan u`luumul qu`ran ialah ilmu yang membahas

masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Quran dari segi asbaabu

nuzuul."sebab-sebab turunnya al-qur`an",pengumpulan dan penertiban

Qur`an.pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah,An-Nasikh wal

mansukh, Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan

dengan Qur`an terkadang ilmu dinamakan juga ushuulu ttafsir (dasar-dasar

tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus

diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur`an

BAB VI. TAFSIR AL-QUR’AN


Apa yang harus kita lakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an ?

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan menuju cahaya Islam. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 1 :
الَر كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

yang artinya : “Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. “

Allah Ta’ala juga menjadikan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak menjelaskan, menerangkan dan menafsirkan isi Al-Qur’an. Firman Allah Ta’ala di dalam surat An-Nahl ayat 44:

artinya : “keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan…”

Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur’an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah tetapi semuanya dari wahyu Allah Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3 dan 4: وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى نْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur’an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata: “Berpeganglah kalian kepada Al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal di dalam Al-Qur’an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram di dalam Al-Qur’an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya.”

Untuk itu cara menafsir Al-Qur’an adalah:

Cara Pertama adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa: ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Cara Kedua adalah dengan penafsirannya para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhum. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur’an serta cara menafsirkannya, sedangkan mengani Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Dia adalah penterjemah Al-Qur’an.” Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.

Cara Ketiga yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsirannya dari para tabi’in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas seperti : Sa’ad bin Jubair, Thawus, Mujahid dan lain-lain.

Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra’yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela suatu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama tafsir.

Untuk menjelaskan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur’an surat Al-Muzammil: 20 :

artinya : “Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.”
Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang berdiri sholat adalah ayat-ayat Al-Qur’an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca ayat Al-Qur’an (tidak harus membaca Al-Fatihah).

Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (Surat Al-Fatihah).”

Dan di hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang sholat tidak membaca Surat Al-Fatihah, maka sholatnya kurang, sholatnya kurang, sholatnya kurang, tidak sempurna.

Tidak ada komentar: