-Meskipun menjadi hari raya terpopuler kedua di Belanda setelah Natal, namun orang Belanda secara umum tidak kenal apa itu Idul Fitri. Mereka lebih mengenalnya sebagai Suikerfeest (Hari Raya atau Pesta Gula).
Bagaimana itu bisa terjadi? Karena pada hari itu orang-orang muslim merayakannya dengan suguhan serba manis, begitu jawaban standar orang-orang Belanda yang ditanyai detikcom.
'Orang muslim' dalam pengertian umum masyarakat Belanda langsung terasosiasi pada warga Turki atau Marokko. Oleh sebab itu tradisi mereka juga kuat melekat sebagai citra tradisi muslim. Bahwa ada muslim Belanda asli, etnik lain, atau muslim Indonesia (termasuk generasi pertama dari Maluku) yang punya tradisi sendiri, dengan kuliner didominasi rasa gurih, nampaknya tak bisa mengubah citra itu.
Kalau pada hari Idul Fitri anda bertamu ke orang Turki atau Maroko, suguhan yang dominan memang serba manis. Di antaranya kue chorida (Maroko), lokum, halva (camilan dengan wijen, gula, madu) dan baklava (Turki). Suguhan ini biasanya dikombinasi dengan kopi atau teh dengan daun mint segar.
Orang Turki sendiri di negara asal dalam bahasa ibu mereka punya penamaan sendiri untuk Idul Fitri, yakni Seker Bayrami (seker = gula, bayrami = hari raya atau pesta). Kuat dugaan dari nama Seker Bayrami dan tradisi camilan serba manis itulah terjadi proses morfologi kata Suikerfeest di kalangan orang Belanda dan penutur bahasa Belanda.
Sebaliknya orang Indonesia di Belanda agak kurang terbiasa dengan nama Suikerfeest ini. Lidah orang Indonesia lebih nyaman menyebutnya Idul Fitri atau lebaran. Oleh sebab itu tradisi ketupat sayur, opor ayam, rendang, gulai ikan, dan sejenisnya tetap tak tergeser atau latah dengan sajian serba manis. Selama Idul Fitri ragam kuliner top Nusantara itu tetap mendominasi meja makan keluarga muslim Indonesia di Belanda.
Orang Indonesia umumnya juga lebih kritis dan kurang sreg menggunakan nama Suikerfeest. Zaman dulu gula memang simbol kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi kini persepsi kesehatan terhadap gula justru kurang menguntungkan. Selain itu nama Suikerfeest juga dinilai dapat memunculkan bias dari makna Idul Fitri sebenarnya.
27 September 2009
detikcom : Mahasiswa Sekolah Tinggi Sandi Negara Diduga Tewas Saat Ospek
title : Mahasiswa Sekolah Tinggi Sandi Negara Diduga Tewas Saat Ospek
summary : Wisnu Anjar (17) terbujur kaku di RS Citra Insani Parung, Bogor. Pihak Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) membawa Wisnu dalam keadaan sudah tidak bernyawa ke rumah sakit itu pada dini hari. (read more)
summary : Wisnu Anjar (17) terbujur kaku di RS Citra Insani Parung, Bogor. Pihak Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) membawa Wisnu dalam keadaan sudah tidak bernyawa ke rumah sakit itu pada dini hari. (read more)
17 September 2009
“AHLI TAFSIR” KOQ NYELENEH, TANYA MENGAPA ?
“Ahli Tafsir” Koq Nyelenah, Tanya Mengapa ?
Innalillahi wa innailaihi raji’un,
Ya Allah semoga hamba dipermudah untuk menulis apa yang menjadi benalu di hati hamba.
Malam ini seorang yang “katanya” Direktur Pusat Penelitian Al-Qur’an hadir di Metro TV dalam acara Save Our Nation. Walaupun saya merasa saya salah karena melihat acara ini.
Dari sekian banyak pertanyaan yang ditanyakan kepadanya ada beberapa yang masih ter save di nation jiwa saya, antara lain :
1. Pandangan beliau mengenai Jihad.
2. Pandangan beliau mengenai Kesetaraan Jender
3. Pandangan beliau mengenai perempuan menjadi pemimpin
4. Pandangan beliau mengenai Volly (maaf salah) Poligami
Saya rasa cukuplah ke empat pandangan tadi yang menjadi tolak ukur pandangan keagamaan yang bersangkutan.
“Ahli Tafsir” yang biasanya ngucapin “eeee” ketika berbicara ini mengatakan pandangannya mengenai Jihad. Jihad dalam “anfus” menurut beliau adalah mengeluarkan segenap potensi yang ada untuk melawan musuh Islam. Dan musuh Islam menurut beliau adalah kedzaliman, kemiskinan, penindasan, ketidak-adilan dan sebagainya. Dan tidak ada lagi, bahkan menurut beliau tidak boleh lagi Jihad didefenisikan dengan perang. Jelas, eeeee ini merupakan Tafsir Anda sendiri Ustadz.
Coba kita lihat artikel dari www.asysyariah.com ini :
Jihad adalah puncaknya keimanan. Kata Al-Jihad (الْجِهاَدُ) dengan dikasrah huruf jim asalnya secara bahasa bermakna (الْمَشَقَّةُ) yang bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan.
Sedangkan secara syar’i bermakna: “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir atau musuh.” (Lihat Fathul Bari, 6/5; Nailul Authar, 7/208; Asy-Syarhul Mumti’, 8/7)
Berikut beberapa ucapan Ulama Salaf dalam memaknai Al-Jihad.
- Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “(Jihad adalah) mencurahkan kemampuan padanya dan tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.”
- Muqatil rahimahullah berkata: “Beramallah kalian karena Allah dengan amalan yang sebenar-benarnya dan beribadahlah kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya.”
- Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata:“(Jihad adalah) melawan diri sendiri dan hawa nafsu.” (Zaadul Ma’ad, 3/8)
Dalam tinjauan syariat Islam (pengertian secara umum), jihad juga diistilahkan kepada mujahadatun nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy syaithan (jihad melawan syaithan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan mujahadatul munafikin (jihad melawan kaum munafik).
Disyariatkannya Jihad dan hukumnya
Dalam permasalahan jihad, pada dasarnya manusia terbagi dalam dua keadaan:
1. Keadaan mereka pada masa kenabian
2. Keadaan mereka setelah kenabian
Masa Kenabian
Para ulama sepakat bahwa disyariatkannya jihad pertama kali ialah setelah hijrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah. Setelah itu muncul perselisihan di antara mereka tentang hukumnya, fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Di dalam Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ulama. (Pertama adalah pendapat dari) Al-Mawardi, dia berkata: “(Hukumnya) fardhu ‘ain bagi orang-orang Muhajirin saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan perkara tentang wajibnya hijrah atas setiap muslim ke Madinah dalam rangka menolong Islam. (Kemudian) As-Suhaili, dia berkata: “Fardhu ‘ain atas orang-orang Anshar saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan baiat para shahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam Al-Aqabah untuk melindungi dan menolong Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari dua pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain atas dua thaifah (kelompok, red. Yakni Muhajirin dan Anshar) dan fardhu kifayah atas selain mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dan kalangan Asy-Syafi’iyyah sepaham dengannya lebih menguatkan pendapat yang menyatakan fardhu kifayah (bagi kalangan Muhajirin maupun Anshar-ed). Beliau berhujjah bahwa dalam peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada para shahabat yang ikut dan ada pula yang tidak. Kemudian, walaupun jihad menjadi kewajiban atas orang-orang Muhajirin dan Anshar, namun kewajiban ini tidak secara mutlak.
Sebagian berpendapat, jihad (hukumnya) wajib ‘ain dalam peperangan yang di dalamnya ada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan (wajib ‘ain) pada selainnya. Yang benar dalam hal ini ialah, jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dipilih (ditunjuk) oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia tidak keluar ke medan tempur.
Masa setelah Kenabian
Pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi adalah fardhu kifayah, kecuali jika ada keadaan mendesak, seperti ada musuh yang datang dengan tiba-tiba. Ada pula yang berkata, fardhu ‘ain bagi yang ditunjuk oleh imam (penguasa). Sebagian juga berpendapat wajib selama memungkinkan, dan pendapat ini cukup kuat. Namun yang nampak dalam masalah ini adalah jihad terus-menerus berlangsung pada jaman kenabian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sempurnanya perluasan (ekspansi) ke beberapa negara besar dan Islam menyebar di muka bumi, kemudian setelah itu hukumnya seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kesimpulan dari masalah ini adalah, jihad melawan orang kafir menjadi kewajiban atas setiap muslim baik dengan tangan (kekuatan), lisan, harta atau dengan hatinya, wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/47; Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13/12)
Berikut beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan tentang disyariatkannya jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
انْفِرُوا خِفَافاً وَثِقاَلاً وَجاَهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau berat. Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.” (At-Taubah: 41)
يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
وَجاَهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj: 78)
فَلاَ تُطِعِ الْكاَفِرِيْنَ وَجاَهِدْهُمْ بِهِ جِهاَداً كَبِيْراًً
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52)
يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada Yaumul Fath (Fathu Makkah): “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, akan tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Dan apabila kalian diminta untuk pergi atau berangkat berperang maka pergilah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafidz rahimahullah berkata: “Pada hadits ini terdapat berita gembira bahwa kota Mekkah akan tetap menjadi negeri Islam selamanya. Di dalamnya juga terdapat dalil tentang fardhu ‘ainnya keluar dalam perang (jihad) bagi orang yang dipilih oleh imam.” (Fathul Bari, 6/49)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Apabila imam (penguasa) memerintahkan kepada kalian untuk berjihad, maka keluarlah. Hal ini menunjukkan bahwa jihad bukanlah fardhu ‘ain, akan tetapi fardhu kifayah. Apabila sebagian telah menunaikannya, gugurlah kewajiban yang lain. Dan jika tidak ada yang melakukannya sama sekali, berdosalah mereka. Dari kalangan Asy-Syafi’iyyah berpendapat tentang jihad di masa sekarang hukumnya fardhu kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Dan jika mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup, wajib bagi negeri yang bersebelahan untuk membantunya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/11-12)
Setelah diketahui bahwa pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi tentang hukum jihad pada masa setelah kenabian adalah fardhu kifayah, berikut adalah beberapa keadaan yang menjadikan hukum tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain, di mana sebagiannya telah disebut di atas:
1. Apabila bertemu dengan musuh yang sedang menyerang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِذاَ لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا زَحْفاً فَلاَ تُوَلُّوْهُمُ اْلأَدْباَرَ. وَمَنْ يٌوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفاً لِقِتاَلٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
Ayat ini menjelaskan tentang tidak bolehnya seseorang mundur atau berpaling dari menghadapi musuh. Karena yang demikian termasuk perkara terlarang dan tergolong dalam perkara yang membawa kepada kehancuran/ kebinasaan sehingga wajib untuk dijauhi. Sebagaimana yang disebut dalam sebuah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran atau kebinasaan.” Para shahabat bertanya: “Apakah ketujuh perkara itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot/ berpaling (desersi) dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina kepada wanita yang terjaga dari perbuatan dosa, tidak tahu-menahu dengannya (yakni dengan perbuatan zina tersebut-ed) dan (ia adalah wanita yang-ed) beriman kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dua hal yang diperbolehkan bagi seseorang untuk berpaling (mundur) ketika bertemu dengan musuh:
a. Berpaling dalam rangka mendatangkan kekuatan yang lebih besar atau siasat perang.
b. Berpaling dalam rangka menggabungkan diri dengan pasukan lain untuk menghimpun kekuatan.
2. Apabila negerinya dikepung oleh musuh. (Dalam keadaan ini) wajib atas penduduk negeri tersebut untuk mempertahankan negerinya. Keadaan ini serupa dengan orang yang berada di barisan peperangan. Sebab apabila musuh telah mengepung suatu negeri, tidak ada jalan lain bagi penduduknya kecuali untuk membela dan mempertahankannya. Dalam hal ini musuh juga akan menahan penduduk negeri tersebut untuk keluar dan mencegah masuknya bantuan baik berupa personil, makanan dan yang lainnya. Karena itu wajib atas penduduk negeri untuk berperang melawan musuh sebagai bentuk pembelaan terhadap negerinya.
3. Apabila diperintah oleh imam. Apabila seseorang diperintah oleh imam untuk berjihad, hendaknya ia mentaatinya. Imam dalam hal ini ialah pemimpin tertinggi negara dan tidak disyaratkan ia sebagai imam secara umum bagi kaum muslimin semuanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا ماَ لَكُمْ إِذاَ قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ أَرَضِيْتُمْ بِالْحَياَةِ الدُّنْياَ مِنَ اْلآخِرَةِ فَماَ مَتاَعُ الْحَياَةِ الدُّنْياَ فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ قَلِيْلٌ. إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَاباً أَلِيْماً وَيَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ وَلاَ تَضُرُّوْهُ شَيْئاً وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini di bandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 38-39)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha dan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian diminta untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan.
Misal dalam hal ini, kaum muslimin memiliki senjata berat seperti artileri, pesawat, atau teknologi tempur lainnya, namun tidak ada yang mampu mengoperasikannya kecuali seseorang. Maka menjadi fardhu ‘ain atas orang tersebut dengan sebab ia dibutuhkan.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, jihad menjadi fardhu ‘ain pada empat perkara:
1. Apabila bertemu dengan musuh
2. Apabila negerinya dikepung musuh
3. Apabila diperintah oleh imam
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan
Pembagian Jihad
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah membagi jihad menjadi tiga:
1. Jihadun Nafs, yaitu menundukkan jiwa dan menentangnya dalam bermaksiat kepada Allah. Berusaha menundukkan jiwa untuk selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan melawan seruan untuk bermaksiat kepada Allah. Jihad yang seperti ini tentunya akan terasa sangat berat bagi manusia, lebih-lebih saat mereka tinggal di lingkungan yang tidak baik. Karena lingkungan yang tidak baik akan melemahkan jiwa dan mengakibatkan manusia jatuh ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah, juga meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya.
2. Jihadul Munafiqin, yaitu melawan orang-orang munafiq dengan ilmu dan bukan dengan senjata. Karena orang-orang munafiq tidak diperangi dengan senjata. Para shahabat pernah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membunuh orang-orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya, kemudian beliau bersabda: “Jangan, supaya tidak terjadi pembicaraan oleh orang, bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.” (HR. Muslim, dari shahabat Jabir radhiallahu 'anhu)
Jihad melawan mereka adalah dengan ilmu. Oleh karena itu wajib atas kita semua untuk mempersenjatai diri dengan ilmu di hadapan orang-orang munafiq yang senantiasa mendatangkan syubhat terhadap agama Allah untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah. Jika pada diri manusia tidak ada ilmu, maka syubhat, syahwat, dan perkara bid’ah yang datang terus-menerus (akan bisa merusak dirinya), sementara ia tidak mampu menolak dan membantahnya.
3. Jihadul Kuffar, yaitu memerangi orang-orang kafir yang menentang, yang memerangi kaum muslimin, dan yang terang-terangan menyatakan kekafirannya, (dan jihad ini dilakukan) dengan senjata. (Asy-Syarhul Mumti’, 8/7-8)
Ibnul Qayyim rahimahullah membagi jihad menjadi empat bagian:
1. Jihadun Nafs (Jihad melawan diri sendiri)
2. Jihadusy Syaithan (Jihad melawan syaithan)
3. Jihadul Kuffar (Jihad melawan kaum kuffar)
4. Jihadul Munafiqin (Jihad menghadapi kaum munafiqin)
Setiap bagian di atas, masing-masing memiliki tingkatan-tingkatan. Jihadun Nafs memiliki empat tingkatan:
a. Berjihad melawan diri sendiri dengan cara mempelajari kebenaran dan agama yang hak, di mana tidak ada kebahagiaan dan kemenangan dunia dan akhirat kecuali dengannya, dan bila terluputkan darinya akan mengakibatkan sengsara.
b. Berjihad melawan diri sendiri dengan mengamalkan ilmu yang dipelajari. Karena jika hanya sekedar ilmu tanpa amal, akan memberi mudharat kepada jiwa atau tidak akan ada manfaat baginya.
c. Berjihad melawan diri sendiri dengan mendakwahkan ilmu yang telah dipelajari dan diamalkannya, mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui. Jika tidak demikian, ia akan tergolong ke dalam orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tidaklah bermanfaat serta tidak menyelamatkannya dari adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala.
d. Berjihad melawan diri sendiri dengan bersikap sabar ketika mendapatkan ujian dan cobaan, baik saat belajar agama, beramal dan berdakwah. Barangsiapa telah menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan tegolong orang-orang yang Rabbani (pendidik). Karena para ulama Salaf sepakat bahwa seorang alim tidak berhak diberi gelar sebagai ulama yang Rabbani, sampai ia mengetahui Al-Haq, mengamalkan serta mengajarkannya. Barangsiapa yang berilmu, mengamalkan dan mengajarkannya, ia akan diagungkan di hadapan para malaikat yang berada di langit.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadun nafs ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Fudhalah bin ‘Ubaid, beliau bersabda bersabda:
“Yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan (menundukkan) dirinya sendiri di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan yang lain, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihul Musnad (2/156) dan kitab Al-Jami’ Ash-Shahih (3/184).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Ketika jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berada di luar diri sendiri (syaithan, kaum kuffar, dan munafikin) merupakan cabang dari jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad lainnya. Karena barangsiapa yang tidak mengawali dalam berjihad melawan diri sendiri dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan Allah, tidak mungkin baginya untuk dapat berjihad melawan musuh yang datang dari luar. Bagaimana dia mampu berjihad melawan musuh dari luar, sementara musuh yang datang dari dirinya sendiri dapat menguasai dan mengalahkannya?”
Jihadusy Syaithan, ada dua tingkatan:
a. Berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan oleh syaithan kepada manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman.
b. Berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan syahwat. Dari dua tingkatan ini, untuk tingkatan pertama barangsiapa yang mampu mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Dan tingkatan yang kedua akan membuahkan kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَجَعَلْناَ مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِناَ لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآياَتِناَ يُوْقِنُوْنَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimipin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya akan diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan. Sabar akan menolak syahwat dan kehendak buruk, adapun keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadusy syaithan, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ الشَّيْطاَنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Perintah Allah dalam ayat ini agar menjadikan syaithan sebagai musuh, menjadi peringatan akan adanya keharusan mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi syaithan, berjihad melawannya. Karena syaithan itu bagaikan musuh yang tidak mengenal putus asa, lesu, dan lemah dalam memerangi dan menggoda seorang hamba dalam selang beberapa nafas.” (Zaadul Ma’ad, 3/6)
Jihadul Kuffar wal Munafiqin ada empat tingkatan:
a. Berjihad dengan hati
b. Berjihad dengan lisan
c. Berjihad dengan harta
d. Berjihad dengan jiwa
Dalil yang menjelaskan tentang bagian ketiga dan keempat ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
Jihad melawan kaum kuffar lebih dikhususkan dengan tangan (kekuatan), sedangkan melawan kaum munafiq lebih dikhususkan dengan lisan.
Bagian berikutnya, adalah jihad melawan kedzaliman, bid’ah, dan kemungkaran. Terdapat tiga tingkatan:
a. Berjihad dengan tangan apabila mampu, jika tidak maka berpindah kepada yang berikutnya
b. Berjihad dengan lisan, jika tidak mampu berpindah kepada yang berikutnya
c. Berjihad dengan hati
Dalil yang menjelaskan tentang bagian akhir ini adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melihat kemungkaran hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari semua tingkatan dalam jihad yang tersebut di atas, terkumpullah tiga belas tingkatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Barangsiapa yang meninggal dan belum berperang serta tidak pernah terbersit (cita-cita untuk berperang) dalam dirinya, (maka ia) meninggal di atas satu bagian dari nifaq.” (HR. Muslim)
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, tidak sempurna jihad seseorang kecuali dengan hijrah. Dan tidak akan ada hijrah dan jihad kecuali dengan iman. Orang-orang yang mengharap rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah yang mampu menegakkan tiga hal tersebut, yaitu iman, hijrah, dan jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharap rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 218)
Sebagaimana iman merupakan kewajiban atas setiap orang, maka wajib atasnya pula untuk melakukan dua hijrah pada setiap waktunya, yaitu hijrah kepada Allah dengan (amalan) tauhid, ikhlas, inabah, tawakkal, khauf, raja’, mahabbah dan hijrah kepada Rasul-Nya dengan (amalan) mutaba’ah, menjalankan perintahnya, membenarkan segala berita yang datang darinya, dan mengedepankan perkara dan berita yang datang dari beliau atas selainnya.
Manusia yang paling sempurna di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala ialah yang menyempurnakan seluruh tingkatan jihad di atas. Mereka berbeda-beda tingkatannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesuai dengan penempatan diri mereka terhadap tingkatan jihad tersebut. Oleh karena itu, manusia yang paling sempurna dan mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena beliau telah menyempurnakan seluruh tingkatan jihad yang ada dan beliau telah berjihad dengan jihad yang sebenar-benarnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan jihad sejak awal diutus hingga wafatnya, baik dengan tangan, lisan dan hati serta hartanya. (Zaadul Ma’ad, 3/9-11)
Wallahu a’lam.
1 Isyarat kepada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku beritahukan kepadamu tentang pokok pangkal dari semua urusan, tiangnya dan puncaknya yang tertinggi?” Aku berkata: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Pokok pangkal dari urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya yang tertinggi adalah jihad.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)
Lalu bagimana bila hal ini kita pilih dengan pendapat beliau yang mengatakan jihad untuk melawan orang kafir itu tidak ada ? Na’udzubillah ya Ustadz bertaubatlah dan takutlah kepada Allah. Karena apa yang anda katakan didengar orang banyak dan banyak pula yang mengikutinya.
Pendapat nyeleneh yang kedua, sang “ahli tafsir” ini mengatakan bahwa pria dan wanita setara dalam segala hal. Baik itu pekerjaan, hobby, cita-cita, penampilan, pergaulan, bla dan bla-bla-bla. Ini juga bersinggungan dengan pendapatnya yang ketiga yang mengatakan bahwa perempuan boleh jadi pemimpin kapanpun dan sebagai apapun. Baik itu sebagai Gubernur, Bupati, bahkan Presiden. Dan yang lebih mengganaskan lagi beliau menafsirkan al-Qur’an saena udele dewe. Lihat bagaimana dia menafsirkan Surat annisa ayat 34 yang berbunyi :
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
Dia menafsirkan kata laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita bahwa yang dimaksud disini adalah suami itu pemimpin atas istri. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un….!!!!
Dia membatasi kata pemimpin itu hanya sebatas hubungan dalam rumah tangga, padahal sudah jelas bahwa semua hal mencakup bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Coba kita lihat bagaimana Ahli Hadits yang Sangat Terkenal Menafsirkan ayat ini, beliau adalah al-Imam al-‘Allamah Syaikh Ibnu Katsir yang terkenal dengan Tafsir Ibnu Katsirnya. Beliau mentafsirkan ayat ini dengan :
Maksud dari ayat diatas adalah laki-laki adalah yang menegakkan (menanggung jawab) kaum wanita, dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik para wanita ketika mereka menyimpang, dan laki-laki itu lebih utama daripada wanita, dan lebih baik dari mereka. Karena itu pulalah kenabian dikhususkan untuk kaum laki-laki begitu pula pemimpin Negara, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam “tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita (sebagai pemimpin) dalam urusan mereka (hadits riwayat Bukhori no 4425)
Lalu bagaimana lagi sang “ahli tafsir” ini bisa dibenarkan pendapatnya ???? yang pertama dia sudah menyelisihi pendapat ahli tafsir yang sudah diakui dunia dan seluruh ulama dalam menafsirkan ayat, yang kedua dia menafsirkan ayat dengan pendapatnya sendiri, lihat al-Imam al-‘Allamah Syaikh Ibnu Katsir yang menafsirkan ayat dengan hadits, yang ketiga bagaiman mungkin perempuan bisa memimpin sementara Rasul telah mengancam umatnya untuk tidak mengangkat perempuan sebagai pemimpin. Maka pendapat mana yang lebih haq ? sang “ahli tafsir” inikah atau Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Saya rasa anak kecil saja tau jawabannya…!!!
Adapun pendapatnya yang keempat, cukuplah kita membaca Majalah As-Sunnah edisi 12/X/1428H/2007M. Kalau mau membaca silahkan hubungi bagian pemasarannya di 08121533647.
Dan berikut saya kutip dari http://www.abusulthon.com/2009/03/poligami-melindungi-wanita/
Poligami Melindungi Wanita
By abusulthon pada 18 Maret 2009
oleh Abu Syifa’
Menciptakan kemanfaatan sebesar-besarnya dan menepis bahaya, kendatipun kecil, itulah spirit yang menetap pada setiap aturan islam. Tidak ada satupun ketetapan hukum Illahi yang berimplikasikan buruk bagi umat manusia. Semua mengandung kemaslahatan demi kemaslahatan. Termasuk juga bolehnya melakukan poligami bagi kaum laki-laki, sama sekali tidak menimbulkan ekses negatif pada diri wanita. Justru poligami memberikan aspek positif pada mereka.
Oleh karena itu, poligami tidak perlu di takuti, apalagi sampai antipati. Sebelum islam datang, poligami sudah ada dan merupakan sesuatu yang wajar, bahkan di lingkungan kerajaan di negeri ini pada masa lalu. Tak sedikit para raja yang memiliki isteri lebih dari satu, bahkan mungkin tidak terhitung. Begitu pula yang terjadi pada masa jahilayah. Seorang laki-laki bisa memiliki isteri bisa lebih dari sepuluh, bahkan lebih. Yang lebih mengenaskan, seolah wanita diperlakukan layaknya barang, yang bisa di pindah kepemilikannya.
Kemudian islam datang dengan membawa pencerahan, mengoreksi kebiasaan buruk tersebut. Tidak lain ialah untuk “memanusiakan wanita”, yang keberadaannya tertindas. Tidak memiliki hak sebagai manusia merdeka. Islam datang untuk mengangkat derajat wanita setinggi-tingginya, memuliakannya, menjaga kehormatannya, dan memjauhkan mereka dari tempat yang hina. Nabi Sholallahu alaihi wasallam bersabda :
“Berwasiatlah kalian (kepada orang lain) untuk berbuat baik kepada wanita. (HR. Bukhari)
Data statistik dibanyak negara mengindikasikan kuantitas wanita melebihi kaum adam, jika sensus ini benar, sedang pernikahan di bolehkan hanya satu wanita, lantas bagaimana wanita-wanita yang belum bertemu jodohnya mencari perlindungan, keamanan, memenuhi kebutuhannya, dan menjaga kehormatannya ?
Tentu, siapapun tidak ingin menghabiskan hari-harinya sendirian. Ini sebuah permasalahan sosial. Meski para wanita ini dipaksa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, kemungkinan menjadi bumerang bagi keamanan dan kehormatannya.
Jika mau jujur, hidup sendiri tanpa pasangan resmi, bak orang yang berjalan dengan pincang, penuh resiko. Gelar berjejer, status sosial tinggi, atau seabreg kesibukan dalam karir, tidak mengobati kesendirian seorang wanita yang mendambakan kehadiran seorang lelaki. Dan demikian ini adalah fitrah bagi wanita. Mereka membutuhkan tempat bernaung yang bisa melindungi, membimbing, mencurahkan kata hatinya dan memdapatkan kasih sayang. Bahkan untuk mengobati kerinduannya di panggil ibu oleh anak-anaknya.
Dalam kontek ini, kemaslahatan poligami yang di dapatkan wanita lebih besar di bandingkan lelaki yang menjalankan poligami, sebagaimana telah di ungkapkan oleh Syaikh sholih al Fauzan saat di tanya mengenai solusi penanganan banyaknya jumlah wanita yang belum menikah. (lihat al muntaqa, 3/168). Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini termasuk asasi.
Ironisnya, meski mengetahui kemaslahatan poligami, tak kurang penentang poligami seolah selalu menutup mata terhadap keindahan yang terkandung dalam syari’at islam ini. Dengan berbagai alasan, propaganda penolakan di dengungkan dimana-mana, media massa, mimbar-mimbar bahkan di politisasi. Seolah poligami adalah buruk, sedangkan perzinaan sesuatu yang baik. Begitu pula para wanita, tidak sedikit yang merasa berat suaminya melakukan poligami, tetapi tak merasa terganggu jika suaminya melakukan perselingkuhan dengan wanita lain. Naudzubillah.
Padahal jika di telusuri secara mendalam, perzinaan telah menimbulkan keresahan. Dampak sosialnya sangat mahal di bayar. Perzinaan sangat meresahkan masyarakat, merancukan nasab, dan yang telah terjadi perzinaan telah memberikan saham sejumlah penyakit menular, sejak dikenal dengan spilis, raja singa hingga masa sekarang ini muncul Aids. Jadi, perzinaan sangat tidak menguntungkan bagi wanita.
Begitu pula dengan “wanita simpanan”, hakikatnya telah mempecundangi harkat dan martabat wanita. Dia tidak mendapat perlindungan, tetapi justru sekedar di jadikan pemuas nafsu belaka. Di hadapan hukum, bila terjadi kematian pasangan selingkuhnya, tidak ada pasal-pasal yang menguatkan posisinya. Ketidakpastian, lilitan dosa dan penyesalan akan mendera dan menghiasi hari-harinya.
Jadi jika kita mengupas poligami, sangat banyak maslahatnya dan faedah yang bisa di petik. Bahwa poligami itu indah, karena ia melindungi wanita.
Allahu A’lam.
Sedikit mencoba menegaskan bahwa poligami itu mengangkat derajat wanita. Kita misalkan ada seorang Bos Perusahaan yang mempunyai simpanan, lalu simpanan ini berjumpa dengan teman-teman si Bos ketika dia dan si Bos sedang berduaan. Apa kira-kira yang akan dijawab si Bos ketika temannya bertanya “ini siapa bos ?” Yakin dan percayalah dia pasti menjawab “eeeee…… rekan bisnis” atau mungkin “eeee….sepupu”
Lalu coba kita bandingkan dengan seseorang yang mempunyai istri dua. Ketika dia jalan dengan istri pertama dan berjumpa temannya lalu ditanya “ini Siapa ?” pastilah dia jawab “o.. pastinya ini istri saya!!!” lalu bila berjumpa dengan temannya yang tadi juga dalam keadaan si poligamer ini sedang jalan dengan istri kedua lalu ditanya “ini siapa lagi ?” dengan bangganya dia pasti akan menjawab “kalau ini istri saya yang satu lagi” MANTAB !!!
Saya coba memberi satu pertanyaan bagi wanita (yang jawab hanya wanita lho) mana lebih mulia dibilang rekan bisnis (padahal simpanan) dari pada istri kedua……????? Silahkan beri komen untuk jawaban.
Akhirnya saya hanya dapat berdoa semoga kita dan sang “ahli tafsir” dapat kembali kejalan yang Allah RasulNya tuntukan….
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.
Innalillahi wa innailaihi raji’un,
Ya Allah semoga hamba dipermudah untuk menulis apa yang menjadi benalu di hati hamba.
Malam ini seorang yang “katanya” Direktur Pusat Penelitian Al-Qur’an hadir di Metro TV dalam acara Save Our Nation. Walaupun saya merasa saya salah karena melihat acara ini.
Dari sekian banyak pertanyaan yang ditanyakan kepadanya ada beberapa yang masih ter save di nation jiwa saya, antara lain :
1. Pandangan beliau mengenai Jihad.
2. Pandangan beliau mengenai Kesetaraan Jender
3. Pandangan beliau mengenai perempuan menjadi pemimpin
4. Pandangan beliau mengenai Volly (maaf salah) Poligami
Saya rasa cukuplah ke empat pandangan tadi yang menjadi tolak ukur pandangan keagamaan yang bersangkutan.
“Ahli Tafsir” yang biasanya ngucapin “eeee” ketika berbicara ini mengatakan pandangannya mengenai Jihad. Jihad dalam “anfus” menurut beliau adalah mengeluarkan segenap potensi yang ada untuk melawan musuh Islam. Dan musuh Islam menurut beliau adalah kedzaliman, kemiskinan, penindasan, ketidak-adilan dan sebagainya. Dan tidak ada lagi, bahkan menurut beliau tidak boleh lagi Jihad didefenisikan dengan perang. Jelas, eeeee ini merupakan Tafsir Anda sendiri Ustadz.
Coba kita lihat artikel dari www.asysyariah.com ini :
Jihad adalah puncaknya keimanan. Kata Al-Jihad (الْجِهاَدُ) dengan dikasrah huruf jim asalnya secara bahasa bermakna (الْمَشَقَّةُ) yang bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan.
Sedangkan secara syar’i bermakna: “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir atau musuh.” (Lihat Fathul Bari, 6/5; Nailul Authar, 7/208; Asy-Syarhul Mumti’, 8/7)
Berikut beberapa ucapan Ulama Salaf dalam memaknai Al-Jihad.
- Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “(Jihad adalah) mencurahkan kemampuan padanya dan tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.”
- Muqatil rahimahullah berkata: “Beramallah kalian karena Allah dengan amalan yang sebenar-benarnya dan beribadahlah kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya.”
- Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata:“(Jihad adalah) melawan diri sendiri dan hawa nafsu.” (Zaadul Ma’ad, 3/8)
Dalam tinjauan syariat Islam (pengertian secara umum), jihad juga diistilahkan kepada mujahadatun nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy syaithan (jihad melawan syaithan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan mujahadatul munafikin (jihad melawan kaum munafik).
Disyariatkannya Jihad dan hukumnya
Dalam permasalahan jihad, pada dasarnya manusia terbagi dalam dua keadaan:
1. Keadaan mereka pada masa kenabian
2. Keadaan mereka setelah kenabian
Masa Kenabian
Para ulama sepakat bahwa disyariatkannya jihad pertama kali ialah setelah hijrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah. Setelah itu muncul perselisihan di antara mereka tentang hukumnya, fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Di dalam Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ulama. (Pertama adalah pendapat dari) Al-Mawardi, dia berkata: “(Hukumnya) fardhu ‘ain bagi orang-orang Muhajirin saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan perkara tentang wajibnya hijrah atas setiap muslim ke Madinah dalam rangka menolong Islam. (Kemudian) As-Suhaili, dia berkata: “Fardhu ‘ain atas orang-orang Anshar saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan baiat para shahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam Al-Aqabah untuk melindungi dan menolong Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari dua pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain atas dua thaifah (kelompok, red. Yakni Muhajirin dan Anshar) dan fardhu kifayah atas selain mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dan kalangan Asy-Syafi’iyyah sepaham dengannya lebih menguatkan pendapat yang menyatakan fardhu kifayah (bagi kalangan Muhajirin maupun Anshar-ed). Beliau berhujjah bahwa dalam peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada para shahabat yang ikut dan ada pula yang tidak. Kemudian, walaupun jihad menjadi kewajiban atas orang-orang Muhajirin dan Anshar, namun kewajiban ini tidak secara mutlak.
Sebagian berpendapat, jihad (hukumnya) wajib ‘ain dalam peperangan yang di dalamnya ada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan (wajib ‘ain) pada selainnya. Yang benar dalam hal ini ialah, jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dipilih (ditunjuk) oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia tidak keluar ke medan tempur.
Masa setelah Kenabian
Pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi adalah fardhu kifayah, kecuali jika ada keadaan mendesak, seperti ada musuh yang datang dengan tiba-tiba. Ada pula yang berkata, fardhu ‘ain bagi yang ditunjuk oleh imam (penguasa). Sebagian juga berpendapat wajib selama memungkinkan, dan pendapat ini cukup kuat. Namun yang nampak dalam masalah ini adalah jihad terus-menerus berlangsung pada jaman kenabian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sempurnanya perluasan (ekspansi) ke beberapa negara besar dan Islam menyebar di muka bumi, kemudian setelah itu hukumnya seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kesimpulan dari masalah ini adalah, jihad melawan orang kafir menjadi kewajiban atas setiap muslim baik dengan tangan (kekuatan), lisan, harta atau dengan hatinya, wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/47; Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13/12)
Berikut beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan tentang disyariatkannya jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
انْفِرُوا خِفَافاً وَثِقاَلاً وَجاَهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau berat. Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.” (At-Taubah: 41)
يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
وَجاَهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj: 78)
فَلاَ تُطِعِ الْكاَفِرِيْنَ وَجاَهِدْهُمْ بِهِ جِهاَداً كَبِيْراًً
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52)
يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada Yaumul Fath (Fathu Makkah): “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, akan tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Dan apabila kalian diminta untuk pergi atau berangkat berperang maka pergilah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafidz rahimahullah berkata: “Pada hadits ini terdapat berita gembira bahwa kota Mekkah akan tetap menjadi negeri Islam selamanya. Di dalamnya juga terdapat dalil tentang fardhu ‘ainnya keluar dalam perang (jihad) bagi orang yang dipilih oleh imam.” (Fathul Bari, 6/49)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Apabila imam (penguasa) memerintahkan kepada kalian untuk berjihad, maka keluarlah. Hal ini menunjukkan bahwa jihad bukanlah fardhu ‘ain, akan tetapi fardhu kifayah. Apabila sebagian telah menunaikannya, gugurlah kewajiban yang lain. Dan jika tidak ada yang melakukannya sama sekali, berdosalah mereka. Dari kalangan Asy-Syafi’iyyah berpendapat tentang jihad di masa sekarang hukumnya fardhu kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Dan jika mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup, wajib bagi negeri yang bersebelahan untuk membantunya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/11-12)
Setelah diketahui bahwa pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi tentang hukum jihad pada masa setelah kenabian adalah fardhu kifayah, berikut adalah beberapa keadaan yang menjadikan hukum tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain, di mana sebagiannya telah disebut di atas:
1. Apabila bertemu dengan musuh yang sedang menyerang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِذاَ لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا زَحْفاً فَلاَ تُوَلُّوْهُمُ اْلأَدْباَرَ. وَمَنْ يٌوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفاً لِقِتاَلٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
Ayat ini menjelaskan tentang tidak bolehnya seseorang mundur atau berpaling dari menghadapi musuh. Karena yang demikian termasuk perkara terlarang dan tergolong dalam perkara yang membawa kepada kehancuran/ kebinasaan sehingga wajib untuk dijauhi. Sebagaimana yang disebut dalam sebuah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran atau kebinasaan.” Para shahabat bertanya: “Apakah ketujuh perkara itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot/ berpaling (desersi) dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina kepada wanita yang terjaga dari perbuatan dosa, tidak tahu-menahu dengannya (yakni dengan perbuatan zina tersebut-ed) dan (ia adalah wanita yang-ed) beriman kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dua hal yang diperbolehkan bagi seseorang untuk berpaling (mundur) ketika bertemu dengan musuh:
a. Berpaling dalam rangka mendatangkan kekuatan yang lebih besar atau siasat perang.
b. Berpaling dalam rangka menggabungkan diri dengan pasukan lain untuk menghimpun kekuatan.
2. Apabila negerinya dikepung oleh musuh. (Dalam keadaan ini) wajib atas penduduk negeri tersebut untuk mempertahankan negerinya. Keadaan ini serupa dengan orang yang berada di barisan peperangan. Sebab apabila musuh telah mengepung suatu negeri, tidak ada jalan lain bagi penduduknya kecuali untuk membela dan mempertahankannya. Dalam hal ini musuh juga akan menahan penduduk negeri tersebut untuk keluar dan mencegah masuknya bantuan baik berupa personil, makanan dan yang lainnya. Karena itu wajib atas penduduk negeri untuk berperang melawan musuh sebagai bentuk pembelaan terhadap negerinya.
3. Apabila diperintah oleh imam. Apabila seseorang diperintah oleh imam untuk berjihad, hendaknya ia mentaatinya. Imam dalam hal ini ialah pemimpin tertinggi negara dan tidak disyaratkan ia sebagai imam secara umum bagi kaum muslimin semuanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا ماَ لَكُمْ إِذاَ قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ أَرَضِيْتُمْ بِالْحَياَةِ الدُّنْياَ مِنَ اْلآخِرَةِ فَماَ مَتاَعُ الْحَياَةِ الدُّنْياَ فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ قَلِيْلٌ. إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَاباً أَلِيْماً وَيَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ وَلاَ تَضُرُّوْهُ شَيْئاً وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini di bandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 38-39)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha dan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian diminta untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan.
Misal dalam hal ini, kaum muslimin memiliki senjata berat seperti artileri, pesawat, atau teknologi tempur lainnya, namun tidak ada yang mampu mengoperasikannya kecuali seseorang. Maka menjadi fardhu ‘ain atas orang tersebut dengan sebab ia dibutuhkan.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, jihad menjadi fardhu ‘ain pada empat perkara:
1. Apabila bertemu dengan musuh
2. Apabila negerinya dikepung musuh
3. Apabila diperintah oleh imam
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan
Pembagian Jihad
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah membagi jihad menjadi tiga:
1. Jihadun Nafs, yaitu menundukkan jiwa dan menentangnya dalam bermaksiat kepada Allah. Berusaha menundukkan jiwa untuk selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan melawan seruan untuk bermaksiat kepada Allah. Jihad yang seperti ini tentunya akan terasa sangat berat bagi manusia, lebih-lebih saat mereka tinggal di lingkungan yang tidak baik. Karena lingkungan yang tidak baik akan melemahkan jiwa dan mengakibatkan manusia jatuh ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah, juga meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya.
2. Jihadul Munafiqin, yaitu melawan orang-orang munafiq dengan ilmu dan bukan dengan senjata. Karena orang-orang munafiq tidak diperangi dengan senjata. Para shahabat pernah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membunuh orang-orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya, kemudian beliau bersabda: “Jangan, supaya tidak terjadi pembicaraan oleh orang, bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.” (HR. Muslim, dari shahabat Jabir radhiallahu 'anhu)
Jihad melawan mereka adalah dengan ilmu. Oleh karena itu wajib atas kita semua untuk mempersenjatai diri dengan ilmu di hadapan orang-orang munafiq yang senantiasa mendatangkan syubhat terhadap agama Allah untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah. Jika pada diri manusia tidak ada ilmu, maka syubhat, syahwat, dan perkara bid’ah yang datang terus-menerus (akan bisa merusak dirinya), sementara ia tidak mampu menolak dan membantahnya.
3. Jihadul Kuffar, yaitu memerangi orang-orang kafir yang menentang, yang memerangi kaum muslimin, dan yang terang-terangan menyatakan kekafirannya, (dan jihad ini dilakukan) dengan senjata. (Asy-Syarhul Mumti’, 8/7-8)
Ibnul Qayyim rahimahullah membagi jihad menjadi empat bagian:
1. Jihadun Nafs (Jihad melawan diri sendiri)
2. Jihadusy Syaithan (Jihad melawan syaithan)
3. Jihadul Kuffar (Jihad melawan kaum kuffar)
4. Jihadul Munafiqin (Jihad menghadapi kaum munafiqin)
Setiap bagian di atas, masing-masing memiliki tingkatan-tingkatan. Jihadun Nafs memiliki empat tingkatan:
a. Berjihad melawan diri sendiri dengan cara mempelajari kebenaran dan agama yang hak, di mana tidak ada kebahagiaan dan kemenangan dunia dan akhirat kecuali dengannya, dan bila terluputkan darinya akan mengakibatkan sengsara.
b. Berjihad melawan diri sendiri dengan mengamalkan ilmu yang dipelajari. Karena jika hanya sekedar ilmu tanpa amal, akan memberi mudharat kepada jiwa atau tidak akan ada manfaat baginya.
c. Berjihad melawan diri sendiri dengan mendakwahkan ilmu yang telah dipelajari dan diamalkannya, mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui. Jika tidak demikian, ia akan tergolong ke dalam orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tidaklah bermanfaat serta tidak menyelamatkannya dari adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala.
d. Berjihad melawan diri sendiri dengan bersikap sabar ketika mendapatkan ujian dan cobaan, baik saat belajar agama, beramal dan berdakwah. Barangsiapa telah menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan tegolong orang-orang yang Rabbani (pendidik). Karena para ulama Salaf sepakat bahwa seorang alim tidak berhak diberi gelar sebagai ulama yang Rabbani, sampai ia mengetahui Al-Haq, mengamalkan serta mengajarkannya. Barangsiapa yang berilmu, mengamalkan dan mengajarkannya, ia akan diagungkan di hadapan para malaikat yang berada di langit.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadun nafs ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Fudhalah bin ‘Ubaid, beliau bersabda bersabda:
“Yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan (menundukkan) dirinya sendiri di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan yang lain, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihul Musnad (2/156) dan kitab Al-Jami’ Ash-Shahih (3/184).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Ketika jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berada di luar diri sendiri (syaithan, kaum kuffar, dan munafikin) merupakan cabang dari jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad lainnya. Karena barangsiapa yang tidak mengawali dalam berjihad melawan diri sendiri dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan Allah, tidak mungkin baginya untuk dapat berjihad melawan musuh yang datang dari luar. Bagaimana dia mampu berjihad melawan musuh dari luar, sementara musuh yang datang dari dirinya sendiri dapat menguasai dan mengalahkannya?”
Jihadusy Syaithan, ada dua tingkatan:
a. Berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan oleh syaithan kepada manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman.
b. Berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan syahwat. Dari dua tingkatan ini, untuk tingkatan pertama barangsiapa yang mampu mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Dan tingkatan yang kedua akan membuahkan kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَجَعَلْناَ مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِناَ لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآياَتِناَ يُوْقِنُوْنَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimipin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya akan diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan. Sabar akan menolak syahwat dan kehendak buruk, adapun keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadusy syaithan, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ الشَّيْطاَنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Perintah Allah dalam ayat ini agar menjadikan syaithan sebagai musuh, menjadi peringatan akan adanya keharusan mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi syaithan, berjihad melawannya. Karena syaithan itu bagaikan musuh yang tidak mengenal putus asa, lesu, dan lemah dalam memerangi dan menggoda seorang hamba dalam selang beberapa nafas.” (Zaadul Ma’ad, 3/6)
Jihadul Kuffar wal Munafiqin ada empat tingkatan:
a. Berjihad dengan hati
b. Berjihad dengan lisan
c. Berjihad dengan harta
d. Berjihad dengan jiwa
Dalil yang menjelaskan tentang bagian ketiga dan keempat ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآأَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
Jihad melawan kaum kuffar lebih dikhususkan dengan tangan (kekuatan), sedangkan melawan kaum munafiq lebih dikhususkan dengan lisan.
Bagian berikutnya, adalah jihad melawan kedzaliman, bid’ah, dan kemungkaran. Terdapat tiga tingkatan:
a. Berjihad dengan tangan apabila mampu, jika tidak maka berpindah kepada yang berikutnya
b. Berjihad dengan lisan, jika tidak mampu berpindah kepada yang berikutnya
c. Berjihad dengan hati
Dalil yang menjelaskan tentang bagian akhir ini adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melihat kemungkaran hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari semua tingkatan dalam jihad yang tersebut di atas, terkumpullah tiga belas tingkatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Barangsiapa yang meninggal dan belum berperang serta tidak pernah terbersit (cita-cita untuk berperang) dalam dirinya, (maka ia) meninggal di atas satu bagian dari nifaq.” (HR. Muslim)
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, tidak sempurna jihad seseorang kecuali dengan hijrah. Dan tidak akan ada hijrah dan jihad kecuali dengan iman. Orang-orang yang mengharap rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah yang mampu menegakkan tiga hal tersebut, yaitu iman, hijrah, dan jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharap rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 218)
Sebagaimana iman merupakan kewajiban atas setiap orang, maka wajib atasnya pula untuk melakukan dua hijrah pada setiap waktunya, yaitu hijrah kepada Allah dengan (amalan) tauhid, ikhlas, inabah, tawakkal, khauf, raja’, mahabbah dan hijrah kepada Rasul-Nya dengan (amalan) mutaba’ah, menjalankan perintahnya, membenarkan segala berita yang datang darinya, dan mengedepankan perkara dan berita yang datang dari beliau atas selainnya.
Manusia yang paling sempurna di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala ialah yang menyempurnakan seluruh tingkatan jihad di atas. Mereka berbeda-beda tingkatannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesuai dengan penempatan diri mereka terhadap tingkatan jihad tersebut. Oleh karena itu, manusia yang paling sempurna dan mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena beliau telah menyempurnakan seluruh tingkatan jihad yang ada dan beliau telah berjihad dengan jihad yang sebenar-benarnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan jihad sejak awal diutus hingga wafatnya, baik dengan tangan, lisan dan hati serta hartanya. (Zaadul Ma’ad, 3/9-11)
Wallahu a’lam.
1 Isyarat kepada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku beritahukan kepadamu tentang pokok pangkal dari semua urusan, tiangnya dan puncaknya yang tertinggi?” Aku berkata: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Pokok pangkal dari urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya yang tertinggi adalah jihad.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)
Lalu bagimana bila hal ini kita pilih dengan pendapat beliau yang mengatakan jihad untuk melawan orang kafir itu tidak ada ? Na’udzubillah ya Ustadz bertaubatlah dan takutlah kepada Allah. Karena apa yang anda katakan didengar orang banyak dan banyak pula yang mengikutinya.
Pendapat nyeleneh yang kedua, sang “ahli tafsir” ini mengatakan bahwa pria dan wanita setara dalam segala hal. Baik itu pekerjaan, hobby, cita-cita, penampilan, pergaulan, bla dan bla-bla-bla. Ini juga bersinggungan dengan pendapatnya yang ketiga yang mengatakan bahwa perempuan boleh jadi pemimpin kapanpun dan sebagai apapun. Baik itu sebagai Gubernur, Bupati, bahkan Presiden. Dan yang lebih mengganaskan lagi beliau menafsirkan al-Qur’an saena udele dewe. Lihat bagaimana dia menafsirkan Surat annisa ayat 34 yang berbunyi :
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
Dia menafsirkan kata laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita bahwa yang dimaksud disini adalah suami itu pemimpin atas istri. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un….!!!!
Dia membatasi kata pemimpin itu hanya sebatas hubungan dalam rumah tangga, padahal sudah jelas bahwa semua hal mencakup bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Coba kita lihat bagaimana Ahli Hadits yang Sangat Terkenal Menafsirkan ayat ini, beliau adalah al-Imam al-‘Allamah Syaikh Ibnu Katsir yang terkenal dengan Tafsir Ibnu Katsirnya. Beliau mentafsirkan ayat ini dengan :
Maksud dari ayat diatas adalah laki-laki adalah yang menegakkan (menanggung jawab) kaum wanita, dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik para wanita ketika mereka menyimpang, dan laki-laki itu lebih utama daripada wanita, dan lebih baik dari mereka. Karena itu pulalah kenabian dikhususkan untuk kaum laki-laki begitu pula pemimpin Negara, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam “tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita (sebagai pemimpin) dalam urusan mereka (hadits riwayat Bukhori no 4425)
Lalu bagaimana lagi sang “ahli tafsir” ini bisa dibenarkan pendapatnya ???? yang pertama dia sudah menyelisihi pendapat ahli tafsir yang sudah diakui dunia dan seluruh ulama dalam menafsirkan ayat, yang kedua dia menafsirkan ayat dengan pendapatnya sendiri, lihat al-Imam al-‘Allamah Syaikh Ibnu Katsir yang menafsirkan ayat dengan hadits, yang ketiga bagaiman mungkin perempuan bisa memimpin sementara Rasul telah mengancam umatnya untuk tidak mengangkat perempuan sebagai pemimpin. Maka pendapat mana yang lebih haq ? sang “ahli tafsir” inikah atau Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Saya rasa anak kecil saja tau jawabannya…!!!
Adapun pendapatnya yang keempat, cukuplah kita membaca Majalah As-Sunnah edisi 12/X/1428H/2007M. Kalau mau membaca silahkan hubungi bagian pemasarannya di 08121533647.
Dan berikut saya kutip dari http://www.abusulthon.com/2009/03/poligami-melindungi-wanita/
Poligami Melindungi Wanita
By abusulthon pada 18 Maret 2009
oleh Abu Syifa’
Menciptakan kemanfaatan sebesar-besarnya dan menepis bahaya, kendatipun kecil, itulah spirit yang menetap pada setiap aturan islam. Tidak ada satupun ketetapan hukum Illahi yang berimplikasikan buruk bagi umat manusia. Semua mengandung kemaslahatan demi kemaslahatan. Termasuk juga bolehnya melakukan poligami bagi kaum laki-laki, sama sekali tidak menimbulkan ekses negatif pada diri wanita. Justru poligami memberikan aspek positif pada mereka.
Oleh karena itu, poligami tidak perlu di takuti, apalagi sampai antipati. Sebelum islam datang, poligami sudah ada dan merupakan sesuatu yang wajar, bahkan di lingkungan kerajaan di negeri ini pada masa lalu. Tak sedikit para raja yang memiliki isteri lebih dari satu, bahkan mungkin tidak terhitung. Begitu pula yang terjadi pada masa jahilayah. Seorang laki-laki bisa memiliki isteri bisa lebih dari sepuluh, bahkan lebih. Yang lebih mengenaskan, seolah wanita diperlakukan layaknya barang, yang bisa di pindah kepemilikannya.
Kemudian islam datang dengan membawa pencerahan, mengoreksi kebiasaan buruk tersebut. Tidak lain ialah untuk “memanusiakan wanita”, yang keberadaannya tertindas. Tidak memiliki hak sebagai manusia merdeka. Islam datang untuk mengangkat derajat wanita setinggi-tingginya, memuliakannya, menjaga kehormatannya, dan memjauhkan mereka dari tempat yang hina. Nabi Sholallahu alaihi wasallam bersabda :
“Berwasiatlah kalian (kepada orang lain) untuk berbuat baik kepada wanita. (HR. Bukhari)
Data statistik dibanyak negara mengindikasikan kuantitas wanita melebihi kaum adam, jika sensus ini benar, sedang pernikahan di bolehkan hanya satu wanita, lantas bagaimana wanita-wanita yang belum bertemu jodohnya mencari perlindungan, keamanan, memenuhi kebutuhannya, dan menjaga kehormatannya ?
Tentu, siapapun tidak ingin menghabiskan hari-harinya sendirian. Ini sebuah permasalahan sosial. Meski para wanita ini dipaksa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, kemungkinan menjadi bumerang bagi keamanan dan kehormatannya.
Jika mau jujur, hidup sendiri tanpa pasangan resmi, bak orang yang berjalan dengan pincang, penuh resiko. Gelar berjejer, status sosial tinggi, atau seabreg kesibukan dalam karir, tidak mengobati kesendirian seorang wanita yang mendambakan kehadiran seorang lelaki. Dan demikian ini adalah fitrah bagi wanita. Mereka membutuhkan tempat bernaung yang bisa melindungi, membimbing, mencurahkan kata hatinya dan memdapatkan kasih sayang. Bahkan untuk mengobati kerinduannya di panggil ibu oleh anak-anaknya.
Dalam kontek ini, kemaslahatan poligami yang di dapatkan wanita lebih besar di bandingkan lelaki yang menjalankan poligami, sebagaimana telah di ungkapkan oleh Syaikh sholih al Fauzan saat di tanya mengenai solusi penanganan banyaknya jumlah wanita yang belum menikah. (lihat al muntaqa, 3/168). Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini termasuk asasi.
Ironisnya, meski mengetahui kemaslahatan poligami, tak kurang penentang poligami seolah selalu menutup mata terhadap keindahan yang terkandung dalam syari’at islam ini. Dengan berbagai alasan, propaganda penolakan di dengungkan dimana-mana, media massa, mimbar-mimbar bahkan di politisasi. Seolah poligami adalah buruk, sedangkan perzinaan sesuatu yang baik. Begitu pula para wanita, tidak sedikit yang merasa berat suaminya melakukan poligami, tetapi tak merasa terganggu jika suaminya melakukan perselingkuhan dengan wanita lain. Naudzubillah.
Padahal jika di telusuri secara mendalam, perzinaan telah menimbulkan keresahan. Dampak sosialnya sangat mahal di bayar. Perzinaan sangat meresahkan masyarakat, merancukan nasab, dan yang telah terjadi perzinaan telah memberikan saham sejumlah penyakit menular, sejak dikenal dengan spilis, raja singa hingga masa sekarang ini muncul Aids. Jadi, perzinaan sangat tidak menguntungkan bagi wanita.
Begitu pula dengan “wanita simpanan”, hakikatnya telah mempecundangi harkat dan martabat wanita. Dia tidak mendapat perlindungan, tetapi justru sekedar di jadikan pemuas nafsu belaka. Di hadapan hukum, bila terjadi kematian pasangan selingkuhnya, tidak ada pasal-pasal yang menguatkan posisinya. Ketidakpastian, lilitan dosa dan penyesalan akan mendera dan menghiasi hari-harinya.
Jadi jika kita mengupas poligami, sangat banyak maslahatnya dan faedah yang bisa di petik. Bahwa poligami itu indah, karena ia melindungi wanita.
Allahu A’lam.
Sedikit mencoba menegaskan bahwa poligami itu mengangkat derajat wanita. Kita misalkan ada seorang Bos Perusahaan yang mempunyai simpanan, lalu simpanan ini berjumpa dengan teman-teman si Bos ketika dia dan si Bos sedang berduaan. Apa kira-kira yang akan dijawab si Bos ketika temannya bertanya “ini siapa bos ?” Yakin dan percayalah dia pasti menjawab “eeeee…… rekan bisnis” atau mungkin “eeee….sepupu”
Lalu coba kita bandingkan dengan seseorang yang mempunyai istri dua. Ketika dia jalan dengan istri pertama dan berjumpa temannya lalu ditanya “ini Siapa ?” pastilah dia jawab “o.. pastinya ini istri saya!!!” lalu bila berjumpa dengan temannya yang tadi juga dalam keadaan si poligamer ini sedang jalan dengan istri kedua lalu ditanya “ini siapa lagi ?” dengan bangganya dia pasti akan menjawab “kalau ini istri saya yang satu lagi” MANTAB !!!
Saya coba memberi satu pertanyaan bagi wanita (yang jawab hanya wanita lho) mana lebih mulia dibilang rekan bisnis (padahal simpanan) dari pada istri kedua……????? Silahkan beri komen untuk jawaban.
Akhirnya saya hanya dapat berdoa semoga kita dan sang “ahli tafsir” dapat kembali kejalan yang Allah RasulNya tuntukan….
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.
Label:
dakwah islam : khairuddin,
fatwa,
fiqih,
Firqoh,
manhaj
12 September 2009
detikcom : Goncang, Ke Pesantren, Bercadar Lalu \'Menghilang\' Agar Tenang
title : Goncang, Ke Pesantren, Bercadar Lalu \'Menghilang\' Agar Tenang
summary : Meski membantah menghilang, keberadaan Soraya hingga kini tidak jelas. Ia hanya mengatakan tinggal di suatu tempat yang lebih damai dan bisa beribadah dengan tenang. (read more)
summary : Meski membantah menghilang, keberadaan Soraya hingga kini tidak jelas. Ia hanya mengatakan tinggal di suatu tempat yang lebih damai dan bisa beribadah dengan tenang. (read more)
09 September 2009
Soraya Abdullah Balvas, Mendapat Hidayah Setelah Masuk Pesantren
Sebagai manusia, hal yang sangat wajar mendambahkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Bagi artis Soraya Abdullah Balvas (29 th), konsep ini pun berlaku untuknya. Meski hidupnya penuh dengan glamor, tetapi ketika dirinya sadar telah berumah tangga, ia pun berusaha untuk menjadi istri yang salehah. Tetapi, takdir Tuhan ternyata berkata lain. Di tengah jalan, rumah tangga yang berusaha dipertahankannya tiba-tiba diterjang badai dan tidak bisa diselamatkan lagi.
Soraya pun berduka. Ternyata “hal terpahit dalam hidupnya” itu bukan saja fenomena lumrah yang dilihatnya dalam adegan-adegan sinetron di televisi, tapi drama kehidupan yang nyata dijalaninya.
Hari demi hari ia merasakan “bumi” ini seperti hendak menghimpitnya. Sangat sesak sekali. Apalagi, ada “anak semata wayang” yang harus dihidupinya. Bagaimana ia bisa keluar dari ujian Tuhan yang sangat berat ini? Siapa saja sosok yang paling berperan di belakangnya?
Ditemui habis mengikuti pengajian di rumah Rina Umar, anak dari Umar Wirahadikusumah (almarhum), mantan Wakil Presiden RI, pada Selasa, 26 Juni 2007, jam 12.00 WIB, Soraya pun bertutur terus terang kepada Hidayah mengenai kisah hidupnya yang sempat terpuruk akibat perceraian, kemudian bisa bangkit setelah “hidayah” Tuhan datang melalui sebuah pesantren, tempat dirinya berlabuh dari segala duka yang menghimpitnya.
Masuk Pesantren
Sebagai seorang artis, sosok Soraya Abdullah terbilang cukup sukses. Berbagai peran sinetron dibintanginya dan menuai sukses di pasaran seperti Teman Ajaib, Bajaj, Kehormatan, Hidayah, dan Misteri Ilahi. Sebagai presenter pun pernah ia lakoni di Hello Selebriti.
Layaknya seorang artis, Soraya pun menjalani hari-hari hidupnya penuh dengan glamor. Bersenang-senang dan gaya hidup metropolis dilakoninya, meski tidak sampai terjerembab ke dalam pesta narkoba atau minuman keras. “Popularitas di sebelah kanan dan duit di sebelah kiri,” ujar Soraya menggambarkan kejayaannya sebagai seorang artis kala itu.
Imbas gaya hidup dan ketenaran yang ia raih, agama pun mulai ditinggalkan. Shalat lima waktu mulai bolong-bolong dikerjakan. Ia menyadari konsekuensi dirinya sebagai seorang artis, yang sangat padat dengan jadwal shoting dan kegiatan. Jika sedang shoting dan datang waktu shalat, ia sering lalai menunaikannya. Begitu juga ketika ia sedang berada di mal untuk melampiaskan ambisi “anak mudanya”, sampai melupakan shalat.
“Saya shalat di rumah saja. Jika saya pergi ke mal habis Dzuhur misalnya, lalu pulang habis Isya. Otomatis saya tidak shalat Ashar dan Maghrib di luar. Di rumah saya hanya mengerjakan shalat Isya,” aku Soraya. Baginya, ibadah shalat belum menjadi keharusan saat itu. Jika ada waktu saja, shalat itu mau dikerjakan.
Padahal, jika saja saat itu ia mau mendengarkan saran sang pacar, mungkin kisahnya akan lain. “Saat itu saya punya pacar dengan pria yang sangat mengerti agama. Ia tidak mau pacaran, maunya langsung kawin saja. Sebab, di matanya pacaran tidak baik imbasnya,” ujar Soraya.
Tetapi, ajakan sang pacar ditolaknya. Bahkan, Soraya kemudian memutuskan hubungan tanpa sebab yang jelas. Laki-laki itu digantungnya. Sms-smsnya tidak dijawab oleh Soraya. Saat itu “gengsi selebritisnya” masih sangat tinggi.
“Saat itu usia saya masih 20-an, masih senang-senangnya hura-hura. Apalagi, popularistas saya semakin meningkat. Berbagai sinetron terus-menerus saya bintangi dan duit pun seperti dalam genggaman,” tutur Soraya.
Putus dari pacar, Soraya pun semakin larut dalam dunianya. Ia pun merasakan dunia seolah dalam genggamannya. Segala cita-cita yang diimpikan sejak kecil seperti telah ia raih. Apalagi, beberapa saat kemudian ia menemukan tambatan hatinya yang tidak akan mengusik-usik karirnya sebagai seorang artis, tidak sepeti pacar sebelumnya.
Ketika tambatan hati itu melamar Soraya, ia pun tak kuasa menolaknya. Mereka pun menikah. Setahun setelah pernikahan, mereka dikaruniai anak. lengkap sudah kebahagian Soraya. Karir cemerlang, duit banyak dan keluarga bahagia.
Tapi, kebahagiaan Soraya merajut rumah tangga ternyata hanya berlangsung 2,5 tahun. Kelahiran sang baby, ternyata tak membuat hubungan Soraya dengan sang suami semanis gula. Setelah usia sang baby memasuki dua bulan, justru pernikahan Soraya yang didambakan itu menuai kehancuran.
“Tanpa sebab yang jelas tiba-tiba suami menceraikanku,” jujur Soraya.
Berbagai upaya dilakukan Soraya agar pernikahannya tidak pupus di tengah jalan. Apalagi, bila ia melihat sang baby masih berusia dua bulan. Tapi, keputusan mutlak sang suami untuk berpisah tidak bisa dielakkan lagi. Laki-laki itu dengan tegas mengatakan akan berpisah dengan Soraya.
Hati Soraya hancur berkeping-keping, bagai daging diiris-iris pisau. Dadanya bergolak keras seperti air mendidih. Ia tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Sang arjuna telah mengkhianati perkawinan suci yang sejak awal menjadi komitmen mereka untuk dipertahankan. “Saya tidak tahu apa yang menyebabkan ia menceraikanku,” ujar Soraya masih tidak percaya.
Sejak bercerai setiap hari Soraya lakoni hidupnya seperti suasana di malam hari, sangat gelap dan sunyi. Ia merasakan seolah bumi telah menelannya dan langit seperti mau jatuh lalu menghimpitnya. Dadanya sesak sekali. “Aku hanya bisa menangis dan menangis,” ujarnya.
Padahal, sebagai seorang istri, Soraya merasa dirinya telah menjalani kewajibannya. Hak-hak suami telah dipenuhinya dengan baik. Lalu apa yang didapatkan dari semuanya ini? Inikah balasannya?
Soraya terus memikirkan gagalnya pernikahan yang telah dirajutnya dengan baik. Ia masih tidak percaya atas apa yang terjadi di depannya. Kenapa suami begitu tega menceraikannya?
Imbasnya, Soraya menjadi wanita pemurung. Ia menjadi tidak bergairah dan bersemangat lagi.
“Satu bulan kondisi saya dalam keadaan tidak stabil. Diajak bicara tidak nyambung. Pikiran saya seperti blank (kosong). Tidak bisa konsentrasi,” ujar anak ke 3 dari 4 bersaudara dari pasangan Abdullah Saleh Balvas dan Sallymah ini.
Melihat keadaan Soraya yang demikian memprihatinkan, keluarga bertindak cepat. “Hal ini tidak boleh dibiarkan. Ia tidak boleh dibawa ke psikiater. Ia harus dipesantrenkan,” tiru Soraya atas ucapan keluarganya kala itu.
Soraya lalu dibawa ke Pesantren Al-Ihya di Ciomas, Bogor pimpinan KH. M. Husni Thamrin. Saat itu menjelang bulan Ramadhan 2004. “Hari-hari pertama di pesantren, saya masih belum bergairah. Pikiran saya masih suka blank. Berat badan pun turun 20 kg,” ujar Soraya.
Tetapi, di tengah ketidakstabilan emosi dan pikiran Soraya saat itu, ia masih memiliki “setitik” kesadaran untuk bisa melihat dan berpikir. “Meski masih stress, setiap hari saya selalu mendengar bacaan al-Qur’an di sini,” ujarnya.
Seminggu di pesantren, hati Soraya semakin tenang. Kondisinya mulai stabil. “Sebab setiap saat para ustadz dan ustadzah di sini selalu membimbing saya. Saya tidak bisa dibiarkan sendirian. Setiap satu jam selalu saja ada ustadz dan ustadzah yang menemani saya,” ujar Soraya.
Pada saat itulah, para ustadz dan ustadzah tersebut selalu memberikan motivasi pada Soraya. Ia juga diberikan pendidikan agama seperti tentang al-Qur’an, hadits, fikih, tauhid dan sebagainya. “Saking stressnya saya hampir lupa bacaan al-Fatihah,” aku Soraya.
Setelah seminggu berlalu, kondisi emosi dan kejiwaan Soraya pun benar-benar mulai tenang. Ia mulai belajar al-Qur’an lagi dari titik nol. “Saya mulai belajar ta’awudz dan basmalah lagi,” ujarnya. Ia juga mulai rajin menunaikan shalat malam setiap hari. “Saya juga mulai berjilbab. Sebab, di sini seluruh santri putri pakai jilbab. Saya melihat mereka kok anggun sekali. Saya lalu tertarik untuk mencobanya, ternyata sangat nyaman sekali,” ujarnya.
Niat sebentar di pesantren, akhirnya tidak jadi. Soraya justru semakin betah di pesantren. Ramadhan pun dihabiskan di pesantren. “Selama 40 hari saya di pesantren. Sebelum saya memastikan tinggal lama di pesantren saya telpon keluarga saya di rumah agar membatalkan semua kontrak saya dengan para Production House (PH). Rupanya mereka mengerti. Setiap sinetron yang melibatkan adegan saya pun akhirnya ditiadakan,” ujar Soraya.
Setelah 40 hari di pesantren Soraya pamitan pada pak kiayi, para ustadz dan ustadzah di sana, dalam kondisi yang sudah benar-benar stabil. Kini, ia pun mulai menatap masa depannya lebih cerah lagi. Dengan penampilan baru yakni berjilbab, ia pun mulai merengkuh kembali dunia selebritis yang sempat ditinggalkannya selama di pesantren.
Ujian Berjilbab
Keluar dari pesantren, Soraya mendatangi kembali PH yang pernah mengontraknya. Ia pun ditawari kembali. “Tetapi, saya diharuskan membuka jilbab. Saya akhirnya terpaksa melakukannya,” ujar Soraya.
Demi mendapatkan penghasilan, Soraya terpaksa membuka jilbab saat shoting. Tetapi, selesai shoting ia kembali mengenakan jilbabnya. “Tapi, saya merasa kok orang-orang sedang menelanjangi saya,” ucap Soraya.
Di tengah hiruk pikuk para kru sinetron saat shoting, Soraya merasa mereka telah menelanjangi dirinya karena tidak berjilbab. Ia malu pada seluruh orang di Indonesia. Hati kecilnya tidak terima atas keharusan dirinya untuk membuka jilbab. Karena itu ketika kontrak selesai dan mau diperpanjang lagi, Soraya pun berkata pada para produser, termasuk kepada Ilham Bintang, Manoj Punjabi dan Shanker,
“Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak yang telah memperpanjang kontrak saya lagi. Tapi, sekarang saya sudah berjilbab. Mohon maaf lahir dan batin, mungkinkah adegan nanti saya memakai jilbab. Kalau Bapak bisa mempertimbangkannya, saya ucapkan terima kasih sekali. Tapi, kalau tidak bisa, saya akan mundur.”
Ternyata tawaran Soraya ditolak oleh para produser. Ia pun meminta mundur dari kontrak itu. Soraya lalu mencari PH-PH lain yang mau mengontraknya dalam beberapa adegan sinetron yang digarap mereka. Tetapi syarat yang diajukan Soraya untuk berjilbab ternyata dirasa berat. Soraya pun tidak pernah mendapatkan kontrak sinetron lagi selama beberapa bulan.
“Selama 3-4 bulan saya menganggur. Saya ke sana kemari mencari pekerjaan. Tetapi, satu pun tidak ada yang menerima saya dalam keadaan berjilbab,” ujar Soraya.
Tabungan Soraya pun makin lama semakin ludes. Puncaknya, ia hanya punya uang sepuluh ribu rupiah. “Saya sampai bilang pada empat pembantu saya. Kebetulan sejak saya bercerai, keempat pembantu saya ikut saya semua. Saya katakan pada mereka saat itu, jika kalian ikut sama saya, saya tidak ada uang untuk menggaji kalian. Tetapi, mereka bilang tidak apa-apa,” ujar Soraya.
Bagi Soraya keadaan seperti ini merupakan ujian terberat baginya ketika pertama kali mengenakan jilbab. “Saya merasa Tuhan sedang menguji saya, apakah saya bisa tahan dengan kondisi seperti ini atau tidak?” ujarnya.
Selama itu Soraya hanya makan pakai lauk seadanya dan mie rebus. Bagi seorang artis seperti dirinya, keadaan seperti ini cukup memprihatinkan sekali. “Saya sampai bilang pada pembantu saya, bagaimana jika kita puasa Nabi Daud? Ternyata mereka bilang tidak apa-apa,” ujar Soraya.
Selama itu Soraya pun terpaksa puasa Nabi Daud, hari ini puasa dan besok tidak. Begitu seterusnya. Soraya sengaja tidak memberitahukan keadaan ini pada keluarganya. Ia tidak ingin keluarganya sedih ketika mendengar keadaannya yang memprihatinkan. “Mereka hanya tahu saya dapat uang gono-gini dari suami, padahal saya tidak mendapatkan apa-apa,” terang Soraya.
Selama empat bulan Soraya hidup dalam kondisi memprihatinkan. Setelah ia sabar menjalaninya, balasan Tuhan pun akhirnya datang kepadanya. “Kebetulan saat itu sinetron-sinetron religius mulai merambah televisi. Saya pun ditawari main di Hidayah, Misteri Ilahi dan sinetron-sinetron agama lainnya,” ujar Soraya.
Keadaan Soraya yang berjilbab berbuah berkah sendiri. Sinetron-sinetron yang bertema religius yang mulai merambah televisi, bahkan kemudian booming, akhirnya menggunakan peran Soraya. Ia pun mulai kebanjiran tawaran main sinetron lagi. “Saking banyaknya, saya sampai kewalahan menerimanya. Inilah mungkin balasan Tuhan atas kesabaran saya,” ujar Soraya.
“Habis Gelap Terbitlah Terang,” seperti judul buku karya RA. Kartini itu pun benar-benar terjadi pada Soraya. Kini, hidupnya mulai terang kembali setelah dirinya banyak dipakai dalam sinetron-sinetron religius.
Kini, Konsisten Berjilbab
Satu tahun setelah Soraya bercerai dengan suaminya, mantan pacarnya tujuh tahun yang lalu tiba-tiba menelponnya kembali. Dalam telpon itu, ia mengajak Soraya untuk bertemu. Mereka pun bertemu. Betapa kagetnya laki-laki itu setelah melihat Soraya sudah berjilbab. “Saya dikira habis pergi umroh karena saya berjilbab,” ujar Soraya.
Laki-laki itu begitu tersentuh melihat perubahan Soraya yang semakin religius. Panah asmara yang telah menancapnya tujuh tahun lalu, kini bertambah besar lagi setelah melihat Soraya benar-benar telah berubah. “Setelah beberapa minggu saya bertemu dengan dia, dia mengajak saya menikah. Saya tidak langsung jawab, tapi shalat istikharah dulu,” ujar Soraya.
Setelah tiga kali shalat istikharah, Soraya pun merasa yakin kalau laki-laki yang diputusnya tujuh tahun yang lalu itu adalah laki-laki yang paling pantas untuk menjadi suaminya. “Saya sudah kenal dia sebelumnya. Ia juga mau menerima saya apa adanya, yang pernah menikah dan punya anak,” ujar Soraya.
Soraya pun kemudian menikah dengan laki-laki yang benar-benar mengerti agama. Kini, Soraya dikaruniai anak lagi buah perkawinannya dengan suami yang kedua. Usia perkawinannya telah menginjak dua tahun. Rumah tangga baru dibangunnya kembali.
Lantas, apa kesibukan Mbak Aya –penggilan akrab Soraya- setelah menjadi ibu rumah tangga untuk kedua kalinya?
“Setiap hari saya hampir selalu mengikuti pengajian yang diadakan baik oleh teman-teman ataupun pejabat. Sekarang saya juga lagi kuliah di STID Al-Hikmah mengambil jurusan Komunikasi dan Penyiaran. Sebab, kata suami, saya punya bakat menjadi seorang ustadzah karena pintar ngomong,” ujar Mbak Aya.
Mbak Aya juga tidak akan merubah penampilannya untuk selalu mengenakan jilbab. “Insya Allah, saya akan selalu berjilbab sampai kiamat. Menurut agama, menutup aurat itu hukumnya wajib seperti halnya shalat,” teguhnya.
Hidup bersama suami yang mengerti agama, bukan suatu hal yang sangat sulit bagi Mbak Aya untuk tetap konsisten mengenakan jilbab. Bahkan, ia tidak saja menerapkan berjilbab untuk dirinya, kepada teman-temannya sesama artis ia juga berusaha untuk menganjurkan hal yang sama. “Saya sering berpesan kepada teman-teman untuk mengenakan jilbab. Dan saya tidak bosan-bosan untuk terus menganjurkannya,” ujar Mbak Aya.
Demikian kisah hidup Soraya yang sempat terpuruk akibat perceraian, tetapi mendapat hidayah setelah masuk pesantren. “Bagi saya, ini adalah titik balik hidup saya. Sedikit sekali orang yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki dirinya. Banyak perempuan-perempuan yang didepak oleh suami, tapi tidak membuat mereka sadar malah bertambah stress. Saya bersyukur, karena akibat perceraian saya kemudian diberikan hidayah oleh-Nya,” ujar Soraya penuh syukur.
Semoga kita bisa mengikuti jejaknya! Amien.
Soraya pun berduka. Ternyata “hal terpahit dalam hidupnya” itu bukan saja fenomena lumrah yang dilihatnya dalam adegan-adegan sinetron di televisi, tapi drama kehidupan yang nyata dijalaninya.
Hari demi hari ia merasakan “bumi” ini seperti hendak menghimpitnya. Sangat sesak sekali. Apalagi, ada “anak semata wayang” yang harus dihidupinya. Bagaimana ia bisa keluar dari ujian Tuhan yang sangat berat ini? Siapa saja sosok yang paling berperan di belakangnya?
Ditemui habis mengikuti pengajian di rumah Rina Umar, anak dari Umar Wirahadikusumah (almarhum), mantan Wakil Presiden RI, pada Selasa, 26 Juni 2007, jam 12.00 WIB, Soraya pun bertutur terus terang kepada Hidayah mengenai kisah hidupnya yang sempat terpuruk akibat perceraian, kemudian bisa bangkit setelah “hidayah” Tuhan datang melalui sebuah pesantren, tempat dirinya berlabuh dari segala duka yang menghimpitnya.
Masuk Pesantren
Sebagai seorang artis, sosok Soraya Abdullah terbilang cukup sukses. Berbagai peran sinetron dibintanginya dan menuai sukses di pasaran seperti Teman Ajaib, Bajaj, Kehormatan, Hidayah, dan Misteri Ilahi. Sebagai presenter pun pernah ia lakoni di Hello Selebriti.
Layaknya seorang artis, Soraya pun menjalani hari-hari hidupnya penuh dengan glamor. Bersenang-senang dan gaya hidup metropolis dilakoninya, meski tidak sampai terjerembab ke dalam pesta narkoba atau minuman keras. “Popularitas di sebelah kanan dan duit di sebelah kiri,” ujar Soraya menggambarkan kejayaannya sebagai seorang artis kala itu.
Imbas gaya hidup dan ketenaran yang ia raih, agama pun mulai ditinggalkan. Shalat lima waktu mulai bolong-bolong dikerjakan. Ia menyadari konsekuensi dirinya sebagai seorang artis, yang sangat padat dengan jadwal shoting dan kegiatan. Jika sedang shoting dan datang waktu shalat, ia sering lalai menunaikannya. Begitu juga ketika ia sedang berada di mal untuk melampiaskan ambisi “anak mudanya”, sampai melupakan shalat.
“Saya shalat di rumah saja. Jika saya pergi ke mal habis Dzuhur misalnya, lalu pulang habis Isya. Otomatis saya tidak shalat Ashar dan Maghrib di luar. Di rumah saya hanya mengerjakan shalat Isya,” aku Soraya. Baginya, ibadah shalat belum menjadi keharusan saat itu. Jika ada waktu saja, shalat itu mau dikerjakan.
Padahal, jika saja saat itu ia mau mendengarkan saran sang pacar, mungkin kisahnya akan lain. “Saat itu saya punya pacar dengan pria yang sangat mengerti agama. Ia tidak mau pacaran, maunya langsung kawin saja. Sebab, di matanya pacaran tidak baik imbasnya,” ujar Soraya.
Tetapi, ajakan sang pacar ditolaknya. Bahkan, Soraya kemudian memutuskan hubungan tanpa sebab yang jelas. Laki-laki itu digantungnya. Sms-smsnya tidak dijawab oleh Soraya. Saat itu “gengsi selebritisnya” masih sangat tinggi.
“Saat itu usia saya masih 20-an, masih senang-senangnya hura-hura. Apalagi, popularistas saya semakin meningkat. Berbagai sinetron terus-menerus saya bintangi dan duit pun seperti dalam genggaman,” tutur Soraya.
Putus dari pacar, Soraya pun semakin larut dalam dunianya. Ia pun merasakan dunia seolah dalam genggamannya. Segala cita-cita yang diimpikan sejak kecil seperti telah ia raih. Apalagi, beberapa saat kemudian ia menemukan tambatan hatinya yang tidak akan mengusik-usik karirnya sebagai seorang artis, tidak sepeti pacar sebelumnya.
Ketika tambatan hati itu melamar Soraya, ia pun tak kuasa menolaknya. Mereka pun menikah. Setahun setelah pernikahan, mereka dikaruniai anak. lengkap sudah kebahagian Soraya. Karir cemerlang, duit banyak dan keluarga bahagia.
Tapi, kebahagiaan Soraya merajut rumah tangga ternyata hanya berlangsung 2,5 tahun. Kelahiran sang baby, ternyata tak membuat hubungan Soraya dengan sang suami semanis gula. Setelah usia sang baby memasuki dua bulan, justru pernikahan Soraya yang didambakan itu menuai kehancuran.
“Tanpa sebab yang jelas tiba-tiba suami menceraikanku,” jujur Soraya.
Berbagai upaya dilakukan Soraya agar pernikahannya tidak pupus di tengah jalan. Apalagi, bila ia melihat sang baby masih berusia dua bulan. Tapi, keputusan mutlak sang suami untuk berpisah tidak bisa dielakkan lagi. Laki-laki itu dengan tegas mengatakan akan berpisah dengan Soraya.
Hati Soraya hancur berkeping-keping, bagai daging diiris-iris pisau. Dadanya bergolak keras seperti air mendidih. Ia tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Sang arjuna telah mengkhianati perkawinan suci yang sejak awal menjadi komitmen mereka untuk dipertahankan. “Saya tidak tahu apa yang menyebabkan ia menceraikanku,” ujar Soraya masih tidak percaya.
Sejak bercerai setiap hari Soraya lakoni hidupnya seperti suasana di malam hari, sangat gelap dan sunyi. Ia merasakan seolah bumi telah menelannya dan langit seperti mau jatuh lalu menghimpitnya. Dadanya sesak sekali. “Aku hanya bisa menangis dan menangis,” ujarnya.
Padahal, sebagai seorang istri, Soraya merasa dirinya telah menjalani kewajibannya. Hak-hak suami telah dipenuhinya dengan baik. Lalu apa yang didapatkan dari semuanya ini? Inikah balasannya?
Soraya terus memikirkan gagalnya pernikahan yang telah dirajutnya dengan baik. Ia masih tidak percaya atas apa yang terjadi di depannya. Kenapa suami begitu tega menceraikannya?
Imbasnya, Soraya menjadi wanita pemurung. Ia menjadi tidak bergairah dan bersemangat lagi.
“Satu bulan kondisi saya dalam keadaan tidak stabil. Diajak bicara tidak nyambung. Pikiran saya seperti blank (kosong). Tidak bisa konsentrasi,” ujar anak ke 3 dari 4 bersaudara dari pasangan Abdullah Saleh Balvas dan Sallymah ini.
Melihat keadaan Soraya yang demikian memprihatinkan, keluarga bertindak cepat. “Hal ini tidak boleh dibiarkan. Ia tidak boleh dibawa ke psikiater. Ia harus dipesantrenkan,” tiru Soraya atas ucapan keluarganya kala itu.
Soraya lalu dibawa ke Pesantren Al-Ihya di Ciomas, Bogor pimpinan KH. M. Husni Thamrin. Saat itu menjelang bulan Ramadhan 2004. “Hari-hari pertama di pesantren, saya masih belum bergairah. Pikiran saya masih suka blank. Berat badan pun turun 20 kg,” ujar Soraya.
Tetapi, di tengah ketidakstabilan emosi dan pikiran Soraya saat itu, ia masih memiliki “setitik” kesadaran untuk bisa melihat dan berpikir. “Meski masih stress, setiap hari saya selalu mendengar bacaan al-Qur’an di sini,” ujarnya.
Seminggu di pesantren, hati Soraya semakin tenang. Kondisinya mulai stabil. “Sebab setiap saat para ustadz dan ustadzah di sini selalu membimbing saya. Saya tidak bisa dibiarkan sendirian. Setiap satu jam selalu saja ada ustadz dan ustadzah yang menemani saya,” ujar Soraya.
Pada saat itulah, para ustadz dan ustadzah tersebut selalu memberikan motivasi pada Soraya. Ia juga diberikan pendidikan agama seperti tentang al-Qur’an, hadits, fikih, tauhid dan sebagainya. “Saking stressnya saya hampir lupa bacaan al-Fatihah,” aku Soraya.
Setelah seminggu berlalu, kondisi emosi dan kejiwaan Soraya pun benar-benar mulai tenang. Ia mulai belajar al-Qur’an lagi dari titik nol. “Saya mulai belajar ta’awudz dan basmalah lagi,” ujarnya. Ia juga mulai rajin menunaikan shalat malam setiap hari. “Saya juga mulai berjilbab. Sebab, di sini seluruh santri putri pakai jilbab. Saya melihat mereka kok anggun sekali. Saya lalu tertarik untuk mencobanya, ternyata sangat nyaman sekali,” ujarnya.
Niat sebentar di pesantren, akhirnya tidak jadi. Soraya justru semakin betah di pesantren. Ramadhan pun dihabiskan di pesantren. “Selama 40 hari saya di pesantren. Sebelum saya memastikan tinggal lama di pesantren saya telpon keluarga saya di rumah agar membatalkan semua kontrak saya dengan para Production House (PH). Rupanya mereka mengerti. Setiap sinetron yang melibatkan adegan saya pun akhirnya ditiadakan,” ujar Soraya.
Setelah 40 hari di pesantren Soraya pamitan pada pak kiayi, para ustadz dan ustadzah di sana, dalam kondisi yang sudah benar-benar stabil. Kini, ia pun mulai menatap masa depannya lebih cerah lagi. Dengan penampilan baru yakni berjilbab, ia pun mulai merengkuh kembali dunia selebritis yang sempat ditinggalkannya selama di pesantren.
Ujian Berjilbab
Keluar dari pesantren, Soraya mendatangi kembali PH yang pernah mengontraknya. Ia pun ditawari kembali. “Tetapi, saya diharuskan membuka jilbab. Saya akhirnya terpaksa melakukannya,” ujar Soraya.
Demi mendapatkan penghasilan, Soraya terpaksa membuka jilbab saat shoting. Tetapi, selesai shoting ia kembali mengenakan jilbabnya. “Tapi, saya merasa kok orang-orang sedang menelanjangi saya,” ucap Soraya.
Di tengah hiruk pikuk para kru sinetron saat shoting, Soraya merasa mereka telah menelanjangi dirinya karena tidak berjilbab. Ia malu pada seluruh orang di Indonesia. Hati kecilnya tidak terima atas keharusan dirinya untuk membuka jilbab. Karena itu ketika kontrak selesai dan mau diperpanjang lagi, Soraya pun berkata pada para produser, termasuk kepada Ilham Bintang, Manoj Punjabi dan Shanker,
“Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak yang telah memperpanjang kontrak saya lagi. Tapi, sekarang saya sudah berjilbab. Mohon maaf lahir dan batin, mungkinkah adegan nanti saya memakai jilbab. Kalau Bapak bisa mempertimbangkannya, saya ucapkan terima kasih sekali. Tapi, kalau tidak bisa, saya akan mundur.”
Ternyata tawaran Soraya ditolak oleh para produser. Ia pun meminta mundur dari kontrak itu. Soraya lalu mencari PH-PH lain yang mau mengontraknya dalam beberapa adegan sinetron yang digarap mereka. Tetapi syarat yang diajukan Soraya untuk berjilbab ternyata dirasa berat. Soraya pun tidak pernah mendapatkan kontrak sinetron lagi selama beberapa bulan.
“Selama 3-4 bulan saya menganggur. Saya ke sana kemari mencari pekerjaan. Tetapi, satu pun tidak ada yang menerima saya dalam keadaan berjilbab,” ujar Soraya.
Tabungan Soraya pun makin lama semakin ludes. Puncaknya, ia hanya punya uang sepuluh ribu rupiah. “Saya sampai bilang pada empat pembantu saya. Kebetulan sejak saya bercerai, keempat pembantu saya ikut saya semua. Saya katakan pada mereka saat itu, jika kalian ikut sama saya, saya tidak ada uang untuk menggaji kalian. Tetapi, mereka bilang tidak apa-apa,” ujar Soraya.
Bagi Soraya keadaan seperti ini merupakan ujian terberat baginya ketika pertama kali mengenakan jilbab. “Saya merasa Tuhan sedang menguji saya, apakah saya bisa tahan dengan kondisi seperti ini atau tidak?” ujarnya.
Selama itu Soraya hanya makan pakai lauk seadanya dan mie rebus. Bagi seorang artis seperti dirinya, keadaan seperti ini cukup memprihatinkan sekali. “Saya sampai bilang pada pembantu saya, bagaimana jika kita puasa Nabi Daud? Ternyata mereka bilang tidak apa-apa,” ujar Soraya.
Selama itu Soraya pun terpaksa puasa Nabi Daud, hari ini puasa dan besok tidak. Begitu seterusnya. Soraya sengaja tidak memberitahukan keadaan ini pada keluarganya. Ia tidak ingin keluarganya sedih ketika mendengar keadaannya yang memprihatinkan. “Mereka hanya tahu saya dapat uang gono-gini dari suami, padahal saya tidak mendapatkan apa-apa,” terang Soraya.
Selama empat bulan Soraya hidup dalam kondisi memprihatinkan. Setelah ia sabar menjalaninya, balasan Tuhan pun akhirnya datang kepadanya. “Kebetulan saat itu sinetron-sinetron religius mulai merambah televisi. Saya pun ditawari main di Hidayah, Misteri Ilahi dan sinetron-sinetron agama lainnya,” ujar Soraya.
Keadaan Soraya yang berjilbab berbuah berkah sendiri. Sinetron-sinetron yang bertema religius yang mulai merambah televisi, bahkan kemudian booming, akhirnya menggunakan peran Soraya. Ia pun mulai kebanjiran tawaran main sinetron lagi. “Saking banyaknya, saya sampai kewalahan menerimanya. Inilah mungkin balasan Tuhan atas kesabaran saya,” ujar Soraya.
“Habis Gelap Terbitlah Terang,” seperti judul buku karya RA. Kartini itu pun benar-benar terjadi pada Soraya. Kini, hidupnya mulai terang kembali setelah dirinya banyak dipakai dalam sinetron-sinetron religius.
Kini, Konsisten Berjilbab
Satu tahun setelah Soraya bercerai dengan suaminya, mantan pacarnya tujuh tahun yang lalu tiba-tiba menelponnya kembali. Dalam telpon itu, ia mengajak Soraya untuk bertemu. Mereka pun bertemu. Betapa kagetnya laki-laki itu setelah melihat Soraya sudah berjilbab. “Saya dikira habis pergi umroh karena saya berjilbab,” ujar Soraya.
Laki-laki itu begitu tersentuh melihat perubahan Soraya yang semakin religius. Panah asmara yang telah menancapnya tujuh tahun lalu, kini bertambah besar lagi setelah melihat Soraya benar-benar telah berubah. “Setelah beberapa minggu saya bertemu dengan dia, dia mengajak saya menikah. Saya tidak langsung jawab, tapi shalat istikharah dulu,” ujar Soraya.
Setelah tiga kali shalat istikharah, Soraya pun merasa yakin kalau laki-laki yang diputusnya tujuh tahun yang lalu itu adalah laki-laki yang paling pantas untuk menjadi suaminya. “Saya sudah kenal dia sebelumnya. Ia juga mau menerima saya apa adanya, yang pernah menikah dan punya anak,” ujar Soraya.
Soraya pun kemudian menikah dengan laki-laki yang benar-benar mengerti agama. Kini, Soraya dikaruniai anak lagi buah perkawinannya dengan suami yang kedua. Usia perkawinannya telah menginjak dua tahun. Rumah tangga baru dibangunnya kembali.
Lantas, apa kesibukan Mbak Aya –penggilan akrab Soraya- setelah menjadi ibu rumah tangga untuk kedua kalinya?
“Setiap hari saya hampir selalu mengikuti pengajian yang diadakan baik oleh teman-teman ataupun pejabat. Sekarang saya juga lagi kuliah di STID Al-Hikmah mengambil jurusan Komunikasi dan Penyiaran. Sebab, kata suami, saya punya bakat menjadi seorang ustadzah karena pintar ngomong,” ujar Mbak Aya.
Mbak Aya juga tidak akan merubah penampilannya untuk selalu mengenakan jilbab. “Insya Allah, saya akan selalu berjilbab sampai kiamat. Menurut agama, menutup aurat itu hukumnya wajib seperti halnya shalat,” teguhnya.
Hidup bersama suami yang mengerti agama, bukan suatu hal yang sangat sulit bagi Mbak Aya untuk tetap konsisten mengenakan jilbab. Bahkan, ia tidak saja menerapkan berjilbab untuk dirinya, kepada teman-temannya sesama artis ia juga berusaha untuk menganjurkan hal yang sama. “Saya sering berpesan kepada teman-teman untuk mengenakan jilbab. Dan saya tidak bosan-bosan untuk terus menganjurkannya,” ujar Mbak Aya.
Demikian kisah hidup Soraya yang sempat terpuruk akibat perceraian, tetapi mendapat hidayah setelah masuk pesantren. “Bagi saya, ini adalah titik balik hidup saya. Sedikit sekali orang yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki dirinya. Banyak perempuan-perempuan yang didepak oleh suami, tapi tidak membuat mereka sadar malah bertambah stress. Saya bersyukur, karena akibat perceraian saya kemudian diberikan hidayah oleh-Nya,” ujar Soraya penuh syukur.
Semoga kita bisa mengikuti jejaknya! Amien.
Label:
dakwah islam : khairuddin,
manhaj
Langganan:
Postingan (Atom)